"Nih ambil buat biaya pengobatan tuh c*ngormu yang bau!" Mama melempar tiga lembar uang berwarna merah di wajah tante Arita. Mungkin kalau yang tidak tahu permasalahannya akan menilai mama ini adalah orang yang sombong sebab sudah memperlakukan tante Arita seperti itu. Akan tetapi, karena aku tahu masalahnya dan aku tahu seperti apa tante Arita maka aku bilang apa yang mama lakukan adalah wajar. Masih bagus mama masih mau memberi biaya pengobatan untuk bibir tante Arita yang sebenarnya tidak seberapa parah. "Sudah sana! Mau apa lagi di sini! Yang kamu inginkan kan sudah dapat!" sentak mama karena melihat tante Arita yang tak kunjung pergi. "Uang segini mana cukup buat ke rumah sakit Nania?" "Cukup kalau cuma buat beli betadine. Kamu kira aku panti sosial seenaknya kamu mintain duit. Udah bagus aku masih mau kasih! Sudah sana pergi! Muak aku melihatmu lama-lama!" usir mama lagi."Awas kamu Nania! Kalau nanti David sudah keluar akan aku minta dia buat balas perlakuan dan penghinaan
Keduanya pun saling berjabat tangan dan ada sebersit rasa kekaguman di hati keduanya tanpa mereka sadari. "Ehm ...." Amanda pun berdehem karena tangannya tak kunjung dilepaskan oleh Kevin. Kevin pun lantas mengerjapkan kedua matanya beberapa kali lalu melepaskan tangan perempuan cantik itu. "Eh, maaf." Dengan gugup Kevin berucap. "Ya sudah, saya pergi dulu," pamit Kevin. "Baik, Mas." Kevin pun lantas melanjutkan langkahnya menuju ke ruangan Pak Rahmat. Di sepanjang langkah kakinya, bayangan wajah cantik itu terus berkelebatan di pelupuk matanya. Hingga tanpa sadar kedua sudut bibir Kevin tertarik ke atas hingga menciptakan suatu lengkungan sebuah senyuman. Senyuman yang sudah begitu lama sekali tak terlihat pada bibir lelaki itu. Kevin pun lantas memukul-mukul pelan kepalanya saat ia merasa dirinya sedang baik-baik saja. "Ingat, Kevin, Nora saja belum kamu ceraikan, masa kamu sudah memikirkan perempuan lain," gerutu Kevin dengan derap langkah yang semakin dipercepat. Ya,
"Begini Mbak Laila, kedatangan saya kemari ingin menawarkan sebidang tanah milik saya," ucap Arita ke pokok permasalahan. "Tanah yang mana, Mbak? Bekas bangunan rumah itu kah?" tanya Laila."Iya, Mbak. Saya ingin menjual tanah itu. Kalau Mbak Laila ingin membelinya, ini ada sertifikatnya." Arita pun lantas membuka tas miliknya lalu mengeluarkan benda berharga itu. Diulurkannya sertifikat itu ke arah Laila yang duduk di seberangnya. Ada perasaan ragu saat Laila ingin menerima sertifikat tersebut. "Mbak Laila tenang saja. Itu murni tanah milik saya. Tak akan ada masalah di kemudian hari," ucap Arita yang seolah-olah tahu akan kegundahan lawan bicaranya. Laila pun lantas menganggukkan kepala lalu menerima sertifikat tersebut. Dibukanya lembaran itu, memastikan siapa pemilik dari sebidang tanah yang berukuran seratus meter tersebut. Setelah dirasa cukup membacanya, Laila pun lantas menutupnya. Pandangannya kembali tertuju pada wajah yang terlihat begitu lelah itu. "Besar harapan sa
Kevin menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya menerawang memikirkan nasib rumah tangganya bersama Nora. tidak bisa dipungkiri ada yang terasa nyeri di dalam sudut hati Kevin mengingat dia sudah mempermainkan ikatan suci pernikahan. Padah Kevin sudah berjanji dengan Tuhannya kalau dia sudah menerima Nora sebagai istrinya. Akan tetapi, ucapan demi ucapan juga desakan dari sang ibu lah yang membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Sehingga menyetujui melakukan ide gila dari kakak tirinya itu. "Sepertinya besok aku harus pulang dulu dan menemui Nora ke penjara. Aku harus mengucapkan kata talak untuknya karena hingga detik ini dia masih sah sebagai istriku. Aku sudah gak tahan lagi ingin bebas dari semua ini. Maafkan aku, Ibu, bukan maksudku durhaka dan tidak tau terimakasih padamu. Aku juga manusia biasa yang punya batas sabar dan titik lelah. Semoga kelak Ibu akan menyadari semua kesalahan Ibu," gumam Kevin dalam hatinya. Kevin pun akhirnya terlelap karena hari sudah kian larut dan ma
Detik, menit, jam, hari dan minggu pun berganti, akhirnya Arita berhasil menjual tanahnya kepada bu Laila dengan harga 160 juta rupiah. Yah, lebih mahal sedikit dari yang Arita perkirakan. Bu Laila pu memang berniat membantu Arita karena ia merasa iba dengan wanita tua itu di usia senjanya justru pontang-panting dengan masalah yang datang bertubi-tubi. Arita menggunakan uang tersebut untuk membeli sebidang tanah hanya seluas 60 meter persegi saja. Dan dengan sebuah bangunan berbahan papan di atas tanah itu yang hanya memiliki dua kamar, satu ruang tamu dan satu kamar mandi saja. Sangat sederhana sekali bukan? Arita membelinya dengan harga delapan puluh juta rupiah. Cukup murah karena lokasinya pun cukup jauh dari pusat kota. Bisa memakan waktu kurang lebih tiga puluh menit kalau ditempuh menggunakan kendaraan bermotor. Sebenarnya Arita terpaksa membeli rumah itu karena lebih mirip dengan kandang burung menurutnya. Akan tetapi, Arita tidak lagi punya pilihan, uang itu harus cukup unt
Pov ini diambil saat Kevin baru pulang dari menjenguk Nora. Jadi, saat pov Kevin, Nora dan David belum keluar dari penjara. Pov Kevin**Aku keluar dari kantor polisi dengan perasaan yang ... entah. Aku tak tahu, haruskah aku bahagia atas perceraian ini? Entahlah ....Meskipun tak ada rasa cinta untuk Nora, akan tetapi yang namanya perpisahan selalu menyesakkan di dalam dada. Berkali-kali aku menghela napas dalam-dalam dan kukeluarkan secara perlahan sebelum aku mulai menyalakan mesin mobil. Sejenak aku menyandarkan tubuhku di sandaran kursi sembari memejamkan kedua netraku. Setelah rasa sesak sudah sedikit berkurang, aku pun mulai memutar anak kunci, hingga sepersekian detik kemudian suara mesin mulai terdengar. Lantas, aku pun langsung melajukan kendaraan roda empat ini keluar dari halaman kantor polisi.Kali ini tempat yang akan kutuju adalah kediaman ibu. Entah kenapa, ibu yang beberapa hari ini tak bisa kuhubungi sedikit mengganggu pikiranku. Tak butuh waktu lama untuk samp
Pov Author. Hari terus berganti dengan hari. David mendapatkan kabar jika hari ini adalah sidang kedua dari kasus perceraiannya. "Kamu sudah siap, Sayang?" tanya Nora pada David yang saat ini sedang mengenakan jaket ke tubuhnya. "Sudah.""Pokok nanti kamu harus mendapatkan harta gono-gini dari Mbak Raya, Mas!" ketus Nora. "Iya, Sayang. Kamu tenang saja. Mas akan mendapatkan sesuatu yang memang menjadi milikku," ucap David dengan percaya dirinya. Nora pun tersenyum. Bayangan saat ia akan kembali hidup dengan dipenuhi oleh gelimangan harta terlintas di dalam benaknya. Rasanya ia sudah muak hidup seperti ini walau baru hitungan hari. Nora sudah merindukan kegiatannya di masa lalu. Bertemu dan menghabiskan waktu dengan teman-temannya di cafe, berbelanja dan perawatan di salon termahal. "Yuk kita berangkat," ajak David sembari merangkul Nora. Nora dan David pun lantas keluar dari kamar yang hanya ditutupi oleh tirai. Lantas mereka pun langsung menghampiri sang ibu yang sedang melaya
"Gimana mau ajukan banding? Kita nggak ada uang. Gimana bayar sewa pengacara? Kalau kita nggak sewa pengacara, ya sama saja hasilnya. Zonk!" ucap David. "Yaudah, suruh ibumu jual rumah itu, nanti kita gunakan uang itu buat bayar pengacara. Sementara kan kita bisa kontrak dulu sambil menunggu kamu dapat harta gono-gini." "Tapi aku gak yakin Ibu bakalan mau, secara hanya tinggal itu yang Ibu miliki. Iya kalau kita dapat harta gono-gininya, kalau enggak gimana?" "Duh, percaya deh Mas sama aku. Pasti kamu akan dapat. Nih ya, ibarat kamu buang uang lima sampai sepuluh juta buat bayar pengacara, nah nanti kamu dapatnya lebih besar dari itu. Hitung saja hasil dari cafe sama butik si Raya berapa. Dikali selama setahun kalian menikah. Sudah berapa uangnya? Gede, Mas, untung besar kamu," ucap Nora menggebu-gebu dengan pandangan mata yang berbinar. David yang awalnya ragu jadi mulai percaya pada Nora. Pikiran David masa iya sih Nora itu mau bohongin dia? Kan gak mungkin. Toh Nora juga yang a