"Ya mana tau aja nanti habis cerai langsung nikah lagi eh gak taunya sebulan kemudian langsung isi. Kan siapa yang tahu," jawab mama di telingaku juga. Duh ingin sekali rasanya aku mencubit ginjal nenek tua in kalau dia bukan mamaku, ups. Dasar memang aku si anak durhaka. Maafkan aku wahai nenek kebayan. Nah lho, kok jadi nenek kebayan, hihihi maaf karena aku ingatnya si upin ipin ini kalau nenek kebayan suka sama anak kecil. "Ekhem, hem, khem eeekhem." Baru saja aku akan membalas ucapan mama, Ravi berdehem. Aku sontak menoleh ke arah Ravi dengan mengerutkan dahi. "Kamu kenapa? Keselek biji toge?" "Ah bukan, ini keselek biji terong." Hampir saja aku tergelak kalau tidak mengingat aku harus menjaga keanggunan dan keeleganan diriku di depan Ravi. Aku tidak mau memperlihatkan kebarbaranku sehingga membuat Ravi akan memanggilky dengan panggilan lain yang lebih menggelikan dari aya-aya wae seperti yang biasa ia sematkan padaku. "Yaudah sana, udah sore juga. Mama langsung balik. Tapi
Akan tetapi, tiba-tiba saja sebuah suara membuatku ingin menghilang dari muka bumi ini karena teramat malu. Wajahku memanas, mungkin kalau dikasih termometer sudah mencapai angka 90° celcius. "Dipuas-puasin dulu memandangiku. Karena sangat langka kan melihat aku tersenyum seperti tadi? Tapi kalau khusus kamu aku mau kok berikan sejuta senyuman untukmu." Air mana air, tolong Tuhan, ingin sekali rasanya aku enyah dari muka bumi ini sekarang juga. "Apaan sih, kepedean sekali anda ini tuan Ravi yang terhormat. Sejak kapan anda menjadi tampan?" sahutku sedikit ketus. Namun, Ravi justru tersenyum mendengar jawabanku. "Dasar biang es yang aneh," gumamku lirih. "Apa kamu bilang? Biang es? Siapa?" "Ah itu tadi ya tukang es tung-tung lah si biang es. Memangnya siapa lagi? Udah ah kapan jalannya ini dari tadi diam di tempat." Pletak. Aku meringis saat tangan kekar Ravi menyentil keningku. Sontak saja aku melotot sembari berkacak pinggang menatap ke arah Ravi. "Apaan sih! Dikira enggak s
Mataku terbelalak melihat sesosok itu. "Ibu?!" Mau apa dia ke rumah mama? Apa mau ngerusuh lagi? Aku harus secepatnya kasih tau mama. Aku mengambil ponselku di dalam tas, kucari nomor ponsel mama dan setelah ketemu aku pun menekan nomor tersebut hingga terdengar bunyi dering dari seberang sana. "Halo, Ray, ada apa?" tanya mama saat telepon baru saja tersambung. "Mama di mana?" tanyaku yang masih duduk di dalam taksi. "Mama di rumahlah, kenapa memangnya?" "Ma, ini Raya ada di depan rumah." "Terus? Ya kan biasanya langsung masuk. Kenapa sih? Kok aneh kamu?" "Itu di depan rumah ada Ibunya Mas David." "Apa!?" pekik mama sampai membuatku harus menjauhkan ponsel dari telingaku karena suaranya cukup membuat telingaku sakit. "Mau ngapain dia ke sini?" tanya mama lagi. "Ya Raya juga gak tahu, Ma. Raya juga baru saja sampai ini baru mau turun eh liat tuh orang berhenti di depan rumah pake ojek kayaknya. Kira-kira mau apa dia ya?" tanyaku balik. "Oh ya, Mama ingat. Mungkin dia mau am
"Nih ambil buat biaya pengobatan tuh c*ngormu yang bau!" Mama melempar tiga lembar uang berwarna merah di wajah tante Arita. Mungkin kalau yang tidak tahu permasalahannya akan menilai mama ini adalah orang yang sombong sebab sudah memperlakukan tante Arita seperti itu. Akan tetapi, karena aku tahu masalahnya dan aku tahu seperti apa tante Arita maka aku bilang apa yang mama lakukan adalah wajar. Masih bagus mama masih mau memberi biaya pengobatan untuk bibir tante Arita yang sebenarnya tidak seberapa parah. "Sudah sana! Mau apa lagi di sini! Yang kamu inginkan kan sudah dapat!" sentak mama karena melihat tante Arita yang tak kunjung pergi. "Uang segini mana cukup buat ke rumah sakit Nania?" "Cukup kalau cuma buat beli betadine. Kamu kira aku panti sosial seenaknya kamu mintain duit. Udah bagus aku masih mau kasih! Sudah sana pergi! Muak aku melihatmu lama-lama!" usir mama lagi."Awas kamu Nania! Kalau nanti David sudah keluar akan aku minta dia buat balas perlakuan dan penghinaan
Keduanya pun saling berjabat tangan dan ada sebersit rasa kekaguman di hati keduanya tanpa mereka sadari. "Ehm ...." Amanda pun berdehem karena tangannya tak kunjung dilepaskan oleh Kevin. Kevin pun lantas mengerjapkan kedua matanya beberapa kali lalu melepaskan tangan perempuan cantik itu. "Eh, maaf." Dengan gugup Kevin berucap. "Ya sudah, saya pergi dulu," pamit Kevin. "Baik, Mas." Kevin pun lantas melanjutkan langkahnya menuju ke ruangan Pak Rahmat. Di sepanjang langkah kakinya, bayangan wajah cantik itu terus berkelebatan di pelupuk matanya. Hingga tanpa sadar kedua sudut bibir Kevin tertarik ke atas hingga menciptakan suatu lengkungan sebuah senyuman. Senyuman yang sudah begitu lama sekali tak terlihat pada bibir lelaki itu. Kevin pun lantas memukul-mukul pelan kepalanya saat ia merasa dirinya sedang baik-baik saja. "Ingat, Kevin, Nora saja belum kamu ceraikan, masa kamu sudah memikirkan perempuan lain," gerutu Kevin dengan derap langkah yang semakin dipercepat. Ya,
"Begini Mbak Laila, kedatangan saya kemari ingin menawarkan sebidang tanah milik saya," ucap Arita ke pokok permasalahan. "Tanah yang mana, Mbak? Bekas bangunan rumah itu kah?" tanya Laila."Iya, Mbak. Saya ingin menjual tanah itu. Kalau Mbak Laila ingin membelinya, ini ada sertifikatnya." Arita pun lantas membuka tas miliknya lalu mengeluarkan benda berharga itu. Diulurkannya sertifikat itu ke arah Laila yang duduk di seberangnya. Ada perasaan ragu saat Laila ingin menerima sertifikat tersebut. "Mbak Laila tenang saja. Itu murni tanah milik saya. Tak akan ada masalah di kemudian hari," ucap Arita yang seolah-olah tahu akan kegundahan lawan bicaranya. Laila pun lantas menganggukkan kepala lalu menerima sertifikat tersebut. Dibukanya lembaran itu, memastikan siapa pemilik dari sebidang tanah yang berukuran seratus meter tersebut. Setelah dirasa cukup membacanya, Laila pun lantas menutupnya. Pandangannya kembali tertuju pada wajah yang terlihat begitu lelah itu. "Besar harapan sa
Kevin menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya menerawang memikirkan nasib rumah tangganya bersama Nora. tidak bisa dipungkiri ada yang terasa nyeri di dalam sudut hati Kevin mengingat dia sudah mempermainkan ikatan suci pernikahan. Padah Kevin sudah berjanji dengan Tuhannya kalau dia sudah menerima Nora sebagai istrinya. Akan tetapi, ucapan demi ucapan juga desakan dari sang ibu lah yang membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Sehingga menyetujui melakukan ide gila dari kakak tirinya itu. "Sepertinya besok aku harus pulang dulu dan menemui Nora ke penjara. Aku harus mengucapkan kata talak untuknya karena hingga detik ini dia masih sah sebagai istriku. Aku sudah gak tahan lagi ingin bebas dari semua ini. Maafkan aku, Ibu, bukan maksudku durhaka dan tidak tau terimakasih padamu. Aku juga manusia biasa yang punya batas sabar dan titik lelah. Semoga kelak Ibu akan menyadari semua kesalahan Ibu," gumam Kevin dalam hatinya. Kevin pun akhirnya terlelap karena hari sudah kian larut dan ma
Detik, menit, jam, hari dan minggu pun berganti, akhirnya Arita berhasil menjual tanahnya kepada bu Laila dengan harga 160 juta rupiah. Yah, lebih mahal sedikit dari yang Arita perkirakan. Bu Laila pu memang berniat membantu Arita karena ia merasa iba dengan wanita tua itu di usia senjanya justru pontang-panting dengan masalah yang datang bertubi-tubi. Arita menggunakan uang tersebut untuk membeli sebidang tanah hanya seluas 60 meter persegi saja. Dan dengan sebuah bangunan berbahan papan di atas tanah itu yang hanya memiliki dua kamar, satu ruang tamu dan satu kamar mandi saja. Sangat sederhana sekali bukan? Arita membelinya dengan harga delapan puluh juta rupiah. Cukup murah karena lokasinya pun cukup jauh dari pusat kota. Bisa memakan waktu kurang lebih tiga puluh menit kalau ditempuh menggunakan kendaraan bermotor. Sebenarnya Arita terpaksa membeli rumah itu karena lebih mirip dengan kandang burung menurutnya. Akan tetapi, Arita tidak lagi punya pilihan, uang itu harus cukup unt