SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 53"Ha ha ha. Jika itu yang terbaik bagaimana? Bukankah lebih baik menduda daripada Cahaya mendapatkan Ibu tiri yang tak bisa menerima kehadirannya?""Ya, kamu benar. Benar sekali!" Hening, tiba-tiba saja hening seketika. Aku dan Ravi sama-sama terdiam. Hingga sampai saat Ravi mengatakan hal yang membuat bola mataku membulat. "Bagaimana kalau kamu saja yang menjadi Ibu untuk Cahaya?"Aku menoleh cepat ke arah Ravi dan menatapnya yang kini sudah menunduk sembari memainkan jemarinya yang saling bertaut. "A-apa, Rav? Coba ulangi lagi?" tanyaku berusaha memastikan. "Ck, apa kamu tidak mendengarnya?! Harusnya kamu dengarkan aku dong!" Aku terkesiap karena tiba-tiba saja dia menjadi ketus terhadapku. Dia kenapa sih? Kok berubah-berubah begini cara ngomongnya sama aku? "Kok kamu marah? Aku kan bertanya?""Ya tapi kan gak perlu pake ngulang, kamu pikir gampang apa ngungkapin isi hati?" gerutu Ravi yang masih bisa kudengar suaranya. "Apa? Isi hati? Kamu m
Ia pun sejatinya tidak mau hidup seperti itu tapi apa mau dikata, semua sudah berubahNasi sudah menjadi bubur, karena rasa cinta yang menggebu dari David untuk Nora membuat otak mereka menjadi tidak waras. "Pokoknya aku tetap ingin berjualan Nora! Aku akan tetap menafkahimu. Tolonglah kamu mengerti! Berapa pun yang kuberikan nanti sebaiknya kamu terima saja. Bukankah dulu kamu menginginkan kita hidup bahagia berdua meski dalam kesederhanaan?" tanya David sembari menatap nanar wajah Nora. "Memangnya kamu bisa masak, Mas? Aku gak pernah tuh lihat kamu masak?" tanya Nora dengan dahi berkerut. "Bisalah, kamu gak tau kan? Dulu waktu aku masih sekolah kan sering bantuin Ibu bikin jajanan ya termasuk cilok itu. Dan cilok buatan Ibu itu enak banget makanya laris jualan Ibu. Dari sanalah Ibu bisa menyekolahkanku hingga ke universitas. Jadi, aku yakin kalau jualanku pasti laris. Kita akan buka usaha gede-gedean kalau sudah besar nanti. Kita bisa ngalahin Raya, Sayang, memangnya kamu gak pen
Ucapan Raya tentu saja membuat Novita mati kutu. Karena apa yang Raya ucapkan adalah kebenaran. Yah, Cahaya sangat takut pada Novita. Perlakuan kasar dari teman laki-laki Novita dan sikap Novita yang tidak bisa melindungi Cahaya membuat trauma pada gadis kecil itu terhadap ibu kandungnya sendiri. Bukan salah Raya bukan juga salah Cahaya karena anak itu hanya mencari ketenangan dari sosok yang ia pikir bisa membuat dirinya nyaman dan merasa memiliki sosok ibu yakni, Raya. "Semua itu bukan urusanmu! Yang harus kau lakukan hanya menjauh dari Ravi dan juga Cahaya," sinis Novita lagi. "Kalau aku enggak mau gimana?" "Kau akan terima akibatnya!" "Kalau begitu aku terima tantanganmu, bukan karena aku ingin merebut Ravi darimu. Aku hanya mempertahankan harga diriku, jika memang Ravi jodohku maka akan kupertahankan. Tapi, jika dia bukan jodohku silahkan kau ambil kapanpun kau mau, karena aku tidak peduli. Sekarang sebaiknya kau pergi dari sini, pintu keluar ada di sana. Atau kau punya amn
Sambungan telepon itu terhubung setelah Ravi mengusap layar datar itu, setelahnya ia pun langsung menempelkan benda berukuran lima inchi tersebut di telinga kanannya. "Assalamualaikum, Kak," ucap Ravi membuka percakapan. Sedangkan terlihat Raya sedang bercanda ria dengan Cahaya. Sesekali tangan Raya mencubit lembut pada pipi gembul itu. "Waalaikumsalam, Rav. Kamu di mana?" tanya seorang perempuan di seberang sana yang merupakan satu-satunya kakak yang dimiliki oleh Ravi. "Lagi keluar, Kak, sama Cahaya. Ada apa ya? Sepertinya ada sesuatu yang sangat penting hingga membuat kakakku yang super sibuk itu sampai menghubungiku," sindir Ravi. Sebab, kakaknya satu itu memang sulit sekali dihubungi. Bukan tanpa sebab tentunya. Sang Kakak memiliki beragam bisnis yang digeluti, hingga membuat waktu perempuan berusia empat puluh tahun itu sibuk dengan dunianya sendiri. "Halah ... nggak usah nyindir begitu. Kakak sibuk banget akhir-akhir ini.""Sejak kapan Kakak nggak sibuk?" sela Ravi sebagai
"Mau, Ayah. Ayo sekarang pulang, Yah. Bawa Bunda sekalian ...."Tubuh mungil itu langsung merosot dari pangkuan Raya, diraihnya tangan Raya lalu diajaknya ia melangkah. Langkah kecil itu tertuju ke arah sang Ayah. Hal yang dilakukannya pun sama. Cahaya meraih tangan sang ayah lalu menggandengnya. "Ayo, Ayah. Kita bawa Bunda pulang ...," rengek Cahaya yang membuat Raya semakin dibuat bingung. Sedangkan Ravi hanya tertawa di dalam hati saat melihat Raya yang sedang salah tingkah. "Sebentar ya, Sayang. Bayar makanannya dulu," ucap Ravi. Setelahnya ia pun bangkit dari tempat duduknya dan Raya pun berkata,"ng–nggak usah dibayar." Raya berusaha menghilangkan kegugupannya. Ravi pun tak memperdulikan bangkit dari tempat duduknya, melangkah lah ia lalu berhenti tepat di samping Raya. "Jangan baper, aku hanya bercanda," bisik Ravi tepat di telinga kanan milik Raya..Ravi pun lantas melanjutkan langkah yang sempat terhenti, meninggalkan Raya yang saat itu merasa begitu geram, bahkan ia semp
"Raya, mana titipan Mama?" teriak Sang Mama saat Raya melewatinya begitu saja. Raya tak memperdulikan pertanyaan sang Mama, dengan sedikit berlari, Raya pun menuju ke arah kamarnya.Nania terheran melihat sang putri semata wayangnya bertingkah tidak seperti biasanya. Ia pun bangun dari posisi duduknya dan melangkah menuju kamar Raya. TokTokTok"Raya! Kamu kenapa, Nak? Tolong buka pintunya!" titah Nania pada Raya. Tidak berselang lama, pintu terdengar dibuka dari dalam sana. Nania pun segera masuk setelah Raya membuka lebar pintunya. Bagi keluarga Nania dan Raya meskipun antara ibu dan anak tapi, tetap saja mereka memiliki privasi yang harus mereka hargai satu dengan yang lainnya. Itulah yang membuat Raya merasa nyaman meski tinggal bersama orang tuanya. "Kamu kenapa Sayang?" tanya Nania setelah mendaratkan bokongnya di atas kasur empuk king size di kamar Raya. Nuansa coklat muda mendominasi kamar Raya hingga terlihat elegan dan kalem persis seperti kepribadian Raya yang juga kal
Raya membenarkan apa yang Nania ucapkan karena menurutnya itu cukup masuk akal dan cara terampuh membungkam netizen julid bin nyinyir yang tidak mencari tahu seluk beluk cerita seseorang dan asal main serang saja. "Yaudah nanti coba Raya bicarakan hal ini sama Ravi. Gara-gara ini Raya cuma takut akan berimbas pada usaha Raya." "Tapi memangnya kalian ada hubungan? Mama serius ini, Raya? Coba kamu katakan sama Mama apakah kalian ada hubungan?" "Emm, gimana ya, Ma, ngomongnya," ucap Raya sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tidaj gatal. "Ealah ditanyain kok malah garuk-garuk kepala. Ayo cepat katakan ada apa?!" titah Nania yang wajib dituruti. "Sebenarnya kemarin Ravi ngelamar Raya buat jadi bundanya Cahaya," ucap Raya dengan wajah bersemu merah. Hangat menerpa kulit yang terlihat putih dan mulus itu. "What?! Kami serius Raya? Terus, terus kamu jawab apa?!" tanya Nania yang begitu antusias mendengar anaknya dilamar oleh duda tampan. "Ih Mama kok malah kepo sih!" sungut Raya. "L
Ucapan Mama kali ini terdengar begitu menyejukkan hati. Itulah yang membuatku terasa begitu nyaman saat bersamanya. Mama sanggup menjadi sahabat bagiku, akan tetapi beliau juga bisa menjadi selayaknya orangtua yang begitu bijak terhadap anaknya.Contohnya saja seperti saat ini. Di saat aku menceritakan tentang sosok teman lelakiku, Mama berperan sebagai seorang sahabat, dan di saat aku meminta pendapatnya, Mama menempatkan dirinya sebagai seorang orang tua. "Jangan pernah terpuruk pada masa lal, Sayang. Terkadang ... Tuhan memberikan kekecewaan pada diri kita, untuk menyambut kebahagiaan yang ada di depan mata," ucap Mama dengan begitu lembut. Cepat kupeluk tubuh Mama. Terasa tangan itu mengelus pucuk rambutku. Di saat seperti inilah aku merasa seperti kembali pada masa kecil dulu. "Minta petunjuk pada Tuhan, agar hatimu merasa begitu yakin dengan langkah apa yang akan kamu tentukan. Mama serahkan semuanya pada kamu," ucap mama kemudian sembari mengurai pelukanku. "Mama keluar dul
Beberapa bulan kemudianSuara tangisan bayi itu menggema memenuhi ruangan kamar bersalin. Raya meraup udara dalam-dalam, napasnya tersengal-sengal setelah melakukan proses melahirkan secara normal. Ravi yang saat ini berada di samping Raya, menangis tersedu-sedu kala sang istri berhasil melahirkan keturunannya. Bahkan, kali ini Ravi sedang merengkuh kepala sang istri. Air mata mengalir dengan begitu derasnya di kedua manik mata sepasang suami istri itu. "Selamat ya, Bu Raya dan Pak Ravi, bayinya berjenis kelamin laki-laki." Ravi melepaskan rengkuhan pada sang istri, sejenak mereka saling berpandangan. Terpancar suatu kebahagiaan dengan jelas pada wajah Raya dan juga Ravi. "Terima kasih, Sayang ...." Ravi mengelus pucuk kepala sang istri. Tenang Raya yang sepenuhnya belum pulih itu hanya merespon Ravi dengan anggukan kepala. Seorang dokter yang menggendong bayi mungil itu mendekat ke arah keduanya. "Lihatlah, bayinya sangat tampan." Sang dokter menunjukkan wajah bayi mungil itu.
Bab 307Nora tersentak saat menyadari ada seseorang yang menangkap tubuhnya. Ia berusaha meronta-ronta, dan meminta untuk dilepaskan. "Lepas! Lepas, nggak!" Nora berteriak keras tatkala menyadari kalau tubuhnya ditarik oleh seseorang.Mata wanita itu membola saat membalikkan wajahnya untuk melihat siapa yang melakukannya itu. Ia terbelalak, dan seketika rasa panik menggelayuti hatinya. Dia melihat ada delapan orang pria yang sudah mengerubunginya. Bau alkohol yang sangat menyengat langsung terhidu di hidungnya. Ya, orang-orang itu sedang mabuk rupanya. Dan, saat ini Nora adalah mangsa empuk dan lezat bagi mereka.Nora tak bisa membayangkan kalau malam ini dia akan menjadi pemuas nafsu bagi para lelaki mabuk itu. Ia tak pernah membayangkan akan digangbang masal oleh mereka."Pergi! Pergi kalian dari sini!" Nora berteriak setelah cukup lama mengumpulkan keberaniannya. Namun, teriakannya itu sama sekali tak berpengaruh pada mereka. Mereka hanya tertawa saja menanggapi teriakan Nora ya
Bab 306Bryan melangkahkan kaki memasuki beranda rumahnya. Lelaki itu meletakkan kunci mobilnya pada meja hias yang terletak di bawah televisi kemudian melepaskan jaket kulitnya yang berwarna hitam.Kepalanya melihat ke arah lorong yang berjejer pintu-pintu kamar. “Nora,” panggilnya karena ingin segera melihat wajah wanita itu, lelaki itu merasa bosan seharian di luar dan dirinya ingin mendapat pelayanan dari Nora malam ini.Tak ada sahutan saat Bryan memanggil nama wanita itu. “Nora?” panggil Bryan lagi sambil berjalan menuju kamar wanita itu. “Nora? Kenapa dia tidak menjawab?” herannya mengetuk pintu kamar.Tok tok tok …Bryan mengetuk pintu itu sekali lagi dan memanggil-manggil nama wanita pemuas nafsunya itu. Karena lelaki itu tak kunjung mendapatkan sahutan, Bryan pun akhirnya membuka pintu kamar itu dengan paksa.Ketika pintu dibuka, Bryan mendapati ruangan kamar yang kosong tak ada orang. Barang-barang Nora tampak berceceran dan satu hal yang membuat kening Bryan mengkerut. “Pa
"Tetapi sebelum itu, mungkin aku harus membersihkan diri dulu," gumam Nora saat menyadari tubuhnya sudah terasa begitu lengket. Tak ingin semakin membuang waktu, wanita itu pun segera mengambil handuknya yang masih tergantung di balik pintu kamar untuk kemudian melenggang memasuki kamar mandi.Sejenak Nora mengeluarkan senandungnya. Lalu, netra wanita itu tampak berkaca menanti kebebasan yang mungkin sebentar lagi akan dia rasakan."Seharusnya aku melakukan ini sejak lama. Aku benar-benar menyesal karena telah menghabiskan waktu dengan hal penuh dosa ini. Ya Tuhan, masih berkenan kah Engkau memberikan maaf padaku?" gumam Nora yang kini tengah berdiri tepat di bawah guyuran air showernya. Nora benar-benar tak sabar untuk memulai hidup baru yang akan dia isi dengan banyak hal-hal positif.Selesai melakukan ritual mandinya, Nora pun segera bergegas menuju ranjang tidur kemudian pakaian bersihnya untuk kemudian dia kenakan. Nora menatap ke arah kamarnya sesaat. Ruang berukuran sedang ini
Nora tidak sadrakan diri karena apa yang di lakukan Bryan kepadanya. Karena di tidak tahan dengan perlakuan Bryan yang membabi buta kepada Nora, membuat wanita itu berontak, akibatnya kepalanya terbentung kepala ranjang.Bryan langsung meninggalkan Nora begitu saja dan menyuruh anak buahnya untuk memanggilkan tenaga medis untuk menangani Nora. Sedangkan Bryan sendiri pergi entah kemana. Setelah puas melampiaskan hasratnya kepada Nora, lelaki itu merasa fresh dan siap menjalankan aktivitasnya.Sebenarnya Bryan juga sedikit heran dengan dirinya sendiri, entah sejak kapan dia sangat menikmati rasa sakit Nora, apalagi ketika gadis itu berteriak-teriak meminta berhenti dan menyudari permainan mereka, Bryan malah merasa terpacu dan tidak ingin berhenti. Dia merasakan kenikmatan yang luar biasa.Keesokan harinya Nora siuman dalam keadaan tidak bisa berjalan, dia juga merasa tenaganya habis terkuras serasa habis berlari ratusan kilometer.“Aku di mana? Apa yang terjadi padaku?” batin Nora sem
Malam ini, Nora tampil cantik dengan pakaian ketat dan belahan dada rendah. Dia menggunakan lipstik merah merona yang melapisi bibirnya, kalung cantik yang berkilauan, dan sepatu hak tinggi kulit hitam yang membuat kakinya terlihat berjenjang luar biasa.Rambutnya yang gelap dan tebal jatuh hingga ke tengah punggungnya. Sebatang rokok tergantung bebas dari antara bibirnya, sementara dia berjalan dengan sedikit berlenggak-lenggok. Ketika Nora melangkah memenuhi panggilan Brian, pinggulnya bergoyang sangat menawan.Sang Germo itu memandangnya seolah Nora berjalan dalam gerakan lambat. Nora memanglah sangat cantik dan tidak ada yang akan tahu tentang fakta bahwa dia adalah seorang wanita penghibur yang sebenarnya, jika mereka tidak melihatnya di tempat prostitusi.Seorang pelanggan dengan ekspresi wajah terlalu sumringah datang."Selamat malam, Pak?" sapa Brian tak kalah cerianya.Tentu saja dia menyambut dengan ramah sosok pria yang sudah pasti akan menyumbangkan pundi-pundi yang cukup
Bab 302“Please, berhenti, Bryan.” Nora ngos-ngosan dan kesulitan mengambil napas karena sejak tadi Bryan meneruskan ritme goyangan pinggulnya hingga keperkasaan lelaki itu menusuk masuk ke dalam milik sang wanita.“Diamlah! Nikmati saja!” desah Bryan yang kian mempercepat temponya. Lelaki yang posisinya berada di atas itu menopang tubuhnya dengan kedua lengan kekar yang ada di kedua sisi bahu Nora. Bryan menatap wajah Nora dengan keringat yang mengalir di pelipisnya.“T-tapi, ini sudah ronde … ah entahlah, entah ronde keberapa dalam hari ini!” jerit Nora meremas bantal yang mengalasi kepalanya. Dia memicingkan mata menahan rasa perih yang mulai menjalar pada bagian miliknya. Barangkali miliknya akan lecet setelah pergerumulan ini.“Sudah aku bilang! Aku masih belum puas dan ingin terus kau puaskan,” tukas Bryan dengan nada baritonnya. Suaranya yang berat membuat Nora terpaksa menyerah dan membiarkan tubuhnya terus terlentang dengan Bryan yang mendominasinya.Sudah sejak tiga jam lalu
Bab 301“Iya, cuih!” Mira melepeh makanan yang dibuat Amanda setelah sang ibu memaki masakan wanita itu. Dia mengambil tisu dan mengelap sisa makanan di mulutnya.Mira juga mendorong piringnya agar menjauhi pandanganya hingga membuat perasaan Amanda sangat tersakiti dibuatnya.“Maaf, Kak, Mama.” Amanda menunduk masih dengan mengenakan celemek dapur yang melilit pingganya. Dia terduduk di bangku meja makan dan tak mampu mengangkat wajahnya sama sekali.Sang ibu juga jadi tidak selera makan. Sejujurnya dia kesal bukan perkara masakan yang dibuat Amanda, namun omongan tetangga yang tadi dia dengar ketika arisan di rumah salah satu keluarga kaya.“Ibu benar-benar tidak tau lagi bagaimana harus menghadapi kamu, Amanda,” ujar sang Ibu menghela napasnya dengan kasar. Dia memukul-mukul dadanya yang terasa seksak. “Kamu bisanya bikin ibu menderita saja!”Air mata Amanda kembali berlinang. Terserah bila kakak-kakaknya terdengar begitu membencinya, tapi kini ibunya juga ikut kecewa padanya dan m
Amanda memasang wajah sedihnya. Dia benar-benar tak tahu harus bagaimana lagi sekarang. Tak punya tempat tinggal dan harta. Sama sekali tak pernah terbesit di pikiran jika pada akhirnya nasib yang dia alami akan sesial ini.Amanda menatap kedua saudaranya secara bergantian. Hal itu justru membuat Rudi dan Mira merasa semakin muak. "Ada apa lagi? Mau bicara apa lagi? Masih mau mengelak dan mengatakan kalau semua ini adalah milikmu? Iya!" sentak Mira seolah tak ingin memberikan kesempatan bagi Amanda untuk bicara.Dulu dia sangat menyukai adiknya ini, bagaimana pun Amanda adalah mesin uang yang mudah dimanfaatkan. Amanda selalu siap sedia kala saudaranya membutuhkan pinjaman. Bahkan Amanda tak segan memberikan uang secara cuma-cuma untuk sanak saudaranya yang kekurangan.Namun nyatanya semua kebaikan Amanda itu tak membuat kedua kakaknya merasa harus berbalas budi dan bersikap baik pada Amanda yang sekarang sepertinya telah jatuh miskin. Justru mereka merasa muak dan tak sudi berbaur de