“Tuan Hans?? Tapi, saya tidak punya janji dengan Anda hari ini,” sahut Arum.
Dia sangat terkejut begitu melihat pria muda nan tampan yang ditemuinya semalam sudah berada di ruangannya.
“Tepat sekali. Kita memang tidak punya janji, tapi saya punya kerja sama yang ingin saya tawarkan dengan Anda.”
Arum tersenyum, menyilakan Hans untuk duduk. Lisa sudah menyingkir hendak mengambilkan minuman.
“Bukannya kita sudah melakukannya. Proyek Anda semalam yang dibahas bareng dengan rekan lain.”
Hans tersenyum, menautkan kedua tangannya sambil menatap Arum dengan tajam. Kali ini Arum masih duduk di kursi kerjanya, sementara Hans duduk di sofa tamu dalam ruangan Arum. Arum sengaja menjaga jarak. Dia tidak mau kejadian semalam terjadi lagi pagi ini.
“Benar sekali. Itu memang kerja sama bareng yang akan kita kerjakan bersama. Namun, saya ingin mengajak Anda kerja sama secara personal, Nona.”
Arum terdia
“Apa yang Anda lakukan?” seru seseorang.Hans menoleh, melihat ke arah suara. Matanya terbelalak saat melihat ada pria paruh baya tiba-tiba berjalan masuk ke dalam restoran keluarganya.“Tu—tuan Arya. Kenapa Anda datang ke sini?” Hans bertanya dengan alis mengernyit. Sesekali matanya melirik ke arah Arum yang masih memejamkan mata di atas meja.“Tidak perlu saya katakan alasan kedatangan saya. Namun, yang pasti ayah Anda akan marah jika melihat hal ini.”Tuan Arya mengatakannya dengan sinis dan tatapan mata yang tajam. Hans terdiam, ia memang yang paling membangkang di dalam keluarga. Ayahnya sering menghadapi kesulitan gara-gara ulah Hans. Sudah berulang kali, ayahnya mengeluarkan banyak uang hanya untuk menutup mulut wanita-wanita korban kelakuan Hans.Namun, sepertinya Tuan Arya tidak akan membiarkan Hans melakukannya kepada Arum.“Apa Anda tahu, dia seorang wanita bersuami. Saya yakin, Anda
“Apa itu benar, Tuan?” tanya Lisa.Kini suaranya terdengar bergetar dan dia sangat ketakutan. Danu menghela napas panjang tanpa mau mengalihkan tatapannya dari Lisa. Dia memang baru saja bertemu dengan Novia usai keluar dari kantor tadi. Tepat seperti katanya, Novia tidak membahas tentang undangan makan siang Hans.“Lalu … kalau begitu ---”“Di mana pertemuan mereka?” Danu sudah memotong kalimat Lisa begitu saja.Lisa mengeluarkan ponselnya dengan gemetar kemudian mengirimkan alamat yang dikirim Hans padanya tadi.“I—itu, Tuan. Mereka makan siang di sana.”Tanpa berkata apa-apa, Danu langsung membalikkan badan dan berlalu pergi begitu saja. Lisa terdiam. Ia tampak serba salah, kemudian mulai melakukan panggilan ke Arum. Namun, sayangnya ponsel Arum sedang tidak aktif.“Ya Tuhan … ada apa lagi ini? Semoga saja Anda baik-baik saja, Nona.”“Ayo,
“Iya, saya yang membawa Anda ke sini,” ujar Tuan Arya.Arum terdiam. Mata pekatnya membola menatap tanpa kedip ke arah Tuan Arya. Ia sedikit bingung. Seingat Arum, ia sedang bersama Hans di sebuah resto lalu usai minum jus jeruk ia merasa ngantuk kemudian tahu-tahu sudah terbangun di kamar tadi.Tuan Arya tersenyum sambil berjalan mendekat.“Anda jangan salah sangka kepada saya, Nona. Kebetulan tadi saya datang ke resto kastil itu. Saya melihat Anda terlelap di atas meja. Itu hal yang sangat aneh menurut saya.”Arum membisu dan menggelengkan kepala, kemudian menarik napas panjang.“Terima kasih, Tuan. Anda telah menolong saya. Saya yakin ada sesuatu yang ditambahkan di dalam jus jeruk tadi. Saya langsung mengantuk usai meminumnya.”Tuan Arya hanya menganggukkan kepala. Sepertinya dugaannya tepat. Dia sudah sering mendengar ulah bejad Hans saat menjebak wanita yang ia inginkan dan ternyata dia lakukan juga
“Maksud Anda?” tanya Arum.Tuan Arya tersenyum dan menggelengkan kepala. Ia menyeka air mata dengan punggung tangannya.“Interaksi kalian tadi mengingatkan saya sewaktu dengan istri saya. Kami sering berdebat soal sepele. Dia terlalu mandiri sementara saya selalu khawatir dan posesif padanya. Dia selalu protes jika saya terlalu mengekangnya. Padahal, itu semua saya lakukan sebagai bentuk cinta saya padanya. Sama seperti yang dilakukan Tuan Danu pada Anda tadi.”Arum terdiam, melirik ke arah Danu. Tidak disangka Danu juga sedang melihat ke arahnya. Pria tampan bermata elang itu tersenyum kemudian tangannya menyentuh tangan Arum dan menggenggamnya erat.“Tuh, dengar kata Tuan Arya. Jangan marah, jika aku terlalu mengekangmu. Jangan kesal juga jika aku terlalu posesif. Pria akan bersikap seperti itu jika sangat mencintai wanitanya.”Tuan Arya langsung tersenyum mendengar ucapan Danu. Sementara Arum hanya terdiam den
“Selamat ulang tahun, Sayang,” desis Danu.Arum terkejut saat ia membuka mata sabtu pagi ini, Danu langsung berkata seperti itu sambil membawa sebuah kue dengan lilin kecil menyala di atasnya. Arum tersenyum, mengucek matanya sambil mengubah posisi tubuhnya. Ia sudah duduk sambil bersandar di kepala ranjang dengan Danu duduk di tepi kasur.“Tiup lilinnya, dong! Jangan lupa make a wish,” imbuh Danu.Arum mengangguk, kemudian sudah memejamkan mata dan meniup lilin di atas kue ulang tahun itu. Danu tersenyum dan langsung mendaratkan sebuah kecupan di kening serta bibir Arum.“Makasih, Mas,” ucap Arum setelahnya.Danu mengangguk sambil bersiap memotong kue ulang tahun, tapi Arum melarangnya. Ia sudah meminta Danu meletakkan kue ulang tahun itu di atas nakas dan menarik suaminya naik ke kasur.Danu mengulum senyum sambil melirik Arum. “Kamu ingin langsung membuka hadiahnya pagi ini?”Arum ter
“Apa maksud Anda, Dok?” sergah Danu.Dokter Sandy tersenyum menyeringai, tapi tidak sepatah pun terucap dari mulutnya. Untuk beberapa saat mereka terdiam satu sama lain. Hingga tiba-tiba Arum menoleh dan memanggil Danu.“Mas!!”Danu melihat ke arah Arum, tersenyum lalu mengangguk. Tanpa berpamitan, ia langsung ngeloyor pergi meninggalkan Dokter Sandy. Dokter Sandy masih bergeming di tempatnya memperhatikan pasutri yang semakin menjauh darinya.Berulang jakun Dokter Sandy bergerak menelan saliva sambil sesekali menggelengkan kepala.“Sepertinya tepat dugaanku, kalau Arum belum tahu siapa suaminya. Apa jadinya jika Arum tahu tentang pembunuh Anjani?” gumam Dokter Sandy.Sementara itu Danu dan Arum sudah berjalan beriringan menuju makam Anjani. Arum menghentikan langkahnya di depan sebuah gundukan tanah dengan rumput yang tertata rapi. Di atasnya tampak ada taburan bunga yang masih baru dan seikat bunga krisa
“APA???!! Nadia bunuh diri?” seru Dokter Sandy.Ia benar-benar terkejut mendengar kabar siang ini. Padahal sebelumnya Nadia sudah terlihat lebih baik dari sebelumnya. Bahkan Dokter Sandy hendak memberi surat rekomendasi untuk Nadia agar keluar dari sana.“Iya, benar, Dok. Beruntung ada salah satu perawat yang mengetahui sehingga Nona Nadia bisa diselamatkan.”Dokter Sandy langsung menghela napas lega usai mendengar kelanjutan pembicaraan sang Suster.“Lalu bagaimana keadaannya? Dia sudah lebih baik?”Terdengar kekhawatiran di nada suara Dokter Sandy. Bagaimanapun Nadia adalah pasiennya dan dia bertanggung jawab padanya.“Nona Nadia masih kritis, Dok. Belum sadar sampai sekarang, itu sebabnya saya menelepon Dokter.”Dokter Sandy menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala.“Ya sudah. Saya ke sana sekarang.”Dokter Sandy mengakhiri panggilannya. Ia langsung
“Kamu senang hari ini?” tanya Danu.Kali ini mereka sedang menghabiskan makan malam di sebuah resto ternama setelah sebelumnya menghabiskan sepanjang waktu bersama seharian tadi. Arum mengangguk sambil tersenyum, wajahnya tampak semringah dan ini adalah hari ulang tahun terbaik baginya.“Sebenarnya aku ingin membuat pesta kejutan untuk kamu, tapi karena kamu tidak suka pesta. Jadi akhirnya kita habiskan saja seharian ini bersama.”Danu kembali menambahkan. Arum tersenyum lagi, menyudahi makannya dan menggeser duduk mendekat ke Danu. Kali ini mereka memang sedang duduk bersebelahan.“Terima kasih, Mas. Aku seneng banget seharian ini. Biasanya aku selalu menikmati hari ini sendirian dan baru kali ini menghabiskannya bersama kamu.”Danu tersenyum, memeluk Arum, mendekatkan wajahnya sambil mengecup puncak kepala Arum.“Ada satu lagi hadiah istimewa buatmu, tapi tidak di sini.” Danu menambahkan dan
“Selamat sore, apa benar ini rumah Tuan Burhan?” tanya Tuan Simon.Usai memastikan foto yang sama, sore itu Tuan Simon berkunjung ke rumah keluarga Dokter Sandy. Seorang wanita paruh baya tampak terkejut mendapati kedatangan Tuan Simon. Wanita itu hanya diam tak menjawab sambil menatap Tuan Simon dengan ketakutan.Tuan Simon tersenyum, membungkukkan badan seakan sedang memberi salam.“Jangan takut. Saya hanya ingin bertemu dengan teman saya. Sampaikan pada Tuan Burhan, ada Simon yang mencarinya.”Wanita paruh baya itu tampak ragu. Lagi-lagi ia tidak berkomentar hanya menatap Tuan Simon dengan bingung. Tuan Simon menunggu dengan sabar hingga akhirnya wanita paruh baya itu bersuara.“Tuan Burhan sedang istirahat. Saya … saya tidak berani membangunkannya.”Tuan Simon berdecak sambil menggelengkan kepala.“Sayang sekali … padahal saya datang dari jauh untuk melihat keadaannya.”
“Silakan, Tuan!!” ujar seorang pria.Dia tampak membungkuk sambil memberi jalan seorang pria berkepala plontos masuk ke dalam rumah sakit. Pria itu berjalan menyusuri koridor hingga menuju ruang praktek Dokter Andi. Seorang perawat menyambut pria paruh baya itu dengan ramah.“Selamat pagi, Pak!! Tunggu sebentar, Dokter akan segera memeriksa Anda.”Pak Sudibyo hanya tersenyum menyeringai sambil menatap perawat di depannya dengan tatapan liar. Sementara perawat itu buru-buru menunduk dan berlalu pergi dari ruang periksa. Pak Sudibyo kini sudah duduk di kursi periksa. Mungkin karena faktor usia, banyak giginya yang sering linu dan sakit digunakan untuk mengunyah. Selain itu ada juga yang berlubang dan itu menyulitkannya.Pak Sudibyo sedang asyik memainkan ponselnya saat pintu ruang periksa terbuka. Pak Sudibyo melirik sekilas dan melihat seorang pria mengenakan pakaian dokter masuk. Kali ini pria itu juga mengenakan masker putih. Pak
“PAPA!!! Papa!!!” seru Nyonya Maria.Wajahnya tampak cemas dan sudah berlarian keluar rumah. Lalu kakinya terhenti saat melihat suaminya keluar dari dalam mobil dengan tangan terborgol. Nyonya Maria tercengang, mulutnya terbuka dengan mata terbelalak.“Pa … ,” cicitnya lirih.Tuan Rafael sebenarnya ada di rumah dan hendak melarikan diri, tapi keburu polisi datang ke rumahnya. Lalu ia memilih sembunyi di garasi, tapi malang, malah ketahuan.Salah satu petugas polisi langsung mendatangi Nyonya Maria.“Anda juga harus ikut kami ke kantor, Nyonya. Anda sudah berbohong dan mengelabui petugas.”Mata Nyonya Maria sontak melotot dan tak lama ia sudah jatuh pingsan. Untung saja petugas polisi yang berdiri di depannya sigap menangkap tubuhnya. Hingga wanita paruh baya itu tidak sampai jatuh ke tanah.Sementara Tuan Rafael hanya menatap istrinya dengan sendu. Matanya berkaca dan terlihat penyesalan di w
“Tuan, ini foto Pak Burhan,” ujar Bu Rahayu.Wanita paruh baya itu tampak jalan tergesa keluar rumah menghampiri Tuan Simon. Tuan Simon tersenyum kemudian menerima selembar foto yang baru saja diberikan Bu Rahayu. Tuan Simon tampak diam sambil mengernyitkan alis menatap foto itu dengan seksama.“Apa pria yang berdiri di belakang anak-anak ini, Bu?” tanya Tuan Simon.“Iya, benar sekali, Tuan. Dulu saya punya fotonya yang jelas, tapi sepertinya sudah rusak termakan usia. Hanya itu yang tersisa.”Tuan Simon hanya diam sambil memandang foto yang terlihat usang dan lecek itu. Wajah Pak Burhan sama sekali tidak jelas terlihat. Wajahnya buram, tapi sosok tubuhnya terlihat tegap dan proposional.“Apa boleh saya simpan, Bu?”Bu Rahayu tersenyum sambil mengangguk. “Tentu saja, Pak. Silakan.”Tuan Simon mengangguk dan segera menyimpan foto itu ke dalam tasnya. Tak lama setelahnya dia su
“Mau apa lagi? Bukankah urusanmu sudah beres berpuluh tahun lalu,” ujar Dokter Sandy.Pria berkepala plontos itu tersenyum menyeringai sambil mengurut dagunya. Ia menatap Dokter Sandy dengan sinis dan penuh ejekan.“Jadi begini balas budimu setelah aku menyekolahkanmu hingga menjadi seorang dokter yang sukses?”Dokter Sandy berdecak sambil menggelengkan kepala.“Katakan saja berapa biaya yang kamu keluarkan untuk menyekolahkanku. Aku akan menggantinya.”Sontak pria itu terkekeh mendengar ucapan Dokter Sandy.“Sombong sekali kamu, Sandy. Merasa sudah hebat, ya? Jadi kamu sudah lupa siapa yang selama ini membantu keluargamu. Begitu!!!”Dokter Sandy tidak menjawab hanya diam sambil menatap pria berkepala plontos itu dengan mata berkilatan. Pria bertubuh gempal itu berdiri, berjalan menghampiri Dokter Sandy hingga sejajar di depannya.“Dengar, ya!! Gara-gara kamu, ada yang sedan
“Tuan, makanan ini saya apakan?” tanya Beni.Pria bertubuh tinggi besar itu sudah menunjuk paper bag berisi makanan yang diberikan Nyonya Lani tadi. Danu diam sejenak sambil melirik paper bag tersebut. Sementara hidung Arum tampak mengendus aroma makanan tersebut.“Baunya enak sekali. Aku jadi ingin mencobanya, Mas.”Danu langsung memelotot ke Arum. Arum tampak terkejut, mengernyitkan alis dengan tatapan penuh tanya.“Maaf, Mas. Sejak hamil hidungku sangat sensitive kalau mencium bau sedap seperti ini. Aku jadi laper.”Arum berkata sambil tersenyum meringis.Danu ikut tersenyum sembari mengelus kepala Arum.“Iya, aku tahu. Mungkin itu bawaan ibu hamil. Kamu boleh makan apa saja, tapi jangan masakan Mama Lani.”Arum terlihat semakin bingung mendengarnya. Danu melihat reaksi Arum. Ia tersenyum sekilas sambil mengajak Arum duduk di sofa. Tuan Prada masih terlelap di brankarnya. Ada Ben
“Tuan, saya Beni. Maaf, ini nomor telepon baru saya,” ucap Beni.Danu menghela napas panjang sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Ia sudah tegang sekaligus kesal setengah mati.“Ada apa, Ben?”Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana.“Tuan … maaf, saya pulang lebih awal dari rumah sakit untuk menyelidiki Nyonya Lani.”Danu mengernyitkan alis, tapi kepalanya sudah mengangguk kali ini.“Lalu … kamu menemukan sesuatu? Dia menemui siapa?”“Belum, Tuan. Hanya saja Nyonya Lani tampak sedang berkemas saat ini. Tidak hanya beliau, putrinya Nona Citra juga sedang sibuk berkemas. Beberapa kali saya melihat mereka memindahkan barang-barang ke sebuah apartemen mewah di pinggir kota.”Danu menganggukkan kepala sambil sibuk menerka di mana lokasi apartemen yang dimaksud.“Papa memang sudah menceraikan Mama Lani. Mungkin itu sebabnya mereka tamp
“Sayang … sudah bangun?” tanya Danu.Ia langsung masuk usai berbincang dengan Budi dan Beni tadi. Arum yang tadi hendak keluar segera duduk di sofa dan hanya tersenyum saat melihat Danu. Kebetulan Art mereka sedang keluar untuk membeli makanan.Danu menggeser duduknya mendekat ke Arum, kemudian mengecup keningnya sekilas.“Kita pulang habis ini. Aku sudah minta Beni berjaga di sini membantu Bibi.”Arum hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia melihat Beni dan Budi ikut masuk ke dalam ruangan. Dua orang kepercayaan Danu itu tampak membungkuk memberi salam ke Arum. Arum hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.Arum berharap semoga saja dua orang ini tidak menemukan keterlibatan Tuan Arya pada semua hal yang dilakukan Nyonya Lani. Arum akan sangat kecewa jika itu semua terjadi nantinya.Selang beberapa saat, Arum dan Danu sudah tiba di rumah. Usai makan malam, mereka langsung masuk kamar untuk beristirahat. Sepan
“Baguslah. Aku tunggu di sini.” Danu mengakhiri panggilannya.Ia melirik Arum dan tersenyum saat melihat istrinya masih terlelap. Dengan hati-hati, Danu mengangkat kepala Arum dan meletakkannya di atas bantal. Selanjutnya ia sudah keluar kamar menunggu kedatangan Budi dan Beni di teras.Selang beberapa saat tampak Budi dan Beni mendekat. Dua orang kepercayaan Danu itu tersenyum lebar berjalan mendatangi Danu.“Jadi katakan siapa pelakunya, Bud!!” seru Danu tak sabar.Budi tersenyum, menganggukkan kepala sambil menatap Danu dengan senyum penuh kemenangan.“Anda pasti sangat terkejut begitu tahu siapa orang yang ada di balik semua ini, Tuan,” ucap Budi.Danu mengernyitkan alis menatap Budi dengan penuh tanya. Sementara Beni dan Budi hanya saling pandang dengan senyum lebar.“Baik, kalau begitu katakan siapa dia? Apa Dokter Sandy lagi atau Mama Lani?”Tentu saja Budi dan Beni tampak