“Aku cemburu!!” Danu mengulang kalimatnya.
Tentu saja ucapan Danu itu membuat Arum tercenung beberapa saat. Dia bahkan tidak menyadari jika pintu lift sudah terbuka di lantai 23. Kalau tidak Budi yang bersuara menginterupsi interaksi mereka, pasti Arum masih berada di dalam lift.
Danu sudah keluar lebih dulu dengan Budi mengekor di belakangnya. Arum berjalan keluar dengan pelan. Lagi-lagi dia mendapat kejutan dari ucapan Danu. Arum menghela napas sambil mencoba melupakan apa yang baru didengar tadi.
Selang beberapa saat Arum sudah berada di ruang meeting bersama Firman dan rekan tim yang lain. Danu memang sempat bergabung sebentar, tapi setelah itu dia sudah meninggalkan ruang meeting. Sepertinya banyak agenda yang harus dilakukan Danu hari ini.
“Oke, meetingnya saya akhiri. Kalau masih ada yang kurang jelas chat aja.” Firman sudah mengakhiri meeting mereka.
Hampir tiga jam lebih mereka berkutat di dalam sana. Arum bergegas
“Saya sudah menyiapkan baju dan masker untuk Nona,” ucap Lisa.Asisten Arum itu memang sangat sigap. Padahal sepuluh menit yang lalu, Arum baru saja meneleponnya. Namun, Lisa sudah datang sebelum sepuluh menit.“Iya, terima kasih, Lisa.”Arum duduk di sebelah Lisa sambil memasang seat beltnya. Sesekali Lisa melirik Arum dan mengulum senyum dengan aneh. Arum melihat reaksi Lisa.“Ada apa? Apa ada masalah?” Arum penasaran.Lisa menggeleng dengan cepat. “Tidak. Tidak ada, Nona. Hanya saja, saya melihat Anda terus tersenyum sejak masuk mobil tadi. Apa sedang terjadi sesuatu?”Arum langsung mendelik mendengar ucapan Lisa. “Memangnya terjadi apa? Kamu jangan aneh-aneh. Sudah, fokus menyetir saja.”Lisa manggut-manggut sambil tersenyum, kemudian tampak konsentrasi memperhatikan lalu lintas yang semakin padat siang ini.“Ada undangan di akhir pekan besok, Nona. Sebuah un
“Nona, Anda yakin akan melakukan ini?” tanya Lisa.Kali ini mobil yang mereka tumpangi sudah berhenti di parkiran apartemen Lisa. Arum kebingungan usai mendapat telepon dari Danu tadi dan memutuskan bertukar tempat dengan Lisa malam ini.“Iya, gak papa. Kan hanya semalam, Lisa.”Lisa menghela napas panjang sambil menatap Arum dengan penuh tanya.“Namun, apartemen saya masih berantakan. Saya belum merapikannya tadi.”Arum berdecak dan menatap Lisa. “Apa aku butuh apartemen yang rapi? Lagi pula, aku tidak akan membiarkannya masuk. Aku akan menemui di lobby.”Lisa manggut-manggut. “Ya sudah, kalau begitu saya tunggu di mobil saja. Namun, untuk berjaga-jaga ini kunci apartemen saya. Saya punya serepnya, yang ini Anda bawa saja.”Arum mengangguk, menyimpan kunci apartemen dari Lisa sambil menghapal kode pintunya. Setelah berganti baju, Arum turun dari mobil. Untung saja Lisa selal
“I love you,” desis Danu di sela pagutannya.Arum yang masih shock mendapat perlakuan Danu hanya membisu dan dengan bodohnya ia menikmati pertukaran saliva mereka sambil memejamkam mata. Ini bukan dirinya. Ia menderita mysophobia dan kesulitan untuk melakukan interaksi seintim ini. Namun, mengapa dengan Danu dia bisa?Perlahan Danu mengurai pagutannya sambil sesekali mengecup hidung Arum. Arum hanya diam. Entah mengapa dia seperti patung yang tidak bisa bereaksi menanggapi ulah Danu?Seakan baru tersadar dari mimpi, Arum buru-buru menjauh dari sisi Danu bahkan mendorong tubuh pria itu. Tanpa disadari, Arum terus membasahi bibirnya dengan saliva dan Danu memperhatikan reaksi Arum.“Kamu baik-baik saja? Maaf … Arum, kalau aku sedikit memaksamu. Namun, aku hanya ingin menunjukkan betapa besar perasaanku padamu. Aku sungguh-sungguh.”Arum terdiam, menundukkan kepala sambil menggigit bibirnya. Ia bingung harus menjawab apa
“Menginap? Kamu mau menginap di apartemenku?” tanya Danu.Tentu saja pertanyaan Danu itu mengejutkan Budi yang sedang mengemudi di depannya. Bahkan sekilas Budi sudah melirik Danu melalui kaca spion. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi kali ini, yang pasti Budi yakin Danu akan menolak permintaan Nadia.“Iya, Mas. Harusnya sudah aku lakukan sejak dulu, tapi kamu selalu menolak. Sekarang saatnya kita melakukan perkembangan dengan hubungan kita. Aku tidak ingin sebatas teman saja, Mas.”Danu terdiam, jakunnya naik turun menelan saliva. Dia tidak habis pikir, kenapa Nadia tiba-tiba berpikiran seperti ini? Apa dia telah mengetahui sesuatu?“Eng … Nadia, masalahnya saat ini aku di luar kota. Aku sedang perjalanan menuju hotel.” Entah mengapa Danu bisa menjawab dengan lancar dan mengarang alasan secepat kilat.“HEH!!! Di luar kota? Kenapa kamu gak bilang, Mas?”Danu berdecak dan dia sengaja men
“Jadi maksud Anda saya memakai milik Arum, begitu?” tanya Anjani.Danu terdiam dan menggelengkan kepala dengan cepat. Ia merasa serba salah, tapi penglihatannya tidak mungkin keliru. Dia sendiri yang memasangkan gelang itu di pergelangan tangan Arum. Bahkan Danu sengaja mengikat talinya dengan simpul mati sehingga tidak bisa dibuka.Apa mungkin ada bentuk giok yang sama dan dia tidak tahu? Hanya itu yang kini bersemayam di benak Danu.“Saya mendapatkannya dari relasi bisnis saya, Tuan. Dia dari negeri Cina dan sengaja memberi ini sebagai hadiah kerja sama kami.” Akhirnya Arum sudah mengatakan alasannya, meskipun kali ini terpaksa harus berbohong.Danu hanya manggut-manggut sambil tersenyum. Sepertinya memang benar, kalau ada bentuk giok yang sama yang tidak ia ketahui.“Saya minta maaf, Nona. Sepertinya saya tidak tahu kalau ada gelang seperti ini yang sama.”Arum hanya menganggukkan kepala. Sebisa mungkin
“Bagaimana Anda bisa tahu, Nona?” seru Danu.Wajahnya tampak terkejut bahkan mata elang Danu sedang menatap dengan bingung ke arah Arum. Arum menghela napas panjang sambil mengendikkan bahu.“Tempo hari Arum pernah bercerita pada saya. Itu saat saya bertanya tentang hubungannya dengan Anda.” Lagi-lagi Arum kembali berbohong.Danu mengulum senyum sambil menganggukkan kepala. Ia ingat tempo hari pernah meminta tolong Anjani untuk menyakinkan Arum agar menerima permintaan rujuknya. Mungkin saat itu Anjani bertanya ke Arum.“Iya. Anda benar, Nona. Orang yang saya maksud adalah Arum. Dia hampir mirip dengan Anda. Dia mengidap mysophobia. Itu sebabnya dia tidak bisa berinteraksi baik dengan orang lain. Itu juga yang membuat dia dianggap aneh.”Danu terdiam, menengadah sambil menarik napas panjang. Arum hanya diam memperhatikan. Arum tidak menduga kalau Danu masih mengingat semuanya.“Saya suami yang bodoh
“Tentu. Kamu ingin bertemu di mana? Apa sekarang?” ujar Danu.Arum hanya mengulum senyum di seberang sana. Entah mengapa hatinya terus berdebar saat mengingat ucapan Danu tadi.“Enggak, Mas. Besok. Besok saja. Kamu ada waktu?”Danu tersenyum sambil menganggukkan kepala, tapi tentu saja reaksinya tidak terlihat oleh Arum.“Iya. Tentu.”“Oke. Aku akan kirim alamatnya besok.”Arum sudah mengakhiri panggilannya. Sementara Danu menyimpan ponselnya sambil mengulum senyum lebar.“Tuan, ada apa memanggil saya? Apa sudah mau pulang?” Tiba-tiba Budi sudah berdiri di depannya.Danu tersenyum sambil menepuk bahu Budi. “Iya. Kita pulang. Aku ingin cepat tidur dan menyiapkan diri untuk besok.”Budi terlihat bingung bahkan alisnya mengernyit dengan tatapan mata bertanya.“Bukannya besok hari minggu, Tuan. Memangnya Anda mau ke mana?”Danu
“Beneran?” seru Danu.Ia masih tidak percaya saat mendengar ucapan Arum. Danu menatap tajam dengan mulut terbuka. Sebuah senyuman perlahan terukir di raut tampan Danu.“Kalau boleh tahu, apa yang membuatmu berubah pikiran?” imbuh Danu.Arum mengendikkan bahu sambil menggelengkan kepala.“Entahlah. Aku rasa kamu memang berhak mendapat kesempatan.”Danu tersenyum sambil berulang menganggukkan kepala, sementara mata elangnya tidak lepas dari Arum sedikit pun.“Aku janji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Kita mulai dari awal, ya?” Danu berkata seperti itu sambil mengulurkan tangannya. Arum hanya diam sambil melihat tangan Danu yang terulur di depannya.Danu berdecak sambil mengacak rambutnya.“Maaf … aku kadang lupa kalau kamu masih gugup jika bersentuhan dengan orang lain. Namun, aku yakin kamu sudah sembuh dan jauh lebih baik dari pada lima tahun yang lalu.&rdqu
“Selamat sore, apa benar ini rumah Tuan Burhan?” tanya Tuan Simon.Usai memastikan foto yang sama, sore itu Tuan Simon berkunjung ke rumah keluarga Dokter Sandy. Seorang wanita paruh baya tampak terkejut mendapati kedatangan Tuan Simon. Wanita itu hanya diam tak menjawab sambil menatap Tuan Simon dengan ketakutan.Tuan Simon tersenyum, membungkukkan badan seakan sedang memberi salam.“Jangan takut. Saya hanya ingin bertemu dengan teman saya. Sampaikan pada Tuan Burhan, ada Simon yang mencarinya.”Wanita paruh baya itu tampak ragu. Lagi-lagi ia tidak berkomentar hanya menatap Tuan Simon dengan bingung. Tuan Simon menunggu dengan sabar hingga akhirnya wanita paruh baya itu bersuara.“Tuan Burhan sedang istirahat. Saya … saya tidak berani membangunkannya.”Tuan Simon berdecak sambil menggelengkan kepala.“Sayang sekali … padahal saya datang dari jauh untuk melihat keadaannya.”
“Silakan, Tuan!!” ujar seorang pria.Dia tampak membungkuk sambil memberi jalan seorang pria berkepala plontos masuk ke dalam rumah sakit. Pria itu berjalan menyusuri koridor hingga menuju ruang praktek Dokter Andi. Seorang perawat menyambut pria paruh baya itu dengan ramah.“Selamat pagi, Pak!! Tunggu sebentar, Dokter akan segera memeriksa Anda.”Pak Sudibyo hanya tersenyum menyeringai sambil menatap perawat di depannya dengan tatapan liar. Sementara perawat itu buru-buru menunduk dan berlalu pergi dari ruang periksa. Pak Sudibyo kini sudah duduk di kursi periksa. Mungkin karena faktor usia, banyak giginya yang sering linu dan sakit digunakan untuk mengunyah. Selain itu ada juga yang berlubang dan itu menyulitkannya.Pak Sudibyo sedang asyik memainkan ponselnya saat pintu ruang periksa terbuka. Pak Sudibyo melirik sekilas dan melihat seorang pria mengenakan pakaian dokter masuk. Kali ini pria itu juga mengenakan masker putih. Pak
“PAPA!!! Papa!!!” seru Nyonya Maria.Wajahnya tampak cemas dan sudah berlarian keluar rumah. Lalu kakinya terhenti saat melihat suaminya keluar dari dalam mobil dengan tangan terborgol. Nyonya Maria tercengang, mulutnya terbuka dengan mata terbelalak.“Pa … ,” cicitnya lirih.Tuan Rafael sebenarnya ada di rumah dan hendak melarikan diri, tapi keburu polisi datang ke rumahnya. Lalu ia memilih sembunyi di garasi, tapi malang, malah ketahuan.Salah satu petugas polisi langsung mendatangi Nyonya Maria.“Anda juga harus ikut kami ke kantor, Nyonya. Anda sudah berbohong dan mengelabui petugas.”Mata Nyonya Maria sontak melotot dan tak lama ia sudah jatuh pingsan. Untung saja petugas polisi yang berdiri di depannya sigap menangkap tubuhnya. Hingga wanita paruh baya itu tidak sampai jatuh ke tanah.Sementara Tuan Rafael hanya menatap istrinya dengan sendu. Matanya berkaca dan terlihat penyesalan di w
“Tuan, ini foto Pak Burhan,” ujar Bu Rahayu.Wanita paruh baya itu tampak jalan tergesa keluar rumah menghampiri Tuan Simon. Tuan Simon tersenyum kemudian menerima selembar foto yang baru saja diberikan Bu Rahayu. Tuan Simon tampak diam sambil mengernyitkan alis menatap foto itu dengan seksama.“Apa pria yang berdiri di belakang anak-anak ini, Bu?” tanya Tuan Simon.“Iya, benar sekali, Tuan. Dulu saya punya fotonya yang jelas, tapi sepertinya sudah rusak termakan usia. Hanya itu yang tersisa.”Tuan Simon hanya diam sambil memandang foto yang terlihat usang dan lecek itu. Wajah Pak Burhan sama sekali tidak jelas terlihat. Wajahnya buram, tapi sosok tubuhnya terlihat tegap dan proposional.“Apa boleh saya simpan, Bu?”Bu Rahayu tersenyum sambil mengangguk. “Tentu saja, Pak. Silakan.”Tuan Simon mengangguk dan segera menyimpan foto itu ke dalam tasnya. Tak lama setelahnya dia su
“Mau apa lagi? Bukankah urusanmu sudah beres berpuluh tahun lalu,” ujar Dokter Sandy.Pria berkepala plontos itu tersenyum menyeringai sambil mengurut dagunya. Ia menatap Dokter Sandy dengan sinis dan penuh ejekan.“Jadi begini balas budimu setelah aku menyekolahkanmu hingga menjadi seorang dokter yang sukses?”Dokter Sandy berdecak sambil menggelengkan kepala.“Katakan saja berapa biaya yang kamu keluarkan untuk menyekolahkanku. Aku akan menggantinya.”Sontak pria itu terkekeh mendengar ucapan Dokter Sandy.“Sombong sekali kamu, Sandy. Merasa sudah hebat, ya? Jadi kamu sudah lupa siapa yang selama ini membantu keluargamu. Begitu!!!”Dokter Sandy tidak menjawab hanya diam sambil menatap pria berkepala plontos itu dengan mata berkilatan. Pria bertubuh gempal itu berdiri, berjalan menghampiri Dokter Sandy hingga sejajar di depannya.“Dengar, ya!! Gara-gara kamu, ada yang sedan
“Tuan, makanan ini saya apakan?” tanya Beni.Pria bertubuh tinggi besar itu sudah menunjuk paper bag berisi makanan yang diberikan Nyonya Lani tadi. Danu diam sejenak sambil melirik paper bag tersebut. Sementara hidung Arum tampak mengendus aroma makanan tersebut.“Baunya enak sekali. Aku jadi ingin mencobanya, Mas.”Danu langsung memelotot ke Arum. Arum tampak terkejut, mengernyitkan alis dengan tatapan penuh tanya.“Maaf, Mas. Sejak hamil hidungku sangat sensitive kalau mencium bau sedap seperti ini. Aku jadi laper.”Arum berkata sambil tersenyum meringis.Danu ikut tersenyum sembari mengelus kepala Arum.“Iya, aku tahu. Mungkin itu bawaan ibu hamil. Kamu boleh makan apa saja, tapi jangan masakan Mama Lani.”Arum terlihat semakin bingung mendengarnya. Danu melihat reaksi Arum. Ia tersenyum sekilas sambil mengajak Arum duduk di sofa. Tuan Prada masih terlelap di brankarnya. Ada Ben
“Tuan, saya Beni. Maaf, ini nomor telepon baru saya,” ucap Beni.Danu menghela napas panjang sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Ia sudah tegang sekaligus kesal setengah mati.“Ada apa, Ben?”Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana.“Tuan … maaf, saya pulang lebih awal dari rumah sakit untuk menyelidiki Nyonya Lani.”Danu mengernyitkan alis, tapi kepalanya sudah mengangguk kali ini.“Lalu … kamu menemukan sesuatu? Dia menemui siapa?”“Belum, Tuan. Hanya saja Nyonya Lani tampak sedang berkemas saat ini. Tidak hanya beliau, putrinya Nona Citra juga sedang sibuk berkemas. Beberapa kali saya melihat mereka memindahkan barang-barang ke sebuah apartemen mewah di pinggir kota.”Danu menganggukkan kepala sambil sibuk menerka di mana lokasi apartemen yang dimaksud.“Papa memang sudah menceraikan Mama Lani. Mungkin itu sebabnya mereka tamp
“Sayang … sudah bangun?” tanya Danu.Ia langsung masuk usai berbincang dengan Budi dan Beni tadi. Arum yang tadi hendak keluar segera duduk di sofa dan hanya tersenyum saat melihat Danu. Kebetulan Art mereka sedang keluar untuk membeli makanan.Danu menggeser duduknya mendekat ke Arum, kemudian mengecup keningnya sekilas.“Kita pulang habis ini. Aku sudah minta Beni berjaga di sini membantu Bibi.”Arum hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia melihat Beni dan Budi ikut masuk ke dalam ruangan. Dua orang kepercayaan Danu itu tampak membungkuk memberi salam ke Arum. Arum hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.Arum berharap semoga saja dua orang ini tidak menemukan keterlibatan Tuan Arya pada semua hal yang dilakukan Nyonya Lani. Arum akan sangat kecewa jika itu semua terjadi nantinya.Selang beberapa saat, Arum dan Danu sudah tiba di rumah. Usai makan malam, mereka langsung masuk kamar untuk beristirahat. Sepan
“Baguslah. Aku tunggu di sini.” Danu mengakhiri panggilannya.Ia melirik Arum dan tersenyum saat melihat istrinya masih terlelap. Dengan hati-hati, Danu mengangkat kepala Arum dan meletakkannya di atas bantal. Selanjutnya ia sudah keluar kamar menunggu kedatangan Budi dan Beni di teras.Selang beberapa saat tampak Budi dan Beni mendekat. Dua orang kepercayaan Danu itu tersenyum lebar berjalan mendatangi Danu.“Jadi katakan siapa pelakunya, Bud!!” seru Danu tak sabar.Budi tersenyum, menganggukkan kepala sambil menatap Danu dengan senyum penuh kemenangan.“Anda pasti sangat terkejut begitu tahu siapa orang yang ada di balik semua ini, Tuan,” ucap Budi.Danu mengernyitkan alis menatap Budi dengan penuh tanya. Sementara Beni dan Budi hanya saling pandang dengan senyum lebar.“Baik, kalau begitu katakan siapa dia? Apa Dokter Sandy lagi atau Mama Lani?”Tentu saja Budi dan Beni tampak