“Tuan, akhir pekan ini ulang tahun Nyonya Arum. Apa Anda tidak ingin membuat kejutan?” tanya Budi pagi itu.Usai meeting pagi, seperti biasa Budi masuk ke ruangan Danu untuk menyampaikan hasil meeting sekaligus bertanya mengenai pesta kejutan untuk Arum. Danu mengulum senyum sambil menatap Budi.“Aku ingin melakukannya, Bud. Untuk kali ini, aku yang akan membuat kejutan sendiri untuknya. Jadi kamu tidak perlu repot menyiapkannya.”Budi tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Anda yakin, Tuan? Tidak ingin mengadakan pesta dan mengundang beberapa rekan atau kerabat?”Danu menggeleng dengan cepat.“Tidak. Untuk tahun ini, kami ingin merayakannya berdua saja seperti ucapanku kemarin.”Budi mengulum senyum dan ingat kalau Danu ingin merayakan ulang tahun Arum di dalam kamar berdua saja.“Baiklah kalau begitu, Tuan.” Budi bersiap bangkit meninggalkan ruangan Danu. Namun, Danu kembali memanggil dan membuat Budi duduk kembali.“Apa masih ada yang harus saya kerjakan, Tuan?”Danu mengangguk. “
“Dokter Sandy!!” seru Arum.Arum terkejut saat melihat pria berkacamata minus itu tiba-tiba datang ke tempatnya. Dokter Sandy tersenyum, Lisa bergegas menyilakan masuk. Arum bangkit dan menyilakan Dokter Sandy duduk. Kali ini mereka duduk di sofa dengan berjarak.Dokter Sandy paham kalau Arum tidak bisa berinteraksi dekat kecuali dengan suaminya. Untuk beberapa saat mereka saling diam. Terakhir bertemu minggu yang lalu saat Danu dan Arum menikmati makan malam bersama di sebuah resto.“Tumben sekali Dokter Sandy berkunjung ke sini.”Dokter Sandy tersenyum sambil menatap Arum. “Aku tahu kamu sibuk, jadi aku tidak mau mengganggumu, Arum.”Arum tersenyum meringis sambil menyelipkan anak rambutnya di belakang telinga.“Kedatanganku ke sini sebenarnya ingin mengatakan sesuatu padamu yang berhubungan dengan Anjani.”Seketika Arum terkejut mendengar ucapan Dokter Sandy. Arum memang sudah pernah bercerita ke Dokter Sandy mengenai Anjani. Pada saat itu Arum belum mengenal Dokter Sandy. Setahu Do
“Iya, benar,” jawab Arum dengan gugup.Pria muda nan tampan itu masih tersenyum dan belum menurunkan tangannya. Semua rekan desainer yang berada di ruangan itu mengulum senyum sambil berdehem. Kali ini Lisa sedang berada di luar bersama para asisten desainer tersebut.“Maaf, Tuan Hans. Nona Anjani tidak bisa bersentuhan dengan orang lain.” Novia sudah menyahut.Pria tampan yang bernama Hans itu mengangguk sambil tersenyum dan menurunkan tangan.“Akh … sepertinya benar rumor yang beredar. Anda tidak bisa berinteraksi dengan orang lain. Saya minta maaf, Nona.”Arum hanya mengangguk. Dia masih bingung kenapa pria muda ini langsung mengenalinya. Apa dia pernah berjumpa sebelumnya? Atau Hans hanya mengenalinya dari media dan layar kaca.“Oke, semuanya. Beliau adalah Tuan Hans Sebastian dan Tuan Hans yang akan menjadi sponsor untuk pagelaran yang sedang kita bahas tadi.” Novia sudah meng
“Mas Danu … ,” desis Arum.Ia buru-buru menarik lengannya menjauh dari Hans. Danu berjalan mendekat langsung merengkuh pinggul Arum mendekat ke arahnya. Danu hanya diam, tapi tatapan matanya nan tajam laksana burung elang yang sedang mengintai mangsanya.“Anda pasti Tuan Danu Nagendra,” tebak Hans.Hans bersuara dengan wajar. Tidak terlihat sama sekali ketakutan di wajahnya. Danu hanya diam, tapi sudah menganggukkan kepala.“Maaf … saya sama sekali tidak bermaksud kurang ajar tadi. Kalau tidak percaya tanya saja Nona Anjani.”Danu tidak menjawab, tapi matanya sudah melirik Arum yang bersandar di dadanya. Arum terdiam, mendongak menatap Danu kemudian mengangguk.“Baik. Kalau pertemuannya sudah selesai, kami permisi dulu. Ayo, Sayang!!”Tanpa berbasa-basi lagi, Danu langsung mengajak Arum keluar dari ruangan tersebut. Hans hanya diam, menatap kepergian Danu dan Arum dengan ma
“Pak Jamal?” sapa Danu.Keesokan paginya sesuai janjinya, Danu langsung menuju hotel tempat Pak Jamal menginap begitu keluar rumah. Ia sengaja datang sendiri, tanpa ditemani Budi apalagi Arum.Pria yang umurnya hampir tiga perempat abad itu tersenyum saat melihat kedatangan Danu.“Tuan Danu, Anda sudah jauh berubah sekarang.”Danu tersenyum, berjalan menghampiri. Ia mengulurkan tangan, menjabat tangan Pak Jamal. Dengan gemetar Pak Jamal menyambut uluran tangan Danu. Kali ini mereka bertemu di resto hotel tersebut. Kebetulan Pak Jamal sedang melakukan sarapan pagi, ada istri dan kerabatnya yang menemani. Namun, setelah kedatangan Danu, mereka sengaja menyingkir memberi ruang.“Maaf, Pak. Saya mengganggu Bapak.” Danu kembali bersuara.Pak Jamal tersenyum sambil menggelengkan kepala.“Tidak, saya sama sekali tidak terganggu. Saya malah senang bisa bertemu Tuan.”Danu manggut-manggut
“Itu benar, Tuan. Kakek Anda memang anak tunggal, tapi kedua orang tua Tuan Dipta mengangkat seorang putri kala itu,” jelas Pak Jamal.Danu tampak tercengang dan menggelengkan kepala.“Aku tidak pernah tahu tentang itu. Papa juga tidak cerita.”Pak Jamal menghela napas panjang.“Saya paham mengapa Tuan Prada tidak tahu, masalahnya Tuan Dipta juga tidak pernah menceritakan adik angkatnya itu ke ayah Anda.”Danu semakin bingung. “Kenapa? Memang ada yang salah dengan adik angkatnya?”Pak Jamal menggelengkan kepala. “Tidak. Tidak ada yang salah. Tuan Dipta terlalu menyayangi adiknya. Ia akan berusaha melindunginya. Meskipun hubungan mereka hanya saudara angkat, tapi kasih sayang Tuan Dipta melebihi semua itu. Hingga suatu hari ---”Pak Jamal menjeda kalimatnya. Danu semakin penasaran dan melihat Pak Jamal dengan seksama.“Suatu hari kenapa, Pak? Apa yang terjadi deng
“Bapak!! Udah dong, ngobrolnya. Sekarang saatnya minum obat, ya!” seru istri Pak Jamal.Danu hanya tersenyum saat wanita paruh baya itu tiba-tiba memotong pembicaraan mereka. Danu tidak bisa memaksa, setidaknya dia mempunyai sedikit titik terang latar belakang perjodohannya dengan Arum.Danu berpamitan kemudian sudah melajukan mobilnya menuju kantor. Ia sudah terlalu lama menghabiskan waktu di sini. Selang beberapa saat, Budi menyambut kehadiran Danu di kantor.“Ada apa, Bud? Bukannya kau bilang meeting pagi ini kamu yang handle?”Budi tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Iya, Tuan. Meetingnya sudah selesai. Saya menyambut Anda karena kehadiran Anda ditunggu Tuan Arya.”“Tuan Arya? Beliau ke sini?”“Iya, barusan datang. Katanya ada hal penting yang ingin dibicarakan.”Danu mengangguk, mempercepat langkahnya. Tak lama dia sudah berada di ruangannya. Ada Tuan Arya yang sedan
“Tuan Hans?? Tapi, saya tidak punya janji dengan Anda hari ini,” sahut Arum.Dia sangat terkejut begitu melihat pria muda nan tampan yang ditemuinya semalam sudah berada di ruangannya.“Tepat sekali. Kita memang tidak punya janji, tapi saya punya kerja sama yang ingin saya tawarkan dengan Anda.”Arum tersenyum, menyilakan Hans untuk duduk. Lisa sudah menyingkir hendak mengambilkan minuman.“Bukannya kita sudah melakukannya. Proyek Anda semalam yang dibahas bareng dengan rekan lain.”Hans tersenyum, menautkan kedua tangannya sambil menatap Arum dengan tajam. Kali ini Arum masih duduk di kursi kerjanya, sementara Hans duduk di sofa tamu dalam ruangan Arum. Arum sengaja menjaga jarak. Dia tidak mau kejadian semalam terjadi lagi pagi ini.“Benar sekali. Itu memang kerja sama bareng yang akan kita kerjakan bersama. Namun, saya ingin mengajak Anda kerja sama secara personal, Nona.”Arum terdia
“Selamat sore, apa benar ini rumah Tuan Burhan?” tanya Tuan Simon.Usai memastikan foto yang sama, sore itu Tuan Simon berkunjung ke rumah keluarga Dokter Sandy. Seorang wanita paruh baya tampak terkejut mendapati kedatangan Tuan Simon. Wanita itu hanya diam tak menjawab sambil menatap Tuan Simon dengan ketakutan.Tuan Simon tersenyum, membungkukkan badan seakan sedang memberi salam.“Jangan takut. Saya hanya ingin bertemu dengan teman saya. Sampaikan pada Tuan Burhan, ada Simon yang mencarinya.”Wanita paruh baya itu tampak ragu. Lagi-lagi ia tidak berkomentar hanya menatap Tuan Simon dengan bingung. Tuan Simon menunggu dengan sabar hingga akhirnya wanita paruh baya itu bersuara.“Tuan Burhan sedang istirahat. Saya … saya tidak berani membangunkannya.”Tuan Simon berdecak sambil menggelengkan kepala.“Sayang sekali … padahal saya datang dari jauh untuk melihat keadaannya.”
“Silakan, Tuan!!” ujar seorang pria.Dia tampak membungkuk sambil memberi jalan seorang pria berkepala plontos masuk ke dalam rumah sakit. Pria itu berjalan menyusuri koridor hingga menuju ruang praktek Dokter Andi. Seorang perawat menyambut pria paruh baya itu dengan ramah.“Selamat pagi, Pak!! Tunggu sebentar, Dokter akan segera memeriksa Anda.”Pak Sudibyo hanya tersenyum menyeringai sambil menatap perawat di depannya dengan tatapan liar. Sementara perawat itu buru-buru menunduk dan berlalu pergi dari ruang periksa. Pak Sudibyo kini sudah duduk di kursi periksa. Mungkin karena faktor usia, banyak giginya yang sering linu dan sakit digunakan untuk mengunyah. Selain itu ada juga yang berlubang dan itu menyulitkannya.Pak Sudibyo sedang asyik memainkan ponselnya saat pintu ruang periksa terbuka. Pak Sudibyo melirik sekilas dan melihat seorang pria mengenakan pakaian dokter masuk. Kali ini pria itu juga mengenakan masker putih. Pak
“PAPA!!! Papa!!!” seru Nyonya Maria.Wajahnya tampak cemas dan sudah berlarian keluar rumah. Lalu kakinya terhenti saat melihat suaminya keluar dari dalam mobil dengan tangan terborgol. Nyonya Maria tercengang, mulutnya terbuka dengan mata terbelalak.“Pa … ,” cicitnya lirih.Tuan Rafael sebenarnya ada di rumah dan hendak melarikan diri, tapi keburu polisi datang ke rumahnya. Lalu ia memilih sembunyi di garasi, tapi malang, malah ketahuan.Salah satu petugas polisi langsung mendatangi Nyonya Maria.“Anda juga harus ikut kami ke kantor, Nyonya. Anda sudah berbohong dan mengelabui petugas.”Mata Nyonya Maria sontak melotot dan tak lama ia sudah jatuh pingsan. Untung saja petugas polisi yang berdiri di depannya sigap menangkap tubuhnya. Hingga wanita paruh baya itu tidak sampai jatuh ke tanah.Sementara Tuan Rafael hanya menatap istrinya dengan sendu. Matanya berkaca dan terlihat penyesalan di w
“Tuan, ini foto Pak Burhan,” ujar Bu Rahayu.Wanita paruh baya itu tampak jalan tergesa keluar rumah menghampiri Tuan Simon. Tuan Simon tersenyum kemudian menerima selembar foto yang baru saja diberikan Bu Rahayu. Tuan Simon tampak diam sambil mengernyitkan alis menatap foto itu dengan seksama.“Apa pria yang berdiri di belakang anak-anak ini, Bu?” tanya Tuan Simon.“Iya, benar sekali, Tuan. Dulu saya punya fotonya yang jelas, tapi sepertinya sudah rusak termakan usia. Hanya itu yang tersisa.”Tuan Simon hanya diam sambil memandang foto yang terlihat usang dan lecek itu. Wajah Pak Burhan sama sekali tidak jelas terlihat. Wajahnya buram, tapi sosok tubuhnya terlihat tegap dan proposional.“Apa boleh saya simpan, Bu?”Bu Rahayu tersenyum sambil mengangguk. “Tentu saja, Pak. Silakan.”Tuan Simon mengangguk dan segera menyimpan foto itu ke dalam tasnya. Tak lama setelahnya dia su
“Mau apa lagi? Bukankah urusanmu sudah beres berpuluh tahun lalu,” ujar Dokter Sandy.Pria berkepala plontos itu tersenyum menyeringai sambil mengurut dagunya. Ia menatap Dokter Sandy dengan sinis dan penuh ejekan.“Jadi begini balas budimu setelah aku menyekolahkanmu hingga menjadi seorang dokter yang sukses?”Dokter Sandy berdecak sambil menggelengkan kepala.“Katakan saja berapa biaya yang kamu keluarkan untuk menyekolahkanku. Aku akan menggantinya.”Sontak pria itu terkekeh mendengar ucapan Dokter Sandy.“Sombong sekali kamu, Sandy. Merasa sudah hebat, ya? Jadi kamu sudah lupa siapa yang selama ini membantu keluargamu. Begitu!!!”Dokter Sandy tidak menjawab hanya diam sambil menatap pria berkepala plontos itu dengan mata berkilatan. Pria bertubuh gempal itu berdiri, berjalan menghampiri Dokter Sandy hingga sejajar di depannya.“Dengar, ya!! Gara-gara kamu, ada yang sedan
“Tuan, makanan ini saya apakan?” tanya Beni.Pria bertubuh tinggi besar itu sudah menunjuk paper bag berisi makanan yang diberikan Nyonya Lani tadi. Danu diam sejenak sambil melirik paper bag tersebut. Sementara hidung Arum tampak mengendus aroma makanan tersebut.“Baunya enak sekali. Aku jadi ingin mencobanya, Mas.”Danu langsung memelotot ke Arum. Arum tampak terkejut, mengernyitkan alis dengan tatapan penuh tanya.“Maaf, Mas. Sejak hamil hidungku sangat sensitive kalau mencium bau sedap seperti ini. Aku jadi laper.”Arum berkata sambil tersenyum meringis.Danu ikut tersenyum sembari mengelus kepala Arum.“Iya, aku tahu. Mungkin itu bawaan ibu hamil. Kamu boleh makan apa saja, tapi jangan masakan Mama Lani.”Arum terlihat semakin bingung mendengarnya. Danu melihat reaksi Arum. Ia tersenyum sekilas sambil mengajak Arum duduk di sofa. Tuan Prada masih terlelap di brankarnya. Ada Ben
“Tuan, saya Beni. Maaf, ini nomor telepon baru saya,” ucap Beni.Danu menghela napas panjang sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Ia sudah tegang sekaligus kesal setengah mati.“Ada apa, Ben?”Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana.“Tuan … maaf, saya pulang lebih awal dari rumah sakit untuk menyelidiki Nyonya Lani.”Danu mengernyitkan alis, tapi kepalanya sudah mengangguk kali ini.“Lalu … kamu menemukan sesuatu? Dia menemui siapa?”“Belum, Tuan. Hanya saja Nyonya Lani tampak sedang berkemas saat ini. Tidak hanya beliau, putrinya Nona Citra juga sedang sibuk berkemas. Beberapa kali saya melihat mereka memindahkan barang-barang ke sebuah apartemen mewah di pinggir kota.”Danu menganggukkan kepala sambil sibuk menerka di mana lokasi apartemen yang dimaksud.“Papa memang sudah menceraikan Mama Lani. Mungkin itu sebabnya mereka tamp
“Sayang … sudah bangun?” tanya Danu.Ia langsung masuk usai berbincang dengan Budi dan Beni tadi. Arum yang tadi hendak keluar segera duduk di sofa dan hanya tersenyum saat melihat Danu. Kebetulan Art mereka sedang keluar untuk membeli makanan.Danu menggeser duduknya mendekat ke Arum, kemudian mengecup keningnya sekilas.“Kita pulang habis ini. Aku sudah minta Beni berjaga di sini membantu Bibi.”Arum hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia melihat Beni dan Budi ikut masuk ke dalam ruangan. Dua orang kepercayaan Danu itu tampak membungkuk memberi salam ke Arum. Arum hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.Arum berharap semoga saja dua orang ini tidak menemukan keterlibatan Tuan Arya pada semua hal yang dilakukan Nyonya Lani. Arum akan sangat kecewa jika itu semua terjadi nantinya.Selang beberapa saat, Arum dan Danu sudah tiba di rumah. Usai makan malam, mereka langsung masuk kamar untuk beristirahat. Sepan
“Baguslah. Aku tunggu di sini.” Danu mengakhiri panggilannya.Ia melirik Arum dan tersenyum saat melihat istrinya masih terlelap. Dengan hati-hati, Danu mengangkat kepala Arum dan meletakkannya di atas bantal. Selanjutnya ia sudah keluar kamar menunggu kedatangan Budi dan Beni di teras.Selang beberapa saat tampak Budi dan Beni mendekat. Dua orang kepercayaan Danu itu tersenyum lebar berjalan mendatangi Danu.“Jadi katakan siapa pelakunya, Bud!!” seru Danu tak sabar.Budi tersenyum, menganggukkan kepala sambil menatap Danu dengan senyum penuh kemenangan.“Anda pasti sangat terkejut begitu tahu siapa orang yang ada di balik semua ini, Tuan,” ucap Budi.Danu mengernyitkan alis menatap Budi dengan penuh tanya. Sementara Beni dan Budi hanya saling pandang dengan senyum lebar.“Baik, kalau begitu katakan siapa dia? Apa Dokter Sandy lagi atau Mama Lani?”Tentu saja Budi dan Beni tampak