"Maaf, Pak, ada apa ya Bapak memanggil saya?" Pak Rahmad pun meraih sebuah amplop besar berwarna coklat dari meja lalu diarahkan padaku. "Buka dan bacalah ...." Aku mengambil amplop itu dan membukanya. Dadaku semakin berdegup kencang karena sejujurnya aku takut jika sumpah ibu terhadapku menjadi kenyataan. Dahiku berkerut saat mendapati sebuah surat di dalam amplop tersebut. Aku pun membuka dan membaca kalimatnya satu persatu. Mataku terbelalak seakan tak percaya dengan apa yang kubaca kali ini. Tidak-tidak aku sepertinya sedang bermimpi, aku mencubit lenganku sedikit kencang sehingga membuatku meringis karena ternyata terasa sakit. Itu artinya aku tidak sedang bermimpi. "Pak?" tanyaku meminta penjelasan pada pak Rahmad. Pak Rahmad yang seolah-olah mengerti dengan maksudku pun membuka suaranya kembali. "Ya, seperti yang kamu lihat dan baca sendiri itu memang benar." "I-ini serius, Pak? Tidak bercanda kan?" "Apa wajah saya terlihat sedang bercanda? Apa yang membuatmu tidak yakin
Pov authorSiang ini Raya juga Nania sedang menikmati makan siang di salah satu restoran seafood yang ada di kota mereka. Raya memesan ikan gurame bakar serta cumi saus tiram dan Nania memesan udang goreng tepung juga tom yam seafood. Mereka lagi-lagi hanya berdua saja sebab sang papa tengah sibuk dengan urusan pekerjaan yang tentunya tidak bisa ditinggal. "Raya, gimana perkembangan perceraian kamu dengan David? Sudah sampai di mana?" tanya Nania pada Raya yang sedang memakan ikan gurame bakarnya dengan tangan dan mencocolnya dengan sambal kecap kesukaannya. "Katanya sih sudah tinggal satu kali sidang lagi sudah langsung keputusan hakim, Ma, kenapa memangnya?" tanya Rata masih dengan mengunyah makanan miliknya. "Ya enggak, Mama sudah gak sabar aja lihat kamu cepetan pisah sama laki-laki sialan itu. Memangnya kamu gak mau cari penggantinya David apa?" tanya Nania yang membuat gerakan tangan Raya berhenti. "Pengganti, Ma? Mama nih ada-ada saja. Cerai saja belum resmi kok sudah mikir
"Bunda! Aku kangen sama Bunda! Bunda janji jangan tinggalin aku lagi ya," pekik Cahaya sembari menghambur ke dalam pelukan Raya.Aku pun membalas pelukan dari gadis kecil itu. Mengusap punggungnya lalu mencium pucuk kepalanya saat pelukan tangan mungil itu semakin terasa mengerat.Ada yang bergetar di dalam sini saat ada seseorang memanggilku dengan sebutan Bunda. Apalagi pelukan dari sepasang tangan mungil itu menambah getaran menjadi luar biasa terasanya. Entah kali ini aku harus bersedih atau bersyukur karena dari pernikahanku Tuhan belum menitipkan Amanah-Nya. Sekarang aku percaya, rencana Tuhan itu pastilah yang terbaik. Andai kata dari pernikahanku dengan Mas David sudah diberikan momongan, aku akan berpikir seribu kali untuk berpisah dengan lelaki itu. Dengan belum adanya momongan, tidak begitu rumit untuk menimbang-nimbang keputusan apa yang kuambil. Aku menghela napas dalam-dalam. Aku menatap Ravi, terlihat lelaki itu menatapku dengan tatapan yang begitu sayu.Ravi pun men
Aku pun memindahkan tubuh mungil itu ke pangkuan sang ayah. Sejenak tubuh bergaun merah maroon itu menggeliat lalu tenang kembali. "Aku pamit dulu ya. Sekali lagi terima kasih atas bantuannya dan maaf untuk kejadian hari ini." "Iya. Sama-sama." Ravi pun bangkit dari tempat duduknya. Baru saja beranjak– belum sampai ia melangkah– tiba-tiba suara jeritan itu terdengar. "Bunda! Bunda!" Tubuh mungil itu merosot dari gendongan sang Ayah. "Kita pulang ya, Sayang." Ravi membujuk sang putri saat tubuh putrinya itu meronta dan sepertinya ingin kembali ke pangkuanku. "Iya, Ayah. Tapi kita pulang sama Bunda." "Lepas, Ayah!" Cahaya pun terus menepis kedua tangan Ravi, lalu ia pun melangkah ke arahku. "Bunda ayo pulang bareng Ayah." ****Pov Arita**Setelah kepulanganku dari kantor polisi, aku pun berjalan menyusuri jalanan beraspal hitam ini. Bayangan wajah penuh kekecewaan dan kemarahan anak lelaki kesayanganku itu terus berkelebatan di pelupuk mataku yang mengiringi langkah kakiku.
Kali ini aku hanya meletakkan barang-barang pribadiku di dalam kontrakan, lantas aku pun pergi ke konter dengan menaiki ojek yang sama. Ada sedikit rasa lega saat menerima uang penjualan ponselku, setidaknya kebutuhanku akan tercukupi meskipun aku harus melepaskan benda penting yang sebenarnya tak bisa lepas dari tanganku. Ponsel.Aku mendaratkan tubuhku di atas karpet tipis yang kubeli dengan harga tiga puluh ribuan di pasar. Sangat keras tidak seempuk sofa milikku dulu sebelum diambil Nania sialan itu. Ah, mengingat itu semua hatiku jadi sakit, hidupku jadi begini gara-gara si Nania sama Raya. Menyesal sekali rasanya dulu aku menuruti keinginan David yang konyol. Seandainya saja aku tidak mengijinkan David melakukan itu dengan NoraSeandainya saja aku tidak menikahkan Nora dengan KevinSeandainya saja aku dapat berpikir panjang kalau inilah resiko yang harus aku tanggung akibat perbuatan mereka. Pastilah aku tidak akan menderita seperti sekarang ini. Bahkan, hidupku jauh lebih ba
"Ya mana tau aja nanti habis cerai langsung nikah lagi eh gak taunya sebulan kemudian langsung isi. Kan siapa yang tahu," jawab mama di telingaku juga. Duh ingin sekali rasanya aku mencubit ginjal nenek tua in kalau dia bukan mamaku, ups. Dasar memang aku si anak durhaka. Maafkan aku wahai nenek kebayan. Nah lho, kok jadi nenek kebayan, hihihi maaf karena aku ingatnya si upin ipin ini kalau nenek kebayan suka sama anak kecil. "Ekhem, hem, khem eeekhem." Baru saja aku akan membalas ucapan mama, Ravi berdehem. Aku sontak menoleh ke arah Ravi dengan mengerutkan dahi. "Kamu kenapa? Keselek biji toge?" "Ah bukan, ini keselek biji terong." Hampir saja aku tergelak kalau tidak mengingat aku harus menjaga keanggunan dan keeleganan diriku di depan Ravi. Aku tidak mau memperlihatkan kebarbaranku sehingga membuat Ravi akan memanggilky dengan panggilan lain yang lebih menggelikan dari aya-aya wae seperti yang biasa ia sematkan padaku. "Yaudah sana, udah sore juga. Mama langsung balik. Tapi
Akan tetapi, tiba-tiba saja sebuah suara membuatku ingin menghilang dari muka bumi ini karena teramat malu. Wajahku memanas, mungkin kalau dikasih termometer sudah mencapai angka 90° celcius. "Dipuas-puasin dulu memandangiku. Karena sangat langka kan melihat aku tersenyum seperti tadi? Tapi kalau khusus kamu aku mau kok berikan sejuta senyuman untukmu." Air mana air, tolong Tuhan, ingin sekali rasanya aku enyah dari muka bumi ini sekarang juga. "Apaan sih, kepedean sekali anda ini tuan Ravi yang terhormat. Sejak kapan anda menjadi tampan?" sahutku sedikit ketus. Namun, Ravi justru tersenyum mendengar jawabanku. "Dasar biang es yang aneh," gumamku lirih. "Apa kamu bilang? Biang es? Siapa?" "Ah itu tadi ya tukang es tung-tung lah si biang es. Memangnya siapa lagi? Udah ah kapan jalannya ini dari tadi diam di tempat." Pletak. Aku meringis saat tangan kekar Ravi menyentil keningku. Sontak saja aku melotot sembari berkacak pinggang menatap ke arah Ravi. "Apaan sih! Dikira enggak s
Mataku terbelalak melihat sesosok itu. "Ibu?!" Mau apa dia ke rumah mama? Apa mau ngerusuh lagi? Aku harus secepatnya kasih tau mama. Aku mengambil ponselku di dalam tas, kucari nomor ponsel mama dan setelah ketemu aku pun menekan nomor tersebut hingga terdengar bunyi dering dari seberang sana. "Halo, Ray, ada apa?" tanya mama saat telepon baru saja tersambung. "Mama di mana?" tanyaku yang masih duduk di dalam taksi. "Mama di rumahlah, kenapa memangnya?" "Ma, ini Raya ada di depan rumah." "Terus? Ya kan biasanya langsung masuk. Kenapa sih? Kok aneh kamu?" "Itu di depan rumah ada Ibunya Mas David." "Apa!?" pekik mama sampai membuatku harus menjauhkan ponsel dari telingaku karena suaranya cukup membuat telingaku sakit. "Mau ngapain dia ke sini?" tanya mama lagi. "Ya Raya juga gak tahu, Ma. Raya juga baru saja sampai ini baru mau turun eh liat tuh orang berhenti di depan rumah pake ojek kayaknya. Kira-kira mau apa dia ya?" tanyaku balik. "Oh ya, Mama ingat. Mungkin dia mau am