"Kenapa, Nak?" Ibu menyela saat aku sengaja menghentikan ucapanku. Ada rasa ragu untuk mengungkapkan hal ini, sebab aku bisa melihat dengan jelas kedua netra itu sudah mulai berkaca-kaca. Cairan bening menggenang di kedua mata itu. "Parahnya ... mereka menyuruh David memberikan balsem pada senjata David, Bu," aduku lagi yang membuat ibu terkejut. Terbukti kedua bola mata itu melotot dengan sempurna. "Siapa yang menyuruhmu melakukan hal gila itu? Siapa yang menyuruhmu memijit dan mengerjaimu seperti itu? Apa para polisi dan sipir?" Ibu berucap dengan nada yang mulai meninggi, tentu Ibu tak terima jika anak kesayangannya diperlakukan dengan cara yang seperti itu. "Bukan, Bu. Para tahanan yang terlebih dahulu yang tinggal di sini," ucap yang membuat ibu menghembuskan napas berat. "Bu, apa Ibu sudah mendapatkan pengacara untuk membebaskan David? Bagaimana kata pengacara, Bu? Segera beritahu pengacara itu, Bu, agar David lekas bebas dari sini. David sudah benar-benar tak betah di sini,
Lihatlah, setelah keluar dari sini, akan kubuat perhitungan denganmu, Kevin. Berani sekali kau tinggalkan aku dan Ibu yang saat ini dalam keadaan terpuruk.***Pov Nora"Hei kamu! Cepat bersihkan ini sekarang!" ucap seorang teman satu selku bernama Mimi. Dia adalah narapidana yang menjadi ketua di dalam sel tahanan yang aku tempati. Hah, ingin rasanya aku meneriakinya kalau aku ini sudah sangat lelah. Selalu saja seperti itu, setiap ada pekerjaan kerja bakti pasti dia selalu memintaku untuk mengerjakan pekerjaannya juga. Bahkan, terkadang juga anak buahnya yang juga satu sel denganku pun turut mengerjaiku. Huh kesal, kesal, kesal! Ini semua salah si Raya. Gara-gara dia hidupku jadi begini. Ditambah lagi waktu awal-awal aku masuk ke dalam sel ini aku menjadi bulan-bulanan samsak tinju oleh mereka. Mereka mengatakan sangat membenci pelakor. Dih, padahal kan si Raya yang pelakor aku ini hanya mengambil hakku saja yakni mas David. Gara-gara Raya hadir di tengah-tengah hubunganku dengan
"Huek! Huek!" Aku mengeluarkan semua isi dalam perut sehingga membuat tubuhku terasa sangat lemas dan pandanganku berkunang-kunang lantas terlihat gelap. Namun, sebelum itu aku masih bisa mendengar Mimi yang mengejekku. "Hah, dasar pelakor lemah! Begini saja sudah pingsan! Memangnya enak Gue kerjain!" ****Aku terbangun dari pingsanku saat ada salah satu senior mengguyurkan air tepat di wajahku. Saat kedua mata ini sudah terbuka, aku mendapati ember besar ada di tangan Mbak Mimi, mungkin dia lah tersangkanya. Benar-benar tak punya hati sama sekali. Dia yang membuatku pingsan, dan dia membangunkanku dengan cara yang seperti ini.Rasanya kali ini aku benar-benar begitu tersiksa. Takdir ini begitu buruk sekali. Sial, sial, dan sial!Semua ini gara-gara Mbak Raya! Andai perempuan itu sedikit saja memiliki hati, pasti semua itu tak akan terjadi. Seharusnya, perempuan itu sadar diri dong, dia yang menjadi orang ketiga dalam hubunganku dengan Mas David, eh, malah dia yang seolah-olah be
POV KevinAku benar-benar muak dengan perlakuan ibu yang selalu ingin seenaknya sendiri saja. Sampai-sampai saat mbak Raya juga tante Nania ingin mengambil hak mereka justru ibu bertindak seenaknya dengan ingin menjual barang milik mbak Raya itu. Saat aku membela mbak Raya juga tante Nania, justru caci maki makin keluar dari mulut pedas ibu. Mengatakan aku anak pelacur dan menyesal telah merawatku. Sungguh aku sudah tidak tahan lagi dengan semua tekanan yang kudapat dari ibu. Meskipun ibu memang berjsa besar dalam membesarkanku tapi apakah dia tidak bisa jika sedikit saja menghargai perasaanku? Kurasa tidak. Jangankan menghargai perasaanku, bahkan melihatku saja ibu seperti jijik. Beliau memang benar-benar terpaksa merawatku, entah karena apa aku pun tidak tahu.Andai aku bisa memilih dan meminta, biarkan ibu menitipkanku di panti asuhan saja. Atau bisa membuangku di tumpukan sampah yang jika ada keberuntungan, akan diambil dan dirawat oleh orang lain, daripada dirawat oleh Ibu tapi
"Maaf, Pak, ada apa ya Bapak memanggil saya?" Pak Rahmad pun meraih sebuah amplop besar berwarna coklat dari meja lalu diarahkan padaku. "Buka dan bacalah ...." Aku mengambil amplop itu dan membukanya. Dadaku semakin berdegup kencang karena sejujurnya aku takut jika sumpah ibu terhadapku menjadi kenyataan. Dahiku berkerut saat mendapati sebuah surat di dalam amplop tersebut. Aku pun membuka dan membaca kalimatnya satu persatu. Mataku terbelalak seakan tak percaya dengan apa yang kubaca kali ini. Tidak-tidak aku sepertinya sedang bermimpi, aku mencubit lenganku sedikit kencang sehingga membuatku meringis karena ternyata terasa sakit. Itu artinya aku tidak sedang bermimpi. "Pak?" tanyaku meminta penjelasan pada pak Rahmad. Pak Rahmad yang seolah-olah mengerti dengan maksudku pun membuka suaranya kembali. "Ya, seperti yang kamu lihat dan baca sendiri itu memang benar." "I-ini serius, Pak? Tidak bercanda kan?" "Apa wajah saya terlihat sedang bercanda? Apa yang membuatmu tidak yakin
Pov authorSiang ini Raya juga Nania sedang menikmati makan siang di salah satu restoran seafood yang ada di kota mereka. Raya memesan ikan gurame bakar serta cumi saus tiram dan Nania memesan udang goreng tepung juga tom yam seafood. Mereka lagi-lagi hanya berdua saja sebab sang papa tengah sibuk dengan urusan pekerjaan yang tentunya tidak bisa ditinggal. "Raya, gimana perkembangan perceraian kamu dengan David? Sudah sampai di mana?" tanya Nania pada Raya yang sedang memakan ikan gurame bakarnya dengan tangan dan mencocolnya dengan sambal kecap kesukaannya. "Katanya sih sudah tinggal satu kali sidang lagi sudah langsung keputusan hakim, Ma, kenapa memangnya?" tanya Rata masih dengan mengunyah makanan miliknya. "Ya enggak, Mama sudah gak sabar aja lihat kamu cepetan pisah sama laki-laki sialan itu. Memangnya kamu gak mau cari penggantinya David apa?" tanya Nania yang membuat gerakan tangan Raya berhenti. "Pengganti, Ma? Mama nih ada-ada saja. Cerai saja belum resmi kok sudah mikir
"Bunda! Aku kangen sama Bunda! Bunda janji jangan tinggalin aku lagi ya," pekik Cahaya sembari menghambur ke dalam pelukan Raya.Aku pun membalas pelukan dari gadis kecil itu. Mengusap punggungnya lalu mencium pucuk kepalanya saat pelukan tangan mungil itu semakin terasa mengerat.Ada yang bergetar di dalam sini saat ada seseorang memanggilku dengan sebutan Bunda. Apalagi pelukan dari sepasang tangan mungil itu menambah getaran menjadi luar biasa terasanya. Entah kali ini aku harus bersedih atau bersyukur karena dari pernikahanku Tuhan belum menitipkan Amanah-Nya. Sekarang aku percaya, rencana Tuhan itu pastilah yang terbaik. Andai kata dari pernikahanku dengan Mas David sudah diberikan momongan, aku akan berpikir seribu kali untuk berpisah dengan lelaki itu. Dengan belum adanya momongan, tidak begitu rumit untuk menimbang-nimbang keputusan apa yang kuambil. Aku menghela napas dalam-dalam. Aku menatap Ravi, terlihat lelaki itu menatapku dengan tatapan yang begitu sayu.Ravi pun men
Aku pun memindahkan tubuh mungil itu ke pangkuan sang ayah. Sejenak tubuh bergaun merah maroon itu menggeliat lalu tenang kembali. "Aku pamit dulu ya. Sekali lagi terima kasih atas bantuannya dan maaf untuk kejadian hari ini." "Iya. Sama-sama." Ravi pun bangkit dari tempat duduknya. Baru saja beranjak– belum sampai ia melangkah– tiba-tiba suara jeritan itu terdengar. "Bunda! Bunda!" Tubuh mungil itu merosot dari gendongan sang Ayah. "Kita pulang ya, Sayang." Ravi membujuk sang putri saat tubuh putrinya itu meronta dan sepertinya ingin kembali ke pangkuanku. "Iya, Ayah. Tapi kita pulang sama Bunda." "Lepas, Ayah!" Cahaya pun terus menepis kedua tangan Ravi, lalu ia pun melangkah ke arahku. "Bunda ayo pulang bareng Ayah." ****Pov Arita**Setelah kepulanganku dari kantor polisi, aku pun berjalan menyusuri jalanan beraspal hitam ini. Bayangan wajah penuh kekecewaan dan kemarahan anak lelaki kesayanganku itu terus berkelebatan di pelupuk mataku yang mengiringi langkah kakiku.