Detik, menit, jam, hari dan minggu pun berganti, akhirnya Arita berhasil menjual tanahnya kepada bu Laila dengan harga 160 juta rupiah. Yah, lebih mahal sedikit dari yang Arita perkirakan. Bu Laila pu memang berniat membantu Arita karena ia merasa iba dengan wanita tua itu di usia senjanya justru pontang-panting dengan masalah yang datang bertubi-tubi. Arita menggunakan uang tersebut untuk membeli sebidang tanah hanya seluas 60 meter persegi saja. Dan dengan sebuah bangunan berbahan papan di atas tanah itu yang hanya memiliki dua kamar, satu ruang tamu dan satu kamar mandi saja. Sangat sederhana sekali bukan? Arita membelinya dengan harga delapan puluh juta rupiah. Cukup murah karena lokasinya pun cukup jauh dari pusat kota. Bisa memakan waktu kurang lebih tiga puluh menit kalau ditempuh menggunakan kendaraan bermotor. Sebenarnya Arita terpaksa membeli rumah itu karena lebih mirip dengan kandang burung menurutnya. Akan tetapi, Arita tidak lagi punya pilihan, uang itu harus cukup unt
Pov ini diambil saat Kevin baru pulang dari menjenguk Nora. Jadi, saat pov Kevin, Nora dan David belum keluar dari penjara. Pov Kevin**Aku keluar dari kantor polisi dengan perasaan yang ... entah. Aku tak tahu, haruskah aku bahagia atas perceraian ini? Entahlah ....Meskipun tak ada rasa cinta untuk Nora, akan tetapi yang namanya perpisahan selalu menyesakkan di dalam dada. Berkali-kali aku menghela napas dalam-dalam dan kukeluarkan secara perlahan sebelum aku mulai menyalakan mesin mobil. Sejenak aku menyandarkan tubuhku di sandaran kursi sembari memejamkan kedua netraku. Setelah rasa sesak sudah sedikit berkurang, aku pun mulai memutar anak kunci, hingga sepersekian detik kemudian suara mesin mulai terdengar. Lantas, aku pun langsung melajukan kendaraan roda empat ini keluar dari halaman kantor polisi.Kali ini tempat yang akan kutuju adalah kediaman ibu. Entah kenapa, ibu yang beberapa hari ini tak bisa kuhubungi sedikit mengganggu pikiranku. Tak butuh waktu lama untuk samp
Pov Author. Hari terus berganti dengan hari. David mendapatkan kabar jika hari ini adalah sidang kedua dari kasus perceraiannya. "Kamu sudah siap, Sayang?" tanya Nora pada David yang saat ini sedang mengenakan jaket ke tubuhnya. "Sudah.""Pokok nanti kamu harus mendapatkan harta gono-gini dari Mbak Raya, Mas!" ketus Nora. "Iya, Sayang. Kamu tenang saja. Mas akan mendapatkan sesuatu yang memang menjadi milikku," ucap David dengan percaya dirinya. Nora pun tersenyum. Bayangan saat ia akan kembali hidup dengan dipenuhi oleh gelimangan harta terlintas di dalam benaknya. Rasanya ia sudah muak hidup seperti ini walau baru hitungan hari. Nora sudah merindukan kegiatannya di masa lalu. Bertemu dan menghabiskan waktu dengan teman-temannya di cafe, berbelanja dan perawatan di salon termahal. "Yuk kita berangkat," ajak David sembari merangkul Nora. Nora dan David pun lantas keluar dari kamar yang hanya ditutupi oleh tirai. Lantas mereka pun langsung menghampiri sang ibu yang sedang melaya
"Gimana mau ajukan banding? Kita nggak ada uang. Gimana bayar sewa pengacara? Kalau kita nggak sewa pengacara, ya sama saja hasilnya. Zonk!" ucap David. "Yaudah, suruh ibumu jual rumah itu, nanti kita gunakan uang itu buat bayar pengacara. Sementara kan kita bisa kontrak dulu sambil menunggu kamu dapat harta gono-gini." "Tapi aku gak yakin Ibu bakalan mau, secara hanya tinggal itu yang Ibu miliki. Iya kalau kita dapat harta gono-gininya, kalau enggak gimana?" "Duh, percaya deh Mas sama aku. Pasti kamu akan dapat. Nih ya, ibarat kamu buang uang lima sampai sepuluh juta buat bayar pengacara, nah nanti kamu dapatnya lebih besar dari itu. Hitung saja hasil dari cafe sama butik si Raya berapa. Dikali selama setahun kalian menikah. Sudah berapa uangnya? Gede, Mas, untung besar kamu," ucap Nora menggebu-gebu dengan pandangan mata yang berbinar. David yang awalnya ragu jadi mulai percaya pada Nora. Pikiran David masa iya sih Nora itu mau bohongin dia? Kan gak mungkin. Toh Nora juga yang a
"Ayolah, Bu, aku berani jamin kalau ini akan berhasil. Aku menikah dengan Raya kan setahun. Dari cafe dan butiknya kan menghasilkan nah itu juga ada hak aku dong secara kita sudah suami istri kala itu." "Ck, di mana otak kamu itu David! Kalau Ibu yang bicara begitu mungkin wajar karena Ibu tidak sekolah. Tapi kamu? Kamu sarjana masa hal begitu saja tidak mengerti? Siapa yang mengajarimu begitu? Pasti si Norak itu kan?" "Norak? Norak siapa?" "Ya Nora istri baru kamulah, siapa lagi!" "Ck, ya kan benar apa yang dia bilang kalau aku juga berhak pendapatan Raya selama aku menikah dengannya kemarin." "Jadi benar si Norak itu yang kasih ide konyol ini ke kamu? Astaga David harusnya kamu itu mikir. Jangan asal iya-iya aja apa yang Nora minta dan katakan. Kalian harus terima kenyataan kalau sekarang kita kembali miskin. Dengar David kita sekarang kembali MISKIN, dan itu semua gara-gara ulah kalian," ucap Arita menekan kata miskin pada David. "Yang ada bukannya Raya yang diminta untuk mem
Jarum jam terus berputar, hingga tanpa sadar matahari sudah menunjukkan sinarnya. Kedua insan yang saat ini masih terbaring di ranjang dengan posisi sambil berpelukan itu menggeliat saat sinar matahari menerobos masuk melalui celah-celah jendela. "Mas, bangun," ucap Nora sembari menggoyang-goyangkan tubuh sang suami yang kedua netra itu kembali menutup dengan sempurna. "Mas, ayo bangun!" sentak Nora. David yang merasa terganggu tidurnya itu pun lantas mengangkat kedua tangannya guna merengganggangkan otot-otot di tubuhnya itu. "Apa sih," ucap David dengan nada suara serak."Sudah siang, Mas. Kita kan rencananya mau ambil sertifikat Ibu. Cepetan, Mas!" ucap Nora. "Memangnya Ibu di mana? Kamu lihat dulu deh." Nora pun menghembuskan napas berat, bergegas ia pun keluar dari kamar. Menyusuri rumah yang tak seberapa luas itu. Tujuan utama Nora adalah dapur. Saat sudah sampai di sana, Nora tak melihat sang Ibu mertua. Lantas ia pun bergegas menuju ke arah kamar sang ibu. Perlahan Nora
"Baru juga beberapa hari Nora menikah denganmu, dia sudah berhasil membuatmu nekat seperti ini. Entah seperti apa jadinya kamu kalau hidup dengan perempuan yang tak jelas asal-usulnya itu selama bertahun-tahun.""Cukup, Bu! Cukup! Jangan hina aku lagi!" ucap Nora dengan bibir bergetar. Rasanya, perempuan itu sudah benar-benar merasa lelah diperlakukan seperti itu oleh Sang mertua. "Kenapa? Kamu tidak terima? Bukankah itu memang suatu fakta?!" "Bu! Sudah dong, Bu!" ucap David. "Kenapa? Semenjak adanya Nora, semua menjadi hancur, David! Dan sekarang kamu mencuri pasti juga hasutan dari Nora, bukan?!"Hening. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut mereka. Arita pun mencebikkan bibir. Setelahnya Arita pun mengangkat tangannya, telunjuk itu mengarah tepat di wajah sang menantu."Sekarang jika kamu masih menginginkan perempuan ini, pergilah dari rumah ini! Ibu tak mau melihat perempuan ini ada di rumah ini!" ucap Arita dengan dada naik turun dikarenakan emosi yang benar-benar tak bisa
Pov Raya**Dering ponsel dan getarannya membuyarkan konsentrasiku yang sedang membaca laporan keuangan yang baru saja kuterima dari orang kepercayaanku di cafe ini. Ya, saat ini aku sedang mengunjungi cafe milikku. Aku pun lantas mengalihkan pandanganku ke arah layar ponsel yang menyala itu. Lantas, aku pun meraih benda pipih tersebut. Terpampang dengan jelas nama Ravi sebagai pemanggilnya. Sedikit berkerut keningku saat mendapati lelaki itu menghubungiku. Sebab, semenjak sidang perceraian telah usai, kami tak pernah saling bertukar pesan. Bahkan, saat sidang perceraian itu belum tuntas, kami pun saling berhubungan jika memang ada sesuatu yang penting saja. Seputar kasus perceraianku. Akhirnya aku pun mengusap layar datar itu ke atas, setelahnya aku pun menempalkan benda pipih itu tepat di telinga kananku. "Bunda! Cahaya kangen ...."Seketika kujauhkan ponsel dari telingaku, menatap layar ponsel yang masih terhubung dengan panggilan. Aku memastikan jika aku tadi tak salah liha
Beberapa bulan kemudianSuara tangisan bayi itu menggema memenuhi ruangan kamar bersalin. Raya meraup udara dalam-dalam, napasnya tersengal-sengal setelah melakukan proses melahirkan secara normal. Ravi yang saat ini berada di samping Raya, menangis tersedu-sedu kala sang istri berhasil melahirkan keturunannya. Bahkan, kali ini Ravi sedang merengkuh kepala sang istri. Air mata mengalir dengan begitu derasnya di kedua manik mata sepasang suami istri itu. "Selamat ya, Bu Raya dan Pak Ravi, bayinya berjenis kelamin laki-laki." Ravi melepaskan rengkuhan pada sang istri, sejenak mereka saling berpandangan. Terpancar suatu kebahagiaan dengan jelas pada wajah Raya dan juga Ravi. "Terima kasih, Sayang ...." Ravi mengelus pucuk kepala sang istri. Tenang Raya yang sepenuhnya belum pulih itu hanya merespon Ravi dengan anggukan kepala. Seorang dokter yang menggendong bayi mungil itu mendekat ke arah keduanya. "Lihatlah, bayinya sangat tampan." Sang dokter menunjukkan wajah bayi mungil itu.
Bab 307Nora tersentak saat menyadari ada seseorang yang menangkap tubuhnya. Ia berusaha meronta-ronta, dan meminta untuk dilepaskan. "Lepas! Lepas, nggak!" Nora berteriak keras tatkala menyadari kalau tubuhnya ditarik oleh seseorang.Mata wanita itu membola saat membalikkan wajahnya untuk melihat siapa yang melakukannya itu. Ia terbelalak, dan seketika rasa panik menggelayuti hatinya. Dia melihat ada delapan orang pria yang sudah mengerubunginya. Bau alkohol yang sangat menyengat langsung terhidu di hidungnya. Ya, orang-orang itu sedang mabuk rupanya. Dan, saat ini Nora adalah mangsa empuk dan lezat bagi mereka.Nora tak bisa membayangkan kalau malam ini dia akan menjadi pemuas nafsu bagi para lelaki mabuk itu. Ia tak pernah membayangkan akan digangbang masal oleh mereka."Pergi! Pergi kalian dari sini!" Nora berteriak setelah cukup lama mengumpulkan keberaniannya. Namun, teriakannya itu sama sekali tak berpengaruh pada mereka. Mereka hanya tertawa saja menanggapi teriakan Nora ya
Bab 306Bryan melangkahkan kaki memasuki beranda rumahnya. Lelaki itu meletakkan kunci mobilnya pada meja hias yang terletak di bawah televisi kemudian melepaskan jaket kulitnya yang berwarna hitam.Kepalanya melihat ke arah lorong yang berjejer pintu-pintu kamar. “Nora,” panggilnya karena ingin segera melihat wajah wanita itu, lelaki itu merasa bosan seharian di luar dan dirinya ingin mendapat pelayanan dari Nora malam ini.Tak ada sahutan saat Bryan memanggil nama wanita itu. “Nora?” panggil Bryan lagi sambil berjalan menuju kamar wanita itu. “Nora? Kenapa dia tidak menjawab?” herannya mengetuk pintu kamar.Tok tok tok …Bryan mengetuk pintu itu sekali lagi dan memanggil-manggil nama wanita pemuas nafsunya itu. Karena lelaki itu tak kunjung mendapatkan sahutan, Bryan pun akhirnya membuka pintu kamar itu dengan paksa.Ketika pintu dibuka, Bryan mendapati ruangan kamar yang kosong tak ada orang. Barang-barang Nora tampak berceceran dan satu hal yang membuat kening Bryan mengkerut. “Pa
"Tetapi sebelum itu, mungkin aku harus membersihkan diri dulu," gumam Nora saat menyadari tubuhnya sudah terasa begitu lengket. Tak ingin semakin membuang waktu, wanita itu pun segera mengambil handuknya yang masih tergantung di balik pintu kamar untuk kemudian melenggang memasuki kamar mandi.Sejenak Nora mengeluarkan senandungnya. Lalu, netra wanita itu tampak berkaca menanti kebebasan yang mungkin sebentar lagi akan dia rasakan."Seharusnya aku melakukan ini sejak lama. Aku benar-benar menyesal karena telah menghabiskan waktu dengan hal penuh dosa ini. Ya Tuhan, masih berkenan kah Engkau memberikan maaf padaku?" gumam Nora yang kini tengah berdiri tepat di bawah guyuran air showernya. Nora benar-benar tak sabar untuk memulai hidup baru yang akan dia isi dengan banyak hal-hal positif.Selesai melakukan ritual mandinya, Nora pun segera bergegas menuju ranjang tidur kemudian pakaian bersihnya untuk kemudian dia kenakan. Nora menatap ke arah kamarnya sesaat. Ruang berukuran sedang ini
Nora tidak sadrakan diri karena apa yang di lakukan Bryan kepadanya. Karena di tidak tahan dengan perlakuan Bryan yang membabi buta kepada Nora, membuat wanita itu berontak, akibatnya kepalanya terbentung kepala ranjang.Bryan langsung meninggalkan Nora begitu saja dan menyuruh anak buahnya untuk memanggilkan tenaga medis untuk menangani Nora. Sedangkan Bryan sendiri pergi entah kemana. Setelah puas melampiaskan hasratnya kepada Nora, lelaki itu merasa fresh dan siap menjalankan aktivitasnya.Sebenarnya Bryan juga sedikit heran dengan dirinya sendiri, entah sejak kapan dia sangat menikmati rasa sakit Nora, apalagi ketika gadis itu berteriak-teriak meminta berhenti dan menyudari permainan mereka, Bryan malah merasa terpacu dan tidak ingin berhenti. Dia merasakan kenikmatan yang luar biasa.Keesokan harinya Nora siuman dalam keadaan tidak bisa berjalan, dia juga merasa tenaganya habis terkuras serasa habis berlari ratusan kilometer.“Aku di mana? Apa yang terjadi padaku?” batin Nora sem
Malam ini, Nora tampil cantik dengan pakaian ketat dan belahan dada rendah. Dia menggunakan lipstik merah merona yang melapisi bibirnya, kalung cantik yang berkilauan, dan sepatu hak tinggi kulit hitam yang membuat kakinya terlihat berjenjang luar biasa.Rambutnya yang gelap dan tebal jatuh hingga ke tengah punggungnya. Sebatang rokok tergantung bebas dari antara bibirnya, sementara dia berjalan dengan sedikit berlenggak-lenggok. Ketika Nora melangkah memenuhi panggilan Brian, pinggulnya bergoyang sangat menawan.Sang Germo itu memandangnya seolah Nora berjalan dalam gerakan lambat. Nora memanglah sangat cantik dan tidak ada yang akan tahu tentang fakta bahwa dia adalah seorang wanita penghibur yang sebenarnya, jika mereka tidak melihatnya di tempat prostitusi.Seorang pelanggan dengan ekspresi wajah terlalu sumringah datang."Selamat malam, Pak?" sapa Brian tak kalah cerianya.Tentu saja dia menyambut dengan ramah sosok pria yang sudah pasti akan menyumbangkan pundi-pundi yang cukup
Bab 302“Please, berhenti, Bryan.” Nora ngos-ngosan dan kesulitan mengambil napas karena sejak tadi Bryan meneruskan ritme goyangan pinggulnya hingga keperkasaan lelaki itu menusuk masuk ke dalam milik sang wanita.“Diamlah! Nikmati saja!” desah Bryan yang kian mempercepat temponya. Lelaki yang posisinya berada di atas itu menopang tubuhnya dengan kedua lengan kekar yang ada di kedua sisi bahu Nora. Bryan menatap wajah Nora dengan keringat yang mengalir di pelipisnya.“T-tapi, ini sudah ronde … ah entahlah, entah ronde keberapa dalam hari ini!” jerit Nora meremas bantal yang mengalasi kepalanya. Dia memicingkan mata menahan rasa perih yang mulai menjalar pada bagian miliknya. Barangkali miliknya akan lecet setelah pergerumulan ini.“Sudah aku bilang! Aku masih belum puas dan ingin terus kau puaskan,” tukas Bryan dengan nada baritonnya. Suaranya yang berat membuat Nora terpaksa menyerah dan membiarkan tubuhnya terus terlentang dengan Bryan yang mendominasinya.Sudah sejak tiga jam lalu
Bab 301“Iya, cuih!” Mira melepeh makanan yang dibuat Amanda setelah sang ibu memaki masakan wanita itu. Dia mengambil tisu dan mengelap sisa makanan di mulutnya.Mira juga mendorong piringnya agar menjauhi pandanganya hingga membuat perasaan Amanda sangat tersakiti dibuatnya.“Maaf, Kak, Mama.” Amanda menunduk masih dengan mengenakan celemek dapur yang melilit pingganya. Dia terduduk di bangku meja makan dan tak mampu mengangkat wajahnya sama sekali.Sang ibu juga jadi tidak selera makan. Sejujurnya dia kesal bukan perkara masakan yang dibuat Amanda, namun omongan tetangga yang tadi dia dengar ketika arisan di rumah salah satu keluarga kaya.“Ibu benar-benar tidak tau lagi bagaimana harus menghadapi kamu, Amanda,” ujar sang Ibu menghela napasnya dengan kasar. Dia memukul-mukul dadanya yang terasa seksak. “Kamu bisanya bikin ibu menderita saja!”Air mata Amanda kembali berlinang. Terserah bila kakak-kakaknya terdengar begitu membencinya, tapi kini ibunya juga ikut kecewa padanya dan m
Amanda memasang wajah sedihnya. Dia benar-benar tak tahu harus bagaimana lagi sekarang. Tak punya tempat tinggal dan harta. Sama sekali tak pernah terbesit di pikiran jika pada akhirnya nasib yang dia alami akan sesial ini.Amanda menatap kedua saudaranya secara bergantian. Hal itu justru membuat Rudi dan Mira merasa semakin muak. "Ada apa lagi? Mau bicara apa lagi? Masih mau mengelak dan mengatakan kalau semua ini adalah milikmu? Iya!" sentak Mira seolah tak ingin memberikan kesempatan bagi Amanda untuk bicara.Dulu dia sangat menyukai adiknya ini, bagaimana pun Amanda adalah mesin uang yang mudah dimanfaatkan. Amanda selalu siap sedia kala saudaranya membutuhkan pinjaman. Bahkan Amanda tak segan memberikan uang secara cuma-cuma untuk sanak saudaranya yang kekurangan.Namun nyatanya semua kebaikan Amanda itu tak membuat kedua kakaknya merasa harus berbalas budi dan bersikap baik pada Amanda yang sekarang sepertinya telah jatuh miskin. Justru mereka merasa muak dan tak sudi berbaur de