Sambungan telepon itu terhubung setelah Ravi mengusap layar datar itu, setelahnya ia pun langsung menempelkan benda berukuran lima inchi tersebut di telinga kanannya. "Assalamualaikum, Kak," ucap Ravi membuka percakapan. Sedangkan terlihat Raya sedang bercanda ria dengan Cahaya. Sesekali tangan Raya mencubit lembut pada pipi gembul itu. "Waalaikumsalam, Rav. Kamu di mana?" tanya seorang perempuan di seberang sana yang merupakan satu-satunya kakak yang dimiliki oleh Ravi. "Lagi keluar, Kak, sama Cahaya. Ada apa ya? Sepertinya ada sesuatu yang sangat penting hingga membuat kakakku yang super sibuk itu sampai menghubungiku," sindir Ravi. Sebab, kakaknya satu itu memang sulit sekali dihubungi. Bukan tanpa sebab tentunya. Sang Kakak memiliki beragam bisnis yang digeluti, hingga membuat waktu perempuan berusia empat puluh tahun itu sibuk dengan dunianya sendiri. "Halah ... nggak usah nyindir begitu. Kakak sibuk banget akhir-akhir ini.""Sejak kapan Kakak nggak sibuk?" sela Ravi sebagai
"Mau, Ayah. Ayo sekarang pulang, Yah. Bawa Bunda sekalian ...."Tubuh mungil itu langsung merosot dari pangkuan Raya, diraihnya tangan Raya lalu diajaknya ia melangkah. Langkah kecil itu tertuju ke arah sang Ayah. Hal yang dilakukannya pun sama. Cahaya meraih tangan sang ayah lalu menggandengnya. "Ayo, Ayah. Kita bawa Bunda pulang ...," rengek Cahaya yang membuat Raya semakin dibuat bingung. Sedangkan Ravi hanya tertawa di dalam hati saat melihat Raya yang sedang salah tingkah. "Sebentar ya, Sayang. Bayar makanannya dulu," ucap Ravi. Setelahnya ia pun bangkit dari tempat duduknya dan Raya pun berkata,"ng–nggak usah dibayar." Raya berusaha menghilangkan kegugupannya. Ravi pun tak memperdulikan bangkit dari tempat duduknya, melangkah lah ia lalu berhenti tepat di samping Raya. "Jangan baper, aku hanya bercanda," bisik Ravi tepat di telinga kanan milik Raya..Ravi pun lantas melanjutkan langkah yang sempat terhenti, meninggalkan Raya yang saat itu merasa begitu geram, bahkan ia semp
"Raya, mana titipan Mama?" teriak Sang Mama saat Raya melewatinya begitu saja. Raya tak memperdulikan pertanyaan sang Mama, dengan sedikit berlari, Raya pun menuju ke arah kamarnya.Nania terheran melihat sang putri semata wayangnya bertingkah tidak seperti biasanya. Ia pun bangun dari posisi duduknya dan melangkah menuju kamar Raya. TokTokTok"Raya! Kamu kenapa, Nak? Tolong buka pintunya!" titah Nania pada Raya. Tidak berselang lama, pintu terdengar dibuka dari dalam sana. Nania pun segera masuk setelah Raya membuka lebar pintunya. Bagi keluarga Nania dan Raya meskipun antara ibu dan anak tapi, tetap saja mereka memiliki privasi yang harus mereka hargai satu dengan yang lainnya. Itulah yang membuat Raya merasa nyaman meski tinggal bersama orang tuanya. "Kamu kenapa Sayang?" tanya Nania setelah mendaratkan bokongnya di atas kasur empuk king size di kamar Raya. Nuansa coklat muda mendominasi kamar Raya hingga terlihat elegan dan kalem persis seperti kepribadian Raya yang juga kal
Raya membenarkan apa yang Nania ucapkan karena menurutnya itu cukup masuk akal dan cara terampuh membungkam netizen julid bin nyinyir yang tidak mencari tahu seluk beluk cerita seseorang dan asal main serang saja. "Yaudah nanti coba Raya bicarakan hal ini sama Ravi. Gara-gara ini Raya cuma takut akan berimbas pada usaha Raya." "Tapi memangnya kalian ada hubungan? Mama serius ini, Raya? Coba kamu katakan sama Mama apakah kalian ada hubungan?" "Emm, gimana ya, Ma, ngomongnya," ucap Raya sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tidaj gatal. "Ealah ditanyain kok malah garuk-garuk kepala. Ayo cepat katakan ada apa?!" titah Nania yang wajib dituruti. "Sebenarnya kemarin Ravi ngelamar Raya buat jadi bundanya Cahaya," ucap Raya dengan wajah bersemu merah. Hangat menerpa kulit yang terlihat putih dan mulus itu. "What?! Kami serius Raya? Terus, terus kamu jawab apa?!" tanya Nania yang begitu antusias mendengar anaknya dilamar oleh duda tampan. "Ih Mama kok malah kepo sih!" sungut Raya. "L
Ucapan Mama kali ini terdengar begitu menyejukkan hati. Itulah yang membuatku terasa begitu nyaman saat bersamanya. Mama sanggup menjadi sahabat bagiku, akan tetapi beliau juga bisa menjadi selayaknya orangtua yang begitu bijak terhadap anaknya.Contohnya saja seperti saat ini. Di saat aku menceritakan tentang sosok teman lelakiku, Mama berperan sebagai seorang sahabat, dan di saat aku meminta pendapatnya, Mama menempatkan dirinya sebagai seorang orang tua. "Jangan pernah terpuruk pada masa lal, Sayang. Terkadang ... Tuhan memberikan kekecewaan pada diri kita, untuk menyambut kebahagiaan yang ada di depan mata," ucap Mama dengan begitu lembut. Cepat kupeluk tubuh Mama. Terasa tangan itu mengelus pucuk rambutku. Di saat seperti inilah aku merasa seperti kembali pada masa kecil dulu. "Minta petunjuk pada Tuhan, agar hatimu merasa begitu yakin dengan langkah apa yang akan kamu tentukan. Mama serahkan semuanya pada kamu," ucap mama kemudian sembari mengurai pelukanku. "Mama keluar dul
Pov Ravi***Aku melirik ke arah jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Jarum jam menunjukkan pukul empat sore, yang artinya sudah waktunya untuk pulang. Aku membereskan berkas-berkas yang tercecer di atas meja kerjaku. Kutumpuk menjadi satu lalu kumasukkan ke dalam map. Tak lupa, kumasukkan pula bolpoin ke dalam tempatnya.Aku segera bangkit dari tempat dudukku, setelahnya kuraih jas yang menyampir di sandaran kursi. Bergegas kukenakan jas tersebut lalu kuambil tas kerja yang kuletakkan di atas meja. Dengan langkah panjang, aku melangkah ke luar. Langkahku langsung tertuju ke arah di mana mobilku terparkir. Setelah kukaitkan sabuk pengaman, bergegas kuputar kunci mobil hingga sedetik kemudian suara deru mesin mobil mulai terdengar. Mobil melaju dengan kecepatan sedang hingga belasan menit kemudian, mobil yang kutumpangi masuk ke dalam pekarangan rumah. Saat baru saja aku keluar mobil, aku melihat gadis kecilku sudah berdiri di teras rumah dengan sang pengasuh yang ada di
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 83Kurebahkan tubuh Cahaya di tempat tidur yang bergambar hello kitty itu dan aku pun ikut merebahkan tubuhku di sana.Ada sebait doa terbersit di dalam hati, semoga saja ... kelak, Raya berada di posisi yang aku tempati saat ini.***Pov author"Nora! Nora!? Kemana si Nora kok gak ada?!" gumam David setelah ia masuk ke dalam kamar kos nya dan tidak mendapati sang istri berada di dalam kamarnya. Sore itu seperti biasa David baru saja pulang dari aktivitas berjualan ciloknya. Karena sudah terbiasa dahulunya David membantu sang ibu berjualan aneka makanan dan camilan. David tidak terlalu kesusahan untuk membuat jualannya kali ini. Hanya saja yang harus ia tekan adalah rasa gengsinya. Sudah lama David tidak merasakan hidup seperti itu. Semenjak dirinya bekerja perlahan kehidupannya mulai membaik. Ditambah lagi saat ia menikah dengan Raya. Segala kehidupan enak, terjamin dan nyaman seolah-olah selalu mengikutinya. Namun, lagi-lagi David dikalahkan oleh
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 84"Aku gak tahu lagi sama jalan pikiranmu, Nora. Terserah kamu sajalah. Aku capek, aku pulang cari duit bukannya dibuatkan teh atau kopi dan disambut senyuman malah kamu sambut aku dengan hal seperti ini dan dengan ucapan yang ketus! Pokoknya aku gak mau tahu itu uang yang aku kasih harus cukup untuk beberapa hari kedepan karena aku hari ini jualan lagi sepi jadi aku gak banyak bawa uang. Mana kita gak punya kulkas jadi sisa dagangan yang gak laku gak mungkin kan dijual buat besok lagi!" ketus David. Ia pun kembali merebahkan tubuhnya dan membelakangi Nora dengan sejuta perasaan kesal. "Ck! Nyebelin banget sih kamu, Mas! Ngeselin!" Nora pun sama jengkelnya dengan David. Misinya membuat sang suami senang dan memujinya pun gagal seketika. Padahal dalam hatinya tadi sudah memiliki keyakinan kalau David akan senang dan memujinya. Tentu saja memuji kecantikannya. Bagi Nora, membeli baju setiap seminggu sekali adalah sebuah kewajiban. Karena dirinya mema