"Siap, Pa!" jawab Raya dan Nania lagi bebarengan. Bahkan kedua jempol milik sepasang ibu dan anak itu sama-sama terangkat dan mengarah ke arah Guntur. Raya dan Nania pun saling menatap, lalu pecahlah akhirnya tawa mereka.Setelah kepergian Guntur, Nania dan juga Raya bergegas menuju ke komplek di mana Arita tinggal. Setelah sebelumnya Arita menghubungi jasa alat berat untuk eksekusi nanti. Tentu saja mereka tidak mau gegabah karena takut nantinya akan jadi bumerang bagi mereka. "Ma, apa yakin kita mau melakukan ini?" tanya Raya pada Nania sebelum mobil yang mereka tumpangi beranjak. "Sangat yakin," ucap Nania mantap. "Kalau si nini-nini peot itu ngelaporin kita gimana secara dia yang punya surat tanahnya?" tanya Raya lagi. Meskipun tampak tenang di wajahnya tapi tetap tidak bisa dipubgkiri kalau Raya juga sedikit cemas akan hal itu. Sedikit banyaknya Raya juga mengerti soal hukum ia takut akan menjadi bumerang bagi dirinya dan sang mama. "Hahahaha," tawa Nania membahana mmbuat Ra
"Jdi rumah si pendukung zina itu mau dirobohkan ya, Pak?" tanya bu rt yang terjyata sejak tadi menguping pembicaraan sang suami dengan Nania dan raya. "Astaghfirullahaladzim, Bu, bikin kaget saja." Pak rt mengusap-usap dadanya lantaran terkejut dengan suara istrinya yang kinu tepat berada di sampingnya. "Hehehe, maaf, Pak, soalnya Ibu kepo sih." "Yah seperti yang Ibu dengar tadi. Mau dirobohkan katanya. Lagian itu memang hak mereka atas bangunan itu kan." "Iya, Pak, lagian biarin aja biar kapok. Ibunya merasa tertipu sama bentukannya si Arita terlihat alim dan paham agama rupanya topeng untuk menutupi kebusukannya ih amit-amit. Masa tahu anaknya zina sama istri adiknya dia diam saja. Kan sudah gak beres namanya. Ibu saja merasa tertipu apalagi mereka. Orang tua mana yang terima anaknya ditipu mentah-mentah begitu. Mana ternyata mereka pengeretan lagi hih amit-amit semoga kita besok gak punya besan yang begitu ya, Pak," cerocos istri pak rt panjang lebar. "Yah berdoa saja semoga a
Nania dan Raya hanya menonton pertunjukkan seru itu sembari mengunyah permen karet. Yah, selain Raya, ternyata Nania juga ikut-ikutan mengunyah permen karet karena ternyata dia ketagihan. "Ternyata enak ya mengunyah permen karet sambil menyaksikan pertunjukkan seru begini," seloroh Nania kepada Raya. "Enak dong, Mama sih telat taunya. Tapi hati-hati ntar tuh gigi copot lagi. Kan gak lucu kalau ada berita nanti begini misalnya. Diberitakan ada seorang Nenek yang copot giginya karena terlalu asyik mengunyah permen karet saat sedang menonton rumah besannya dihancurkan!" ucap Raya yang dibalas toyoran di kepala Raya oleh Nania. "Enak aja kalau ngomong. Nini-nini begini nih gigi masih ori tau, sekate-kate kalau cuap." "Hihihi, ya habis Mama suka banget ikut-ikutan gaya Raya. Raya masih muda sedang Mama sudah tuir," ucap Raya cekikikan. Kini suara cekikikan itu berubah menjadi kesakitan akibat telinganya dijewer oleh Nania. "Hayo berani ngeledekin Mama lagi? Tuh telinga putus nanti dua
"Seperti yang kamu lihat. Mama kan jagoan, kalau begini saja sih kecil," seloroh Nania sembari tersenyum pada Raya. Ia menyembunyikan rasa perih di kepalanya karena tidak mau membuat sang anak khawatir. Begitulah cinta kasih ibu kepada anak. Meski sang anak sudah berumah tangga dan sudah berusia dewasa tidak bisa menghilangkan rasa kasih dans sayangnya pda anak. Meskipun harus mempertaruhkan nyawanya sekalipun."Syukurlah kalau Mama baik-baik saja. Kita pulang aja yuk, Ma. Lihatlah, semakin ramai orang yang ada di sini," ucap Raya yang sebenarnya tak ingin ada lagi pertengkaran di antara mereka. Raya benar-benar khawatir terhadap sang Mama, meskipun Raya sendiri yakin kalau sang Mama bisa melindungi dirinya. "Kamu yakin mau pulang sekarang? Kamu nggak mau melihat rumah ini rata dengan tanah terlebih dahulu? Kamu nggak mau monster itu meluluhlantakkan bangunan ini agar rata dengan tanah, Raya?" Dengan cepat Raya menggelengkan kepalanya. "Baiklah, kita pulang sekarang," ucap Nania y
"Aku harus ke rumah Weni," lirih Arita setelah sedikit berhasil menenangkan gejolak batinnya. Bergegas Arita pun membawa tas miliknya yang berisi sisa uang pembayaran uang muka sewa pengacara, senilai dua juta dan ditambah uang pemberian dari Nania dua juta. Arita menghentikan laju taksi, bergegas ia masuk ke dalam mobil taksi setelah taksi itu berhenti. Arita pun menyebutkan salah satu alamat yang ditinggali oleh rekannya yang mengenalkan dirinya pada sang pengacara. Ya, Weni namanya. Perempuan yang masih terbilang muda, yang merupakan ketua arisan para ibu-ibu yang mengaku sosialita. Tak bisa dipungkiri, di sepanjang perjalanan, pikiran Arita terus merasa tak tenang. Sebab, di sepanjang perjalanan itu Arita terus berusaha menghubungi nomor sang pengacara. Akan tetapi, jangankan panggilan itu diangkat. Tersambung saja, tidak. Arita mencoba mengirimkan pesan untuk sang pengacara. [Selamat siang, Pak Hans. Apa kita bisa bertemu sekarang?] Begitulah bunyi pesan yang dikirimkan o
Pov David"Mas, jadi gimana dong. Masa kamu tega banget mau ninggalin aku begitu saja? Kan pacar kamu tuh aku. Seharusnya aku yang kamu nikahin dong, Mas!" ucap Nora yang terus saja terngiang-ngiang di telingaku. Aku tidak tega jika harus memutuskan hubunganku dengan Nora saat ibu memaksaku untuk menuruti keinginannya menikahi anak temannya. Aku sudah pernah melihatnya di foto. Cantik sih jauh lebih cantik daripada Nora. Hanya saja entah kenapa tidak ada getaran di hatiku untuknya. "Kamu sabar dulu dong, Sayang. Ya aku harus bagaimana lagi? Aku juga cinta dan sayang sama kamu. Aku juga maunya menikah denganmu tapi aku juga enggak bisa membantah Ibuku. Aku gak mau dicap anak durhaka karena aku juga sayang sama Ibuku." Aku mencoba menenangkan Nora yang terus saja memarahiku karena tidak setuju dengan berita yang kubawa untuknya yakni, perjodohanku dengan Raya. "Ya terus bagaimana lagi, Mas. Masa iya kamu mau mutusin hubungan ini begitu saja? Kamu tega banget, Mas. Aku ini sudah memb
Aku mulai melancarkan aksiku untuk berpura-pura sebagai sopir taksi online. Aku sudah merencanakan sebelumnya hal ini bersama ibi agar pertemuanku dengan Raya seperti tidak disengaja. Jadi, seolah-olah kebetulan yang sangat menyenangkan bagi Raya karena ternyata aku si pria kenalannya adalah calon yang dijodohkan oleh orang tua kami. ***"Saya terima nikah dan kawinnya Naraya Okta dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan perhiasan seberat lima gram emas dibayar tunai." Di sinilah aku sekarang sedang duduk berdampingan dengan Raya karena baru saja melakukan prosesi ijab kabul. Dapat kulihat binar bahagia di sorot mata Ibu dan juga wajahnya. Namun, saat aku melihat Nora hatiku menjadi tidak tega sebab aku dapat melihat matanya yang sembab karena air mata. Jelas saja dia menangis sebab menyaksikan kekasih pujaan hatinya menikah dengan orang lain. Kalau aku pun pasti juga akan sedih saat melihat kekasih hatiku bersanding dengan orang lain. Setengah hati juga aku menjalankan proses
"Maafkan aku ya Joni, kali ini harimu akan terasa panas. Tapi aku minta tolong padamu bertahan ya. Karena hanya kamu satu-satunya harta berharga yang aku miliki," ucapku dalam hati sembari memegang si joni alias gulingku.Aku mulai melakukan apa yang mereka perintahkan. Sebenarnya ada rasa malu saat melakukan hal seperti ini di depan mereka, akan tetapi rasa malu itu terkalahkan oleh rasa panas yang menjalar di gulingku itu. Memang, mereka benar-benar tak memiliki perasaan sama sekali, sebab saat aku meringis menahan rasa panas dan perih yang luar biasa, mereka malah tergelak tawa. Mungkin mereka pikir aksiku kali ini sebuah tontonan yang mereka anggap sebagai lelucon. "Kasih yang banyak, biar nggak masuk angin lagi," celetuk salah satu dari mereka yang disambut dengan gelak tawa lainnya. "Ha ha ha, benar katamu. Biasanya tiap hari celup sana celup sini kayak teh yang membutuhkan kehangatan. Dan sekarang dia kedinginan!""Iya. Karena kedinginan jadinya masuk angin." Gelak tawa kem