"Ayolah, Bu, aku berani jamin kalau ini akan berhasil. Aku menikah dengan Raya kan setahun. Dari cafe dan butiknya kan menghasilkan nah itu juga ada hak aku dong secara kita sudah suami istri kala itu." "Ck, di mana otak kamu itu David! Kalau Ibu yang bicara begitu mungkin wajar karena Ibu tidak sekolah. Tapi kamu? Kamu sarjana masa hal begitu saja tidak mengerti? Siapa yang mengajarimu begitu? Pasti si Norak itu kan?" "Norak? Norak siapa?" "Ya Nora istri baru kamulah, siapa lagi!" "Ck, ya kan benar apa yang dia bilang kalau aku juga berhak pendapatan Raya selama aku menikah dengannya kemarin." "Jadi benar si Norak itu yang kasih ide konyol ini ke kamu? Astaga David harusnya kamu itu mikir. Jangan asal iya-iya aja apa yang Nora minta dan katakan. Kalian harus terima kenyataan kalau sekarang kita kembali miskin. Dengar David kita sekarang kembali MISKIN, dan itu semua gara-gara ulah kalian," ucap Arita menekan kata miskin pada David. "Yang ada bukannya Raya yang diminta untuk mem
Jarum jam terus berputar, hingga tanpa sadar matahari sudah menunjukkan sinarnya. Kedua insan yang saat ini masih terbaring di ranjang dengan posisi sambil berpelukan itu menggeliat saat sinar matahari menerobos masuk melalui celah-celah jendela. "Mas, bangun," ucap Nora sembari menggoyang-goyangkan tubuh sang suami yang kedua netra itu kembali menutup dengan sempurna. "Mas, ayo bangun!" sentak Nora. David yang merasa terganggu tidurnya itu pun lantas mengangkat kedua tangannya guna merengganggangkan otot-otot di tubuhnya itu. "Apa sih," ucap David dengan nada suara serak."Sudah siang, Mas. Kita kan rencananya mau ambil sertifikat Ibu. Cepetan, Mas!" ucap Nora. "Memangnya Ibu di mana? Kamu lihat dulu deh." Nora pun menghembuskan napas berat, bergegas ia pun keluar dari kamar. Menyusuri rumah yang tak seberapa luas itu. Tujuan utama Nora adalah dapur. Saat sudah sampai di sana, Nora tak melihat sang Ibu mertua. Lantas ia pun bergegas menuju ke arah kamar sang ibu. Perlahan Nora
"Baru juga beberapa hari Nora menikah denganmu, dia sudah berhasil membuatmu nekat seperti ini. Entah seperti apa jadinya kamu kalau hidup dengan perempuan yang tak jelas asal-usulnya itu selama bertahun-tahun.""Cukup, Bu! Cukup! Jangan hina aku lagi!" ucap Nora dengan bibir bergetar. Rasanya, perempuan itu sudah benar-benar merasa lelah diperlakukan seperti itu oleh Sang mertua. "Kenapa? Kamu tidak terima? Bukankah itu memang suatu fakta?!" "Bu! Sudah dong, Bu!" ucap David. "Kenapa? Semenjak adanya Nora, semua menjadi hancur, David! Dan sekarang kamu mencuri pasti juga hasutan dari Nora, bukan?!"Hening. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut mereka. Arita pun mencebikkan bibir. Setelahnya Arita pun mengangkat tangannya, telunjuk itu mengarah tepat di wajah sang menantu."Sekarang jika kamu masih menginginkan perempuan ini, pergilah dari rumah ini! Ibu tak mau melihat perempuan ini ada di rumah ini!" ucap Arita dengan dada naik turun dikarenakan emosi yang benar-benar tak bisa
Pov Raya**Dering ponsel dan getarannya membuyarkan konsentrasiku yang sedang membaca laporan keuangan yang baru saja kuterima dari orang kepercayaanku di cafe ini. Ya, saat ini aku sedang mengunjungi cafe milikku. Aku pun lantas mengalihkan pandanganku ke arah layar ponsel yang menyala itu. Lantas, aku pun meraih benda pipih tersebut. Terpampang dengan jelas nama Ravi sebagai pemanggilnya. Sedikit berkerut keningku saat mendapati lelaki itu menghubungiku. Sebab, semenjak sidang perceraian telah usai, kami tak pernah saling bertukar pesan. Bahkan, saat sidang perceraian itu belum tuntas, kami pun saling berhubungan jika memang ada sesuatu yang penting saja. Seputar kasus perceraianku. Akhirnya aku pun mengusap layar datar itu ke atas, setelahnya aku pun menempalkan benda pipih itu tepat di telinga kananku. "Bunda! Cahaya kangen ...."Seketika kujauhkan ponsel dari telingaku, menatap layar ponsel yang masih terhubung dengan panggilan. Aku memastikan jika aku tadi tak salah liha
Halo ... selamat siang. Bagaimana kabar kalian? Semoga baik-baik saja dan selalu dalam lindungan Tuhan, ya. amiin.... Di sini, Author ingin mengucapkan terima kasih banyak untuk kalian yang sudah mampir di cerita "Suara Desahan Di Kamar Iparku" Bagi kalian yang sedang cari bacaan, yuk mampir di cerbung yang lain. Langsung ketik saja di kolom pencarian lalu masukkan ke dalam daftar pustaka kalian ya. 1. Penyesalan Seorang Suami (Tamat 90 bab) 2. Neraka Untuk Adik Madu (Tamat 80 bab) 3. Pembalasan untuk Pengkhianatan Suami dan Mertua (Tamat 43 bab) 4. Kugadai Harta Suami yang Berselingkuh (On Going) Bagi kalian yang berkenan untuk mampir, Author ucapkan terima kasih banyak. Semoga selalu dalam limpahan kesehatan dan rejeki. Cukup sekian, selamat siang dan semoga hari kalian menyenangkan ....
Suara gebrakan itu seketika membuat tubuhku tersentak kaget. Bagaimana tidak, saat aku sedang bergurau tiba-tiba sosok perempuan datang lalu menggebrak meja begitu saja."Oh ... begini ya kelakuan kamu ternyata!" ucap perempuan bergaun merah maroon tanpa lengan dan sebatas dengkul sembari menatap tajam ke arah di mana Ravi saat ini berdiri.Aku memeluk erat tubuh mungil itu, sebab ketakutan sedang menguasai dirinya. Terlihat, kedua tangan mungil itu menutup wajahnya."Kamu menghinaku karena selingkuh, dan ternyata kamu men*lat air ludahmy sendiri!" ucap perempuan itu dengan penuh penekanan sembari telunjuk mengarah tepat di depan wajah Ravi."Kamu ini apa-apaan, sih. Malu dilihat sama orang!" ucap Ravi sembari meraih tangan perempuan itu lalu menurunkannya.Aku berpikir, mungkinkah ia mantan istri Ravi? Entahlah ...."Kamu menggugat cerai dengan alasan aku selingkuh, dan ternyata kamu juga bermain di belakangku. Pandai sekali kamu ya." Suara tepukan tangan dari kedua tangan perempuan
"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanyaku pada Ravi yang saat ini duduk tepat di hadapanku. Wajah itu terlihat ragu untuk berbicara. "Maaf ya soal kejadian yang tadi. Aku benar-benar merasa tidak enak denganmu," ucap Ravi dengan sorot mata penuh rasa bersalah. "Sebenarnya ingin sekali kutonj*k mulut wanita itu. Enak sekali dia memakiku, menyamakanku dengan perempuan murahan! Boro-boro jadi wanita simpananmu, jadi istrimu aja aku ogah!" ketusku yang membuat Ravi menggaruk kepalanya. "Wanita itu Bundanya Cahaya." "Ya, aku sudah menebaknya," ucapku. "Rav, maaf ya. Bukannya aku ikut campur masalah kamu atau keberatan jika Cahaya ingin bertemu denganku. Aku merasa sedikit janggal saja sih sejak awal bertemu dengan Cahaya," ucapku yang membuat kening Ravi berkerut tajam dengan alis yang saling bertautan. Ravi tak menyela, mungkin ia ingin memberikanku ruang untuk berbicara. "Gini, Rav. Dilogika saja ya, Cahaya kan udah gede nih, masa iya nggak bisa membedakan antara bundanya deng
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 53"Ha ha ha. Jika itu yang terbaik bagaimana? Bukankah lebih baik menduda daripada Cahaya mendapatkan Ibu tiri yang tak bisa menerima kehadirannya?""Ya, kamu benar. Benar sekali!" Hening, tiba-tiba saja hening seketika. Aku dan Ravi sama-sama terdiam. Hingga sampai saat Ravi mengatakan hal yang membuat bola mataku membulat. "Bagaimana kalau kamu saja yang menjadi Ibu untuk Cahaya?"Aku menoleh cepat ke arah Ravi dan menatapnya yang kini sudah menunduk sembari memainkan jemarinya yang saling bertaut. "A-apa, Rav? Coba ulangi lagi?" tanyaku berusaha memastikan. "Ck, apa kamu tidak mendengarnya?! Harusnya kamu dengarkan aku dong!" Aku terkesiap karena tiba-tiba saja dia menjadi ketus terhadapku. Dia kenapa sih? Kok berubah-berubah begini cara ngomongnya sama aku? "Kok kamu marah? Aku kan bertanya?""Ya tapi kan gak perlu pake ngulang, kamu pikir gampang apa ngungkapin isi hati?" gerutu Ravi yang masih bisa kudengar suaranya. "Apa? Isi hati? Kamu m