Malam ini memang terasa berbeda dari malam-malam sebelumnya. Bukan karena Mia berada di rumah sakit, akan tetapi karena perasaannya masih dibakar api cemburu dan rasa kecewa yang membara."Mia!" Pintu di ruangan anak Khaila terbuka, padahal baru saja Mia keluar dari toilet. Wanita berkulit putih itu mematung sejenak dengan kedatangan Yusuf. Pikirnya suaminya tak akan datang ke rumah sakit karena waktu sudah menunjukan pukul delapan malam.Mia tak menjawab sapaan suaminya, ia berlalu begitu saja berjalan melewati Yusuf lalu duduk di sofa tampak acuh tak acuh.Yusuf sadar, istrinya pasti tengah marah padanya. Dia lekas duduk di dekat Mia seraya menatap."Khaila kemana? Kok tidak ada di sini," tanya Yusuf basa-basi saja. "Keluar sebentar," jawab Mia singkat tanpa menoleh ke arah suaminya."Kamu marah ya sama saya?" Yusuf tak memalingkan tatapannya ke arah mana pun."Tidak tahu," jawab Mia lagi. Bibirnya lurus tanpa bisa tersenyum walau hanya sedikit saja."Mia, jangan marah. Saya bisa
Pagi harinya saat mentari masih belum menampakkan sinarnya. Jam di dinding kamar rumah sakit menunjukan pukul lima pagi. Mia sudah bangun dari tidur yang tidak nyenyak. Dia mengucek kelopak matanya. Pasang manik masih terasa perih karena tidurnya tidak efektip, sesekali ia bangun karena tangisan bayi Khaila.Mia melihat ke arah sofa di sebelahnya. Terlihat Yusuf masih memejamkan mata. Tertidur dengan lelap. Ia tak menyangka kalau suaminya tak pulang dan memilih tidur di rumah sakit.Mia segera ke toilet setelah itu ia segera keluar untuk mencari sarapan. Ia yakin saat bangun nanti, Yusuf dan Khaila pasti menginginkan sarapan pagi."Sayang, kamu sudah bangun?" Yusuf yang baru saja sadar dari tidur, menyapa Mia yang sedang menyiapkan sarapan di atas meja."Ini sudah pukum delapan, Mas. Sebentar lagi Dokter anak akan tiba. Kamu segera bangun dan sarapan," titah Mia. Raut wajahnya masih ketus membuat Yusuf tak bersemangat saja.Kakaknya Khaila itu bangkit dari sofa langsung menuju toilet
"Tunggu, Sayang. Kamu mau kemana?" Yusuf menahan langkah Mia. Dia memegang tangan Mia agar tidak pergi."Apa lagi sih, Mas. Saya tidak berselera membahas kisah kamu dan Jenifer," kata Mia dengan wajah kesalnya."Duduk dulu jangan emosi. Dengarkan dahulu kalau suami ingin bicara." Yusuf menepuk spray sebagai kode agar Mia kembali ke tempat duduk semula.Mia akhirnya kembali duduk di atas ranjang. Walau wajahnya masih terlihat ketus menatap ke depan. Debaran dadanya masih terasa panas karena api cemburu masih membakar jiwa dan perasaannya.Yusuf pun kembali meraih tangan Mia. "Saya sedang mencari Bastian dengan orang suruhan. Tadi pagi sudah ada laporan mengenai kabar baik pencarian itu. Orang suruhan saya telah mengetahui titik kediaman, Bastian. Besok atau lusa pasti pria bayaran itu akan kita introgasi." jelasnya segera.Namun Mia masih saja cemberut menanggapinya."Sayang, kalau sampai ada bukti kelicikan yang Jenifer lakukan lewat Bastian, secepatnya saya akan menceraikan dia," lan
Namun Yusuf tetap dengan langkahnya. Dia dan Mia masuk ke dalam kendaraan roda empat berwarna merah milik Yusuf, melaju dengan cepat meninggalkan rumah. Yusuf tak akan membiarkan Jenifer lagi-lagi menggagalkan rencananya. Lagi pula dia tak akan takut karena Jenifer tak memiliki alasan yang kuat untuk mengancamnya."Sial!" Jenifer berdecak kesal. Dia bahkan membanting vas bunga kecil di atas nakas demi menuntaskan kekesalannya.Prang!Vas bunga itu pecah di atas lantai membuat beberapa pasang telinga kaget saat mendengarnya. Vas bunga itu terbuat dari keramik sehingga menimbulkan suara pecahan yang keras."Ada apa ini?" Khaila keluar dari kamar saat mendengar sesuatu pecah di ruang tengah. Tak disangka kalau ternyata Jenifer lah yang telah membuat kebisingan."Waduh, Bu Jenifer. Ada apa ini. Hati-hati jangan sampai pecahan kacanya melukai kaki." Ijah yang barus saja tiba, segera memungut pecahan beling dari vas bunga yang dilempar Jenifer. Wanita itu tak bertanggung jawab. Dia masih
Yusuf dan Mia sudah berdiri di depan Bastian yang tertunduk malu."Bastian, lihat saya!" titah Yusuf dengan tegas. Bastian segera mengangkat wajahnya walau tampak ragu."Siapa kamu sebenarnya?" tanyanya segera. Bastian masih diam."Katakan!" Sergah Yusuf. Wajahnya kali ini terlihat menyeramkan bagai singa yang hendak menerkam mangsa. Mia sedikit tercengang dengan raut wajah suaminya. Ini baru pertama kali ia melihat Yusuf seperti itu."Maaf, Pak. Ada urusan apa anda menangkap saya? Saya tidak terima perlakukan anda. Kalian semua akan saya laporkan ke Polisi. Ini penyiksaan!" Bastian dengan berani."Jaga mulut kamu! Sebelum kamu melaporkan ke Polisi, jasad kamu akan terlebih dahulu habis dimakan ikan di lautan!" bentak Yusuf. Ia hanya mengancam karena sebelumnya ia tak pernah melakukan kriminal.Ancaman Yusuf seketika membungkam mulut Bastian yang sempat menantang. Ia kembali merapatkan bibir yang tampak gemetar menahan takut. Sepertinya Bastian sadar sedang berhadapan dengan siapa. In
Yusuf hanya mengedipkan matanya pada Mia. Rupanya dia hanya menggeretak saja dan memperlihatkan ketegasannya pada Bastian."Tunggu, Pak! Oke saya akan katakan." Akhirnya Bastian menyerah setelah langkah Yusuf hampir tiba di ambang pintu. Yusuf dan Mia menghentikan langkah. Sedikit mengulum senyum karena gertakan Yusuf berhasil membuat Bastian menyerah.Pasangan suami istri itu mengurungkan niat keluar dari rumah, lalu segera kembali ke hadapan Yusuf yang menampilkan wajah serba salah."Katakan sekarang karena saya tidak punya banyak waktu," tekan Yusuf."Apa jaminannya kalau saya berbicara jujur?" Pertanyaan Bastian membuat Yusuf kembali dibuat geram tapi dia berusaha menahannya kali ini."Kalau kamu berkata jujur, saya akan melepaskan kamu. Kamu bebas berkeliaran di muka bumi ini. Tapi sebaliknya, kalau kamu masih berbohong maka jangan harap masih bisa melihat mentari muncul di ufuk timur besok pagi," jawab Yusuf dengan tegas dan masih bernada ancaman."Bagaimana dengan keselamata
Sepanjang perjalanan Mia dan Yusuf masih saja diam satu sama lain. "Mas, saya sudah menyuruh anak buah kamu untuk melepaskan Bastian." Mia memutuskan untuk membuka percakapan saat kendaaraan terjebak macet.Waktu memang menunjukan pukul tujuh malam dimana jalanan tengah disibukan oleh orang-orang yang baru saja selesai dengan aktivitas pekerjaannya."Mengapa dilepaskan?" tanya Yusuf tanpa menoleh."Bastian adalah seorang pria yang memiliki keluarga. Kasihan anak dan istrinya. Pemena utama dalam masalah ini kan Jenifer, bukan pria itu." Mia berbicara dengan hati-hati. Tentu dengan nada suara yang sangat lembut."Ya, kalau saja tidak mengingat anak dan istrinya, mungkin saat itu pula sudah saya habisi dia," geram Yusuf.Mia mengusap pundak suaminya dengan lembut. "Tenang, Mas. Saya pastikan pria itu tak akan mengulangi kesalahannya," ucapnya.Kali ini Yusuf terlihat sedikit lebih tenang. Ia menoleh ke arah Mia. Betapa sejuknya wajah Mia sehingga mampu meredam emosi yang tengah meletup-
"Mas, yakin kita akan tidur di sini? Bagaimana kalau Jenifer berulah?" Mia nampak ragu."Sayangnya saya sudah tidak perduli lagi dengan wanita itu. Untuk apa saya perduli, dia tidak sedang hamil anak saya kan," balas Yusuf seraya melepas safety belt dan bersiap keluar dari mobil."Oke baiklah." Mia tak bisa membantah. Mereka sudah keluar dari mobil lalu berjalan masuk ke dalam hotel.Yusuf dan Mia disambut hangat oleh pelayan hotel. Mereka segera memesan kamar paling bagus di hotel bintang lima itu."Mas, kita kan tak sempat membawa pakaian. Masa iya malam ini akan tidur dengan pakaian ini?" Mia menunjuk pakaiannya sendiri."Tak usah cemas. Asisten saya akan mengantarkan pakaian pesanan kita sebentar lagi," jawab Yusuf. Mereka berada di dalam lift menuju kamar pesanan yang diantar oleh salah satu pelayan hotel.Tak disangka, Yusuf sudah menyiapkan semuanya lewat asistennya. Dia benar-benar enggan pulang. Melihat wajah Jenifer hanya akan membuat isi kepalanya yang terasa panas malah se