Ucapan Mama kali ini terdengar begitu menyejukkan hati. Itulah yang membuatku terasa begitu nyaman saat bersamanya. Mama sanggup menjadi sahabat bagiku, akan tetapi beliau juga bisa menjadi selayaknya orangtua yang begitu bijak terhadap anaknya.Contohnya saja seperti saat ini. Di saat aku menceritakan tentang sosok teman lelakiku, Mama berperan sebagai seorang sahabat, dan di saat aku meminta pendapatnya, Mama menempatkan dirinya sebagai seorang orang tua. "Jangan pernah terpuruk pada masa lal, Sayang. Terkadang ... Tuhan memberikan kekecewaan pada diri kita, untuk menyambut kebahagiaan yang ada di depan mata," ucap Mama dengan begitu lembut. Cepat kupeluk tubuh Mama. Terasa tangan itu mengelus pucuk rambutku. Di saat seperti inilah aku merasa seperti kembali pada masa kecil dulu. "Minta petunjuk pada Tuhan, agar hatimu merasa begitu yakin dengan langkah apa yang akan kamu tentukan. Mama serahkan semuanya pada kamu," ucap mama kemudian sembari mengurai pelukanku. "Mama keluar dul
Pov Ravi***Aku melirik ke arah jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Jarum jam menunjukkan pukul empat sore, yang artinya sudah waktunya untuk pulang. Aku membereskan berkas-berkas yang tercecer di atas meja kerjaku. Kutumpuk menjadi satu lalu kumasukkan ke dalam map. Tak lupa, kumasukkan pula bolpoin ke dalam tempatnya.Aku segera bangkit dari tempat dudukku, setelahnya kuraih jas yang menyampir di sandaran kursi. Bergegas kukenakan jas tersebut lalu kuambil tas kerja yang kuletakkan di atas meja. Dengan langkah panjang, aku melangkah ke luar. Langkahku langsung tertuju ke arah di mana mobilku terparkir. Setelah kukaitkan sabuk pengaman, bergegas kuputar kunci mobil hingga sedetik kemudian suara deru mesin mobil mulai terdengar. Mobil melaju dengan kecepatan sedang hingga belasan menit kemudian, mobil yang kutumpangi masuk ke dalam pekarangan rumah. Saat baru saja aku keluar mobil, aku melihat gadis kecilku sudah berdiri di teras rumah dengan sang pengasuh yang ada di
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 83Kurebahkan tubuh Cahaya di tempat tidur yang bergambar hello kitty itu dan aku pun ikut merebahkan tubuhku di sana.Ada sebait doa terbersit di dalam hati, semoga saja ... kelak, Raya berada di posisi yang aku tempati saat ini.***Pov author"Nora! Nora!? Kemana si Nora kok gak ada?!" gumam David setelah ia masuk ke dalam kamar kos nya dan tidak mendapati sang istri berada di dalam kamarnya. Sore itu seperti biasa David baru saja pulang dari aktivitas berjualan ciloknya. Karena sudah terbiasa dahulunya David membantu sang ibu berjualan aneka makanan dan camilan. David tidak terlalu kesusahan untuk membuat jualannya kali ini. Hanya saja yang harus ia tekan adalah rasa gengsinya. Sudah lama David tidak merasakan hidup seperti itu. Semenjak dirinya bekerja perlahan kehidupannya mulai membaik. Ditambah lagi saat ia menikah dengan Raya. Segala kehidupan enak, terjamin dan nyaman seolah-olah selalu mengikutinya. Namun, lagi-lagi David dikalahkan oleh
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 84"Aku gak tahu lagi sama jalan pikiranmu, Nora. Terserah kamu sajalah. Aku capek, aku pulang cari duit bukannya dibuatkan teh atau kopi dan disambut senyuman malah kamu sambut aku dengan hal seperti ini dan dengan ucapan yang ketus! Pokoknya aku gak mau tahu itu uang yang aku kasih harus cukup untuk beberapa hari kedepan karena aku hari ini jualan lagi sepi jadi aku gak banyak bawa uang. Mana kita gak punya kulkas jadi sisa dagangan yang gak laku gak mungkin kan dijual buat besok lagi!" ketus David. Ia pun kembali merebahkan tubuhnya dan membelakangi Nora dengan sejuta perasaan kesal. "Ck! Nyebelin banget sih kamu, Mas! Ngeselin!" Nora pun sama jengkelnya dengan David. Misinya membuat sang suami senang dan memujinya pun gagal seketika. Padahal dalam hatinya tadi sudah memiliki keyakinan kalau David akan senang dan memujinya. Tentu saja memuji kecantikannya. Bagi Nora, membeli baju setiap seminggu sekali adalah sebuah kewajiban. Karena dirinya mema
David pun lantas bergegas menuju warung kelontong yang tak jauh dari tempat tinggalnya dengan berjalan kaki.Tak banyak yang ia beli, hanya seperempat telur dan juga sebungkus mie kuah rasa soto dengan merek mie seda*p. Setelah David memberikan uang dan telah menerima kembalian, ia pun lantas berjalan menuju ke rumah membawa kantong kresek berwarna hitam. "Mana, Mas?" tanya Nora yang tak sabar karena perut yang terasa begitu lapar. Apalagi semenjak kehamilan melanda, Nora doyan sekali yang namanya makan. David pun lantas memberikan kantong tersebut pada sang istri, bergegas Nora berjalan menuju dapur. Mengambil panci kecil dan menuangkan air ke dalamnya. "Sekalian bikin kopi atau teh, ya. Sekalian rebus airnya," ucap David yang ternyata mengikuti langkah sang istri. Setelah berucap, David pun meninggalkan Nora. Lelaki itu menuju ke ruang tengah untuk menggelar tikar sebagai tempatnya makan bersama dengan sang pujaan hati. "Iya," jawab Nora dengan singkat. Beberapa menit kemudian,
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 86"Aku tahu sakitnya pengkhianatan, akan tetapi, aku malah melakukan hal itu untuk menyakiti perempuan lain," ucap Arita dengan lirih dan penuh penyesalan."Maafkan aku, Raya, maafkan aku, Nania. Aku memang perempuan tak punya hati. Hanya demi ambisi dan napsuku, aku mengorbankan kalian demi menuruti egoku. Andaikan aku tidak membiarkan David dan Nora melakukan perbuatan bejat mereka, tentu saja aku pasti masih berhubungan baik dengan kalian. Sekarang aku hanya sendiri meratapi nasib. Masa tuaku yang pasti akan sendirian. Apakah ini karma untukku karena sudah berlaku jahat?" Arita medesah untuk menghilangkan sesak yang mendera dadanya. Pikirannya juga tiba-tiba teringat dengan Kevin. Seorang anak yang ia besarkan dengan penuh kasih sayang meski awalnya ia berat untuk menerima. Akan tetapi, jauh di lubuk hatinya yang terdalam Arita menyayangi Kevin. Bagaimanapun juga Arita sudah merawat Kevin sejak ia masih bayi. Tentu saja perasaan sayang itu pasti
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 87Hatinya tercabik, harga dirinya terkoyak. Bagaimana tidak? Jika seorang suami sendiri yang merendahkan harga dirinya. Namun, lagi-lagi Arita tidak bisa berbuat apa pun. Ia hanya bisa pasrah atas nasib buruk yang menimpanya. ***"Kenalkan dia Trias istri baruku. Kami baru saja menikah sebulan yang lalu," ucap Rama pada Arita yang sedang melipat baju. Gerakan tangan wanita cantik itu terhenti di udara dan menatap sosok pria yang jarang pulang dan sering memukulinya itu dengan tatapan nanar. "I-istri, Mas?" tanya Arita memastikan. "Yah, dia adik madumu, aku harap kamu dan Trias akur karena Trias akan tinggal di rumah ini selama dua bulan. Aku diajak Ayah pergi ke kota sebelah untuk urusan pekerjaan. Aku harap kamu sama Trias yang akur. Aku tidak mau mendengar kamu menindas Trias. Dia adalah belahan jiwaku," ucap Rama dengan santainya. Bahkan, Rama sama sekali tidak melihat ke arah Arita. Ia justru membelai rambut Trias dan meletakkan anak rambut it
"Silahkan pergi kalau kamu mau tapi jangan salahkan aku kalau Ayah akan menagih hutang-hutang orang tuamu yang sudah tua renta itu," ucap Rama yang membuat gerakan tangan Arita yang mengemas pun terhenti seketika.Arita menatap Rama dengan tatapan yang kembali berkaca-kaca. Ia masih tidak habis pikir bagaimana dengan jalan pikiran suaminya itu. Rama menginginkan kebebasan. Dengan terang-terangan Rama mengatakan jika dirinya lebih mencintai istri barunya ketimbang sosok Arita yang sudah menemaninya terlebih dahulu. Bukankah ancamannya itu sebagai senjatanya untuk mencegah kepergian Arita? Begitulah isi batin perempuan yang saat ini kembali meneteskan air mata."Kamu masih mau pergi?" tanya Rama dengan nada angkuhnya. Sebab Rama yakin jika ancaman itu sudah keluar dari mulutnya, maka Arita akan kembali mengurungkan niatnya untuk pergi. Bukan hanya sekali atau dua kali Rama mengancam dengan hal seperti itu, dan ancaman itu selalu menggagalkan kepergian Arita."Mas, tidak berpikir kah ka