Pov David"Mas, jadi gimana dong. Masa kamu tega banget mau ninggalin aku begitu saja? Kan pacar kamu tuh aku. Seharusnya aku yang kamu nikahin dong, Mas!" ucap Nora yang terus saja terngiang-ngiang di telingaku. Aku tidak tega jika harus memutuskan hubunganku dengan Nora saat ibu memaksaku untuk menuruti keinginannya menikahi anak temannya. Aku sudah pernah melihatnya di foto. Cantik sih jauh lebih cantik daripada Nora. Hanya saja entah kenapa tidak ada getaran di hatiku untuknya. "Kamu sabar dulu dong, Sayang. Ya aku harus bagaimana lagi? Aku juga cinta dan sayang sama kamu. Aku juga maunya menikah denganmu tapi aku juga enggak bisa membantah Ibuku. Aku gak mau dicap anak durhaka karena aku juga sayang sama Ibuku." Aku mencoba menenangkan Nora yang terus saja memarahiku karena tidak setuju dengan berita yang kubawa untuknya yakni, perjodohanku dengan Raya. "Ya terus bagaimana lagi, Mas. Masa iya kamu mau mutusin hubungan ini begitu saja? Kamu tega banget, Mas. Aku ini sudah memb
Aku mulai melancarkan aksiku untuk berpura-pura sebagai sopir taksi online. Aku sudah merencanakan sebelumnya hal ini bersama ibi agar pertemuanku dengan Raya seperti tidak disengaja. Jadi, seolah-olah kebetulan yang sangat menyenangkan bagi Raya karena ternyata aku si pria kenalannya adalah calon yang dijodohkan oleh orang tua kami. ***"Saya terima nikah dan kawinnya Naraya Okta dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan perhiasan seberat lima gram emas dibayar tunai." Di sinilah aku sekarang sedang duduk berdampingan dengan Raya karena baru saja melakukan prosesi ijab kabul. Dapat kulihat binar bahagia di sorot mata Ibu dan juga wajahnya. Namun, saat aku melihat Nora hatiku menjadi tidak tega sebab aku dapat melihat matanya yang sembab karena air mata. Jelas saja dia menangis sebab menyaksikan kekasih pujaan hatinya menikah dengan orang lain. Kalau aku pun pasti juga akan sedih saat melihat kekasih hatiku bersanding dengan orang lain. Setengah hati juga aku menjalankan proses
"Maafkan aku ya Joni, kali ini harimu akan terasa panas. Tapi aku minta tolong padamu bertahan ya. Karena hanya kamu satu-satunya harta berharga yang aku miliki," ucapku dalam hati sembari memegang si joni alias gulingku.Aku mulai melakukan apa yang mereka perintahkan. Sebenarnya ada rasa malu saat melakukan hal seperti ini di depan mereka, akan tetapi rasa malu itu terkalahkan oleh rasa panas yang menjalar di gulingku itu. Memang, mereka benar-benar tak memiliki perasaan sama sekali, sebab saat aku meringis menahan rasa panas dan perih yang luar biasa, mereka malah tergelak tawa. Mungkin mereka pikir aksiku kali ini sebuah tontonan yang mereka anggap sebagai lelucon. "Kasih yang banyak, biar nggak masuk angin lagi," celetuk salah satu dari mereka yang disambut dengan gelak tawa lainnya. "Ha ha ha, benar katamu. Biasanya tiap hari celup sana celup sini kayak teh yang membutuhkan kehangatan. Dan sekarang dia kedinginan!""Iya. Karena kedinginan jadinya masuk angin." Gelak tawa kem
"Kenapa, Nak?" Ibu menyela saat aku sengaja menghentikan ucapanku. Ada rasa ragu untuk mengungkapkan hal ini, sebab aku bisa melihat dengan jelas kedua netra itu sudah mulai berkaca-kaca. Cairan bening menggenang di kedua mata itu. "Parahnya ... mereka menyuruh David memberikan balsem pada senjata David, Bu," aduku lagi yang membuat ibu terkejut. Terbukti kedua bola mata itu melotot dengan sempurna. "Siapa yang menyuruhmu melakukan hal gila itu? Siapa yang menyuruhmu memijit dan mengerjaimu seperti itu? Apa para polisi dan sipir?" Ibu berucap dengan nada yang mulai meninggi, tentu Ibu tak terima jika anak kesayangannya diperlakukan dengan cara yang seperti itu. "Bukan, Bu. Para tahanan yang terlebih dahulu yang tinggal di sini," ucap yang membuat ibu menghembuskan napas berat. "Bu, apa Ibu sudah mendapatkan pengacara untuk membebaskan David? Bagaimana kata pengacara, Bu? Segera beritahu pengacara itu, Bu, agar David lekas bebas dari sini. David sudah benar-benar tak betah di sini,
Lihatlah, setelah keluar dari sini, akan kubuat perhitungan denganmu, Kevin. Berani sekali kau tinggalkan aku dan Ibu yang saat ini dalam keadaan terpuruk.***Pov Nora"Hei kamu! Cepat bersihkan ini sekarang!" ucap seorang teman satu selku bernama Mimi. Dia adalah narapidana yang menjadi ketua di dalam sel tahanan yang aku tempati. Hah, ingin rasanya aku meneriakinya kalau aku ini sudah sangat lelah. Selalu saja seperti itu, setiap ada pekerjaan kerja bakti pasti dia selalu memintaku untuk mengerjakan pekerjaannya juga. Bahkan, terkadang juga anak buahnya yang juga satu sel denganku pun turut mengerjaiku. Huh kesal, kesal, kesal! Ini semua salah si Raya. Gara-gara dia hidupku jadi begini. Ditambah lagi waktu awal-awal aku masuk ke dalam sel ini aku menjadi bulan-bulanan samsak tinju oleh mereka. Mereka mengatakan sangat membenci pelakor. Dih, padahal kan si Raya yang pelakor aku ini hanya mengambil hakku saja yakni mas David. Gara-gara Raya hadir di tengah-tengah hubunganku dengan
"Huek! Huek!" Aku mengeluarkan semua isi dalam perut sehingga membuat tubuhku terasa sangat lemas dan pandanganku berkunang-kunang lantas terlihat gelap. Namun, sebelum itu aku masih bisa mendengar Mimi yang mengejekku. "Hah, dasar pelakor lemah! Begini saja sudah pingsan! Memangnya enak Gue kerjain!" ****Aku terbangun dari pingsanku saat ada salah satu senior mengguyurkan air tepat di wajahku. Saat kedua mata ini sudah terbuka, aku mendapati ember besar ada di tangan Mbak Mimi, mungkin dia lah tersangkanya. Benar-benar tak punya hati sama sekali. Dia yang membuatku pingsan, dan dia membangunkanku dengan cara yang seperti ini.Rasanya kali ini aku benar-benar begitu tersiksa. Takdir ini begitu buruk sekali. Sial, sial, dan sial!Semua ini gara-gara Mbak Raya! Andai perempuan itu sedikit saja memiliki hati, pasti semua itu tak akan terjadi. Seharusnya, perempuan itu sadar diri dong, dia yang menjadi orang ketiga dalam hubunganku dengan Mas David, eh, malah dia yang seolah-olah be
POV KevinAku benar-benar muak dengan perlakuan ibu yang selalu ingin seenaknya sendiri saja. Sampai-sampai saat mbak Raya juga tante Nania ingin mengambil hak mereka justru ibu bertindak seenaknya dengan ingin menjual barang milik mbak Raya itu. Saat aku membela mbak Raya juga tante Nania, justru caci maki makin keluar dari mulut pedas ibu. Mengatakan aku anak pelacur dan menyesal telah merawatku. Sungguh aku sudah tidak tahan lagi dengan semua tekanan yang kudapat dari ibu. Meskipun ibu memang berjsa besar dalam membesarkanku tapi apakah dia tidak bisa jika sedikit saja menghargai perasaanku? Kurasa tidak. Jangankan menghargai perasaanku, bahkan melihatku saja ibu seperti jijik. Beliau memang benar-benar terpaksa merawatku, entah karena apa aku pun tidak tahu.Andai aku bisa memilih dan meminta, biarkan ibu menitipkanku di panti asuhan saja. Atau bisa membuangku di tumpukan sampah yang jika ada keberuntungan, akan diambil dan dirawat oleh orang lain, daripada dirawat oleh Ibu tapi
"Maaf, Pak, ada apa ya Bapak memanggil saya?" Pak Rahmad pun meraih sebuah amplop besar berwarna coklat dari meja lalu diarahkan padaku. "Buka dan bacalah ...." Aku mengambil amplop itu dan membukanya. Dadaku semakin berdegup kencang karena sejujurnya aku takut jika sumpah ibu terhadapku menjadi kenyataan. Dahiku berkerut saat mendapati sebuah surat di dalam amplop tersebut. Aku pun membuka dan membaca kalimatnya satu persatu. Mataku terbelalak seakan tak percaya dengan apa yang kubaca kali ini. Tidak-tidak aku sepertinya sedang bermimpi, aku mencubit lenganku sedikit kencang sehingga membuatku meringis karena ternyata terasa sakit. Itu artinya aku tidak sedang bermimpi. "Pak?" tanyaku meminta penjelasan pada pak Rahmad. Pak Rahmad yang seolah-olah mengerti dengan maksudku pun membuka suaranya kembali. "Ya, seperti yang kamu lihat dan baca sendiri itu memang benar." "I-ini serius, Pak? Tidak bercanda kan?" "Apa wajah saya terlihat sedang bercanda? Apa yang membuatmu tidak yakin