"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanyaku pada Ravi yang saat ini duduk tepat di hadapanku. Wajah itu terlihat ragu untuk berbicara. "Maaf ya soal kejadian yang tadi. Aku benar-benar merasa tidak enak denganmu," ucap Ravi dengan sorot mata penuh rasa bersalah. "Sebenarnya ingin sekali kutonj*k mulut wanita itu. Enak sekali dia memakiku, menyamakanku dengan perempuan murahan! Boro-boro jadi wanita simpananmu, jadi istrimu aja aku ogah!" ketusku yang membuat Ravi menggaruk kepalanya. "Wanita itu Bundanya Cahaya." "Ya, aku sudah menebaknya," ucapku. "Rav, maaf ya. Bukannya aku ikut campur masalah kamu atau keberatan jika Cahaya ingin bertemu denganku. Aku merasa sedikit janggal saja sih sejak awal bertemu dengan Cahaya," ucapku yang membuat kening Ravi berkerut tajam dengan alis yang saling bertautan. Ravi tak menyela, mungkin ia ingin memberikanku ruang untuk berbicara. "Gini, Rav. Dilogika saja ya, Cahaya kan udah gede nih, masa iya nggak bisa membedakan antara bundanya deng
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 53"Ha ha ha. Jika itu yang terbaik bagaimana? Bukankah lebih baik menduda daripada Cahaya mendapatkan Ibu tiri yang tak bisa menerima kehadirannya?""Ya, kamu benar. Benar sekali!" Hening, tiba-tiba saja hening seketika. Aku dan Ravi sama-sama terdiam. Hingga sampai saat Ravi mengatakan hal yang membuat bola mataku membulat. "Bagaimana kalau kamu saja yang menjadi Ibu untuk Cahaya?"Aku menoleh cepat ke arah Ravi dan menatapnya yang kini sudah menunduk sembari memainkan jemarinya yang saling bertaut. "A-apa, Rav? Coba ulangi lagi?" tanyaku berusaha memastikan. "Ck, apa kamu tidak mendengarnya?! Harusnya kamu dengarkan aku dong!" Aku terkesiap karena tiba-tiba saja dia menjadi ketus terhadapku. Dia kenapa sih? Kok berubah-berubah begini cara ngomongnya sama aku? "Kok kamu marah? Aku kan bertanya?""Ya tapi kan gak perlu pake ngulang, kamu pikir gampang apa ngungkapin isi hati?" gerutu Ravi yang masih bisa kudengar suaranya. "Apa? Isi hati? Kamu m
Ia pun sejatinya tidak mau hidup seperti itu tapi apa mau dikata, semua sudah berubahNasi sudah menjadi bubur, karena rasa cinta yang menggebu dari David untuk Nora membuat otak mereka menjadi tidak waras. "Pokoknya aku tetap ingin berjualan Nora! Aku akan tetap menafkahimu. Tolonglah kamu mengerti! Berapa pun yang kuberikan nanti sebaiknya kamu terima saja. Bukankah dulu kamu menginginkan kita hidup bahagia berdua meski dalam kesederhanaan?" tanya David sembari menatap nanar wajah Nora. "Memangnya kamu bisa masak, Mas? Aku gak pernah tuh lihat kamu masak?" tanya Nora dengan dahi berkerut. "Bisalah, kamu gak tau kan? Dulu waktu aku masih sekolah kan sering bantuin Ibu bikin jajanan ya termasuk cilok itu. Dan cilok buatan Ibu itu enak banget makanya laris jualan Ibu. Dari sanalah Ibu bisa menyekolahkanku hingga ke universitas. Jadi, aku yakin kalau jualanku pasti laris. Kita akan buka usaha gede-gedean kalau sudah besar nanti. Kita bisa ngalahin Raya, Sayang, memangnya kamu gak pen
Ucapan Raya tentu saja membuat Novita mati kutu. Karena apa yang Raya ucapkan adalah kebenaran. Yah, Cahaya sangat takut pada Novita. Perlakuan kasar dari teman laki-laki Novita dan sikap Novita yang tidak bisa melindungi Cahaya membuat trauma pada gadis kecil itu terhadap ibu kandungnya sendiri. Bukan salah Raya bukan juga salah Cahaya karena anak itu hanya mencari ketenangan dari sosok yang ia pikir bisa membuat dirinya nyaman dan merasa memiliki sosok ibu yakni, Raya. "Semua itu bukan urusanmu! Yang harus kau lakukan hanya menjauh dari Ravi dan juga Cahaya," sinis Novita lagi. "Kalau aku enggak mau gimana?" "Kau akan terima akibatnya!" "Kalau begitu aku terima tantanganmu, bukan karena aku ingin merebut Ravi darimu. Aku hanya mempertahankan harga diriku, jika memang Ravi jodohku maka akan kupertahankan. Tapi, jika dia bukan jodohku silahkan kau ambil kapanpun kau mau, karena aku tidak peduli. Sekarang sebaiknya kau pergi dari sini, pintu keluar ada di sana. Atau kau punya amn
Sambungan telepon itu terhubung setelah Ravi mengusap layar datar itu, setelahnya ia pun langsung menempelkan benda berukuran lima inchi tersebut di telinga kanannya. "Assalamualaikum, Kak," ucap Ravi membuka percakapan. Sedangkan terlihat Raya sedang bercanda ria dengan Cahaya. Sesekali tangan Raya mencubit lembut pada pipi gembul itu. "Waalaikumsalam, Rav. Kamu di mana?" tanya seorang perempuan di seberang sana yang merupakan satu-satunya kakak yang dimiliki oleh Ravi. "Lagi keluar, Kak, sama Cahaya. Ada apa ya? Sepertinya ada sesuatu yang sangat penting hingga membuat kakakku yang super sibuk itu sampai menghubungiku," sindir Ravi. Sebab, kakaknya satu itu memang sulit sekali dihubungi. Bukan tanpa sebab tentunya. Sang Kakak memiliki beragam bisnis yang digeluti, hingga membuat waktu perempuan berusia empat puluh tahun itu sibuk dengan dunianya sendiri. "Halah ... nggak usah nyindir begitu. Kakak sibuk banget akhir-akhir ini.""Sejak kapan Kakak nggak sibuk?" sela Ravi sebagai
"Mau, Ayah. Ayo sekarang pulang, Yah. Bawa Bunda sekalian ...."Tubuh mungil itu langsung merosot dari pangkuan Raya, diraihnya tangan Raya lalu diajaknya ia melangkah. Langkah kecil itu tertuju ke arah sang Ayah. Hal yang dilakukannya pun sama. Cahaya meraih tangan sang ayah lalu menggandengnya. "Ayo, Ayah. Kita bawa Bunda pulang ...," rengek Cahaya yang membuat Raya semakin dibuat bingung. Sedangkan Ravi hanya tertawa di dalam hati saat melihat Raya yang sedang salah tingkah. "Sebentar ya, Sayang. Bayar makanannya dulu," ucap Ravi. Setelahnya ia pun bangkit dari tempat duduknya dan Raya pun berkata,"ng–nggak usah dibayar." Raya berusaha menghilangkan kegugupannya. Ravi pun tak memperdulikan bangkit dari tempat duduknya, melangkah lah ia lalu berhenti tepat di samping Raya. "Jangan baper, aku hanya bercanda," bisik Ravi tepat di telinga kanan milik Raya..Ravi pun lantas melanjutkan langkah yang sempat terhenti, meninggalkan Raya yang saat itu merasa begitu geram, bahkan ia semp
"Raya, mana titipan Mama?" teriak Sang Mama saat Raya melewatinya begitu saja. Raya tak memperdulikan pertanyaan sang Mama, dengan sedikit berlari, Raya pun menuju ke arah kamarnya.Nania terheran melihat sang putri semata wayangnya bertingkah tidak seperti biasanya. Ia pun bangun dari posisi duduknya dan melangkah menuju kamar Raya. TokTokTok"Raya! Kamu kenapa, Nak? Tolong buka pintunya!" titah Nania pada Raya. Tidak berselang lama, pintu terdengar dibuka dari dalam sana. Nania pun segera masuk setelah Raya membuka lebar pintunya. Bagi keluarga Nania dan Raya meskipun antara ibu dan anak tapi, tetap saja mereka memiliki privasi yang harus mereka hargai satu dengan yang lainnya. Itulah yang membuat Raya merasa nyaman meski tinggal bersama orang tuanya. "Kamu kenapa Sayang?" tanya Nania setelah mendaratkan bokongnya di atas kasur empuk king size di kamar Raya. Nuansa coklat muda mendominasi kamar Raya hingga terlihat elegan dan kalem persis seperti kepribadian Raya yang juga kal
Raya membenarkan apa yang Nania ucapkan karena menurutnya itu cukup masuk akal dan cara terampuh membungkam netizen julid bin nyinyir yang tidak mencari tahu seluk beluk cerita seseorang dan asal main serang saja. "Yaudah nanti coba Raya bicarakan hal ini sama Ravi. Gara-gara ini Raya cuma takut akan berimbas pada usaha Raya." "Tapi memangnya kalian ada hubungan? Mama serius ini, Raya? Coba kamu katakan sama Mama apakah kalian ada hubungan?" "Emm, gimana ya, Ma, ngomongnya," ucap Raya sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tidaj gatal. "Ealah ditanyain kok malah garuk-garuk kepala. Ayo cepat katakan ada apa?!" titah Nania yang wajib dituruti. "Sebenarnya kemarin Ravi ngelamar Raya buat jadi bundanya Cahaya," ucap Raya dengan wajah bersemu merah. Hangat menerpa kulit yang terlihat putih dan mulus itu. "What?! Kami serius Raya? Terus, terus kamu jawab apa?!" tanya Nania yang begitu antusias mendengar anaknya dilamar oleh duda tampan. "Ih Mama kok malah kepo sih!" sungut Raya. "L