"Pernikahan ustadz Ashraf dan Balqis tidak membutuhkan persetujuanmu, Ayra," ungkap Kyai Zulkifli dengan dingin.
Ayra terdiam, tak mampu membalas ucapan sang Kyai. Apalagi sekarang semua pengurus sedang berkumpul, rasanya dia tak dapat berkutik.
"Jadi semuanya harap menerima. Demi ketentraman pesantren Al-fatah. Ustadz Ashraf dan Balqis sudah menyetujui untuk menikah," sambung Kyai Zulkifli.
Ayra melirik Balqis dengan sinis, seakan membenci Balqis teramat dalam. Dan juga menatap Ashraf tak suka.
Sementara Balqis hanya terdiam, begitupun Ashraf yang tampak dingin seperti biasa.
***
"Kamu hanya buat malu keluarga, mau ditaruh dimana muka Mama sama papa mu ini, Balqis," ujar Amira- Mama Balqis.
"Iya, Papa malu banget punya anak seperti kamu. Bukannya jadi santri yang berprestasi malah harus dinikahkan secara tiba-tiba seperti ini," David ikut menimpali ucapan sang istri.
Kedua orang tua Balqis hadir di pernikahan Balqis dan Ashraf. Mengucap secara terang-terangan di hadapan Balqis sebelum akad dilaksanakan.
Balqis hanya tertunduk malu, tak ada jawaban apapun dari mulutnya. Sementara di hadapannya sana, sudah ada Ashraf bersama kedua orang tuanya yang ikut hadir.
"Maaf Ummi, maaf Abi. Ashraf belum bisa menjadi anak yang membanggakan. Gara-gara kesalahpahaman itu, Ashraf gagal menjadi menantu Kyai Zulkifli," ucap Ashraf mengiba di hadapan kedua orang tuanya.
"Sudahlah, Nak. Semua sudah menjadi ketetapan Allah. Terima dengan lapang dan selalu bersyukur. Ingatlah bahwa rencana Allah. Itu selalu indah," ucap Risma- Ibu dari Ashraf.
"Iya benar kata Ummi kamu. Kami tidak apa-apa kalau kamu gagal menjadi keturunan Kyai Zulkifli. Setidaknya keputusan kamu ini sudah yang terbaik menurut kamu. Kami selalu mendukung, Nak," ucap Lukman- Ayah dari Ashraf itu dengan menepuk pundak sang anak dengan pelan.
Balqis mendengar dengan jelas ucapan orang tua Ashraf, ada rasa iri yang muncul. Dimana dia tidak mendapat dukungan dari kedua orang tuanya. Hanya sebuah celaan dan selalu disalahkan.
Sementara Ashraf, tak ada respon apapun dengan perlakuan kedua orang tua Balqis. Ashraf hanya fokus dengan akad yang akan dilaksanakan sebentar lagi.
Acara akad itu tampak sangat sederhana, hanya ada beberapa perwakilan pengasuh dan juga pengurus. Dan beberapa teman Ashraf dan juga Balqis ikut hadir.
Dilaksanakan di dalam aula yang tak terlalu besar. Lalu terlihat Kyai Zulkifli datang bersama dengan Istrinya dan juga Gus Rohman, sementara Ning Ayra tak terlihat hadir.
"Baiklah, acara akan segera dimulai," ucap salah satu pengurus putra yang juga teman dari Ashraf.
Tampak sekali kegugupan Ashraf saat menggenggam tangan Kyai Zulkifli. Impian Ashraf terwujud untuk dinikahkan secara langsung oleh Kyai Zulkifli.
Tapi hanya calonnya saja yang berbeda, bukan bersama Ning Ayra. Ashraf menatap sekilas kepada Balqis yang sedari tadi menunduk.
"Sah!" semua orang yang hadir tampak serempak mengucap kata sakral itu. Dilanjut dengan Kyai Zulkifli membacakan doa untuk pernikahan Ashraf dan Balqis.
Tangis pecah dari Ibunda Ashraf, tak menyangka jika sang Putra sudah menikah. Sementara kedua orang tua Balqis hanya terlihat biasa saja menanggapinya.
"Sekarang kalian berdua sudah menjadi suami istri, sudah menjadi pasangan halal. Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah dan warohmah. Selamat untuk Ustadz Ashraf dan Balqis," tutur Kyai Zulkifli dengan penuh ramah.
Sementara Ashraf hanya mengangguk patuh. Dan Balqis pun juga seperti itu. Lalu Balqis mencium tangan Ashraf.
Jantungnya berdetak kencang, disaat perempuan lain penuh kebahagiaan saat pernikahannya. Namun Balqis sangat ketakutan melihat dinginnya Ashraf tanpa senyum.
"Selamat ya Nak, semoga pernikahan kalian selalu diberikan kebahagiaan. Dan kalian selalu dilindungi," Risma memeluk Balqis. Kedua perempuan itu sama-sama berderai air mata.
Balqis tak menyangka jika orang tua Ashraf akan sebaik itu kepadanya. Dan ayah Ashraf pun juga ikut mengucap kata selamat.
Berbeda dengan kedua orang tua Balqis yang tampak mengucapkan sepatah kata pun. Selesai dari akad malah langsung meninggalkan tempat.
Balqis hanya mengelus dadanya sendiri saat diperlukan seperti itu. "Maaf ya Tante dan Om, jika orang tua Balqis bersikap seperti itu," ucap Balqis tak enak.
"Gak apa-apa kok, Nak. Eh kamu ini, jangan panggil Tante sama Om lah. Panggil kami Ummi dan Abi ya, sayang," Risma memperlakukan Balqis dengan baik.
Mengelus kepalanya dan sesekali memeluk Balqis dengan penuh kasih sayang.
***
"Kesepakatan kita kemarin kan pisah kamar, tapi berhubung saya belum punya rumah sendiri jadi kita sekamar. Beda kasur!" Ashraf menekan dua kata terakhirnya.
Balqis hanya menelan Saliva mendegar ucapan Ashraf yang begitu cuek dan dingin. "Iya Ustadz," Jawab Balqis dengan kikuk.
"Kalau lagi ada orang lain panggil Mas saja," kata Ashraf lalu memasuki kamar mandi.
Balqis tersenyum tipis. "Mas?" kata Balqis mengulang ucapan Ashraf. Dia seakan merasa lucu dengan panggilan itu.
"Mas Ashraf yang dingin," ucap Balqis dengan pelan saat Ashraf sudah benar-benar berada di kamar mandi.
Mereka berdua sedang berada di kamar Ashraf. Karena permintaan kedua orang tua Ashraf untuk tinggal dirumahnya beberapa hari.
Ashraf sebenarnya ingin menatap dan tinggal di pesantren, namun dia juga tak mampu menolak permintaan kedua orang tuanya.
Sementara Balqis hanya mengeluarkan barang bawaannya. Raut sedih selalu terpancar dari wajah Balqis.
Rasa takut selalu hadir dan rasa ketidakpercayaan diri. Tanpa sadar dirinya sudah menjadi istri seorang ustadz dari pesantren yang sama.
Sebuah kemustahilan, karena seorang Balqis adalah salah satu santriwati yang tak selalu taat akan peraturan pesantren.
"Ini seperti mimpi. Berada disini hanyalah mimpi," Balqis bermonolog seorang diri, merenungi nasibnya yang seakan tak pernah bahagia.
"Ini nyata, cepat mandi dan setelah ini kita kumpul dengan keluarga saya," perintah Ashraf saat keluar dari kamar mandi dengan pakaian rapi.
Balqis mengangguk patuh dan lalu menuju ke kamar mandi membawa beberapa alat mandi dan juga pakaiannya.
***
"Nak Balqis kan baru lulus SMA, setelah ini rencana mau lanjut kuliah atau jadi istri aja?" tanya Risma dengan mengembangkan senyum.
Balqis bingung mau menjawab apa, mendengar kata istri saja membuatnya geli. "Belum tau masih, Umi," menjawab seadanya adalah saran terbaik.
"Loh, harus dipikirkan nak. Nanti bilang sama Ashraf, mau lanjut kuliah atau gimana. Atau mau langsung program hamil juga boleh. Umi dan Abi sudah gak sabar gendong cucu." goda Risma.
Ashraf yang mendengar itu langsung terbatuk-batuk, sementara Balqis langsung mengambilkan air. "Ashraf aja juga gak sabar," goda Risma terus-menerus.
"Apa sih, Umi, kita kan masih baru juga akad," lirih Ashraf.
"Iya deh, doa terbaik buat kalian," ucap Risma akhirnya.
Setelah makan mereka berdua langsung ke kamar Ashraf.
"Saya tidur di karpet bawah, jangan berharap kita tidur seranjang."
Malam sudah larut namun Balqis tak dapat memejamkan kedua matanya. Rasa gelisah dan takut selalu saja muncul dimanapun. Balqis merubah posisi menjadi duduk. Sementara Ashraf sudah tertidur lelap di karpet bawah.Namun Ashraf terlihat sangat kedinginan, Balqis lalu memberikan selimut yang dia kenakan untuk menutupi tubuh Ashraf. Lalu dia sendiri tetap membuka matanya sampai dini hari menjelang."Disaat orang lain bersenang-senang dengan pasangan, namun aku merasa sepi dan sendirian. Beginikah nasib orang yang suka membuat onar. Atau memang sudah nasibku dari dulu, tak akan pernah bahagia," lirih Balqis.Derai air mata Balqis membasahi kedua pipinya. Seakan mengeluh terhadap takdir yang tak pernah berpihak padanya."Bukankah aku ini rendahan kata mereka? Tak pernah seorang pun merasakan keberadaanku. Tapi aku masih berharap setelah ini bisa menjadi lebih baik lagi," keluh Balqis.Tangis Balqis semakin pecah, tak seharusnya dia menangisi takdirnya. Tapi dia sudah tidak tahan sedari kema
Saat Ashraf tetap menahan tubuh Balqis, tiba-tiba pintu kamar Ashraf terbuka."Waduh, Maaf ya. Umi kira kenapa, tadi ada yang teriak soalnya. Umi ganggu ya," ucap Risma penuh senyum saat melihat kedua insan itu.Balqis dan Ashraf sama terkejutnya, lalu dengan terburu-buru Balqis bangkit dari Ashraf. Ashraf pun langsung berdiri juga."Tidak seperti yang Umi pikiran kok. Tadi ada tikus, jadi Balqis gak sengaja lompat ke Ustadz Ashraf," kilah Balqis."Loh, emangnya kenapa kalau kalian seperti itu. Kalian kan sudah menikah, hal itu wajar kok. Dan kenapa Balqis masih manggil ustadz ke Ashraf?" tanya penuh selidik Risma.Saking groginya, Balqis lupa panggilannya untuk Ashraf. "Udah, Umi. Balqis masih belum terbiasa. Udah ya umi keluar dulu, kami mau siap-siap," ucap Ashraf memegang pindah Risma ke pintu kamarnya."Iya deh iya, yang gak mau dilihat siapapun ini," kekeh Risma lalu meninggalkan mereka berdua di kamar."Ucapan saya tadi lupain. Itu gak benar," lirih Ashraf mendekati Balqis ta
Kini hujan deras itu sudah berganti rintik. Suasana tenang mulai tergambar saat hujan membasahi seisi bumi.Tapi tidak dengan Ashraf dan Risma yang dilanda kekhawatiran. Karena Balqis tadi tidak sadarkan diri waktu di taman."Kenapa dia bisa pingsan, Ashraf?" tanya Risma dengan serius. Sembari terus menerus menggosok tangan Balqis dengan minyak kayu putih."Dia tadi mandi hujan, Umi," jawab Ashraf dengan cemas. Dia baru selesai berganti baju.Balqis dibaringkan di kamar Ashraf. Wajahnya sangat pucat dan terlihat lemah."Astaghfirullah, umi baru ingat. Dia belum makan seharian, katanya mau nunggu kamu datang. Jangan bilang tadi kamu tidak mengajaknya makan?" ucap Risma dengan panik.Ashraf terkejut mendengar pernyataan sang ibunya. "Kami belum sempat makan," lirih Ashraf.Risma hanya menggeleng dengan kelakuan anaknya. Tapi tetap saja panik dengan keadaan sang menantu.Namun setelah itu terlihat tangan Balqis yang bergerak. Dan juga membuka kedua matanya perlahan."Alhamdulillah, kamu
"Aku juga, kita hanya menunggu waktu. Tolong tunggu aku Ayra," ajak Ashraf sambil berbicara di ponselnya. Balqis yang mendengar semua itu hanya tersenyum kecut. Setelah itu ia merasa kecewa, karena Ashraf melihat dirinya tanpa izin. Setelah cukup lama mereka berbincang, akhirnya Ashraf menutup teleponnya. Balqis hanya mendengarkan saja tanpa ingin menegur. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Ashraf ketika ia berbalik dan Balqis sudah berada di depan pintu kamarnya. “Saya ingin meminta penjelasan kepada Ustadz,” jawab Balqis blak-blakan. Kemarahannya sudah meluap sejak tadi. Namun sebisa mungkin dia tahan. "Tentang?" kata Ashraf. “Saya tidak suka dengan cara ustadz. Ustadz menikahi saya hanya untuk menghilangkan rasa malu, tapi ustadz mengganti baju saya sesuka hati tanpa izin,” kata Balqis lirih. “Tidak ada jalan lain, jadi tenang saja. Aku tidak tergoda dengan tubuhmu,” cibir Ashraf lalu duduk di meja belajarnya. Balqis masuk ke dalam kamar, menguncinya dari dalam. "Ini
Sejak malam kejadian itu, Balqis tak ada obrolan dengan Ashraf. Sudah seminggu lamanya dan Balqis benar-benar menghindari Ashraf.Benar kata orang lain, biasanya orang yang sudah merasa kecewa akan memilih diam. Ketika sudah berat hati untuk menentukan, hanyalah kata menyerah yang ada.Menyerah dengan takdir yang sudah tertulis. Entah takdir Balqis seperti apa, berakhir sedih kah atau sebaliknya."Balqis," sapa Ashraf. Ashraf membuka pembicaraan terlebih dahulu.Mereka sedang berada di mobil Ashraf, dan akan menuju ke pesantren Al Fatah."Hm," jawab Balqis cuek."Perasaan kamu sekarang gimana?" tanya Ashraf sambil melajukan mobilnya secara pelan."Biasa aja," lirih Balqis. Pandangannya lurus ke depan. Sesekali melihat ke luar jendela mobil."Setelah malam itu, kamu masih benci dengan saya?" tanya Ashraf. Dirinya tak fokus menyetir karena sesekali sambil melihat Balqis disebelahnya."Lupakan ustadz. Ustadz sendiri kan yang meminta saya untuk melupakan semua itu. Tolong jangan dibahas l
"Saya tidak mau dan gak akan pernah mengizinkan hal itu terjadi," ucap Balqis lalu melepas pelukan Ashraf dan langsung keluar dari kamar Ashraf.Banyak yang hanya tergoda sesaat lalu meninggalkan. Bukankah pernikahan adalah sebuah perjanjian, untuk selalu bersama dalam keadaan suka dan duka.Balqis mendekati Risma yang sedang memasak. Lalu mendekatinya sembari menghapus air mata yang sedikit luruh."Umi, lagi masak apa?" tanya Balqis.Risma yang sedang mencuci beberapa jenis ikan dan sayur pun menoleh. "Iya nak, ini lagi mau goreng ikan Nila sama buat sayur asam," tukas Risma dengan senyuman hangat."Balqis mau bantu ya Umi," ucap Balqis kegirangan.Benar ya kata orang, bahwa tak semua sifat anak itu turun dari orang tuanya. Buktinya Risma begitu berbanding terbalik dengan Ashraf.Risma yang begitu peduli dan selalu ramah, serta murah senyum. Sementara Ashraf yang dingin dan suka semena-mena terhadap orang lain."Boleh dong, sini buatin mama bumbu buat sayur asam. Sekalian bumbu buat
Kedua orang itu saling diam, setelah beberapa lama tak bertemu. Kini mereka berada di sebuah taman perkotaan tak jauh dari pesantren Al-fatah. "Gimana kabarmu, Balqis?" tanya laki-laki itu dengan sopan. Sedari tadi melihat Balqis yang selalu menunduk. "Aku baik, kamu?" tanya Balqis juga. "Tadinya sih, belum baik. Tapi sekarang setelah bertemu dengan kamu, aku menjadi baik," tutur Ridho- santri putra Al- Fatah. Balqis mendongak, tatapannya tak tenang. Pikirannya seakan kabur. Hari yang paling Balqis takuti, sudah akan dia rasakan. "Maaf, Ridho, " lirih Balqis pelan. Kembali menunduk untuk menyembunyikan rasa bersalahnya. "Maaf untuk?" ucap Ridho penasaran. Rasanya seakan sama. Sejak dua tahun kedekatan mereka dahulu. "Aku sudah menikah, maaf," lirih Balqis. Sedari tadi dia memintal kain gamisnya. Ridho terdiam, tatapannya menjadi kosong. Tubuhnya melemah dan berdiri lagi. "Dengan siapa? Kau tak menungguku, Balqis. Padahal aku selalu mengingatmu," ucap Ridho sambil memijat peli
Dengan suara lantang, Ayra mengusir Balqis. Emosinya sudah tersulut dan sekarang Balqis semakin menguji kesabarannya. "Kalau orang seperti saya aib pesantren. Lantas bagaimana dengan Ning Ayra, yang kata-katanya selalu menyakitkan," timpal Balqis. Berusaha untuk tetap tegar walaupun rasa takut sudah menguasai dirinya. "Balqis, cukup!" bentak Ashraf menghampiri Balqis. Rasa kecewa, rasa sakit hati dan sekarang ditambah rasa terintimidasi. Bukankah di situasi seperti ini Ashraf harus membel Balqis. Atau setidaknya dia mempertahankan harga diri Balqis yang tengah Balqis perjuangkan. "Liat Balqis? Ashraf saja tidak membelamu. Jadi jangan terlalu percaya diri. Cepat kamu tinggalkan pesantren ini sekarang juga!" hardik Ayra. Dengan sorot mata penuh dengan dendam. Ridho yang melihat kejadian itu hanya bisa terdiam. Tidak bisa melakukan apapun untuk Balqis. Suaminya saja tidak membelanya apalagi dia yang bukan siapa-siapa. Balqis menatap Ashraf dan ke semua orang yang ada disana. "Maaf
Setelah empat tahun semenjak kelahiran ketiga anak kembar Balqis dan Ashraf. Akhirnya Ashraf mampu membuat pesantren sendiri. Bermodalkan dari usahanya yang sukses semakin berkembang besar dan jerih payahnya atas dakwahnya yang berhasil membuat banyak orang mengenalnya. Dari sanalah, Ashraf membangun relasi yang banyak dan kuat. Pesantren Al Muhajirin yang bertepatan di kota Semarang. Pesantren yang masih memiliki beberapa ratus santri. Karena memang baru berdiri sekitar dua tahunan. Merupakan pencapaian terbesar untuk Ashraf dan Balqis.“Kyai Ashraf, tamunya sudah datang. Beliau sedang menunggu di Masjid,” ucap seorang pengurus putra menemui Ashraf di ruang khusus tempat Ashraf beribadah.“Setelah ini saya kesana,” kata Ashraf menyudahi dzikirnya. Lalu segera menuju ke rumah yang berada di ujung pertengahan antara asrama putra dan asrama putri.“Humairah,” panggil Ashraf memasuki kamarnya. Pandangan pertama yang dilihat ialah ketiga putranya yang sedang belajar menulis bahasa arab d
Satu tahun kemudian, Gibran lulus madrasah Aliyah dan dia berhasil mendaftar kuliah di universitas luar negeri. Yaitu Universitas Cairo, Mesir. Dengan mengambil jurusan Tafsir Hadits. Perasaan terharu oleh kelas sebelas PK A. Saat ini mereka sedang merayakan kelulusannya di asrama putra. Setelah acara resmi kelulusan mereka oleh pesantren Al Fatah.“Bye bro, setelah ini kamu akan merindukan aku,” kata Andre dengan menyalami satu per satu temannya. Semuanya pun tertawa ngakak karena ekspresi Andre yang hampir mau menangis.“Sampai bertemu di waktu lain, bro,” ucap Gibran pada Andre sambil menepuk bahu Andre berkali-kali.“Siap bro, kamu semoga sukses ya,” kata Andre pada Gibran. Mereka semua melakukan pelukan persahabatan. Acara sederhana di kantin asrama putra itu. Mereka makan bersama sambil merencanakan rencana yang akan mereka lakukan setelah lulus. Lalu Ashraf datang bersama dengan Fakih. Sudah agak lama Ashraf tak berkunjung ke Al Fatah. Paling hanya kalau mau ketemu Gibran atau
Ashraf membawa Balqis di suatu tempat tak jauh dari gang komplek rumahnya. Mereka berdua pergi dengan menggunakan motor. Terlihat begitu mesra saat Balqis memeluk Ashraf dari belakang. Ashraf pun terlihat memperlakukan Balqis dengan sebaik mungkin. Memasangkan helm dan juga membantu Balqis naik dan turun dari motor.Setelah sampai di gedung yang tak seberapa besar itu. Mereka pun sama-sama turun. Memasuki gedung itu sambil bergandengan tangan. Tak ada yang berniat untuk melepas gandengan tangan keduanya. Disana mereka sudah disambut dengan beberapa orang. Ada Fakih dan Bagas dan beberapa ibu-ibu yang memakai baju yang seragam warnanya. Mereka semua tersenyum menyambut kedatangan Ashraf dan Balqis.Lalu mereka berkumpul di satu ruangan yang sama. Ada beberapa bapak-bapak yang juga cukup berumur.“Hari ini adalah pembukaan untuk bisnis kuliner kering, ini Ashraf selamu owner. Semoga bisnis kita lancar,” ucap Fakih membuka pembicaraan. Semuanya tampak memperhatikan dengan baik setiap pes
Ayra memutuskan untuk mempunyai hobi baru dan memilih untuk hidup lebih mandiri lagi. Semenjak hari itu Ayra benar-benar memikirkan nasibnya lagi. Mencoba untuk melupakan semua kenangannya dengan Ashraf. Bahkan semua hal tentang Ashraf, Ayra sudah buang jauh-jauh. Seperti hari ini Atra memilih untuk ke pentas seni lukisan di sekitar Jakarta Timur. Sebab Ayra memang punya hobby yang pernah dia tekuni yaitu suka melukis.Tampilan beberapa seni lukis yang di pajang di lorong-lorong menuju ruangan bazar seni lukis itu. Ada banyak tampilan lukisan dari berbagai penulis besar. Banyak orang yang hadir termasuk para penikmat lukis dan juga beberapa orang yang ingin belajar khusus di seni lukis.“Ning Ayra,” sapa seorang laki-laki dengan pakaian khas santri. Para santri Al Fatah memang se konsisten itu tentang pakaian ke santriannya. Baik itu masih menjadi santri maupun sudah menjadi alumni santri.Ayra menoleh dan melihat laki-laki itu dengan cermat. Namun Ayra sedikit lupa laki-laki itu siap
Balqis menepuk-nepuk punggung putranya dengan bergantian. Sebab salah satu menangis maka keduanya juga ikut menangis. Karena mereka sedang tertidur jadi bangun karena salah satunya ramai karena menangis.“Cup cup cup, ayo anak ibu, diemnya jagoan. Ibu lagi sendirian soalnya, ayah lagi ada urusan. Ayo mana anak Sholeh kok cengeng sih, ayo diam, kalian kenapa sih nak? Mas Ashraf, angkat dong,” ucap Balqis seorang diri sambil menenangkan ketiga buah hatinya. Dan juga sambil berusaha menghubungi Ashraf. Karena panggilannya tak diangkat sudah beberapa kali.Lalu Ashraf tiba-tiba masuk ke kamar dengan terburu-buru dan langsung menggendong satu per satu putranya. “ Maaf Humairah, tadi hpnya ke silent, jadi ga kedengaran waktu kamu nelfon. Maaf ya anak-anak ayah, ayah telat datengnya. Sekarang tenang ya, kasian ibu kamu pasti capek,” kata Ashraf sambil menggendong anaknya. Satu per satu dan sampai mereka semuanya tenang. Baru Ashraf taruh kembali ke ranjang tempat tidurnya.“Gak apa-apa kok M
Balqis memberikan asi pada ketiga putranya. Dengan sangat pelan dan bergantian, putranya pun terlihat sangat menikmati. “Mas, liat anak-anak kita, dia semakin gembul ya,” ujar Balqis menunjukan salah satu putranya pada Ashraf yang sedang berkutat dengan laptopnya.“Iya Humairah, mirip kamu ya kalau gembul gini,” kata Ashraf sambil menoel-noel pipi putra-putranya. Anak pertama dipanggil Adam anak kedua dipanggil Idris dan anak ketiga dipanggil Ibrohim. Semua itu nama-nama yang diberikan oleh Ashraf. Karena memang dari jauh-jauh hari mereka mempersiapkannya. Ashraf sangat senang dengan pemberian nama itu kepada ketiga putranya. Sebab dia tak menyangka kalau akan dikarunia langsung tiga putra yang sangat menggemaskan. Sementara Balqis memang menyerahkan nama-nama untuk anaknya kepada sang suami.“Humairah, saya izin mau bertemu dengan teman saya. Mau bahas seputar bisnis, boleh?” tanya Ashraf meminta izin untuk pergi keluar.Balqis meletakkan bayinya di ranjangnya. “Iya Mas, hati-hati y
Abi Lukman tertawa melihat Ashraf yang sangat antusias saat pembahasan tentang pembuatan pesantren. “Raf, sebegitunya pengen buat pesantren? Tapi kan anak-anakmu masih sangat kecil, kamu juga masih terlalu muda. Apa kamu sanggup untuk menanggung semua itu?” tanya Abi Lukman.Ashraf menggaruk kepalanya, sedikit tak yakin dengan keinginannya sendiri untuk langsung membangun pesantren. “Ashraf pengen, Abi, tapi Ashraf belum tau apa sanggup untuk melakukan semuanya itu. Menurut abi, Ashraf harus gimana?” ucap Ashraf tak mampu menentukan pilihannya sendiri.“Begini nak, kamu cari pekerjaan dulu, cari pekerjaan yang sesuai yang sekiranya tak menganggu waktu, sebab anak kamu masih kecil. Sebenarnya yang kata Abi itu bisa buat pesantrennya, itu mau Abi bantu modal. Tapi kan kamu pasti gak mau buat dibantu secara permodalan, ya sudah kamu usaha dulu, anak-anakmu masih kecil dan butuh biaya yang cukup besar. Butuh nutrisi dan perawatan yang bagus,” kata Abi Lukman.Ashraf mengangguk setuju. “Ba
Abi Lukman meminta keamanan untuk memisahkan Fakih dengan Dzaki yang belum juga menyelesaikan perdebatannya. Keduanya dipisah dan dijauhkan. Lalu keadaan kembali normal. Meskipun beberapa orang masih menyinggung ucapan tadi. Namun Ashraf dan Balqis tetap bersikap tenang. Tak ingin keadaan semakin kacau.“Urusan kita belum selesai, tunggu pembalasanku,” ucap Dzaki di luar halaman sedang bersama Fakih. Mereka berdua tetap berdebat di luar halaman rumah Ashraf.“Ouhh, ngancem ceritanya nih, ya jangan nyesel aja kalau nanti kalah sendiri. Tapi ingat ya, Dzaki, kamu gak berhak ikut campur urusan Ashraf, awas saja kalau sampai seperti tadi. Akan ku buat kamu menyesal seumur hidup!” ancam Fakih karena kesabarannya sudah habis.Dzaki tak menjawab, amarahnya juga sama memuncak. Lalu Ashraf datang seorang diri menghampiri Dzaki dan Fakih yang belum selesai juga. “Ustadz Dzaki, jangan berbuat seperti itu lagi. Saya tau maksud anda, anda iri dengki kan sama saya, tapi itu kan sudah hal masa lalu
Ashraf tersadar dari tidurnya karena benturan tadi cukup keras. Ashraf berdiri dan merasakan nyeri di lengan dan dengkulnya sendiri. “Astaghfirullah, kenapa bisa jatuh, aduh, luka nih,” keluh Ashraf sambil mengusap lengannya.“Kasian, xixixi,” sindir dari seorang perempuan yang duduk di atas tempat dirinya dirawat.Ashraf menoleh pada suara itu. Ashraf langsung berdiri dan matanya sampai melotot tajam. Ashraf seperti tak percaya melihat perempuan di depannya itu. Pemandangan yang sangat ingin Ashraf lihat.“Ini pasti mimpi,” ucap Ashraf mengucek kedua matanya. Sambil lalu tak memperhatikan kehadiran perempuan itu.“Mas Ashraf, sakit ya?” tanya perempuan itu sambil memberikan ASI-nya pada salah satu bayi mungil.“Ya Allah. Hamba memang belum ikhlas, tapi kenapa ini sangat nyata,” ucap Ashraf memijit pelipisnya sambil mondar mandir tak mau melihat perempuan itu.“Mas, ada apa sih? Gak kangen gitu sama aku, ini loh, anaknya lagi minum asi. Lucu kan?” ucap perempuan itu masih sambil terse