Dalam perjalanan, Jenifer dan Yusuf duduk berdampingan di kursi belakang.Jenifer menyenderkan kepalanya di bahu Yusuf. Suami Mia itu nampak tak nyaman menggerakan bahunya."Jangan seperti ini, Jenifer," kata Yusuf. Dia tampak kaku."Kenapa, Mas?" Jenifer menatap Yusuf dengan manja."Tidak apa-apa," jawab Yusuf mengalihkan pandangan ke arah luar kaca."Kalau tidak apa-apa ya sudah, Mas." Jenifer kembali menyenderkan kepalanya di bahu Yusuf. Kali ini Yusuf diam, dia tak bisa menghindar menerima saja senderan istri keduanya."Mas, aku mau ikut sama kamu ya." Jenifer kembali merengek manja."Ikut kemana?" Yusuf bertanya sambil menggaruk keningnya yang tak gatal."Ikut sama kamu, Mas," rengek Jenifer lagi."Bukannya kamu akan periksa kehamilan?" Yusuf berbalik tanya lagi. Ah ia sungguh tak bisa menolak."Kalau aku periksa kehamilan, lantas siapa yang menemani? Pasti akan ditanya mana suaminya? Lalu aku harus jawab apa?" Jenifer memasang wajah yang disendu-sendukan. Kedua sudut bibirnya d
Pemeriksaan kehamilan dimulai saat Jenifer ditemani Yusuf masuk ke ruang pemeriksaan.Jenifer berbaring di atas ranjang medis. Dia mengukir senyum karena hari ini ada Yusuf yang menemaninya. Pada layar monitor janin Jenifer terlihat. Usianya masih muda jadi belum jelas. Namun entah kenapa tiba-tiba bibir Yusuf sedikit ketarik ke samping. Ada senyuman saat melihat janin Jenifer.Kehamilan Jenifer baik-baik saja. Dari penuturan Dokter, tidak ada yang mengkhawatirkan karena semuanya baik-baik saja."Kamu sehat-sehat saja, Jenifer. Tapi kenapa kamu selalu terlihat lemas dalam pandangan saya," celetuk Yusuf. Saat ini mereka sudah kembali ke dalam mobil. Duduk di kursi belakang berdampingan."Kok kamu bicara seperti itu, Mas. Ya mungkin hari ini kehamilanku memang semakin sehat dan semakin membaik, karena sudah dikasih spirit semalam," goda Jenifer mengukir senyum genit pada suaminya."Apaan sih kamu." Yusuf tersipu malu. Ia baru saja sadar kalau semalam memang telah melewati permainan pan
Keresahan terus saja menyelimuti jiwa. Apalagi saat menjelang petang, Mas Yusuf dan Jenifer belum menampakan batang hidungnya.Aku sampai berjalan mondar-mandir di depan rumah menunggu kedatangan suamiku. Harus kupastikan Mas Yusuf datang sendirian, tak bersama Jenifer. Aku memang egois, tapi aku masih yakin kalau janin dalam perut Jenifer bukanlah anak dari suamiku."Kok Mas Yusuf masih belum pulang juga sih," desisku berbicara sendiri. Padahal mentari sudah berada di ufuk barat dan sebentar lagi akan tenggelam."Ya sudahlah tak usah khawatir kali. Mas Yusuf itu sudah dewasa. Jangan batasi gerak Mas Yusuf karena dia tak akan nyaman." Tiba-tiba suara sopran di belakangku menimpali. Padahal aku tak sedang bicara dengan siapa-siapa. Aku hanya berbicara sendirian. Kutengok ke samping, rupanya ada Khaila. Saking resahnya sampai tak sadar dengan keberadaan Khaila di dekatku."Saya tidak membatasi, Mas Yusuf. Saya hanya khawatir saja karena sebentar lagi akan segera gelap tapi suami saya b
Kepalaku cenat-cenut saat terbayang poto Mas Yusuf berselfie mesra dengan Jenifer."Mia, tenang. Kamu harus tenang." Siska terdengar menenangkanku yang masih berbicara lewat sambungan telepon."Bagaimana aku bisa tenang, Sis. Coba kamu bayangkan, Jenifer telah berhasil membuat suamiku dekat dengannya. Hancur rasanya hati ini," lirihku. Air mata amarah menetes di pipi."Iya aku paham. Kamu pasti merasa geram. Tapi tetap harus tenang. Pikirkan tentang Yusuf. Suamimu itu sedang sakit. Kamu harus paham saat dia bisa saja dicuci otaknya oleh siapa pun," kata Siska. Dia juga ada benarnya."Lalu aku harus bagaimana?" Aku kehilangan akal. Kepalaku pusing, berat sekali rasanya."Kamu harus pura-pura tak tahu dengan berita ini. Main cantik saja. Kamu harus balas Jenifer dengan cantik. Jangan pernah berpikir akan meninggalkan Yusuf, karena dia belum pulih. Tapi, kamu harus tetap berusaha menyadarkan Yusuf kalau kamu adalah cinta sejatinya." Siska dengan antusias. Dia tetap berusaha memberiku sem
Malam ini Mas Yusuf sudah duduk di tepi ranjang. Dia tak menghindariku. Tapi masih dengan sikap dingin. Lelakiku itu sudah berganti pakaian tidur yang telah kusiapkan tadi."Apa Mas Yusuf akan tidur di sini?" Gegas kubertanya. Aku mendekat tapi hanya berdiri di depannya."Saya akan tidur di kamar ini, tapi tidak di ranjang ini," jawabnya datar. Tanpa membalas tatapanku. Mengapa Mas Yusuf kian enggan saja membalas tatapanku? Dadaku lesu, semakin lesu saja."Lalu kamu akan tidur dimana, Mas?" Aku yang heran."Di sofa." Dia meluruskan pandangan pada sofa yang masih berada di kamar ini.Aku mengatur napas. Tetap tenang. "Mas, bolehkah saya bertanya?"Mas Yusuf mengangkat wajahnya. "Tanya soal apa?" Wajahnya tiba-tiba tegang. Aku tahu penyebab wajahnya tegang seperti itu."Enggak, Mas. Aku hanya ingin bertanya, bagaimama hasil therapi tadi? Apa ada perkembangan?" Kali ini aku duduk di sampingnya."Masih dengan hasil yang sama," jawabnya datar. Ia menurunkan kembali wajahnya. Semakin terlih
"Saya akan buktikan, Mas," tekanku. Mas Yusuf mengangguk.Lelakiku beranjak dari ranjang. Dia mengambil satu bantal lalu merebahkan tubuhnya di atas sofa. Mas Yusuf nampak lelah. Dia memejamkan mata usai menatapku dalam.Gegas kumengunci pintu kamar. Tak akan kubiarkan siapa pun masuk ke dalam kamar. Kuambil satu selimut di dalam lemari. Tak akan kubiarkan Mas Yusuf tidur dalam kedinginan.Semoga selimur yang menutupi tubuhnya mampu menghangatkan suasana dingin malam ini. Mas Yusuf nampak tertidur dengan lelap. Aku menekuk lutut menatap wajahnya. Mengusap keningnya.'Mas, aku akan menunggu sampai kamu mampu mengingat cinta kita,' batinku. Melihatnya, menatapnya semakin menambah keyakinan kalau aku sangat menyayanginya. Aku sangat takut kehilangannya. Aku tak mau kehilangannya. Mungkin ini yang dinamakan cinta terakhir yang tak ingin tergantikan.Aku tertidur sendiri di atas ranjang, menatap suamiku dalam keheningan malam. Satu kalimat yang selalu terucap dalam do'a 'sembuhkanlah suami
"Mas, kok kamu gitu sih." Bola mata Jenifer nampak berkaca-kaca. Dia menampilkan wajah sendu. Aku yakin itu hanya pura-pura saja."Jenifer, tolong hargai keputusan, Mas Yusuf." Aku menegaskan.Jenifer melayangkan tatapan sinis padaku. Bibirnya nampak mengerut, mungkin dia tengah menahan emosinya. Lalu, tatapan yang berbeda dia layangkan pada suamiku. Dia mengukir senyuman tipis, wajahnya berubah jadi terlihat tenang dalam pandangan suamiku. Jenifer memang bermuka dua."Baiklah, Mas. Aku paham kok. Lagi pula sebagai istri kedua, aku kan harus sering mengalah." Jenifer tampak berakting.Aku memutar bola kata kesal. Nafsu makan ini seketika lenyap dengan kemunculannya."Mas, saya permisi sebentar ya. Saya harus siap-siap," pamitku pada Mas Yusuf. Pria di hadapanku mengangguk manis. Aku senang sekali melihatnya.Saat berjalan melewati ruang tengah, kulihat Ijah sedang berdiri di kamar yang tempo lalu sempat diisi oleh Mas Yusuf. Pintunya terbuka lebar sehingga aku mampi melihatnya. Ijah b
Ada rasa penasaran yang kian bergejolak di dalam dada. Aku harap pertemuan dengan Siska kali ini akan mengurangi kesalah pahaman yang tengah terjadi dengan, Mas Yusuf.Hampir tiga puluh menit memakan waktu saat perjalanan. Aku sudah sampai di depan caffe. Tempat yang biasa kami kunjungi saat melakukan pertemuan. Tempat yang sederhana tapi sangat nyaman untuk berbincang-bincang bahkan meeting sekali pun.Aku dan Mas Yusuf keluar dari mobil. Kami berdua masuk ke dalam caffe. Aku langsung menuju tempat duduk yang sudah biasa dipesan Siska. Tapi tempat itu masih kosong, apa Siska belum sampai?"Dimana, Siska?" Mas Yusuf terdengar bertanya saat kedua bola matanya tak mampu menemukan keberadaan sahabatku itu."Mungkin masih di jalan. Kita duduk dulu saja, Mas. Saya akan meneleponnya sekarang," jawabku.Bersamaan dengan itu, peleyan caffe menghampiri kami. Seperti biasa, gadis berseragam serba merah muda menyodorkan menu favorit di caffe ini.Hanya tiga gelas minuman manis dan dessert aku pe
Siang ini 40 hari sudah setelah kelahiran Yusra dan Yumna. Kediaman Yusuf nampak dipenuhi bunga serba putih. Semua dekorasi serba putih. Ini bukan sedang berpesta, melainkam sedang ada acara aqiqah si kembar Yusra dan Yumna.Dua bayi kembar yang lucu yang memakai pakaian muslim ala-ala bayi, sudah dibawa pengasuhnya masing-masing ke tengah-tengah pengajian. Sebagai rasa syukur yang luar biasa pada Tuhan, Yusuf dan Mia menggelar acara pengajian sekaligus aqiqahan untuk bayi kembarnya. Bukan hanya itu, Yusuf dan Mia juga mengadakan santunan anak yatim yang diundang dari salah satu panti asuhan yatim piatu di kota Jakarta. Yusuf berharap, anak-anak yang kurang beruntung itu bisa merasakan kebahagiaan yang kini tengah dia rasakan.Kediaman Zubair dipenuhi banyak jamaah pengajian dan anak yatim piatu yang hadir. Mereka membacakaan dzikir dan puji-pujian. Menggunting rambut si kembar Yusra dan Yumna secara bergantian.Seperti ada cahaya yang terpancar pada bayi kembar Yusra dan Yumna kali i
Benar saja dengan apa yang sudah ditebak sebelumnya. Kediaman Zubair nampak ramai oleh suara tangisan bayi yang silih berganti. Sudah menjadi kebiasaan bayi yang pusarnya belum copot memang agak rewel. Akan tetapi Mia nampak piawai menghandle. Mungkin karena bukan yang pertama kalinya, jadi Mia sudah paham.Bayi kembar yang mungil nampak anteng apabila dalam gendongan Mia. Mungkin karena bayi kembar itu merasakan kenyamanan saat berada di dekat orang tuanya."Kenapa kalian tidak bisa menghandle? Bukankah kalian sudah pengalaman sebagai baby sitter! Dimana keahlian kalian?!" Suara Yusuf terdengar mengeras di kamar anaknya. Dia bicara pada dua pengasuh anaknya."Sstt! Mas, jangan begitu dong." Mia meluruskan jari telunjuknya di depan bibir.Rupanya Yusuf tengah memarahi dua baby sitter anaknya yang tampak tak bisa menghandle tugas. Dua anak kembar Mia dan Yusuf hanya bisa anteng dan tak menangis saat berada dalam dekapan mamanya."Habisnya mereka salah, Sayang. Kamu kan belum benar-bena
Banyak sekali yang harus dipelajari Mia setelah operasi. Mulai dari belajar tidur miring kiri miring kanan, belajar bangun sendiri kemudian sampai berjalan.Yusuf mendukung Mia yang belajar dengan antusias. Saat ini bahkan Mia sudah berada di ruangan rawat inap. Banyak sekali perjuangan yang telah dia lakukan untuk anak kembarnya.Mia juga mulai memberikan asi pertamanya untuk kedua anak kembar, meski pun belum ada asi putih yang keluar. Anak kembar itu juga akan dibantu susu formula karena asi Mia belum keluar dan mungkin tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dua anak kembar."Sayang, anak kita cantik dan tampan ya. Mirip sekali dengan wajah mamanya. Mamanya cantik sih, jadi anaknya juga cantik dan tampan," kata Yusuf tanpa bisa berhenti menatap wajah anak kembarnya. Rasa syukur pada Tuhan pun ia ungkapkan berkali-kali atas rasa bahagia yang sangat luar biasa."Papanya juga tampan, Mas. Makanya saya jatuh cinta," balas Mia pada suaminya. Dia kini sudah bisa berbicara."Masa sih?" Y
Saat ini Mia masih berada di ruang rawat inap. Operasi akan dilakukan besok siang pukul sepuluh pagi. Mia tengah beristirahat membaringkan tubuhnya di atas bed pasien."Sayang, perutnya masih sakit?" Yusuf mengusap kening istrinya. Ia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Dalam benaknya berkecamuk rasa. Khawatir cemas bercampur jadi satu. Apalagi saat melihat wajah Mia yang terlihat layu."Tak terlalu sakit, Mas. Semoga besok pagi operasinya lancar ya." Suara Mia terdengar lemas. Yusuf mengecup kembali kening Mia. "Sayang, tentu saja saya do'akan semoga operasinya lancar. Kamu dan bayi kita selamat. Kamu harus semangat dan kuat, karena ini adalah impian kita berdua," ia menyemangati."Iya, Mas. Saya akan berjuang. Saya akan semangat," balas Mia.Sejujurnya Yusuf tidak tega melihat Mia yang tiba-tiba meringgis kesakitan. Namun, jadwal caesar memang sudah ditentukan dan surat perjanjian sudah ditanda tangani. Ia tak tega melihat istrinya kesakitan. Andai tak malu dengan diri sendir
Yusuf dan Mia telah sampai di depan rumah sakit. Mereka langsung duduk di kursi tunggu karena nomor antrian telah diambilkan oleh anak buahnya.Yusuf mengusap perut Mia. Walau di depan banyak orang, Yusuf tak mau perduli. Rasa sayangnya pada Mia menutup matanya dari orang-orang yang ada di sekelilingnya."Nyonya Mia Lestari!"Saat namanya dipanggil, Mia dan Yusuf langsung berdiri. Dia segera masuk ke ruang Dokter kandungan.Setelah ditanya-tanya sebentar, Dokter langsung menyuruh Mia berbaring di atas bed pasien. Perut buncitnya dioleskan cairan dan alat USG langsung ditempelkan pada perut Mia.Bola mata Yusuf seketika berkaca-kaca melihat calon anaknya pada layar monitor."Selamat ya, Pak. Tuhan memberikan bayi kembar. Sepertinya jenis kelaminnya sepasang ni," kata Dokter sambil terus menempelkan alat USG di perut Mia. Sementara layar monitir menampilkan hasilnya."Apa! Kembar, Dok?" Yusuf terbelalak. Pun dengan Mia yang terkejut."Serius, Dok?" Timpal Mia. Mulutnya sedikit terbuka k
Pagi hari di cappadocia.Sinar matahari telah masuk menerobos jendela kamar. Keduanya masih asik dalam mimpi indah usai bergelut dalam permainan panas semalam.Mata Mia menyipit saat mulai membuka kelopak matanya. Ia sadar dari mimpi indah semalaman tadi. Ia terkejut saat sadar telah bangun keiangan."Ya ampun! Kesiangan!" Mia bangkit dari tempat tidur. Dia bahkan masih memakai lingerie berwarna silver sisa semalam. Ia menuju kamar mandi dan akan segera membersihkan tubuhnya.Perut mulusnya mulai terlihat membuncit. Mia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terlihat basah. Sepertinya harus segera dikeringkan. Melihat ke atas ranjang, Yusuf tampak masih terlelap dalam tidurnya. Cuaca dingin membuat suami Mia tampak nyaman di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya yang hanya memakai bokser saja."Sayang, jam berapa?" Suara serak pria yang masih terbaring di atas ranjang, tampak membuka sedikit kelopak matanya. Terlihat kelelahan."Sudah siang, Mas. Cepetan mandi. Katanya mau ng
Satu bulan kemudian."Mas, koper punya saya mana?" Mia mencari koper miliknya. Mereka kini dalam perjalanan menuju bandara. Perut Mia kali ini sudah terlihat menonjol ke depan. Semakin nampak kalau dia tengah hamil.Sejak satu minggu yang lalu semua telah dipersiapkan. Mulai dari tiket, paspor dan perlengkapan yang lainnya. Yusuf juga telah konsultasi ke Dokter kandungan Mia. Beruntung janin yang ada dalam perut Mia dalam keadaan sehat dan bisa diajak jalan-jalan ke luar negri."Sepertinya sudah dimasukan Ijah ke dalam bagasi," jawab Yusuf menerka saja. Padahal dia tak terlalu yakin. Ia mengusap kening mengiyakan saja dari pada salah. Maklum semenjak hamil, Mia jadi sering baperan dan Yusuf paham akan hal itu."Baguslah, Mas. Soalnya saya tak melihatnya tadi. Mungkin karena Ijah telah merapihkannya." Mia bergelayut manja di dada bidang milik suaminya. Sementara supir yang mengemudikan mobil tetap fokus ke jalan raya.Bersamaan dengan itu ponsel Mia nampak berdering ada panggilan masuk
Hampir satu jam Yusuf mengantri di cafe martabak itu. Dia memijat pelipis karena baru kali ini dia rasakan rasanya menunggu sungguh membosankan."Mas, apa masih lama?" Akhirnya memberanikan diri bertanya karena sudah merasa kesal."Sebentar lagi kok, Pak. Hanya tinggal satu orang lagi," jawab pelayan cafe dengan ramahnya."Oke baik." Yusuf memutuskan untuk menunggu lagi. Semua itu semata-mata demi sang istri tercinta yang tengah mengandung buah hatinya.Dengan tambahan waktu lima belas menit akhirnya dua dus martabak pesanan Mia telah selesai dibuat dan kini sudah berada dalam genggaman. Yusuf segera kembali ke rumah. Dia sudah tidak sabar ingin melihat senyuman istrinya malam ini. Apalagi imbalannya yang akan menengok dede bayi dalam kandungan, tentu saja semakin membuat dia semangat.Perjalanan malam ini sangat cepat karena suasana jalanan yang sepi Yusuf tiba di rumah lebih cepat. Ia segera masuk ke kamar menenteng dus martabak pesanan istrinya."Sayang, ini pesanan kamu." Yusuf me
Sampai satu hari berganti, keadaan Mia masih saja tetap sama. Tubuhnya lemas ia tak berdaya. Mual muntah. Setiap kali ada makanan yang masuk maka kembali ia muntahkan.Yusuf yang siaga, segera membawa istrinya ke Dokter. Ia tak akan membiarkan Mia kesakitan.Yusuf kini tengah memunggu di depan ruang pemeriksaan. Salah satu perawat memanggilnya atas perintah Dokter. Dia segera menghadap dan duduk di kursi yang berseberangan dengan Dokter."Selamat, Pak!" Dokter wanita berlesung pipit itu menyodorkan tangannya ke hadapan Yusuf. Yusuf mengernyitkan dahi saat Dokter yang telah memeriksa istrinya itu malah mengajak berjabat tangan."Selamat untuk apa, Dok?" Yusuf kemudian bertanya karena tak paham."Selamat karena Bu Mia positif hamil. Sebentar lagi Pak Yusuf akan jadi seorang Ayah," jelas wanita berjas putih itu.Tentu saja Yusuf menyeringai senang mendengar berita yang baru saja di dengarnya."Apa!" Yusuf langsung beranjak menghampiri Mia yang duduk di atas ranjang rumah sakit usai dipe