"Apa itu?" Aku penasaran.Ijah segera mengambil benda yang jatuh berupa sebuah obat."Obat apa ini ya?" Ijah mengernyitkan dahi.Aku menggelengkan kepala. "Saya juga tudak tahu, Ijah." Aku mengambil sebuah obat yang di pegang Ijah. Entah jatuh dari mana yang pasti obat itu ditemukan selepas langkah Jenifer.Aku menelaah. Sama sekali tak tahu obat apa itu. "Besok, akan saya cari tahu obat ini. Jangan-jangan Jenifer sakit," pikirku."Iya, Bu. Saya juga penasaran dengan obat itu. Jangan-jangan Bu Jenifer sakit. Dia kan suka minta yang aneh-aneh." Ijah menimpali."Besok akan saya selidiki." Kuputuskan mengakhiri percakapan dengan Ijah.Aku membawa sebuah obat yang masih tak kuketahui indikasinya apa.***Sebelum menyusul Mas Yusuf ke rumah sakit, aku mampir sebentar ke apotik. Aku masih penasaran dengan obat semalam."Selamat siang ada yang bisa saya bantu?" Petugas apotik menyambut kedatanganku begitu kaki ini menapaki apotik."Siang juga, Mba. Ini ada yang ini saya tanyakan." Gegas kua
Mia menganggukan kepala. Yusuf nampak berpikir seraya mengepalkan kedua tangannya. Sepertinya ada kemurkaan di dalam dada Yusuf setelah mendengar penjelasan Mia."Saya akan ke kantor," pamit Yusuf pada Mia. Dia langsung mengambil obat perangsang hormon itu dari tangan Mia."Untuk apa obatnya kamu ambil, Mas?" Mia merasa aneh."Sebagai bukti kecurangan, Jenifer. Sudahlah, saya akan segera ke kantor karena client sudah menunggu," alasan Yusuf.Istri pertama Yusuf itu mengangguk paham. "Iya, Mas. Bukankah kemarin sudah kamu katakan kalau hari ini ada jadwal bertemu client dari Jerman," balas Mia. Dia hanya mengingatkan suaminya agar tidak lupa dengan jadwal.Yusuf sedikit gugup. "Oh iya. Saya baru ingat akan hal itu." Dia segera mengecup kening Mia lalu beranjak dari tempat duduk."Katakan pada Khaila, saya akan kembali setelah dari kantor," sambungnya. Setelah itu Yusuf langsung keluar dari ruangan anaknya Khaila.Pikir Mia, suaminya akan ke kantor karena urusan pekerjaan. Dia masih ing
Ijah langsung menelepon Mia guna melaporkan apa yang sudah dilihatnya. Sambungan telepon darinya langsung dijawab oleh Mia yang tengah berada di rumah sakit."Hallo, Ijah. Ada apa?" Mia menyapa Ijah dengan santainya."Bu Mia, baru saja Pak Yusuf pulang sendirian." Tanpa basa-basi terlebih dahulu, Ijah langsung melapor."Apa! Masa pulang?" Mia terkejut sambil beranjak dari sofa. Dia akan keluar dahulu dari ruangan anaknya Khaila karena khawatir akan mengganggu."Iya, Bu. Pak Yusuf baru saja pulang. Bliau memperlihatkan obat yang semalam kita temukan pada, Bu Jenifer." Ijah masih melanjutkan laporannya."Lalu, sedang apa mereka sekarang?" Mia yang kini berada di luar ruangan anaknya Khaila semakin dibuat penasaran."Pak Yusuf mengajak Bu Jenifer ke kamarnya," lapor Ijah lagi. Nada suaranya kesal. Dia sangat kesal melihat Jenifer tadi."Apa! Apa yang akan mereka lakukan?" Mia masih menempelkan benda pipih itu pada telinganya. Ada yang tengah panas melebihi lahar di gunung merapi."Saya t
Yusuf segera menutup kembali pintu kamar Jenifer. Dia menarik tangan Ijah. Membawa pembantu yang sudah mengabdi selama bertahun-tahun di rumahnya itu ke lantai dua, agar Jenifer tak menemukan mereka."Pak, maafkan saya. Saya tidak bermaksud lancang," lirih Ijah memohon maaf sesampainya mereka di lantai dua kediaman Yusuf."Lalu, apa yang kamu lakukan di depan pintu tadi hah? Kamu menguping perbincangan saya dengan Jenifer?" Yusuf kembali dibuat emosi. Belum redam emosi akibat Jenifer, kini ditambah lagi emosinya oleh ulah Ijah."Ti-tidak, Pak. Saya cuma ingin membawa obat sakit kepala untuk, Bu Jenifer. Tapi setibanya di depan pintu, Pak Yusuf keluar," elak Ijah walau tampak gugup."Jangan bohong kamu, Ijah!" Yusuf tak yakin dengan jawaban Ijah."Tidak bohong, Pak." Ijah segera menunduk. Kedua tangannya dialihkan kebelakang guna menyembunyikan ponsel."Apa yang kamu sembunyikan di belakang?" Yusuf nampaknya curiga."Tidak ada apa-apa, Pak." Ijah menggelengkan kepala tanpa memperlihatk
"Ya ampun, Ijah." Mia merutuki keteledoran pembantunya itu. Padahal dia sudah sangat penasaran dengan rekaman audio atas perintahnya itu."Maafkan saya, Bu. Tapi memang hanya itu saja sih yang saya dengar," kata Ijah berusaha meyakinkan majikannya."Baiklah, Ijah. Terima kasih ya atas informasi kamu. Jangan lupa untuk mengabarkan kejadian apa pun yang tak saya ketahui ya," pinta Mia sebelum sambungan telepon itu berakhir."Siap, Bu." Suara Ijah terdengar semangat.Setelah perbincangan lewat telepon dengan Ijah berakhir, ponsel Mia kembali berdering. Ada panggilan masuk, namun kali ini dari Anjani, adiknya Yusuf.Mia mengurungkan niatnya masuk ke ruangan anak Khaila karena harus menjawab sambungan telepon dari adik iparnya."Hallo, Bu Anjani," sapa Mia begitu benda pipih itu ia tempelkan pada telinga."Hallo, Mba Mia. Apa masih berada di rumah sakit? Saya dengar kabar kalau anaknya Khaila sakit ya?" Anjani bertanya karena mengkhawatirkan ponakannya."Iya, Bu. Semalam masuk rumah sakit
Jenifer keluar dari toilet. Tas selempang masih terlihat aman menenteng di bahu kiri. Dia duduk dengan tenangnya di kursi yang berseberangan dengan Yusuf.Wajah Yusuf masih saja datar. Menu makanan telah dipesan. Jelang waktu yang hampir sore, Mereka selesai dengan makan bersamanya yang terasa hambar.Jenifer menyodorkan bibir bagian bawah. Dia merasa tak senang dengan sikap Yusuf yang seperti itu.Tak ada inisiatif bagi Yusuf bertanya dibalik raut wajah cemberutnya Jenifer, karena dia tak perduli."Kamu mau sampai kapan bersikap dingin seperti ini, Mas? Aku bosan melihatnya," protes Jenifer sebelum mereka pergi dari tempat makan itu."Kalau kamu bosan, ya tinggalkan saja," balas Yusuf acuh."Bukan seperti itu maksud aku, Mas. Aku ingin kamu yang seperti kemarin-kemarin. Perhatian dan baik sama aku. Kamu langsung berubah dalam waktu sekejap," protes Jenifer lagi. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Bibirnya cemberut."Karena ingatan saya telah kembali. Saya tak akan mengula
Di sebuah toko make up kecantikan kendaraan roda empat milik Yusuf menepi. Baru saja Jenifer keluar dari mobil, seseorang menarik paksa tas selempangnya lalu pergi dengan secepat kilat meninggalkan Jenifer dengan kendaraan roda dua."Jambret!" Jenifer menjerit histeris. Yusuf yang baru saja keluar dari mobil segera menghampirinya berpura-pura kaget."Ada apa?" tanya Yusuf pura-pura. Padahal orang yang mengambil tas Jenifer adalah suruhannya."Jambret, Mas. Tas aku diambil. Kejar motor jelek tadi, Mas," titah Jenifer seraya mendorong Yusuf agar segera kembali masuk ke dalam mobil."Motor yang mana?" Yusuf pura-pura mengedarkan pandangan."Tadi, Mas. Sudah pergi. Aduh gimana sih. Kamu kok enggak bisa melindungi aku sih!" Karena kesal, Jenifer akhirnya menyalahkan Yusuf."Ngapain kamu nyalahin saya! Kamu sendiri yang teledor." Yusuf tak terima disalahkan."Aduh gimana dong ini!" Jenifer meremas kepalanya tampak frustasi."Di dalamnya ada ponsel aku, Mas. Ada uang, ada kartu-kartu penting
Malam ini memang terasa berbeda dari malam-malam sebelumnya. Bukan karena Mia berada di rumah sakit, akan tetapi karena perasaannya masih dibakar api cemburu dan rasa kecewa yang membara."Mia!" Pintu di ruangan anak Khaila terbuka, padahal baru saja Mia keluar dari toilet. Wanita berkulit putih itu mematung sejenak dengan kedatangan Yusuf. Pikirnya suaminya tak akan datang ke rumah sakit karena waktu sudah menunjukan pukul delapan malam.Mia tak menjawab sapaan suaminya, ia berlalu begitu saja berjalan melewati Yusuf lalu duduk di sofa tampak acuh tak acuh.Yusuf sadar, istrinya pasti tengah marah padanya. Dia lekas duduk di dekat Mia seraya menatap."Khaila kemana? Kok tidak ada di sini," tanya Yusuf basa-basi saja. "Keluar sebentar," jawab Mia singkat tanpa menoleh ke arah suaminya."Kamu marah ya sama saya?" Yusuf tak memalingkan tatapannya ke arah mana pun."Tidak tahu," jawab Mia lagi. Bibirnya lurus tanpa bisa tersenyum walau hanya sedikit saja."Mia, jangan marah. Saya bisa
Siang ini 40 hari sudah setelah kelahiran Yusra dan Yumna. Kediaman Yusuf nampak dipenuhi bunga serba putih. Semua dekorasi serba putih. Ini bukan sedang berpesta, melainkam sedang ada acara aqiqah si kembar Yusra dan Yumna.Dua bayi kembar yang lucu yang memakai pakaian muslim ala-ala bayi, sudah dibawa pengasuhnya masing-masing ke tengah-tengah pengajian. Sebagai rasa syukur yang luar biasa pada Tuhan, Yusuf dan Mia menggelar acara pengajian sekaligus aqiqahan untuk bayi kembarnya. Bukan hanya itu, Yusuf dan Mia juga mengadakan santunan anak yatim yang diundang dari salah satu panti asuhan yatim piatu di kota Jakarta. Yusuf berharap, anak-anak yang kurang beruntung itu bisa merasakan kebahagiaan yang kini tengah dia rasakan.Kediaman Zubair dipenuhi banyak jamaah pengajian dan anak yatim piatu yang hadir. Mereka membacakaan dzikir dan puji-pujian. Menggunting rambut si kembar Yusra dan Yumna secara bergantian.Seperti ada cahaya yang terpancar pada bayi kembar Yusra dan Yumna kali i
Benar saja dengan apa yang sudah ditebak sebelumnya. Kediaman Zubair nampak ramai oleh suara tangisan bayi yang silih berganti. Sudah menjadi kebiasaan bayi yang pusarnya belum copot memang agak rewel. Akan tetapi Mia nampak piawai menghandle. Mungkin karena bukan yang pertama kalinya, jadi Mia sudah paham.Bayi kembar yang mungil nampak anteng apabila dalam gendongan Mia. Mungkin karena bayi kembar itu merasakan kenyamanan saat berada di dekat orang tuanya."Kenapa kalian tidak bisa menghandle? Bukankah kalian sudah pengalaman sebagai baby sitter! Dimana keahlian kalian?!" Suara Yusuf terdengar mengeras di kamar anaknya. Dia bicara pada dua pengasuh anaknya."Sstt! Mas, jangan begitu dong." Mia meluruskan jari telunjuknya di depan bibir.Rupanya Yusuf tengah memarahi dua baby sitter anaknya yang tampak tak bisa menghandle tugas. Dua anak kembar Mia dan Yusuf hanya bisa anteng dan tak menangis saat berada dalam dekapan mamanya."Habisnya mereka salah, Sayang. Kamu kan belum benar-bena
Banyak sekali yang harus dipelajari Mia setelah operasi. Mulai dari belajar tidur miring kiri miring kanan, belajar bangun sendiri kemudian sampai berjalan.Yusuf mendukung Mia yang belajar dengan antusias. Saat ini bahkan Mia sudah berada di ruangan rawat inap. Banyak sekali perjuangan yang telah dia lakukan untuk anak kembarnya.Mia juga mulai memberikan asi pertamanya untuk kedua anak kembar, meski pun belum ada asi putih yang keluar. Anak kembar itu juga akan dibantu susu formula karena asi Mia belum keluar dan mungkin tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dua anak kembar."Sayang, anak kita cantik dan tampan ya. Mirip sekali dengan wajah mamanya. Mamanya cantik sih, jadi anaknya juga cantik dan tampan," kata Yusuf tanpa bisa berhenti menatap wajah anak kembarnya. Rasa syukur pada Tuhan pun ia ungkapkan berkali-kali atas rasa bahagia yang sangat luar biasa."Papanya juga tampan, Mas. Makanya saya jatuh cinta," balas Mia pada suaminya. Dia kini sudah bisa berbicara."Masa sih?" Y
Saat ini Mia masih berada di ruang rawat inap. Operasi akan dilakukan besok siang pukul sepuluh pagi. Mia tengah beristirahat membaringkan tubuhnya di atas bed pasien."Sayang, perutnya masih sakit?" Yusuf mengusap kening istrinya. Ia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Dalam benaknya berkecamuk rasa. Khawatir cemas bercampur jadi satu. Apalagi saat melihat wajah Mia yang terlihat layu."Tak terlalu sakit, Mas. Semoga besok pagi operasinya lancar ya." Suara Mia terdengar lemas. Yusuf mengecup kembali kening Mia. "Sayang, tentu saja saya do'akan semoga operasinya lancar. Kamu dan bayi kita selamat. Kamu harus semangat dan kuat, karena ini adalah impian kita berdua," ia menyemangati."Iya, Mas. Saya akan berjuang. Saya akan semangat," balas Mia.Sejujurnya Yusuf tidak tega melihat Mia yang tiba-tiba meringgis kesakitan. Namun, jadwal caesar memang sudah ditentukan dan surat perjanjian sudah ditanda tangani. Ia tak tega melihat istrinya kesakitan. Andai tak malu dengan diri sendir
Yusuf dan Mia telah sampai di depan rumah sakit. Mereka langsung duduk di kursi tunggu karena nomor antrian telah diambilkan oleh anak buahnya.Yusuf mengusap perut Mia. Walau di depan banyak orang, Yusuf tak mau perduli. Rasa sayangnya pada Mia menutup matanya dari orang-orang yang ada di sekelilingnya."Nyonya Mia Lestari!"Saat namanya dipanggil, Mia dan Yusuf langsung berdiri. Dia segera masuk ke ruang Dokter kandungan.Setelah ditanya-tanya sebentar, Dokter langsung menyuruh Mia berbaring di atas bed pasien. Perut buncitnya dioleskan cairan dan alat USG langsung ditempelkan pada perut Mia.Bola mata Yusuf seketika berkaca-kaca melihat calon anaknya pada layar monitor."Selamat ya, Pak. Tuhan memberikan bayi kembar. Sepertinya jenis kelaminnya sepasang ni," kata Dokter sambil terus menempelkan alat USG di perut Mia. Sementara layar monitir menampilkan hasilnya."Apa! Kembar, Dok?" Yusuf terbelalak. Pun dengan Mia yang terkejut."Serius, Dok?" Timpal Mia. Mulutnya sedikit terbuka k
Pagi hari di cappadocia.Sinar matahari telah masuk menerobos jendela kamar. Keduanya masih asik dalam mimpi indah usai bergelut dalam permainan panas semalam.Mata Mia menyipit saat mulai membuka kelopak matanya. Ia sadar dari mimpi indah semalaman tadi. Ia terkejut saat sadar telah bangun keiangan."Ya ampun! Kesiangan!" Mia bangkit dari tempat tidur. Dia bahkan masih memakai lingerie berwarna silver sisa semalam. Ia menuju kamar mandi dan akan segera membersihkan tubuhnya.Perut mulusnya mulai terlihat membuncit. Mia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terlihat basah. Sepertinya harus segera dikeringkan. Melihat ke atas ranjang, Yusuf tampak masih terlelap dalam tidurnya. Cuaca dingin membuat suami Mia tampak nyaman di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya yang hanya memakai bokser saja."Sayang, jam berapa?" Suara serak pria yang masih terbaring di atas ranjang, tampak membuka sedikit kelopak matanya. Terlihat kelelahan."Sudah siang, Mas. Cepetan mandi. Katanya mau ng
Satu bulan kemudian."Mas, koper punya saya mana?" Mia mencari koper miliknya. Mereka kini dalam perjalanan menuju bandara. Perut Mia kali ini sudah terlihat menonjol ke depan. Semakin nampak kalau dia tengah hamil.Sejak satu minggu yang lalu semua telah dipersiapkan. Mulai dari tiket, paspor dan perlengkapan yang lainnya. Yusuf juga telah konsultasi ke Dokter kandungan Mia. Beruntung janin yang ada dalam perut Mia dalam keadaan sehat dan bisa diajak jalan-jalan ke luar negri."Sepertinya sudah dimasukan Ijah ke dalam bagasi," jawab Yusuf menerka saja. Padahal dia tak terlalu yakin. Ia mengusap kening mengiyakan saja dari pada salah. Maklum semenjak hamil, Mia jadi sering baperan dan Yusuf paham akan hal itu."Baguslah, Mas. Soalnya saya tak melihatnya tadi. Mungkin karena Ijah telah merapihkannya." Mia bergelayut manja di dada bidang milik suaminya. Sementara supir yang mengemudikan mobil tetap fokus ke jalan raya.Bersamaan dengan itu ponsel Mia nampak berdering ada panggilan masuk
Hampir satu jam Yusuf mengantri di cafe martabak itu. Dia memijat pelipis karena baru kali ini dia rasakan rasanya menunggu sungguh membosankan."Mas, apa masih lama?" Akhirnya memberanikan diri bertanya karena sudah merasa kesal."Sebentar lagi kok, Pak. Hanya tinggal satu orang lagi," jawab pelayan cafe dengan ramahnya."Oke baik." Yusuf memutuskan untuk menunggu lagi. Semua itu semata-mata demi sang istri tercinta yang tengah mengandung buah hatinya.Dengan tambahan waktu lima belas menit akhirnya dua dus martabak pesanan Mia telah selesai dibuat dan kini sudah berada dalam genggaman. Yusuf segera kembali ke rumah. Dia sudah tidak sabar ingin melihat senyuman istrinya malam ini. Apalagi imbalannya yang akan menengok dede bayi dalam kandungan, tentu saja semakin membuat dia semangat.Perjalanan malam ini sangat cepat karena suasana jalanan yang sepi Yusuf tiba di rumah lebih cepat. Ia segera masuk ke kamar menenteng dus martabak pesanan istrinya."Sayang, ini pesanan kamu." Yusuf me
Sampai satu hari berganti, keadaan Mia masih saja tetap sama. Tubuhnya lemas ia tak berdaya. Mual muntah. Setiap kali ada makanan yang masuk maka kembali ia muntahkan.Yusuf yang siaga, segera membawa istrinya ke Dokter. Ia tak akan membiarkan Mia kesakitan.Yusuf kini tengah memunggu di depan ruang pemeriksaan. Salah satu perawat memanggilnya atas perintah Dokter. Dia segera menghadap dan duduk di kursi yang berseberangan dengan Dokter."Selamat, Pak!" Dokter wanita berlesung pipit itu menyodorkan tangannya ke hadapan Yusuf. Yusuf mengernyitkan dahi saat Dokter yang telah memeriksa istrinya itu malah mengajak berjabat tangan."Selamat untuk apa, Dok?" Yusuf kemudian bertanya karena tak paham."Selamat karena Bu Mia positif hamil. Sebentar lagi Pak Yusuf akan jadi seorang Ayah," jelas wanita berjas putih itu.Tentu saja Yusuf menyeringai senang mendengar berita yang baru saja di dengarnya."Apa!" Yusuf langsung beranjak menghampiri Mia yang duduk di atas ranjang rumah sakit usai dipe