SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 20Setelah semua barang-barang pribadiku sudah masuk ke dalam koper, bergegas aku menghempaskan tubuhku di ranjang. Aku menoleh ke arah jam yang ada di dinding. Ternyata jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Aku memejamkan kedua netraku, rasanya sudah tak sabar sekali menanti hari esok tiba. Hari di mana pertunjukkan akan terjadi lagi.Belum sempat aku terlelap tiba-tiba saja ponsel milikku kembali bergetar. Aku kembali mengambil ponsel yang kuletakkan di atas nakas persis sebelah ranjang king size yang aku tiduri ini. Aku melihat layar ponsel milikku dan tertera nama mama di sana. Aku mengernyitkan dahi karena heran mama yang kembali menghubungiku entah ada apa. Aku takut ini penting dan aku pun segera mengangkat telepon itu. "Ya halo, Ma? Ada apa?" ucapku langsung pada intinya. "Raya, Mama lupa bilang, apa kamu gak ada rekaman gitu tentang kejadian yang ada di sana? Misalnya percakapan gitu di antara mereka," jawab mama yang membuatku
Kehadiranmu ... bagai gerimis yang membasahi ladang hati yang gersang .... Sementara kepergianmu ... menciptakan kebencian dan rasa penyesalan yang tak berkesudahan ....****"Nania, aku mohon maafkan aku Nania, aku khilaf Nania." tiba-tiba saja ibu mertua bersimpuh di kaki mama tapi dengan cepat mana menepis tangan itu dengan menendangnya hingga membuat ibu terjengkang. "Lepaskan tanganmu yang najis itu dari tubuhku Arita!"Terlihat dengan jelas kedua sudut mata Ibu mengucurkan air mata dengan begitu derasnya. Aku tersenyum sinis. Jahatkah aku jika melihat ibu mertua semenyedihkan ini? Kupikir tidak, sebab semua adalah konsekwensi yang memang harus ia terima. "Makanya jadi orang yang lurus-lurus aja. Penampilan terlihat sempurna, kalau bicara sama orang lain lembutnya minta ampun. Eh, sama anak tirinya malah kayak gitu. Kami ya, Jeng, sama pembantu nggak pernah loh bicara sekasar itu," ucap Tante Monik. Mama mencebikkan bibirnya sembari melipat kedua tangannya didepan dada. "Ma
Aku tersenyum kecut saat melihat wajah itu begitu menyedihkan. Bahkan, kedua netra itu terlihat sembab karena terlalu lama menangis. Jujur ... aku bahagia melihat Ibu semenderita ini. Aku dan Mama kembali menuruni anak tangga hingga sampai pada anak tangga terakhir. Tanpa berpamitan, kami langsung melenggang pergi. Peduli setan jika dianggap tak punya sontan. "Raya, kamu mau ke mana, Nak?" Tiba-tiba Ibu menghadang langkah kami. "Aku mau pulang, Bu," ucapku dengan nada ketus. Mama menarik pergelangan tanganku hingga akhirnya kami pun kembali melangkah. Tak kami pedulikan Ibu yang terus membuntuti dan berusaha menghentikan langkah kami. "Raya, semua bisa dibicarakan, Nak. Jangan pergi, jangan tinggalkan Ibu, Nak. Bagaimana dengan David. Raya ... jangan gegabah, Nak. Kamu hanya sedang emosi sesaat." Seketika langkahku dan juga Mama berhenti di teras rumah. Mendengar penuturan perempuan yang sempat kuhormati karena menyandang gelar sebagai ibu mertua itu emosi serasa naik ke puncak
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 23Setelah melempar amplop berwarna coklat tersebut, Mama langsung berjalan kembali. Sedangkan Ibu Mertua bergetar tangannya membuka amplop tersebut. Air mata itu bertambah deras saat membaca isi dalam amplop itu. "Nikmatilah penderitaan yang kalian ciptakan," ucapku dalam hati sembari tersenyum sinis."Raya tunggu Raya! Tolong maafkan Ibu dan David, Raya! Berikan kami satu kesempatan lagi!" pekik ibu mertuaku yang terakhir dapat kudengar sebelum akhirnya aku mengemudikan mobil milikku dan meninggalkan kediaman ibu mertuaku itu. "Ma, ini kita mau langsung pulang ke rumah atau gimana? Kita mau ngapain selanjutnya, Ma?" tanyaku di sela aku yang tengah fokus ke jalan yang cukup padat itu. "Kemana lagi? Ya tentu saja ke kantor polisi. Kalau mau membalas itu yang tuntas sekalian jangan nanggung-nanggung," ucap mama padaku. "Mau balas yang bagaimana? Jujur kalau soal beginian aku memang rada-rada lemot, Ma, heheheh," selorohku sembari menggaruk kepala
Pov Author**"Aku minta kamu menukar kebebasan anakmu dengan rumah yang kamu tinggali saat ini untuk berubah nama menjadi nama Raya dan setelahnya kalian tinggalkan rumah itu. Gimana? Deal?" Sempat Raya terkejut saat mendengar apa yang dikatakan oleh Nania, sebab persyaratan itu sebelumnya tak pernah ada dalam perbincangan mereka. Raya menggaruk kepalanya yang sebenarnya tak terasa gatal. Entah kenapa sang mama malah memberikan persyaratan untuk kebebasan David. Padahal saat berangkat tadi sang Mama begitu mengharapkan David agar mendekam dibalik jeruji besi. "Kamu mau mengambil rumahku, Nania? Apa kamu lupa jika aku ini sahabat kamu?" Dengan tak tahu malunya Arita berucap. Mendengar Arita berucap dengan demikian, sontak saja membuat Nania meradang. Tak tahu bagaimana jalan pikiran Arita– sahabatnya itu. "Sahabat macam apa kamu yang berbuat sedemikian rupa? Sahabat macam apa kamu ini, Arita, hanya demi memuaskan napis?!" ucap Nania dengan nada suara yang menggelegar. Tak ada j
"Lalu giliran akhirnya seperti ini, Mama malah menyalahkan Nora!" lanjut David yang tak terima saat orang yang ia kasihi dihina sedemikian rupa. "David nggak mau tau, Ma. Gimana pum caranya David haru keluar dari penjara ini. Secepatnya!"Cepat David bangkit dari tempat duduknya lalu melenggang pergi begitu saja meninggalkan sang Mama yang terus memanggil namanya. Arita berkali-kali menghembuskan napas berat. Kali ini dadanya terasa begitu sesak. Beban yang berada di pundaknya semakin terasa begitu berat. Apalagi melihat putranya menyalahkan semua yamg terjadi pada dirinya. Arita bangkit dari kursi plastik yang beberapa menit ia duduki. Perempuan paruh baya itu berjalan keluar kantor polisi menuju ke arah jalan raya guna menghentikan taksi. Beberapa menit menunggu, Arita berhasil mendapatkan taksi yang ia minta untuk antarkan pulang. Di sepanjang perjalanan, Arita terus memutar otaknya untuk mencari cara agar bisa membebaskan putra kesayangannya. Tiba-tiba terlintas satu nama. K
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 26Ada rasa sesak yang menyeruak yang dirasakan oleh Guntur saat mengatakan kalimat terakhirnya itu. Sedih yang dirasakan oleh Guntur saat mendapati pernikahan putrinya itu hanya bertahan tak lebih dari satu tahun. Namun, Guntur pun lebih mementingkan kebahagiaan sang putri, tak mengapa jika Raya menyandang gelar status janda daripada hidup di tengah-tengah keluarga tak tahu diri itu."Tapi, Ren, apakah tidak menjadi masalah sama profesi kamu nantinya kalau misalkan kamu menangani kasus Raya juga David sedangkan mereka berdua adalah suami dan istri?" tanya Guntur lagi pada Rendra sahabatnya itu. "Kamu tidak usah hiraukan soal itu. Tentu saja aku tidak akan gegabah dalam hal ini. Aku sudah memperkirakannya secara matang. Mudah saja bagiku. Di kantor milikku kan ada beberapa pengacara yang ikut bekerja di sana." Guntur mengangguk-anggukkan kepalanya tanda sedikit mengerti dengan ucapan sahabatnya itu. Akan tetapi, kening yang sudah mulai keriput itu j
Mataku mengerjap pelan saat terdengar suara ketukan dari pintu dan diiringi suara mama yang menyebut namaku beberapa kali. Aku mengangkat kedua tanganku merenggangkan otot-otot di tubuhku yang terasa begitu kaku lalu ku usap wajahku dengan Kedua telapak tanganku"Raya bangun, Sayang," ucap Mama kembali saat aku tak kunjung memberikan sahutan. "Iya, Ma," sahutku dengan nada suara serak seperti seorang yang baru saja bangun tidur. Ya, sejak kemarin aku memang sedang datang bulan jadi tidak mendapatkan kewajiban sebagai seorang muslim.Aku menyibak selimut tebal berwarna putih yang bertengger di atas tubuhku sebatas dada, lalu aku beringsut dari ranjang dan melangkah dengan gontai menuju ke arah pintu. Aku meraih gagang pintu setelah memutar anak kunci, lalu menekannya ke bawah dan mendorong daun pintu tersebut hingga terbuka sebatas bahu."Buruan gih mandi, kita sarapan," ucap Mama. Aku mengusap wajahku beberapa kali. Rasa kantuk masih terasa benar-benar menguasai. Semalam aku tidur t
Beberapa bulan kemudianSuara tangisan bayi itu menggema memenuhi ruangan kamar bersalin. Raya meraup udara dalam-dalam, napasnya tersengal-sengal setelah melakukan proses melahirkan secara normal. Ravi yang saat ini berada di samping Raya, menangis tersedu-sedu kala sang istri berhasil melahirkan keturunannya. Bahkan, kali ini Ravi sedang merengkuh kepala sang istri. Air mata mengalir dengan begitu derasnya di kedua manik mata sepasang suami istri itu. "Selamat ya, Bu Raya dan Pak Ravi, bayinya berjenis kelamin laki-laki." Ravi melepaskan rengkuhan pada sang istri, sejenak mereka saling berpandangan. Terpancar suatu kebahagiaan dengan jelas pada wajah Raya dan juga Ravi. "Terima kasih, Sayang ...." Ravi mengelus pucuk kepala sang istri. Tenang Raya yang sepenuhnya belum pulih itu hanya merespon Ravi dengan anggukan kepala. Seorang dokter yang menggendong bayi mungil itu mendekat ke arah keduanya. "Lihatlah, bayinya sangat tampan." Sang dokter menunjukkan wajah bayi mungil itu.
Bab 307Nora tersentak saat menyadari ada seseorang yang menangkap tubuhnya. Ia berusaha meronta-ronta, dan meminta untuk dilepaskan. "Lepas! Lepas, nggak!" Nora berteriak keras tatkala menyadari kalau tubuhnya ditarik oleh seseorang.Mata wanita itu membola saat membalikkan wajahnya untuk melihat siapa yang melakukannya itu. Ia terbelalak, dan seketika rasa panik menggelayuti hatinya. Dia melihat ada delapan orang pria yang sudah mengerubunginya. Bau alkohol yang sangat menyengat langsung terhidu di hidungnya. Ya, orang-orang itu sedang mabuk rupanya. Dan, saat ini Nora adalah mangsa empuk dan lezat bagi mereka.Nora tak bisa membayangkan kalau malam ini dia akan menjadi pemuas nafsu bagi para lelaki mabuk itu. Ia tak pernah membayangkan akan digangbang masal oleh mereka."Pergi! Pergi kalian dari sini!" Nora berteriak setelah cukup lama mengumpulkan keberaniannya. Namun, teriakannya itu sama sekali tak berpengaruh pada mereka. Mereka hanya tertawa saja menanggapi teriakan Nora ya
Bab 306Bryan melangkahkan kaki memasuki beranda rumahnya. Lelaki itu meletakkan kunci mobilnya pada meja hias yang terletak di bawah televisi kemudian melepaskan jaket kulitnya yang berwarna hitam.Kepalanya melihat ke arah lorong yang berjejer pintu-pintu kamar. “Nora,” panggilnya karena ingin segera melihat wajah wanita itu, lelaki itu merasa bosan seharian di luar dan dirinya ingin mendapat pelayanan dari Nora malam ini.Tak ada sahutan saat Bryan memanggil nama wanita itu. “Nora?” panggil Bryan lagi sambil berjalan menuju kamar wanita itu. “Nora? Kenapa dia tidak menjawab?” herannya mengetuk pintu kamar.Tok tok tok …Bryan mengetuk pintu itu sekali lagi dan memanggil-manggil nama wanita pemuas nafsunya itu. Karena lelaki itu tak kunjung mendapatkan sahutan, Bryan pun akhirnya membuka pintu kamar itu dengan paksa.Ketika pintu dibuka, Bryan mendapati ruangan kamar yang kosong tak ada orang. Barang-barang Nora tampak berceceran dan satu hal yang membuat kening Bryan mengkerut. “Pa
"Tetapi sebelum itu, mungkin aku harus membersihkan diri dulu," gumam Nora saat menyadari tubuhnya sudah terasa begitu lengket. Tak ingin semakin membuang waktu, wanita itu pun segera mengambil handuknya yang masih tergantung di balik pintu kamar untuk kemudian melenggang memasuki kamar mandi.Sejenak Nora mengeluarkan senandungnya. Lalu, netra wanita itu tampak berkaca menanti kebebasan yang mungkin sebentar lagi akan dia rasakan."Seharusnya aku melakukan ini sejak lama. Aku benar-benar menyesal karena telah menghabiskan waktu dengan hal penuh dosa ini. Ya Tuhan, masih berkenan kah Engkau memberikan maaf padaku?" gumam Nora yang kini tengah berdiri tepat di bawah guyuran air showernya. Nora benar-benar tak sabar untuk memulai hidup baru yang akan dia isi dengan banyak hal-hal positif.Selesai melakukan ritual mandinya, Nora pun segera bergegas menuju ranjang tidur kemudian pakaian bersihnya untuk kemudian dia kenakan. Nora menatap ke arah kamarnya sesaat. Ruang berukuran sedang ini
Nora tidak sadrakan diri karena apa yang di lakukan Bryan kepadanya. Karena di tidak tahan dengan perlakuan Bryan yang membabi buta kepada Nora, membuat wanita itu berontak, akibatnya kepalanya terbentung kepala ranjang.Bryan langsung meninggalkan Nora begitu saja dan menyuruh anak buahnya untuk memanggilkan tenaga medis untuk menangani Nora. Sedangkan Bryan sendiri pergi entah kemana. Setelah puas melampiaskan hasratnya kepada Nora, lelaki itu merasa fresh dan siap menjalankan aktivitasnya.Sebenarnya Bryan juga sedikit heran dengan dirinya sendiri, entah sejak kapan dia sangat menikmati rasa sakit Nora, apalagi ketika gadis itu berteriak-teriak meminta berhenti dan menyudari permainan mereka, Bryan malah merasa terpacu dan tidak ingin berhenti. Dia merasakan kenikmatan yang luar biasa.Keesokan harinya Nora siuman dalam keadaan tidak bisa berjalan, dia juga merasa tenaganya habis terkuras serasa habis berlari ratusan kilometer.“Aku di mana? Apa yang terjadi padaku?” batin Nora sem
Malam ini, Nora tampil cantik dengan pakaian ketat dan belahan dada rendah. Dia menggunakan lipstik merah merona yang melapisi bibirnya, kalung cantik yang berkilauan, dan sepatu hak tinggi kulit hitam yang membuat kakinya terlihat berjenjang luar biasa.Rambutnya yang gelap dan tebal jatuh hingga ke tengah punggungnya. Sebatang rokok tergantung bebas dari antara bibirnya, sementara dia berjalan dengan sedikit berlenggak-lenggok. Ketika Nora melangkah memenuhi panggilan Brian, pinggulnya bergoyang sangat menawan.Sang Germo itu memandangnya seolah Nora berjalan dalam gerakan lambat. Nora memanglah sangat cantik dan tidak ada yang akan tahu tentang fakta bahwa dia adalah seorang wanita penghibur yang sebenarnya, jika mereka tidak melihatnya di tempat prostitusi.Seorang pelanggan dengan ekspresi wajah terlalu sumringah datang."Selamat malam, Pak?" sapa Brian tak kalah cerianya.Tentu saja dia menyambut dengan ramah sosok pria yang sudah pasti akan menyumbangkan pundi-pundi yang cukup
Bab 302“Please, berhenti, Bryan.” Nora ngos-ngosan dan kesulitan mengambil napas karena sejak tadi Bryan meneruskan ritme goyangan pinggulnya hingga keperkasaan lelaki itu menusuk masuk ke dalam milik sang wanita.“Diamlah! Nikmati saja!” desah Bryan yang kian mempercepat temponya. Lelaki yang posisinya berada di atas itu menopang tubuhnya dengan kedua lengan kekar yang ada di kedua sisi bahu Nora. Bryan menatap wajah Nora dengan keringat yang mengalir di pelipisnya.“T-tapi, ini sudah ronde … ah entahlah, entah ronde keberapa dalam hari ini!” jerit Nora meremas bantal yang mengalasi kepalanya. Dia memicingkan mata menahan rasa perih yang mulai menjalar pada bagian miliknya. Barangkali miliknya akan lecet setelah pergerumulan ini.“Sudah aku bilang! Aku masih belum puas dan ingin terus kau puaskan,” tukas Bryan dengan nada baritonnya. Suaranya yang berat membuat Nora terpaksa menyerah dan membiarkan tubuhnya terus terlentang dengan Bryan yang mendominasinya.Sudah sejak tiga jam lalu
Bab 301“Iya, cuih!” Mira melepeh makanan yang dibuat Amanda setelah sang ibu memaki masakan wanita itu. Dia mengambil tisu dan mengelap sisa makanan di mulutnya.Mira juga mendorong piringnya agar menjauhi pandanganya hingga membuat perasaan Amanda sangat tersakiti dibuatnya.“Maaf, Kak, Mama.” Amanda menunduk masih dengan mengenakan celemek dapur yang melilit pingganya. Dia terduduk di bangku meja makan dan tak mampu mengangkat wajahnya sama sekali.Sang ibu juga jadi tidak selera makan. Sejujurnya dia kesal bukan perkara masakan yang dibuat Amanda, namun omongan tetangga yang tadi dia dengar ketika arisan di rumah salah satu keluarga kaya.“Ibu benar-benar tidak tau lagi bagaimana harus menghadapi kamu, Amanda,” ujar sang Ibu menghela napasnya dengan kasar. Dia memukul-mukul dadanya yang terasa seksak. “Kamu bisanya bikin ibu menderita saja!”Air mata Amanda kembali berlinang. Terserah bila kakak-kakaknya terdengar begitu membencinya, tapi kini ibunya juga ikut kecewa padanya dan m
Amanda memasang wajah sedihnya. Dia benar-benar tak tahu harus bagaimana lagi sekarang. Tak punya tempat tinggal dan harta. Sama sekali tak pernah terbesit di pikiran jika pada akhirnya nasib yang dia alami akan sesial ini.Amanda menatap kedua saudaranya secara bergantian. Hal itu justru membuat Rudi dan Mira merasa semakin muak. "Ada apa lagi? Mau bicara apa lagi? Masih mau mengelak dan mengatakan kalau semua ini adalah milikmu? Iya!" sentak Mira seolah tak ingin memberikan kesempatan bagi Amanda untuk bicara.Dulu dia sangat menyukai adiknya ini, bagaimana pun Amanda adalah mesin uang yang mudah dimanfaatkan. Amanda selalu siap sedia kala saudaranya membutuhkan pinjaman. Bahkan Amanda tak segan memberikan uang secara cuma-cuma untuk sanak saudaranya yang kekurangan.Namun nyatanya semua kebaikan Amanda itu tak membuat kedua kakaknya merasa harus berbalas budi dan bersikap baik pada Amanda yang sekarang sepertinya telah jatuh miskin. Justru mereka merasa muak dan tak sudi berbaur de