Malam sudah larut namun Balqis tak dapat memejamkan kedua matanya. Rasa gelisah dan takut selalu saja muncul dimanapun.
Balqis merubah posisi menjadi duduk. Sementara Ashraf sudah tertidur lelap di karpet bawah.
Namun Ashraf terlihat sangat kedinginan, Balqis lalu memberikan selimut yang dia kenakan untuk menutupi tubuh Ashraf. Lalu dia sendiri tetap membuka matanya sampai dini hari menjelang.
"Disaat orang lain bersenang-senang dengan pasangan, namun aku merasa sepi dan sendirian. Beginikah nasib orang yang suka membuat onar. Atau memang sudah nasibku dari dulu, tak akan pernah bahagia," lirih Balqis.
Derai air mata Balqis membasahi kedua pipinya. Seakan mengeluh terhadap takdir yang tak pernah berpihak padanya.
"Bukankah aku ini rendahan kata mereka? Tak pernah seorang pun merasakan keberadaanku. Tapi aku masih berharap setelah ini bisa menjadi lebih baik lagi," keluh Balqis.
Tangis Balqis semakin pecah, tak seharusnya dia menangisi takdirnya. Tapi dia sudah tidak tahan sedari kemarin mencoba menerima.
"Kamu kenapa?" tanya Ashraf. Ashraf terbangun dari tidurnya yang lelap.
"Tidak apa-apa, Ustadz. Ini kelilipan," Balqis berusaha menghapus air matanya.
"Sudah jangan sering bohong, nanti gak ada yang percaya lagi gimana," gertak Ashraf bangun dari tidurnya.
"Sampai kapan kita begini, Ustadz?" tanya Balqis akhirnya.
"Sampai semua orang melupakan kesalahpahaman pada hari itu. Perjanjian kita akan selesai," jawab Ashraf.
"Tapi berapa lama, Ustadz?" Balqis tetap bertanya waktu tepatnya.
Ashraf berdiri lalu meminum segelas air putih di dekat meja belajarnya. Lalu duduk dan langsung meneguknya hingga tandas.
"Dua bulan mungkin. Saya juga tidak tau," papar Ashraf memandangi langit-langit kamarnya.
Balqis mengambil nafas panjang. "Hufft, serendah itukah saya di mata orang-orang. Sampai selalu dipandang sebelah mata."
Ashraf menoleh ke arah Balqis. "Kamu sendiri yang menyebabkan itu. Jika mau orang lain berpandang baik, maka berubahlah. Tapi sepertinya itu tidak mungkin," ledek Ashraf.
Kalimat terakhir Ashraf begitu menusuk relung hati Balqis. Selalu begitu.
"Tidak ada yang tidak mungkin, iya kan Ustadz Ashraf?" Balqis menentang pendapat Ashraf.
"Saya tidak tau," ujar Ashraf lalu meninggalkan kamarnya.
Balqis tak ingin larut dalam kesedihan, lalu mencoba untuk menutup mata agar bisa tertidur.
***
"Ayra tunggu. Kamu harus dengar penjelasan saya dulu," pinta Ashraf saat melihat Ayra keluar dari ruang pengurus putri.
"Buat apa Ustadz Ashraf? Bukankah urusan kita sudah selesai. Jadi jangan muncul dihadapan saya lagi," jawab Ayra.
"Tapi kamu harus tau sesuatu. Saya dan Balqis menikah hanya beberapa waktu. Dan kami memiliki perjanjian yang dimana kami hanya menikah berpura-pura. Setelah semua selesai saya akan bersama kamu lagi," ungkap Ashraf meyakinkan Ayra.
Ayra tersenyum tipis, namun tak memperlihatkan kesenangan nya pada Ashraf. "Aku tidak peduli bukan urusanku."
"Saya tidak berbohong, Ayra. Siapa juga yang mau sama santri seperti Balqis. Sangat berbeda dengan saya, kami bagaikan langit dan bumi. Jauh sekali perbandingannya dengan kamu, Ayra. Jadi tunggu saya, saya mohon. Saya janji akan meninggalkan Balqis setelah ini," bujuk Ashraf kepada Ayra.
"Aku butuh bukti, bukan janji. Apalagi hanya omongan kosong," lalu Ayra meninggalkan Ashraf dengan penuh puas tersendiri.
"Baiklah, Ayra. Saya akan membuktikan kalau kamu selalu berada dalam hati saya."
***
"Ashraf, sebaiknya kamu libur dulu mengajarnya. Umi sudah izin ke Kyai Zulkifli. Jadi kamu jangan ke pesantren dulu," ucap Risma saat Ashraf baru sampai.
"Ya gak bisa lah, Umi. Ashraf kan punya tugas disana, gak enak kalau gak ngajar. Lagian juga gak seharian kok," jawab Ashraf.
"Tapi kan kasihan Balqis, dia kesepian kalau kamu ngajar. Cuma satu Minggu kok gak usah lama-lama, temani dia dan ajak dia jalan-jalan," saran Risma untuk kebaikan Ashraf tentunya.
"Tapi, Umi Ashraf belum bisa," tolak Ashraf.
"Jangan membantah, Ashraf anak Umi biasanya selalu nurut. Apalagi sekarang sudah menjadi imam, harus lebih dewasa ya, Nak," Risma sedikit tegas dengan kelakuan Ashraf.
Ashraf akhirnya mengangguk patuh. "Maaf Umi, Ashraf tidak akan seperti itu lagi."
"Ya sudah, temani istri kamu, ajak dia jalan-jalan," lalu Risma meninggalkan Ashraf di ruang tamu.
Ashraf pun langsung menuju ke kamarnya. Terlihat Balqis yang sedang merapikan pakaiannya.
"Ayo kita jalan-jalan," ajak Ashraf.
Balqis yang tak tau kedatangan Ashraf sedikit terkejut. "Loh, Ustadz, mau kemana?"
"Gak tau," Ashraf acuh tak acuh. Lalu menaruh beberapa berkas kerjanya di meja khusus.
"Kalau ngajak jalan-jalan , minimal tau mau jalan-jalan kemana," sindir Balqis berusaha mencairkan suasana.
"Ini perintah Umi, bukan kemauan saya sendiri. Lebih baik kamu nurut, segera siap-siap dan kita langsung pergi," kata Ashraf.
Balqis termenung sebentar, padahal barusan dia sudah sedikit bahagia karena Ashraf ada perubahan. Ternyata Ashraf hanya disuruh.
Selalu saja dingin, dari dulu sampai sekarang. "Ustadz gak capek ya jadi orang cuek terus? Emang gak bisa ya cairan dikit, jangan dingin terus gitu," sindir Balqis. Siapa tahu Ashraf sadar dengan sikap dinginnya.
"Gak bisa, ini sudah jati diri," jawab Ashraf angkuh.
"Terus gak pernah ketawa gitu selama hidup?" tanya usil Balqis.
"Pernah," jawab Ashraf singkat.
"Kapan, Ustadz?" Balqis semakin penasaran dengan sosok Ashraf. Meskipun Ashraf tetap tak acuh kepada dirinya.
"Saat bersama Ayra," ujar Ashraf. Tiga kata itu seolah menusuk hati Balqis detik ini juga.
Pasangan mana yang tak cemburu saat mendengar sang suami bisa tertawa karena perempuan lain.
Balqis hanya terdiam, berusaha mengingatkan kembali siapa dirinya dan siapa Ashraf.
"Ouhh," respon Balqis dengan cuek.
"Kalau kamu kapan bahagianya?" tanya Ashraf.
Balqis yang tak fokus tak segera menjawab Ashraf. Namun detik berikutnya dia tak sengaja melihat tikus yang berjalan di atas tumpukan buku Ashraf.
"Aaaaa ada tikus," teriak Balqis lalu segera melompat dari kasur.
Ashraf yang juga terkejut pun ikut berdiri, namun saat berbalik arah tak sengaja Balqis menubruk badannya.
Jadilah Balqis jatuh di atas Ashraf yang jatuh tersungkur. Beberapa detik keduanya saling menatap.
Tak dapat dipungkiri, jika Ashraf memiliki fisik yang bagus. Apalagi wajah tegasnya, Ashraf yang dijuluki ustadz dingin itu sangatlah tampan. Siapapun pasti akan menyukainya saat pandangan pertama.
Begitupun dengan Balqis, meskipun selalu membuat onar, namun wajah dia manis, selalu membuat laki-laki terpesona.
"Maaf Ustadz, saya tidak sengaja," ucap Balqis sedikit ketakutan.
"Saya baru tau kalau kamu semanis ini, Balqis Khansa Alya."
Pandangan mereka menyatu, sorot tajam Ashraf seakan menghipnotis Balqis untuk tak bangun dari tubuh Ashraf.
"Maaf Ustadz, saya mau berdiri," Balqis berusaha melepas tubuhnya dari Ashraf.
Namun Ashraf malah semakin menahan bahu Balqis. "Saya tidak yakin dengan perjanjian kemarin, kamu ternyata manis ya?"
Saat Ashraf tetap menahan tubuh Balqis, tiba-tiba pintu kamar Ashraf terbuka."Waduh, Maaf ya. Umi kira kenapa, tadi ada yang teriak soalnya. Umi ganggu ya," ucap Risma penuh senyum saat melihat kedua insan itu.Balqis dan Ashraf sama terkejutnya, lalu dengan terburu-buru Balqis bangkit dari Ashraf. Ashraf pun langsung berdiri juga."Tidak seperti yang Umi pikiran kok. Tadi ada tikus, jadi Balqis gak sengaja lompat ke Ustadz Ashraf," kilah Balqis."Loh, emangnya kenapa kalau kalian seperti itu. Kalian kan sudah menikah, hal itu wajar kok. Dan kenapa Balqis masih manggil ustadz ke Ashraf?" tanya penuh selidik Risma.Saking groginya, Balqis lupa panggilannya untuk Ashraf. "Udah, Umi. Balqis masih belum terbiasa. Udah ya umi keluar dulu, kami mau siap-siap," ucap Ashraf memegang pindah Risma ke pintu kamarnya."Iya deh iya, yang gak mau dilihat siapapun ini," kekeh Risma lalu meninggalkan mereka berdua di kamar."Ucapan saya tadi lupain. Itu gak benar," lirih Ashraf mendekati Balqis ta
Kini hujan deras itu sudah berganti rintik. Suasana tenang mulai tergambar saat hujan membasahi seisi bumi.Tapi tidak dengan Ashraf dan Risma yang dilanda kekhawatiran. Karena Balqis tadi tidak sadarkan diri waktu di taman."Kenapa dia bisa pingsan, Ashraf?" tanya Risma dengan serius. Sembari terus menerus menggosok tangan Balqis dengan minyak kayu putih."Dia tadi mandi hujan, Umi," jawab Ashraf dengan cemas. Dia baru selesai berganti baju.Balqis dibaringkan di kamar Ashraf. Wajahnya sangat pucat dan terlihat lemah."Astaghfirullah, umi baru ingat. Dia belum makan seharian, katanya mau nunggu kamu datang. Jangan bilang tadi kamu tidak mengajaknya makan?" ucap Risma dengan panik.Ashraf terkejut mendengar pernyataan sang ibunya. "Kami belum sempat makan," lirih Ashraf.Risma hanya menggeleng dengan kelakuan anaknya. Tapi tetap saja panik dengan keadaan sang menantu.Namun setelah itu terlihat tangan Balqis yang bergerak. Dan juga membuka kedua matanya perlahan."Alhamdulillah, kamu
"Aku juga, kita hanya menunggu waktu. Tolong tunggu aku Ayra," ajak Ashraf sambil berbicara di ponselnya. Balqis yang mendengar semua itu hanya tersenyum kecut. Setelah itu ia merasa kecewa, karena Ashraf melihat dirinya tanpa izin. Setelah cukup lama mereka berbincang, akhirnya Ashraf menutup teleponnya. Balqis hanya mendengarkan saja tanpa ingin menegur. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Ashraf ketika ia berbalik dan Balqis sudah berada di depan pintu kamarnya. “Saya ingin meminta penjelasan kepada Ustadz,” jawab Balqis blak-blakan. Kemarahannya sudah meluap sejak tadi. Namun sebisa mungkin dia tahan. "Tentang?" kata Ashraf. “Saya tidak suka dengan cara ustadz. Ustadz menikahi saya hanya untuk menghilangkan rasa malu, tapi ustadz mengganti baju saya sesuka hati tanpa izin,” kata Balqis lirih. “Tidak ada jalan lain, jadi tenang saja. Aku tidak tergoda dengan tubuhmu,” cibir Ashraf lalu duduk di meja belajarnya. Balqis masuk ke dalam kamar, menguncinya dari dalam. "Ini
Sejak malam kejadian itu, Balqis tak ada obrolan dengan Ashraf. Sudah seminggu lamanya dan Balqis benar-benar menghindari Ashraf.Benar kata orang lain, biasanya orang yang sudah merasa kecewa akan memilih diam. Ketika sudah berat hati untuk menentukan, hanyalah kata menyerah yang ada.Menyerah dengan takdir yang sudah tertulis. Entah takdir Balqis seperti apa, berakhir sedih kah atau sebaliknya."Balqis," sapa Ashraf. Ashraf membuka pembicaraan terlebih dahulu.Mereka sedang berada di mobil Ashraf, dan akan menuju ke pesantren Al Fatah."Hm," jawab Balqis cuek."Perasaan kamu sekarang gimana?" tanya Ashraf sambil melajukan mobilnya secara pelan."Biasa aja," lirih Balqis. Pandangannya lurus ke depan. Sesekali melihat ke luar jendela mobil."Setelah malam itu, kamu masih benci dengan saya?" tanya Ashraf. Dirinya tak fokus menyetir karena sesekali sambil melihat Balqis disebelahnya."Lupakan ustadz. Ustadz sendiri kan yang meminta saya untuk melupakan semua itu. Tolong jangan dibahas l
"Saya tidak mau dan gak akan pernah mengizinkan hal itu terjadi," ucap Balqis lalu melepas pelukan Ashraf dan langsung keluar dari kamar Ashraf.Banyak yang hanya tergoda sesaat lalu meninggalkan. Bukankah pernikahan adalah sebuah perjanjian, untuk selalu bersama dalam keadaan suka dan duka.Balqis mendekati Risma yang sedang memasak. Lalu mendekatinya sembari menghapus air mata yang sedikit luruh."Umi, lagi masak apa?" tanya Balqis.Risma yang sedang mencuci beberapa jenis ikan dan sayur pun menoleh. "Iya nak, ini lagi mau goreng ikan Nila sama buat sayur asam," tukas Risma dengan senyuman hangat."Balqis mau bantu ya Umi," ucap Balqis kegirangan.Benar ya kata orang, bahwa tak semua sifat anak itu turun dari orang tuanya. Buktinya Risma begitu berbanding terbalik dengan Ashraf.Risma yang begitu peduli dan selalu ramah, serta murah senyum. Sementara Ashraf yang dingin dan suka semena-mena terhadap orang lain."Boleh dong, sini buatin mama bumbu buat sayur asam. Sekalian bumbu buat
Kedua orang itu saling diam, setelah beberapa lama tak bertemu. Kini mereka berada di sebuah taman perkotaan tak jauh dari pesantren Al-fatah. "Gimana kabarmu, Balqis?" tanya laki-laki itu dengan sopan. Sedari tadi melihat Balqis yang selalu menunduk. "Aku baik, kamu?" tanya Balqis juga. "Tadinya sih, belum baik. Tapi sekarang setelah bertemu dengan kamu, aku menjadi baik," tutur Ridho- santri putra Al- Fatah. Balqis mendongak, tatapannya tak tenang. Pikirannya seakan kabur. Hari yang paling Balqis takuti, sudah akan dia rasakan. "Maaf, Ridho, " lirih Balqis pelan. Kembali menunduk untuk menyembunyikan rasa bersalahnya. "Maaf untuk?" ucap Ridho penasaran. Rasanya seakan sama. Sejak dua tahun kedekatan mereka dahulu. "Aku sudah menikah, maaf," lirih Balqis. Sedari tadi dia memintal kain gamisnya. Ridho terdiam, tatapannya menjadi kosong. Tubuhnya melemah dan berdiri lagi. "Dengan siapa? Kau tak menungguku, Balqis. Padahal aku selalu mengingatmu," ucap Ridho sambil memijat peli
Dengan suara lantang, Ayra mengusir Balqis. Emosinya sudah tersulut dan sekarang Balqis semakin menguji kesabarannya. "Kalau orang seperti saya aib pesantren. Lantas bagaimana dengan Ning Ayra, yang kata-katanya selalu menyakitkan," timpal Balqis. Berusaha untuk tetap tegar walaupun rasa takut sudah menguasai dirinya. "Balqis, cukup!" bentak Ashraf menghampiri Balqis. Rasa kecewa, rasa sakit hati dan sekarang ditambah rasa terintimidasi. Bukankah di situasi seperti ini Ashraf harus membel Balqis. Atau setidaknya dia mempertahankan harga diri Balqis yang tengah Balqis perjuangkan. "Liat Balqis? Ashraf saja tidak membelamu. Jadi jangan terlalu percaya diri. Cepat kamu tinggalkan pesantren ini sekarang juga!" hardik Ayra. Dengan sorot mata penuh dengan dendam. Ridho yang melihat kejadian itu hanya bisa terdiam. Tidak bisa melakukan apapun untuk Balqis. Suaminya saja tidak membelanya apalagi dia yang bukan siapa-siapa. Balqis menatap Ashraf dan ke semua orang yang ada disana. "Maaf
Tanpa ada yang tahu, tekad Risma memasukkan sesuatu ke minuman Ashraf dan Balqis. Itu yang menyebabkan keduanya gelisah pada malam itu."Balqis," lirih Ashraf. Gelisah dan tubuhnya memanas. Seakan tak kuat dan ingin segera melakukannya.Sementara Balqis sudah tak tahan juga, keduanya sama-sama memiliki gairah yang besar detik itu juga."Ayo Ashraf," ucap Balqis pelan.Gerimis hujan yang membasahi bumi, di malam itu terjadi sesuatu yang sebelumnya tak mereka inginkan.Ashraf dan Balqis pun sudah melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan. Mungkin mereka melakukannya tanpa ada rasa kemauan yang nyata.Tapi dengan begitu, gelisah dan panas itu akan hilang. Mungkin secara tak sadar, mereka sudah menjadi istri suami layaknya suami istri diluar sana.***"Maafkan saya, Balqis. Tadi malam saya hilang kendali," ungkap