Kehadiranmu ... bagai gerimis yang membasahi ladang hati yang gersang .... Sementara kepergianmu ... menciptakan kebencian dan rasa penyesalan yang tak berkesudahan ....****"Nania, aku mohon maafkan aku Nania, aku khilaf Nania." tiba-tiba saja ibu mertua bersimpuh di kaki mama tapi dengan cepat mana menepis tangan itu dengan menendangnya hingga membuat ibu terjengkang. "Lepaskan tanganmu yang najis itu dari tubuhku Arita!"Terlihat dengan jelas kedua sudut mata Ibu mengucurkan air mata dengan begitu derasnya. Aku tersenyum sinis. Jahatkah aku jika melihat ibu mertua semenyedihkan ini? Kupikir tidak, sebab semua adalah konsekwensi yang memang harus ia terima. "Makanya jadi orang yang lurus-lurus aja. Penampilan terlihat sempurna, kalau bicara sama orang lain lembutnya minta ampun. Eh, sama anak tirinya malah kayak gitu. Kami ya, Jeng, sama pembantu nggak pernah loh bicara sekasar itu," ucap Tante Monik. Mama mencebikkan bibirnya sembari melipat kedua tangannya didepan dada. "Ma
Aku tersenyum kecut saat melihat wajah itu begitu menyedihkan. Bahkan, kedua netra itu terlihat sembab karena terlalu lama menangis. Jujur ... aku bahagia melihat Ibu semenderita ini. Aku dan Mama kembali menuruni anak tangga hingga sampai pada anak tangga terakhir. Tanpa berpamitan, kami langsung melenggang pergi. Peduli setan jika dianggap tak punya sontan. "Raya, kamu mau ke mana, Nak?" Tiba-tiba Ibu menghadang langkah kami. "Aku mau pulang, Bu," ucapku dengan nada ketus. Mama menarik pergelangan tanganku hingga akhirnya kami pun kembali melangkah. Tak kami pedulikan Ibu yang terus membuntuti dan berusaha menghentikan langkah kami. "Raya, semua bisa dibicarakan, Nak. Jangan pergi, jangan tinggalkan Ibu, Nak. Bagaimana dengan David. Raya ... jangan gegabah, Nak. Kamu hanya sedang emosi sesaat." Seketika langkahku dan juga Mama berhenti di teras rumah. Mendengar penuturan perempuan yang sempat kuhormati karena menyandang gelar sebagai ibu mertua itu emosi serasa naik ke puncak
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 23Setelah melempar amplop berwarna coklat tersebut, Mama langsung berjalan kembali. Sedangkan Ibu Mertua bergetar tangannya membuka amplop tersebut. Air mata itu bertambah deras saat membaca isi dalam amplop itu. "Nikmatilah penderitaan yang kalian ciptakan," ucapku dalam hati sembari tersenyum sinis."Raya tunggu Raya! Tolong maafkan Ibu dan David, Raya! Berikan kami satu kesempatan lagi!" pekik ibu mertuaku yang terakhir dapat kudengar sebelum akhirnya aku mengemudikan mobil milikku dan meninggalkan kediaman ibu mertuaku itu. "Ma, ini kita mau langsung pulang ke rumah atau gimana? Kita mau ngapain selanjutnya, Ma?" tanyaku di sela aku yang tengah fokus ke jalan yang cukup padat itu. "Kemana lagi? Ya tentu saja ke kantor polisi. Kalau mau membalas itu yang tuntas sekalian jangan nanggung-nanggung," ucap mama padaku. "Mau balas yang bagaimana? Jujur kalau soal beginian aku memang rada-rada lemot, Ma, heheheh," selorohku sembari menggaruk kepala
Pov Author**"Aku minta kamu menukar kebebasan anakmu dengan rumah yang kamu tinggali saat ini untuk berubah nama menjadi nama Raya dan setelahnya kalian tinggalkan rumah itu. Gimana? Deal?" Sempat Raya terkejut saat mendengar apa yang dikatakan oleh Nania, sebab persyaratan itu sebelumnya tak pernah ada dalam perbincangan mereka. Raya menggaruk kepalanya yang sebenarnya tak terasa gatal. Entah kenapa sang mama malah memberikan persyaratan untuk kebebasan David. Padahal saat berangkat tadi sang Mama begitu mengharapkan David agar mendekam dibalik jeruji besi. "Kamu mau mengambil rumahku, Nania? Apa kamu lupa jika aku ini sahabat kamu?" Dengan tak tahu malunya Arita berucap. Mendengar Arita berucap dengan demikian, sontak saja membuat Nania meradang. Tak tahu bagaimana jalan pikiran Arita– sahabatnya itu. "Sahabat macam apa kamu yang berbuat sedemikian rupa? Sahabat macam apa kamu ini, Arita, hanya demi memuaskan napis?!" ucap Nania dengan nada suara yang menggelegar. Tak ada j
"Lalu giliran akhirnya seperti ini, Mama malah menyalahkan Nora!" lanjut David yang tak terima saat orang yang ia kasihi dihina sedemikian rupa. "David nggak mau tau, Ma. Gimana pum caranya David haru keluar dari penjara ini. Secepatnya!"Cepat David bangkit dari tempat duduknya lalu melenggang pergi begitu saja meninggalkan sang Mama yang terus memanggil namanya. Arita berkali-kali menghembuskan napas berat. Kali ini dadanya terasa begitu sesak. Beban yang berada di pundaknya semakin terasa begitu berat. Apalagi melihat putranya menyalahkan semua yamg terjadi pada dirinya. Arita bangkit dari kursi plastik yang beberapa menit ia duduki. Perempuan paruh baya itu berjalan keluar kantor polisi menuju ke arah jalan raya guna menghentikan taksi. Beberapa menit menunggu, Arita berhasil mendapatkan taksi yang ia minta untuk antarkan pulang. Di sepanjang perjalanan, Arita terus memutar otaknya untuk mencari cara agar bisa membebaskan putra kesayangannya. Tiba-tiba terlintas satu nama. K
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 26Ada rasa sesak yang menyeruak yang dirasakan oleh Guntur saat mengatakan kalimat terakhirnya itu. Sedih yang dirasakan oleh Guntur saat mendapati pernikahan putrinya itu hanya bertahan tak lebih dari satu tahun. Namun, Guntur pun lebih mementingkan kebahagiaan sang putri, tak mengapa jika Raya menyandang gelar status janda daripada hidup di tengah-tengah keluarga tak tahu diri itu."Tapi, Ren, apakah tidak menjadi masalah sama profesi kamu nantinya kalau misalkan kamu menangani kasus Raya juga David sedangkan mereka berdua adalah suami dan istri?" tanya Guntur lagi pada Rendra sahabatnya itu. "Kamu tidak usah hiraukan soal itu. Tentu saja aku tidak akan gegabah dalam hal ini. Aku sudah memperkirakannya secara matang. Mudah saja bagiku. Di kantor milikku kan ada beberapa pengacara yang ikut bekerja di sana." Guntur mengangguk-anggukkan kepalanya tanda sedikit mengerti dengan ucapan sahabatnya itu. Akan tetapi, kening yang sudah mulai keriput itu j
Mataku mengerjap pelan saat terdengar suara ketukan dari pintu dan diiringi suara mama yang menyebut namaku beberapa kali. Aku mengangkat kedua tanganku merenggangkan otot-otot di tubuhku yang terasa begitu kaku lalu ku usap wajahku dengan Kedua telapak tanganku"Raya bangun, Sayang," ucap Mama kembali saat aku tak kunjung memberikan sahutan. "Iya, Ma," sahutku dengan nada suara serak seperti seorang yang baru saja bangun tidur. Ya, sejak kemarin aku memang sedang datang bulan jadi tidak mendapatkan kewajiban sebagai seorang muslim.Aku menyibak selimut tebal berwarna putih yang bertengger di atas tubuhku sebatas dada, lalu aku beringsut dari ranjang dan melangkah dengan gontai menuju ke arah pintu. Aku meraih gagang pintu setelah memutar anak kunci, lalu menekannya ke bawah dan mendorong daun pintu tersebut hingga terbuka sebatas bahu."Buruan gih mandi, kita sarapan," ucap Mama. Aku mengusap wajahku beberapa kali. Rasa kantuk masih terasa benar-benar menguasai. Semalam aku tidur t
[Jam satu siang di cafe semriwing. Jangan sampai telat.]Aku menghembuskan napas kasar setelah membaca pesan yang dikirim oleh nomor yang memang belum sempat kusimpan itu. Aku mencebikkan bibir lalu membalas pesan tersebut. [Baik, Pak. Ingatan saya masih normal, tidak mungkin saya lupa. Jadi tak perlu mengingatkan saya dengan mengirimkan pesan seperti ini.]Send. Saat aku ingin meletakkan kembali ponsel itu, tiba-tiba ponsel kembali berdering. Dan ternyata nomor bernama Kevin tertera sebagai pengirimnya. Aku menekan tombol power lalu meletakkan ponsel itu kembali ke tempat semula tanpa berniat membuka pesan yang baru saja kuterima tersebut. Aku pun segera bangkit dari bibir ranjang lalu melangkah keluar kamar. Berjalan menuju ke arah ruang makan. Aku terus melangkah, hingga aku melihat Mama dan Papa sudah duduk di sana sembari menyantap makanan yang terhidang di hadapan mereka. "Maaf, Ma, Pa, kelamaan ya nunggu Raya." Aku menarik kursi yang akan kutempati lalu menghenyakkan tubu