Jarum jam terus berputar, hingga tanpa sadar matahari sudah menunjukkan sinarnya. Kedua insan yang saat ini masih terbaring di ranjang dengan posisi sambil berpelukan itu menggeliat saat sinar matahari menerobos masuk melalui celah-celah jendela. "Mas, bangun," ucap Nora sembari menggoyang-goyangkan tubuh sang suami yang kedua netra itu kembali menutup dengan sempurna. "Mas, ayo bangun!" sentak Nora. David yang merasa terganggu tidurnya itu pun lantas mengangkat kedua tangannya guna merengganggangkan otot-otot di tubuhnya itu. "Apa sih," ucap David dengan nada suara serak."Sudah siang, Mas. Kita kan rencananya mau ambil sertifikat Ibu. Cepetan, Mas!" ucap Nora. "Memangnya Ibu di mana? Kamu lihat dulu deh." Nora pun menghembuskan napas berat, bergegas ia pun keluar dari kamar. Menyusuri rumah yang tak seberapa luas itu. Tujuan utama Nora adalah dapur. Saat sudah sampai di sana, Nora tak melihat sang Ibu mertua. Lantas ia pun bergegas menuju ke arah kamar sang ibu. Perlahan Nora
"Baru juga beberapa hari Nora menikah denganmu, dia sudah berhasil membuatmu nekat seperti ini. Entah seperti apa jadinya kamu kalau hidup dengan perempuan yang tak jelas asal-usulnya itu selama bertahun-tahun.""Cukup, Bu! Cukup! Jangan hina aku lagi!" ucap Nora dengan bibir bergetar. Rasanya, perempuan itu sudah benar-benar merasa lelah diperlakukan seperti itu oleh Sang mertua. "Kenapa? Kamu tidak terima? Bukankah itu memang suatu fakta?!" "Bu! Sudah dong, Bu!" ucap David. "Kenapa? Semenjak adanya Nora, semua menjadi hancur, David! Dan sekarang kamu mencuri pasti juga hasutan dari Nora, bukan?!"Hening. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut mereka. Arita pun mencebikkan bibir. Setelahnya Arita pun mengangkat tangannya, telunjuk itu mengarah tepat di wajah sang menantu."Sekarang jika kamu masih menginginkan perempuan ini, pergilah dari rumah ini! Ibu tak mau melihat perempuan ini ada di rumah ini!" ucap Arita dengan dada naik turun dikarenakan emosi yang benar-benar tak bisa
Pov Raya**Dering ponsel dan getarannya membuyarkan konsentrasiku yang sedang membaca laporan keuangan yang baru saja kuterima dari orang kepercayaanku di cafe ini. Ya, saat ini aku sedang mengunjungi cafe milikku. Aku pun lantas mengalihkan pandanganku ke arah layar ponsel yang menyala itu. Lantas, aku pun meraih benda pipih tersebut. Terpampang dengan jelas nama Ravi sebagai pemanggilnya. Sedikit berkerut keningku saat mendapati lelaki itu menghubungiku. Sebab, semenjak sidang perceraian telah usai, kami tak pernah saling bertukar pesan. Bahkan, saat sidang perceraian itu belum tuntas, kami pun saling berhubungan jika memang ada sesuatu yang penting saja. Seputar kasus perceraianku. Akhirnya aku pun mengusap layar datar itu ke atas, setelahnya aku pun menempalkan benda pipih itu tepat di telinga kananku. "Bunda! Cahaya kangen ...."Seketika kujauhkan ponsel dari telingaku, menatap layar ponsel yang masih terhubung dengan panggilan. Aku memastikan jika aku tadi tak salah liha
Halo ... selamat siang. Bagaimana kabar kalian? Semoga baik-baik saja dan selalu dalam lindungan Tuhan, ya. amiin.... Di sini, Author ingin mengucapkan terima kasih banyak untuk kalian yang sudah mampir di cerita "Suara Desahan Di Kamar Iparku" Bagi kalian yang sedang cari bacaan, yuk mampir di cerbung yang lain. Langsung ketik saja di kolom pencarian lalu masukkan ke dalam daftar pustaka kalian ya. 1. Penyesalan Seorang Suami (Tamat 90 bab) 2. Neraka Untuk Adik Madu (Tamat 80 bab) 3. Pembalasan untuk Pengkhianatan Suami dan Mertua (Tamat 43 bab) 4. Kugadai Harta Suami yang Berselingkuh (On Going) Bagi kalian yang berkenan untuk mampir, Author ucapkan terima kasih banyak. Semoga selalu dalam limpahan kesehatan dan rejeki. Cukup sekian, selamat siang dan semoga hari kalian menyenangkan ....
Suara gebrakan itu seketika membuat tubuhku tersentak kaget. Bagaimana tidak, saat aku sedang bergurau tiba-tiba sosok perempuan datang lalu menggebrak meja begitu saja."Oh ... begini ya kelakuan kamu ternyata!" ucap perempuan bergaun merah maroon tanpa lengan dan sebatas dengkul sembari menatap tajam ke arah di mana Ravi saat ini berdiri.Aku memeluk erat tubuh mungil itu, sebab ketakutan sedang menguasai dirinya. Terlihat, kedua tangan mungil itu menutup wajahnya."Kamu menghinaku karena selingkuh, dan ternyata kamu men*lat air ludahmy sendiri!" ucap perempuan itu dengan penuh penekanan sembari telunjuk mengarah tepat di depan wajah Ravi."Kamu ini apa-apaan, sih. Malu dilihat sama orang!" ucap Ravi sembari meraih tangan perempuan itu lalu menurunkannya.Aku berpikir, mungkinkah ia mantan istri Ravi? Entahlah ...."Kamu menggugat cerai dengan alasan aku selingkuh, dan ternyata kamu juga bermain di belakangku. Pandai sekali kamu ya." Suara tepukan tangan dari kedua tangan perempuan
"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanyaku pada Ravi yang saat ini duduk tepat di hadapanku. Wajah itu terlihat ragu untuk berbicara. "Maaf ya soal kejadian yang tadi. Aku benar-benar merasa tidak enak denganmu," ucap Ravi dengan sorot mata penuh rasa bersalah. "Sebenarnya ingin sekali kutonj*k mulut wanita itu. Enak sekali dia memakiku, menyamakanku dengan perempuan murahan! Boro-boro jadi wanita simpananmu, jadi istrimu aja aku ogah!" ketusku yang membuat Ravi menggaruk kepalanya. "Wanita itu Bundanya Cahaya." "Ya, aku sudah menebaknya," ucapku. "Rav, maaf ya. Bukannya aku ikut campur masalah kamu atau keberatan jika Cahaya ingin bertemu denganku. Aku merasa sedikit janggal saja sih sejak awal bertemu dengan Cahaya," ucapku yang membuat kening Ravi berkerut tajam dengan alis yang saling bertautan. Ravi tak menyela, mungkin ia ingin memberikanku ruang untuk berbicara. "Gini, Rav. Dilogika saja ya, Cahaya kan udah gede nih, masa iya nggak bisa membedakan antara bundanya deng
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 53"Ha ha ha. Jika itu yang terbaik bagaimana? Bukankah lebih baik menduda daripada Cahaya mendapatkan Ibu tiri yang tak bisa menerima kehadirannya?""Ya, kamu benar. Benar sekali!" Hening, tiba-tiba saja hening seketika. Aku dan Ravi sama-sama terdiam. Hingga sampai saat Ravi mengatakan hal yang membuat bola mataku membulat. "Bagaimana kalau kamu saja yang menjadi Ibu untuk Cahaya?"Aku menoleh cepat ke arah Ravi dan menatapnya yang kini sudah menunduk sembari memainkan jemarinya yang saling bertaut. "A-apa, Rav? Coba ulangi lagi?" tanyaku berusaha memastikan. "Ck, apa kamu tidak mendengarnya?! Harusnya kamu dengarkan aku dong!" Aku terkesiap karena tiba-tiba saja dia menjadi ketus terhadapku. Dia kenapa sih? Kok berubah-berubah begini cara ngomongnya sama aku? "Kok kamu marah? Aku kan bertanya?""Ya tapi kan gak perlu pake ngulang, kamu pikir gampang apa ngungkapin isi hati?" gerutu Ravi yang masih bisa kudengar suaranya. "Apa? Isi hati? Kamu m
Ia pun sejatinya tidak mau hidup seperti itu tapi apa mau dikata, semua sudah berubahNasi sudah menjadi bubur, karena rasa cinta yang menggebu dari David untuk Nora membuat otak mereka menjadi tidak waras. "Pokoknya aku tetap ingin berjualan Nora! Aku akan tetap menafkahimu. Tolonglah kamu mengerti! Berapa pun yang kuberikan nanti sebaiknya kamu terima saja. Bukankah dulu kamu menginginkan kita hidup bahagia berdua meski dalam kesederhanaan?" tanya David sembari menatap nanar wajah Nora. "Memangnya kamu bisa masak, Mas? Aku gak pernah tuh lihat kamu masak?" tanya Nora dengan dahi berkerut. "Bisalah, kamu gak tau kan? Dulu waktu aku masih sekolah kan sering bantuin Ibu bikin jajanan ya termasuk cilok itu. Dan cilok buatan Ibu itu enak banget makanya laris jualan Ibu. Dari sanalah Ibu bisa menyekolahkanku hingga ke universitas. Jadi, aku yakin kalau jualanku pasti laris. Kita akan buka usaha gede-gedean kalau sudah besar nanti. Kita bisa ngalahin Raya, Sayang, memangnya kamu gak pen
Beberapa bulan kemudianSuara tangisan bayi itu menggema memenuhi ruangan kamar bersalin. Raya meraup udara dalam-dalam, napasnya tersengal-sengal setelah melakukan proses melahirkan secara normal. Ravi yang saat ini berada di samping Raya, menangis tersedu-sedu kala sang istri berhasil melahirkan keturunannya. Bahkan, kali ini Ravi sedang merengkuh kepala sang istri. Air mata mengalir dengan begitu derasnya di kedua manik mata sepasang suami istri itu. "Selamat ya, Bu Raya dan Pak Ravi, bayinya berjenis kelamin laki-laki." Ravi melepaskan rengkuhan pada sang istri, sejenak mereka saling berpandangan. Terpancar suatu kebahagiaan dengan jelas pada wajah Raya dan juga Ravi. "Terima kasih, Sayang ...." Ravi mengelus pucuk kepala sang istri. Tenang Raya yang sepenuhnya belum pulih itu hanya merespon Ravi dengan anggukan kepala. Seorang dokter yang menggendong bayi mungil itu mendekat ke arah keduanya. "Lihatlah, bayinya sangat tampan." Sang dokter menunjukkan wajah bayi mungil itu.
Bab 307Nora tersentak saat menyadari ada seseorang yang menangkap tubuhnya. Ia berusaha meronta-ronta, dan meminta untuk dilepaskan. "Lepas! Lepas, nggak!" Nora berteriak keras tatkala menyadari kalau tubuhnya ditarik oleh seseorang.Mata wanita itu membola saat membalikkan wajahnya untuk melihat siapa yang melakukannya itu. Ia terbelalak, dan seketika rasa panik menggelayuti hatinya. Dia melihat ada delapan orang pria yang sudah mengerubunginya. Bau alkohol yang sangat menyengat langsung terhidu di hidungnya. Ya, orang-orang itu sedang mabuk rupanya. Dan, saat ini Nora adalah mangsa empuk dan lezat bagi mereka.Nora tak bisa membayangkan kalau malam ini dia akan menjadi pemuas nafsu bagi para lelaki mabuk itu. Ia tak pernah membayangkan akan digangbang masal oleh mereka."Pergi! Pergi kalian dari sini!" Nora berteriak setelah cukup lama mengumpulkan keberaniannya. Namun, teriakannya itu sama sekali tak berpengaruh pada mereka. Mereka hanya tertawa saja menanggapi teriakan Nora ya
Bab 306Bryan melangkahkan kaki memasuki beranda rumahnya. Lelaki itu meletakkan kunci mobilnya pada meja hias yang terletak di bawah televisi kemudian melepaskan jaket kulitnya yang berwarna hitam.Kepalanya melihat ke arah lorong yang berjejer pintu-pintu kamar. “Nora,” panggilnya karena ingin segera melihat wajah wanita itu, lelaki itu merasa bosan seharian di luar dan dirinya ingin mendapat pelayanan dari Nora malam ini.Tak ada sahutan saat Bryan memanggil nama wanita itu. “Nora?” panggil Bryan lagi sambil berjalan menuju kamar wanita itu. “Nora? Kenapa dia tidak menjawab?” herannya mengetuk pintu kamar.Tok tok tok …Bryan mengetuk pintu itu sekali lagi dan memanggil-manggil nama wanita pemuas nafsunya itu. Karena lelaki itu tak kunjung mendapatkan sahutan, Bryan pun akhirnya membuka pintu kamar itu dengan paksa.Ketika pintu dibuka, Bryan mendapati ruangan kamar yang kosong tak ada orang. Barang-barang Nora tampak berceceran dan satu hal yang membuat kening Bryan mengkerut. “Pa
"Tetapi sebelum itu, mungkin aku harus membersihkan diri dulu," gumam Nora saat menyadari tubuhnya sudah terasa begitu lengket. Tak ingin semakin membuang waktu, wanita itu pun segera mengambil handuknya yang masih tergantung di balik pintu kamar untuk kemudian melenggang memasuki kamar mandi.Sejenak Nora mengeluarkan senandungnya. Lalu, netra wanita itu tampak berkaca menanti kebebasan yang mungkin sebentar lagi akan dia rasakan."Seharusnya aku melakukan ini sejak lama. Aku benar-benar menyesal karena telah menghabiskan waktu dengan hal penuh dosa ini. Ya Tuhan, masih berkenan kah Engkau memberikan maaf padaku?" gumam Nora yang kini tengah berdiri tepat di bawah guyuran air showernya. Nora benar-benar tak sabar untuk memulai hidup baru yang akan dia isi dengan banyak hal-hal positif.Selesai melakukan ritual mandinya, Nora pun segera bergegas menuju ranjang tidur kemudian pakaian bersihnya untuk kemudian dia kenakan. Nora menatap ke arah kamarnya sesaat. Ruang berukuran sedang ini
Nora tidak sadrakan diri karena apa yang di lakukan Bryan kepadanya. Karena di tidak tahan dengan perlakuan Bryan yang membabi buta kepada Nora, membuat wanita itu berontak, akibatnya kepalanya terbentung kepala ranjang.Bryan langsung meninggalkan Nora begitu saja dan menyuruh anak buahnya untuk memanggilkan tenaga medis untuk menangani Nora. Sedangkan Bryan sendiri pergi entah kemana. Setelah puas melampiaskan hasratnya kepada Nora, lelaki itu merasa fresh dan siap menjalankan aktivitasnya.Sebenarnya Bryan juga sedikit heran dengan dirinya sendiri, entah sejak kapan dia sangat menikmati rasa sakit Nora, apalagi ketika gadis itu berteriak-teriak meminta berhenti dan menyudari permainan mereka, Bryan malah merasa terpacu dan tidak ingin berhenti. Dia merasakan kenikmatan yang luar biasa.Keesokan harinya Nora siuman dalam keadaan tidak bisa berjalan, dia juga merasa tenaganya habis terkuras serasa habis berlari ratusan kilometer.“Aku di mana? Apa yang terjadi padaku?” batin Nora sem
Malam ini, Nora tampil cantik dengan pakaian ketat dan belahan dada rendah. Dia menggunakan lipstik merah merona yang melapisi bibirnya, kalung cantik yang berkilauan, dan sepatu hak tinggi kulit hitam yang membuat kakinya terlihat berjenjang luar biasa.Rambutnya yang gelap dan tebal jatuh hingga ke tengah punggungnya. Sebatang rokok tergantung bebas dari antara bibirnya, sementara dia berjalan dengan sedikit berlenggak-lenggok. Ketika Nora melangkah memenuhi panggilan Brian, pinggulnya bergoyang sangat menawan.Sang Germo itu memandangnya seolah Nora berjalan dalam gerakan lambat. Nora memanglah sangat cantik dan tidak ada yang akan tahu tentang fakta bahwa dia adalah seorang wanita penghibur yang sebenarnya, jika mereka tidak melihatnya di tempat prostitusi.Seorang pelanggan dengan ekspresi wajah terlalu sumringah datang."Selamat malam, Pak?" sapa Brian tak kalah cerianya.Tentu saja dia menyambut dengan ramah sosok pria yang sudah pasti akan menyumbangkan pundi-pundi yang cukup
Bab 302“Please, berhenti, Bryan.” Nora ngos-ngosan dan kesulitan mengambil napas karena sejak tadi Bryan meneruskan ritme goyangan pinggulnya hingga keperkasaan lelaki itu menusuk masuk ke dalam milik sang wanita.“Diamlah! Nikmati saja!” desah Bryan yang kian mempercepat temponya. Lelaki yang posisinya berada di atas itu menopang tubuhnya dengan kedua lengan kekar yang ada di kedua sisi bahu Nora. Bryan menatap wajah Nora dengan keringat yang mengalir di pelipisnya.“T-tapi, ini sudah ronde … ah entahlah, entah ronde keberapa dalam hari ini!” jerit Nora meremas bantal yang mengalasi kepalanya. Dia memicingkan mata menahan rasa perih yang mulai menjalar pada bagian miliknya. Barangkali miliknya akan lecet setelah pergerumulan ini.“Sudah aku bilang! Aku masih belum puas dan ingin terus kau puaskan,” tukas Bryan dengan nada baritonnya. Suaranya yang berat membuat Nora terpaksa menyerah dan membiarkan tubuhnya terus terlentang dengan Bryan yang mendominasinya.Sudah sejak tiga jam lalu
Bab 301“Iya, cuih!” Mira melepeh makanan yang dibuat Amanda setelah sang ibu memaki masakan wanita itu. Dia mengambil tisu dan mengelap sisa makanan di mulutnya.Mira juga mendorong piringnya agar menjauhi pandanganya hingga membuat perasaan Amanda sangat tersakiti dibuatnya.“Maaf, Kak, Mama.” Amanda menunduk masih dengan mengenakan celemek dapur yang melilit pingganya. Dia terduduk di bangku meja makan dan tak mampu mengangkat wajahnya sama sekali.Sang ibu juga jadi tidak selera makan. Sejujurnya dia kesal bukan perkara masakan yang dibuat Amanda, namun omongan tetangga yang tadi dia dengar ketika arisan di rumah salah satu keluarga kaya.“Ibu benar-benar tidak tau lagi bagaimana harus menghadapi kamu, Amanda,” ujar sang Ibu menghela napasnya dengan kasar. Dia memukul-mukul dadanya yang terasa seksak. “Kamu bisanya bikin ibu menderita saja!”Air mata Amanda kembali berlinang. Terserah bila kakak-kakaknya terdengar begitu membencinya, tapi kini ibunya juga ikut kecewa padanya dan m
Amanda memasang wajah sedihnya. Dia benar-benar tak tahu harus bagaimana lagi sekarang. Tak punya tempat tinggal dan harta. Sama sekali tak pernah terbesit di pikiran jika pada akhirnya nasib yang dia alami akan sesial ini.Amanda menatap kedua saudaranya secara bergantian. Hal itu justru membuat Rudi dan Mira merasa semakin muak. "Ada apa lagi? Mau bicara apa lagi? Masih mau mengelak dan mengatakan kalau semua ini adalah milikmu? Iya!" sentak Mira seolah tak ingin memberikan kesempatan bagi Amanda untuk bicara.Dulu dia sangat menyukai adiknya ini, bagaimana pun Amanda adalah mesin uang yang mudah dimanfaatkan. Amanda selalu siap sedia kala saudaranya membutuhkan pinjaman. Bahkan Amanda tak segan memberikan uang secara cuma-cuma untuk sanak saudaranya yang kekurangan.Namun nyatanya semua kebaikan Amanda itu tak membuat kedua kakaknya merasa harus berbalas budi dan bersikap baik pada Amanda yang sekarang sepertinya telah jatuh miskin. Justru mereka merasa muak dan tak sudi berbaur de