Aku membeliak. Sedikit terkejut. "Bunga! Apa yang Pak Reyno maksud bunga mawar yang ini?" Aku mengangkat tiga tangkai bunga dalam genggamanku.Reyno mengangguk senang. Garis senyuman nampak jelas di bibirnya."Ini dari, Pak Reyno?" Gegas aku bertanya dengan serius.Reyno pun mengangguk lagi dengan yakinnya. "Bunga mawar merah penyemangat di pagi hari," ucapnya.Ya ampun, untuk apa Pak Reyno mengirimkan bunga mawar merah segala? Aku sedikit menaikan kedua alisku. Sedikit merasa aneh. Selain martabak dan oleh-oleh cake, kali ini aku sedikit terkejut dengan kiriman bunga mawar merah dari Reyno."Mba Mia, suka tidak dengan bunganya?" Reyno bertanya lagi. Mungkin untuk memastikan.Kupaksakan mengukir senyuman. Aku menganggukan kepala. Jujur aku suka kok dengan mawa merah di tanganku ini. Aromanya wangi dan menyergarkan."Suka kok," jawabku.Aku lihat Reyno nampak menghela napas lega. Dia menyeringai senang mendengar jawabanku. Aku melihatnya sedikit aneh."Tapi, mohon maaf, Pak. Saya tidak
Aku berdiri dan belum sempat masuk atau pun membuka pintu. Aku merasa tercengang dengan pemandangan kali ini di depan rumah. Tampak bunga-bunga menghiasi arena rumahku. Entah perbuatan siapa ini, yang pasti aku sudah bisa menebak jawabannya.Reyno bampak mengatur napasnya. Terlihat seperti tegang dan gugup. Sementara aku, masih saja berdiri menunggu kata-kata apa yang akan dibicarakan Reyno saat ini."Mba Mia, sejak pertama bertemu saya sudah menyimpan rasa. Rasa ingin memiliki dan menyayangi." Reyno yang tiba-tiba mengejutkan. Padahal bicaranya cukup pelan."Apa maksudnya?" desisku bertanya aneh."Saya ingin menjadikan Mba Mia, istri saya. Maukah Mba Mia menjadi istri saya?"Tanpa basa-basi lagi, Reyno langsung mengutarakan isi hatinya. Membuatku terkesiap.Sungguh di luar dugaan. Drama macam apa lagi ini. Ungkapan Yusuf saja masih tanda tanya dan aku belum menemukan jawaban. Saat ini malah ditambah lagi dengan pertanyaan dari Reyno yang membuat kepala ini menggeleng karena tak bisa
Aku merasa kalau hari ini terasa membingungkan. Dua lelaki yang tak pernah kuduga, menyatakan cinta dalam waktu yang hampir bersamaan. Mereka adalah laki-laki yang baik dalam pandangan. Tapi tetap saja aku tak tahu isi hatinya seperti apa. Aku tak tahu kedepannya akan seperti apa. Aku tak tahu apakah kebaikannya akan tetap sama, atau malah berubah seiring berjalannya waktu nanti.Aku mencoba menenangkan diri. Menetralkan perasaan yang dibuat dilema. Aku berusaha menjalani hari-hari sebagai mana mestinya. Tak ada yang berubah dalam diriku. Baik kepada Fery atau pun kepada Yusuf, sikapku tetap sama dan tak membedakan satu sama lain.Setelan hari itu, setiap pagi hari aku selalu disambut oleh bunga mawar yang segar di depan rumah. Mawar merah tanpa pemilik yang hanya diletakan di atas meja dengan sebuah kertas bertuliskan penyemangat pagi dari Reyno. Semua itu berlangsung setiap hari.Bukan hanya itu, pekerjaanku dikantor pun serasa dipermudah oleh Yusuf. Dia yang masih dengan perhatiann
Bali yang indah dengan nuansa pantai yang tak ada duanya menjadi saksi bisu akan gejolak hati ini.Dua hari dua malam berada di kota yang indah itu, Yusuf semakin saja memperlihatkan perhatiannya kepadaku. Dari mulai perhatian yang paling kecil sampai perhatian yang besar membuat gejolak hati ini kian bertambah resah.Kebersamaan ini tak bisa dihentikan saat aku masih saja bersama Yusuf. Intensitas yang sering bertemu, yang sering bersama-sama membuat kami berdua semakin terhanyut dalam kenyamanan.Bukan hanya perhatian dalam segi tingkah laku yang Yusuf berikan, dalam segi pinansial jangan ditanya. Meski aku tak pernah berharap dibelikan barang-barang mewah, namun tetap saja Yusuf memberikannya. Seperti saat ini setelah pulang dari nusa dua Bali. Satu koper hanya dipenuhi oleh-oleh. Berkali-kali aku menolak pemberiannya, berkali-kali pula Yusuf memaksa dan tak diperbolehkan membantah.Sesampainya di rumah, aku sampai tak bisa mengerjakan pekerjaan apa-apa. Aku hanya duduk dengan dit
Hari ini memang tak jauh berbeda dengan hari-hari biasanya. Aku berangkat ke kantor. Pikiran mulai merasa tenang setelah mendapatkan masukan dari Siska semalam.Aku sudah berada di ruangan kantorku. Jam di dinding sudah menunjukan pukul sembilan pagi. Aku tak melihat tanda-tanda kedatangan Yusuf yang biasanya menyapaku.Tak terlihat wajah Yusuf yang biasanya tersenyum indah di depan ruanganku. Gegas aku bangkit dari tempat duduk. Merasa ada yang hilang di hari ini. Aku berjalan menuju ruangan Yusuf. Kuketuk pintu sebelum masuk. Di dalam ruangan terasa hening. Tak kudengar sahutan perintah apa pun dari dalam.Sempat kumelirik ponsel yang ada pada genggaman tanganku. Tak ada dering panggilan masuk atau pun pesan singkat yang biasa Yusuf kirimkan.Ada apa dengan Yusuf?Gegas kutarik handle pintu lalu masuk ke dalam ruangan yang mewah dan luas. Ruangan yang akhir-akhir ini sudah tak asing lagi bagiku. Ruangan yang sering aku masuki setelah menjadi asisten Yusuf.Ruangan ini tampak kosong.
Aku sedikit tercengang melihat keadaan Yusuf. Rasa khawatir di dalam dada ini terasa kian membara."Pak Yusuf!" Asisten rumah tangga Yusuf nampak menghampiri majikannya itu dengan segera. Ia menepuk-nepuk pipi Yusuf dengan pelan mungkin bertujuan membangunkannya. Tapi aku lihat Yusuf tak mau membuka kelopak matanya yang terlihat rapat tanpa menanggapi apa-apa.Aku segera mendekat kemudian bertanya, "Pak Yusuf, kenapa?" "Saya tidak tahu, Bu. Pak Yusuf tak bangun-bangun dari pagi." Asisten rumah tangga itu nampak menjawab dengan sendu. Sepertinya dia tengah menahan kesedihannya."Ya Tuhan. Bagaimana ini, Mba?" Aku turut cemas.Aku meletakan punggung tangan ini di atas kening Yusuf yang masih saja tertidur."Tapi suhu tubuhnya terasa biasa saja," ucapku setelah menyentuh kening Yusuf."Apa mungkin karena Pak Yusuf belum makan ya, Bu?" Wanita muda yang entah siapa namanya malah bertanya lagi kepadaku. Dia asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Yusuf, terlihat benar-benar cemas.Sama
"Pak Yusuf, maafkan saya. Bangunlah, Pak. Saya mohon. Saya tidak mau melihat Bapak seperti ini. Bangunlah, Pak. Saya tidak mau kehilangan, Bapak." Tak terasa ucapan itu keluar begitu saja dengan sendirinya dari mulut ini. Aku sampai tak kuasa menahan air mata yang terus saja mengalir di pipi. Aku tak dapat menahan kesedihan.Sepertinya aku sadar, lelaki yang terbaring lemas di depanku nyatanya telah membuat perasaan ini resah. Dia telah membuatku takut kehilangannya. Ya Tuhan, sepertinya memang ada perasaan lebih di dalam dada ini yang belum aku sadari."Bu Mia, sabar ya. Saya yakin Pak Yusuf akan sembuh lagi kok. Apalagi kalau sudah tahu dengan perasaan, Bu Mia. Pak Yusuf pasti sembuh." Asisten rumah tangga itu tampak menyeringai senang padahal Yusuf dalam keadaan kritis. Aku juga sudah tak melihat wajah Dokter yang tadi. Mungkin dia langsung pulang setelah memasang alat-alat medis pada tubuh Yusuf."Kok kamu bisa seyakin itu, Mba?" Aku bertanya pada asisten rumah tangga Yusuf. Aku m
"Kok kamu malah nangis lagi?" Yusuf menghapus air mata yang tak sengaja jatuh lagi di pipi."Saya kan sudah bilang, Pak. saya masih takut untuk melangkah lagi," jawabku dengan bibir gemetar. Aku seperti serba salah. Ada rasa cinta di dalam dada, tapi rasa takut menutupinya."Saya tidak memaksa kamu, Mia. Kita jalani hubungan ini dahulu. Saya akan tunggu sampai kamu siap." Yusuf berbicara dengan serius. Ia masih menggenggam tangan ini yang tak mampu aku lepaskan. Ada getaran yang bisa aku rasakan saat Yusuf menggenggam tanganku.Tiba-tiba aku mengangguk tanpa paksaan. Aku menganggukan kepala dengan sendirinya. Aku memang tak bisa menolak. Hati ini menegaskan kalau aku pun memiliki perasaan yang sama seperti Yusuf."Terima kasih, Mia. Terima kasih atas kesempatan dan kepercayaan yang kamu berikan," ucap Yusuf.Dia lebih mendekat ke arahku. Dia memelukku dengan penuh kehangatan. Membelai rambut ini penuh kasih sayang. Aku bisa merasakan cintanya yang begitu dalam, walau tetap saja rasa