SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 87Hatinya tercabik, harga dirinya terkoyak. Bagaimana tidak? Jika seorang suami sendiri yang merendahkan harga dirinya. Namun, lagi-lagi Arita tidak bisa berbuat apa pun. Ia hanya bisa pasrah atas nasib buruk yang menimpanya. ***"Kenalkan dia Trias istri baruku. Kami baru saja menikah sebulan yang lalu," ucap Rama pada Arita yang sedang melipat baju. Gerakan tangan wanita cantik itu terhenti di udara dan menatap sosok pria yang jarang pulang dan sering memukulinya itu dengan tatapan nanar. "I-istri, Mas?" tanya Arita memastikan. "Yah, dia adik madumu, aku harap kamu dan Trias akur karena Trias akan tinggal di rumah ini selama dua bulan. Aku diajak Ayah pergi ke kota sebelah untuk urusan pekerjaan. Aku harap kamu sama Trias yang akur. Aku tidak mau mendengar kamu menindas Trias. Dia adalah belahan jiwaku," ucap Rama dengan santainya. Bahkan, Rama sama sekali tidak melihat ke arah Arita. Ia justru membelai rambut Trias dan meletakkan anak rambut it
"Silahkan pergi kalau kamu mau tapi jangan salahkan aku kalau Ayah akan menagih hutang-hutang orang tuamu yang sudah tua renta itu," ucap Rama yang membuat gerakan tangan Arita yang mengemas pun terhenti seketika.Arita menatap Rama dengan tatapan yang kembali berkaca-kaca. Ia masih tidak habis pikir bagaimana dengan jalan pikiran suaminya itu. Rama menginginkan kebebasan. Dengan terang-terangan Rama mengatakan jika dirinya lebih mencintai istri barunya ketimbang sosok Arita yang sudah menemaninya terlebih dahulu. Bukankah ancamannya itu sebagai senjatanya untuk mencegah kepergian Arita? Begitulah isi batin perempuan yang saat ini kembali meneteskan air mata."Kamu masih mau pergi?" tanya Rama dengan nada angkuhnya. Sebab Rama yakin jika ancaman itu sudah keluar dari mulutnya, maka Arita akan kembali mengurungkan niatnya untuk pergi. Bukan hanya sekali atau dua kali Rama mengancam dengan hal seperti itu, dan ancaman itu selalu menggagalkan kepergian Arita."Mas, tidak berpikir kah ka
"Kamu apa-apaan sih, Mas?! Mbak Rita itu sedang hamil tua, dia sedang mengandung anakmu. Kenapa kamu memperlakukannya dengan begitu kasar?!" pekik Trias yang menunjukkan kepeduliannya pada kakak madunya itu. Kepala itu menggeleng-geleng. Benar-benar tak habis pikir dengan sikap sang suami."Sayang, udah jam segini dia belum bangun loh. Siapa yang nggak marah?! Padahal jelas-jelas sudah kukatakan jika pagi ini aku akan pergi," ucap Rama dengan nada suara yang terdengar begitu lembut. Pandangan Rama beralih pada Arita yang menyimpan rasa kesal dan dendam. Padahal baru kali ini Arita bangun kesiangan. Bukan tanpa sebab sebenarnya, sepanjang malam, sepasang mata itu selalu terjaga. Perempuan itu duduk meringkuk di atas ranjang sembari menyelami rasa sakit yang tiada terkira. Apalagi, kandungannya yang kian membesar, sering sekali ia merasakan kram di area perut jika pikiran Arita sedang merasa stress dan tertekan."Apa sudah kau siapkan pakaian yang aku bawa?!" Jika tadi Rama berucap den
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 90"Kamu sisihkan lalu kau taburkan racun? Kau mau membuatku dan anakku mati, lalu kau bisa menguasai Mas Rama sepenuhnya? Benar-benar licik dan picik!" hina Arita. Ia pun langsung berlalu pergi meninggalkan Trias yang saat ini semakin merasakan sesak yang tiada terkira."Bu beli sabun colek nya dong," ucap seorang pembeli pada Arita membuatnya tersentak. Arita tersadar dirinya melamun cukup lama akan masa lalunya. Masa lalu yang begitu menyesakkan dada. Masa lalu yang tidak akan pernah bisa hilang dari ingatannya. "Ah, iya, Bu, mau yang besar apa yang kecil?" tanya Arita pada si pembeli itu. "Yang kecil saja, Bu, sama kecapnya dua sachet. Terus masaki rasa sapi tiga bungkus. Garam nya satu," ucap si pembeli menyebutkan beberapa kebutuhan yang sekiranya habis di rumahnya. Kebetulan para ibu-ibu di wilayah itu memang kebanyakan ibu rumah tangga dan para suami mereka bekerja di pabrik yang tidak jauh dari tempat itu. "Ini, Bu, totalnya delapan ribu
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKBAB 91"Dih, lagian kapan aku kasih harapan sama situ? Situnya aja yang gak nyadari diri! Warisan gak seberapa dan anak banyak aja pake ngarep. Yang ada pusing nantinya rebutan warisan! Dah ah aku mau pergi! Engep liat muka situ gak ada cahaya kebahagiaan soalnya!" ketus Nora dan setelahnya ia pergi meninggalkan sekumpulan pemuda pemalas itu dengan gelak tawa mereka yang masih terdengar di telinga Nora. "Hahaha dasar si tonggos. Merayu cewek dapat kagak ditolak mah iya. Hahahahaha," ucap salah seorang teman pria tadi. Sontak saja semuanya kembali tergelak mendengar ucapan temannya itu. Namun, pria yang menggoda Nora tadi justru memanyunkan bibirnya yang membuatnya semakin terlihat monyong dan tonggos. Hahahaha. "Sialan! Awas ya lu pada! Gue gak mau lagi traktir lu minum kopi sama rokok!" sentak si pria itu dengan mata melotot dan air liurnya sedikit muncrat dari bibirnya membuat teman-temannya berusaha menghindari muncratan liurnya itu. "Ah gitu aja nga
"Hemmm, menarik juga Dirga ini. Sudah tampan, baik, royal, dan pastinya kaya. Boleh dong aku mengharapkannya," batin Nora sembari kedua sudut bibir itu ia tarik ke atas."Boleh aku duduk bersamamu?" "Oh, tentu boleh. Silahkan, silahkan," ucap Nora mempersilahkan sosok lelaki yang baru ia kenal beberapa detik yang lalu. "Terima kasih, cantik ...." Ucapan Dirga tentu saja membuat lawan jenis yang ada di depannya itu mengulum senyum. Dirga pun mendaratkan tubuhnya tepat di depan Nora. Hanya ada meja yang berukuran sedang lah yang menjadi jarak di antara mereka. Sejenak terjadi keheningan di antara mereka. Hingga akhirnya Dirga kembali mengeluarkan kalimat yang mampu memecah keheningan tersebut. "Kenapa makanannya dianggurin? Kamu nggak suka? Aku pesankan lagi ya?"Tangan Dira terangkat, sebagai tanda jika ia memanggil sang pelayan. Akan tetapi, ucapan Nora membuatnya mengurungkan niat saat ingin memanggil sang pelayan dengan bibirnya. "Nggak usah! Nggak usah! Ini aja. Aku suka kok,"
"Jujur ... aku tuh heran pada perempuan-perempuan yang memiliki gelar seorang istri yang sama sekali tak bisa merawat diri. Apalagi memiliki suami sepertimu. Padahal nih, di luar sana banyaaaakk sekali perempuan yang mampu memanjakan mata suaminya. Apa mereka tak ingin terlihat cantik dan paripurna di hadapan sang suami agar tidak bermain wanita di belakangnya?" Dirga yang mendengar kata demi kata hingga terangkai menjadi suatu kalimat itu pun hanya menganggukkan kepalanya. Membenarkan apa yang dikatakan oleh Nora. Entah yang dikatakannya tadi memang benar faktanya atau tidak, hanya Dirga lah yang mengetahuinya. "Ya, kamu benar. Aku setuju dengan pendapat kamu. Andai istriku memiliki cara berpikir seperti kamu, mungkin aku sangat bahagia dan merasa beruntung sekali. Jika istriku terlihat begitu membosankan dan tak menarik, salahkah jika aku mencari kesenangan di luar sana?" ucap Dirga memasang wajah sesedih mungkin. Andai saat ini Dirga berucap dengan orang normal, tentu ucapannya
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 94Seperti malam ini misalnya, David dan Nora tidur dengan saling memunggungi. Bedanya, David dengan dengkuran halus yang keluar dari mulutnya, sedangkan Nora masih terjaga dengan ponsel yang ada di tangannya.***Nora mengerjapkan matanya berkali-kali. Ia menggeliat saat merasakan tubuh bagian sensitifnya terasa geli. "Eumh." Nora melenguh saat sentuhan itu semakin kentara. Matanya pun membuka sempurna meski sejatinya ia masih terasa sangat mengantuk. Nora mengangkat sedikit kepalanya dan melihat apakah gerangan yang membuatnya merasakan geli. Ternyata itu adalah ulah dari David. Nora menghembuskan sedikit napas lantaran merasa tidurnya terganggu akibat ulah David. Padahal ia merasa baru saja memejamkan matanya. Sejatinya Nora pun menginginkannya secara Nora juga wanita dewasa dan pernah merasakan nikmatnya surga dunia. Namun, dia sudah terlanjur ada janji dengan Dirga untuk ketemuan di sebuah hotel di kota mereka. Untuk apa lagi? Tentu saja untuk