Nania dan Raya hanya menonton pertunjukkan seru itu sembari mengunyah permen karet. Yah, selain Raya, ternyata Nania juga ikut-ikutan mengunyah permen karet karena ternyata dia ketagihan. "Ternyata enak ya mengunyah permen karet sambil menyaksikan pertunjukkan seru begini," seloroh Nania kepada Raya. "Enak dong, Mama sih telat taunya. Tapi hati-hati ntar tuh gigi copot lagi. Kan gak lucu kalau ada berita nanti begini misalnya. Diberitakan ada seorang Nenek yang copot giginya karena terlalu asyik mengunyah permen karet saat sedang menonton rumah besannya dihancurkan!" ucap Raya yang dibalas toyoran di kepala Raya oleh Nania. "Enak aja kalau ngomong. Nini-nini begini nih gigi masih ori tau, sekate-kate kalau cuap." "Hihihi, ya habis Mama suka banget ikut-ikutan gaya Raya. Raya masih muda sedang Mama sudah tuir," ucap Raya cekikikan. Kini suara cekikikan itu berubah menjadi kesakitan akibat telinganya dijewer oleh Nania. "Hayo berani ngeledekin Mama lagi? Tuh telinga putus nanti dua
"Seperti yang kamu lihat. Mama kan jagoan, kalau begini saja sih kecil," seloroh Nania sembari tersenyum pada Raya. Ia menyembunyikan rasa perih di kepalanya karena tidak mau membuat sang anak khawatir. Begitulah cinta kasih ibu kepada anak. Meski sang anak sudah berumah tangga dan sudah berusia dewasa tidak bisa menghilangkan rasa kasih dans sayangnya pda anak. Meskipun harus mempertaruhkan nyawanya sekalipun."Syukurlah kalau Mama baik-baik saja. Kita pulang aja yuk, Ma. Lihatlah, semakin ramai orang yang ada di sini," ucap Raya yang sebenarnya tak ingin ada lagi pertengkaran di antara mereka. Raya benar-benar khawatir terhadap sang Mama, meskipun Raya sendiri yakin kalau sang Mama bisa melindungi dirinya. "Kamu yakin mau pulang sekarang? Kamu nggak mau melihat rumah ini rata dengan tanah terlebih dahulu? Kamu nggak mau monster itu meluluhlantakkan bangunan ini agar rata dengan tanah, Raya?" Dengan cepat Raya menggelengkan kepalanya. "Baiklah, kita pulang sekarang," ucap Nania y
"Aku harus ke rumah Weni," lirih Arita setelah sedikit berhasil menenangkan gejolak batinnya. Bergegas Arita pun membawa tas miliknya yang berisi sisa uang pembayaran uang muka sewa pengacara, senilai dua juta dan ditambah uang pemberian dari Nania dua juta. Arita menghentikan laju taksi, bergegas ia masuk ke dalam mobil taksi setelah taksi itu berhenti. Arita pun menyebutkan salah satu alamat yang ditinggali oleh rekannya yang mengenalkan dirinya pada sang pengacara. Ya, Weni namanya. Perempuan yang masih terbilang muda, yang merupakan ketua arisan para ibu-ibu yang mengaku sosialita. Tak bisa dipungkiri, di sepanjang perjalanan, pikiran Arita terus merasa tak tenang. Sebab, di sepanjang perjalanan itu Arita terus berusaha menghubungi nomor sang pengacara. Akan tetapi, jangankan panggilan itu diangkat. Tersambung saja, tidak. Arita mencoba mengirimkan pesan untuk sang pengacara. [Selamat siang, Pak Hans. Apa kita bisa bertemu sekarang?] Begitulah bunyi pesan yang dikirimkan o
Pov David"Mas, jadi gimana dong. Masa kamu tega banget mau ninggalin aku begitu saja? Kan pacar kamu tuh aku. Seharusnya aku yang kamu nikahin dong, Mas!" ucap Nora yang terus saja terngiang-ngiang di telingaku. Aku tidak tega jika harus memutuskan hubunganku dengan Nora saat ibu memaksaku untuk menuruti keinginannya menikahi anak temannya. Aku sudah pernah melihatnya di foto. Cantik sih jauh lebih cantik daripada Nora. Hanya saja entah kenapa tidak ada getaran di hatiku untuknya. "Kamu sabar dulu dong, Sayang. Ya aku harus bagaimana lagi? Aku juga cinta dan sayang sama kamu. Aku juga maunya menikah denganmu tapi aku juga enggak bisa membantah Ibuku. Aku gak mau dicap anak durhaka karena aku juga sayang sama Ibuku." Aku mencoba menenangkan Nora yang terus saja memarahiku karena tidak setuju dengan berita yang kubawa untuknya yakni, perjodohanku dengan Raya. "Ya terus bagaimana lagi, Mas. Masa iya kamu mau mutusin hubungan ini begitu saja? Kamu tega banget, Mas. Aku ini sudah memb
Aku mulai melancarkan aksiku untuk berpura-pura sebagai sopir taksi online. Aku sudah merencanakan sebelumnya hal ini bersama ibi agar pertemuanku dengan Raya seperti tidak disengaja. Jadi, seolah-olah kebetulan yang sangat menyenangkan bagi Raya karena ternyata aku si pria kenalannya adalah calon yang dijodohkan oleh orang tua kami. ***"Saya terima nikah dan kawinnya Naraya Okta dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan perhiasan seberat lima gram emas dibayar tunai." Di sinilah aku sekarang sedang duduk berdampingan dengan Raya karena baru saja melakukan prosesi ijab kabul. Dapat kulihat binar bahagia di sorot mata Ibu dan juga wajahnya. Namun, saat aku melihat Nora hatiku menjadi tidak tega sebab aku dapat melihat matanya yang sembab karena air mata. Jelas saja dia menangis sebab menyaksikan kekasih pujaan hatinya menikah dengan orang lain. Kalau aku pun pasti juga akan sedih saat melihat kekasih hatiku bersanding dengan orang lain. Setengah hati juga aku menjalankan proses
"Maafkan aku ya Joni, kali ini harimu akan terasa panas. Tapi aku minta tolong padamu bertahan ya. Karena hanya kamu satu-satunya harta berharga yang aku miliki," ucapku dalam hati sembari memegang si joni alias gulingku.Aku mulai melakukan apa yang mereka perintahkan. Sebenarnya ada rasa malu saat melakukan hal seperti ini di depan mereka, akan tetapi rasa malu itu terkalahkan oleh rasa panas yang menjalar di gulingku itu. Memang, mereka benar-benar tak memiliki perasaan sama sekali, sebab saat aku meringis menahan rasa panas dan perih yang luar biasa, mereka malah tergelak tawa. Mungkin mereka pikir aksiku kali ini sebuah tontonan yang mereka anggap sebagai lelucon. "Kasih yang banyak, biar nggak masuk angin lagi," celetuk salah satu dari mereka yang disambut dengan gelak tawa lainnya. "Ha ha ha, benar katamu. Biasanya tiap hari celup sana celup sini kayak teh yang membutuhkan kehangatan. Dan sekarang dia kedinginan!""Iya. Karena kedinginan jadinya masuk angin." Gelak tawa kem
"Kenapa, Nak?" Ibu menyela saat aku sengaja menghentikan ucapanku. Ada rasa ragu untuk mengungkapkan hal ini, sebab aku bisa melihat dengan jelas kedua netra itu sudah mulai berkaca-kaca. Cairan bening menggenang di kedua mata itu. "Parahnya ... mereka menyuruh David memberikan balsem pada senjata David, Bu," aduku lagi yang membuat ibu terkejut. Terbukti kedua bola mata itu melotot dengan sempurna. "Siapa yang menyuruhmu melakukan hal gila itu? Siapa yang menyuruhmu memijit dan mengerjaimu seperti itu? Apa para polisi dan sipir?" Ibu berucap dengan nada yang mulai meninggi, tentu Ibu tak terima jika anak kesayangannya diperlakukan dengan cara yang seperti itu. "Bukan, Bu. Para tahanan yang terlebih dahulu yang tinggal di sini," ucap yang membuat ibu menghembuskan napas berat. "Bu, apa Ibu sudah mendapatkan pengacara untuk membebaskan David? Bagaimana kata pengacara, Bu? Segera beritahu pengacara itu, Bu, agar David lekas bebas dari sini. David sudah benar-benar tak betah di sini,
Lihatlah, setelah keluar dari sini, akan kubuat perhitungan denganmu, Kevin. Berani sekali kau tinggalkan aku dan Ibu yang saat ini dalam keadaan terpuruk.***Pov Nora"Hei kamu! Cepat bersihkan ini sekarang!" ucap seorang teman satu selku bernama Mimi. Dia adalah narapidana yang menjadi ketua di dalam sel tahanan yang aku tempati. Hah, ingin rasanya aku meneriakinya kalau aku ini sudah sangat lelah. Selalu saja seperti itu, setiap ada pekerjaan kerja bakti pasti dia selalu memintaku untuk mengerjakan pekerjaannya juga. Bahkan, terkadang juga anak buahnya yang juga satu sel denganku pun turut mengerjaiku. Huh kesal, kesal, kesal! Ini semua salah si Raya. Gara-gara dia hidupku jadi begini. Ditambah lagi waktu awal-awal aku masuk ke dalam sel ini aku menjadi bulan-bulanan samsak tinju oleh mereka. Mereka mengatakan sangat membenci pelakor. Dih, padahal kan si Raya yang pelakor aku ini hanya mengambil hakku saja yakni mas David. Gara-gara Raya hadir di tengah-tengah hubunganku dengan