Saat Ashraf tetap menahan tubuh Balqis, tiba-tiba pintu kamar Ashraf terbuka.
"Waduh, Maaf ya. Umi kira kenapa, tadi ada yang teriak soalnya. Umi ganggu ya," ucap Risma penuh senyum saat melihat kedua insan itu.
Balqis dan Ashraf sama terkejutnya, lalu dengan terburu-buru Balqis bangkit dari Ashraf. Ashraf pun langsung berdiri juga.
"Tidak seperti yang Umi pikiran kok. Tadi ada tikus, jadi Balqis gak sengaja lompat ke Ustadz Ashraf," kilah Balqis.
"Loh, emangnya kenapa kalau kalian seperti itu. Kalian kan sudah menikah, hal itu wajar kok. Dan kenapa Balqis masih manggil ustadz ke Ashraf?" tanya penuh selidik Risma.
Saking groginya, Balqis lupa panggilannya untuk Ashraf.
"Udah, Umi. Balqis masih belum terbiasa. Udah ya umi keluar dulu, kami mau siap-siap," ucap Ashraf memegang pindah Risma ke pintu kamarnya.
"Iya deh iya, yang gak mau dilihat siapapun ini," kekeh Risma lalu meninggalkan mereka berdua di kamar.
"Ucapan saya tadi lupain. Itu gak benar," lirih Ashraf mendekati Balqis tanpa melihatnya.
"Ya, Ustadz," jawab Balqis tak ingin memperpanjang masalah ketidaksengajaan tadi. Meskipun dalam hati sebenarnya dia tadi sedikit bahagia.
Tapi bahagia itu sudah lenyap dengan penuturan Ashraf yang tak konsisten.
***
Sekarang mereka berdua ada di taman yang tak terlalu ramai. Taman itu dipenuhi dengan buka yang bermekaran dan udaranya begitu sejuk.
Balqis begitu menikmati suasana ini, meskipun disampingnya terdapat seorang laki-laki yang begitu dingin.
"Indah sekali ciptaan Allah. MasyaAllah, aku ingin setiap hari melihat pemandangan ini," ucap Balqis penuh takjub sembari melihat beberapa bunga yang indah nan cantik itu.
Ashraf hanya terdiam, tak ada sahutan apapaun. Dirinya sibuk mengetik di ponsal genggamnya itu.
Meskipun begitu, Balqis tetap mengelilingi taman itu dengan ceria. Dia harap dengan ini, pikirannya kembali tenang.
Tiba-tiba ada seorang perempuan yang menghampiri mereka berdua.
"Ustadz Ashraf, saya membawa beberapa amanah dari Ning Ayra," ucap perempuan memakai gamis hitam itu.
"Ayra kemana?" tanya Ashraf melihat sekitar taman.
Balqis yang masih sibuk memperhatikan bunga, lalu menghampiri perempuan itu juga.
"Ning Ayra sedang banyak kegiatan, sangat sibuk. Beliau tidak bisa bertemu dengan Ustadz Ashraf," jawab perempuan itu.
Balqis terkejut mendengar nama Ayra. Tapi sebisa mungkin dia menyembunyikan raut terkejutnya itu, karena hanya percuma saja dia seperti itu.
"Apa amanahnya?" tanya Ashraf langsung.
"Perkenalkan nama saya Aulia, saya tangan kanan Ning Ayra. Ada beberapa amanah untuk Ustadz Ashraf dan juga Balqis. Pertama, Ustadz Ashraf dan Balqis tidak boleh tidur sekamar. Tidak boleh saling menyentuh. Kedua, Ustadz Ashraf harus tetap mengajar di pesantren dan Balqis juga harus kembali ke pesantren. Ketiga, Ustadz Ashraf dan Balqis melaksanakan perjanjian pernikahan tidak boleh lebih dua bulan. Paham?" Ucap Aulia menerangkan.
Suasana yang tadinya ceria, kini berubah menjadi mendung. Bahkan langit saja ikut bergemuruh, seperti akan turun hujan.
Hati Balqis semakin teriris, saat beberapa amanah itu harus dilakukannya. Balqis begitu benci peraturan, dia tidak suka diatur.
"Paham," ucap Ashraf singkat.
"Aku gak mau. Aku bukan tipe orang yang mau diatur," ucap Balqis angkuh.
"Ini perintah, bukan aturan. Jadi turuti saja jika mau hidupmu baik-baik saja, Balqis tukang buat onar!" gertak Auli menatap tajam ke Balqis.
"Aku dan Ustadz Ashraf sudah buat perjanjian sendiri. Dan bagiku itu sudah cukup, jadi gak perlu ada aturan lain seperti itu lagi," ucap Balqis tetap pada pendiriannya.
Aulia yang merasa ditantang, lalu ingin menampar Balqis. "Kamu?" ucapnya keras, tangan kanannya sudah mengayun di udara.
Namun sebelum tangan itu mendarat di pipi Balqis, Ashraf dengan sigap menahan tangan Aulia. "Saya tidak mau ada kekerasan. Amanah itu akan tetap dilakukan, silakan kamu pergi," ucap Ashraf lalu melepas tangan Aulia.
"Baik, Ustadz," ucap Aulia lalu menatap Balqis dengan rasa tak suka.
"Aku tidak akan pernah mau menuruti permintaan Ning Ayra. Lihat saja ustadz Ashraf, dia saja membelaku," gertak Balqis menjulurkan lidah ke Aulia.
"Dasar kang caper!" ucap ketus Aulia lalu meninggalkan Balqis dan Ashraf.
"Sudah cukup, kamu harus melakukan amanah itu," kata Ustadz Ashraf lalu duduk kembali di kursi taman itu.
"Saya tidak mau, Ustadz. Ning Ayra bukan siapa-siapa saya. Perjanjian dengan ustadz Ashraf saja sudah cukup. Saya paling benci sama aturan," ucap Balqis membelakangi ustadz Ashraf.
"Ini bukan soal benci sama aturan. Tapi ini tentang Ayra, saya harus menjaga hati Ayra dan kepercayaan dia," jelas Ayra menatap Balqis serius.
Rintik hujan mulai turun, membasahi tumbuhan dan bunga yang bermekaran. Langit semakin gelap, dan air hujan mulai membasahi bumi.
"Lalu ustadz tidak ingin menjaga hati saya. Ustadz dan Ning Ayra terlalu egois. Saya juga korban tuduhan. Ini bukan kemauan saya untuk di posisi ini. Jaga perasaan saya juga, bukan cuma Ayra. Kalian hanya haus akan jati diri dan harga diri. Sementara orang disekitar kalian juga membutuhkan hal itu," ucap Balqis. Air matanya luruh bersama gemercik hujan.
"Sudah Balqis, ini bukan saatnya membahas sampai kesitu. Ayo kita pulang, hujan semakin besar," ajak Ashraf.
"Tolong tinggalkan saya sendiri, Ustadz," pinta Balqis sambil tetap meresapi setiap rintik gerimis yang semakin membesar.
Ashraf tetap berdiam diri. Sementara rintik itu berubah menjadi hujan yang deras. Semakin deras dan membuat tubuh mereka basah seluruhnya.
Balqis tetap di tempat, lalu Ashraf hendak berdiri meninggalkan Balqis seorang diri. Balqis tetap menikmati hujan meskipun suara petir saling menyahut.
"Maha suci Allah. Yang sudah menciptakan hujan. Jadi aku tidak sendirian bersedih, karena langit juga ikut meneteskan air mata," puji Balqis di tengah gemuruhnya hujan yang semakin deras.
Lalu Ashraf kembali lagi dengan membawa payung, dan mendekati Balqis. "Ayo Balqis, saya tidak mau dimarahi Umi. Kita harus segera pulang," ajak Ashraf.
Tak ada jawaban dari Balqis, dia tetap memejamkan matanya. Tapi tiba-tiba, tubuh dia terjatuh.
Bruk!
"Balqis!" ucap Ashraf panik.
Kini hujan deras itu sudah berganti rintik. Suasana tenang mulai tergambar saat hujan membasahi seisi bumi.Tapi tidak dengan Ashraf dan Risma yang dilanda kekhawatiran. Karena Balqis tadi tidak sadarkan diri waktu di taman."Kenapa dia bisa pingsan, Ashraf?" tanya Risma dengan serius. Sembari terus menerus menggosok tangan Balqis dengan minyak kayu putih."Dia tadi mandi hujan, Umi," jawab Ashraf dengan cemas. Dia baru selesai berganti baju.Balqis dibaringkan di kamar Ashraf. Wajahnya sangat pucat dan terlihat lemah."Astaghfirullah, umi baru ingat. Dia belum makan seharian, katanya mau nunggu kamu datang. Jangan bilang tadi kamu tidak mengajaknya makan?" ucap Risma dengan panik.Ashraf terkejut mendengar pernyataan sang ibunya. "Kami belum sempat makan," lirih Ashraf.Risma hanya menggeleng dengan kelakuan anaknya. Tapi tetap saja panik dengan keadaan sang menantu.Namun setelah itu terlihat tangan Balqis yang bergerak. Dan juga membuka kedua matanya perlahan."Alhamdulillah, kamu
"Aku juga, kita hanya menunggu waktu. Tolong tunggu aku Ayra," ajak Ashraf sambil berbicara di ponselnya. Balqis yang mendengar semua itu hanya tersenyum kecut. Setelah itu ia merasa kecewa, karena Ashraf melihat dirinya tanpa izin. Setelah cukup lama mereka berbincang, akhirnya Ashraf menutup teleponnya. Balqis hanya mendengarkan saja tanpa ingin menegur. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Ashraf ketika ia berbalik dan Balqis sudah berada di depan pintu kamarnya. “Saya ingin meminta penjelasan kepada Ustadz,” jawab Balqis blak-blakan. Kemarahannya sudah meluap sejak tadi. Namun sebisa mungkin dia tahan. "Tentang?" kata Ashraf. “Saya tidak suka dengan cara ustadz. Ustadz menikahi saya hanya untuk menghilangkan rasa malu, tapi ustadz mengganti baju saya sesuka hati tanpa izin,” kata Balqis lirih. “Tidak ada jalan lain, jadi tenang saja. Aku tidak tergoda dengan tubuhmu,” cibir Ashraf lalu duduk di meja belajarnya. Balqis masuk ke dalam kamar, menguncinya dari dalam. "Ini
Sejak malam kejadian itu, Balqis tak ada obrolan dengan Ashraf. Sudah seminggu lamanya dan Balqis benar-benar menghindari Ashraf.Benar kata orang lain, biasanya orang yang sudah merasa kecewa akan memilih diam. Ketika sudah berat hati untuk menentukan, hanyalah kata menyerah yang ada.Menyerah dengan takdir yang sudah tertulis. Entah takdir Balqis seperti apa, berakhir sedih kah atau sebaliknya."Balqis," sapa Ashraf. Ashraf membuka pembicaraan terlebih dahulu.Mereka sedang berada di mobil Ashraf, dan akan menuju ke pesantren Al Fatah."Hm," jawab Balqis cuek."Perasaan kamu sekarang gimana?" tanya Ashraf sambil melajukan mobilnya secara pelan."Biasa aja," lirih Balqis. Pandangannya lurus ke depan. Sesekali melihat ke luar jendela mobil."Setelah malam itu, kamu masih benci dengan saya?" tanya Ashraf. Dirinya tak fokus menyetir karena sesekali sambil melihat Balqis disebelahnya."Lupakan ustadz. Ustadz sendiri kan yang meminta saya untuk melupakan semua itu. Tolong jangan dibahas l
"Saya tidak mau dan gak akan pernah mengizinkan hal itu terjadi," ucap Balqis lalu melepas pelukan Ashraf dan langsung keluar dari kamar Ashraf.Banyak yang hanya tergoda sesaat lalu meninggalkan. Bukankah pernikahan adalah sebuah perjanjian, untuk selalu bersama dalam keadaan suka dan duka.Balqis mendekati Risma yang sedang memasak. Lalu mendekatinya sembari menghapus air mata yang sedikit luruh."Umi, lagi masak apa?" tanya Balqis.Risma yang sedang mencuci beberapa jenis ikan dan sayur pun menoleh. "Iya nak, ini lagi mau goreng ikan Nila sama buat sayur asam," tukas Risma dengan senyuman hangat."Balqis mau bantu ya Umi," ucap Balqis kegirangan.Benar ya kata orang, bahwa tak semua sifat anak itu turun dari orang tuanya. Buktinya Risma begitu berbanding terbalik dengan Ashraf.Risma yang begitu peduli dan selalu ramah, serta murah senyum. Sementara Ashraf yang dingin dan suka semena-mena terhadap orang lain."Boleh dong, sini buatin mama bumbu buat sayur asam. Sekalian bumbu buat
Kedua orang itu saling diam, setelah beberapa lama tak bertemu. Kini mereka berada di sebuah taman perkotaan tak jauh dari pesantren Al-fatah. "Gimana kabarmu, Balqis?" tanya laki-laki itu dengan sopan. Sedari tadi melihat Balqis yang selalu menunduk. "Aku baik, kamu?" tanya Balqis juga. "Tadinya sih, belum baik. Tapi sekarang setelah bertemu dengan kamu, aku menjadi baik," tutur Ridho- santri putra Al- Fatah. Balqis mendongak, tatapannya tak tenang. Pikirannya seakan kabur. Hari yang paling Balqis takuti, sudah akan dia rasakan. "Maaf, Ridho, " lirih Balqis pelan. Kembali menunduk untuk menyembunyikan rasa bersalahnya. "Maaf untuk?" ucap Ridho penasaran. Rasanya seakan sama. Sejak dua tahun kedekatan mereka dahulu. "Aku sudah menikah, maaf," lirih Balqis. Sedari tadi dia memintal kain gamisnya. Ridho terdiam, tatapannya menjadi kosong. Tubuhnya melemah dan berdiri lagi. "Dengan siapa? Kau tak menungguku, Balqis. Padahal aku selalu mengingatmu," ucap Ridho sambil memijat peli
Dengan suara lantang, Ayra mengusir Balqis. Emosinya sudah tersulut dan sekarang Balqis semakin menguji kesabarannya. "Kalau orang seperti saya aib pesantren. Lantas bagaimana dengan Ning Ayra, yang kata-katanya selalu menyakitkan," timpal Balqis. Berusaha untuk tetap tegar walaupun rasa takut sudah menguasai dirinya. "Balqis, cukup!" bentak Ashraf menghampiri Balqis. Rasa kecewa, rasa sakit hati dan sekarang ditambah rasa terintimidasi. Bukankah di situasi seperti ini Ashraf harus membel Balqis. Atau setidaknya dia mempertahankan harga diri Balqis yang tengah Balqis perjuangkan. "Liat Balqis? Ashraf saja tidak membelamu. Jadi jangan terlalu percaya diri. Cepat kamu tinggalkan pesantren ini sekarang juga!" hardik Ayra. Dengan sorot mata penuh dengan dendam. Ridho yang melihat kejadian itu hanya bisa terdiam. Tidak bisa melakukan apapun untuk Balqis. Suaminya saja tidak membelanya apalagi dia yang bukan siapa-siapa. Balqis menatap Ashraf dan ke semua orang yang ada disana. "Maaf
Tanpa ada yang tahu, tekad Risma memasukkan sesuatu ke minuman Ashraf dan Balqis. Itu yang menyebabkan keduanya gelisah pada malam itu."Balqis," lirih Ashraf. Gelisah dan tubuhnya memanas. Seakan tak kuat dan ingin segera melakukannya.Sementara Balqis sudah tak tahan juga, keduanya sama-sama memiliki gairah yang besar detik itu juga."Ayo Ashraf," ucap Balqis pelan.Gerimis hujan yang membasahi bumi, di malam itu terjadi sesuatu yang sebelumnya tak mereka inginkan.Ashraf dan Balqis pun sudah melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan. Mungkin mereka melakukannya tanpa ada rasa kemauan yang nyata.Tapi dengan begitu, gelisah dan panas itu akan hilang. Mungkin secara tak sadar, mereka sudah menjadi istri suami layaknya suami istri diluar sana.***"Maafkan saya, Balqis. Tadi malam saya hilang kendali," ungkap
Ashraf mengendarai mobilnya dengan cepat. Pikirannya tak tenang setelah mendapat telepon dari Uminya.Sesampainya di rumah, Ashraf langsung masuk dengan berlari. "Umi," panggil Ashraf.Terlihat Risma yang terduduk di ruang tamu dengan keadaan menangis. Di tangannya terdapat selembar surat."Ashraf, Balqis pergi," ucap Risma. Lalu segera memberikan surat itu kepada Ashraf.Ashraf terduduk lemah, lalu mengambil surat itu dan langsung membacanya.Ustadz Ashraf, maafkan saya untuk kesekian kalinya. Saya telah membuat pertunangan Ustadz Ashraf dan Ning Ayra gagal. Gara-gara saya Ustadz harus dituduh dan selalu menjadi omongan. Maafkan saya jika kehadiran saya membuat semuanya hancur. Saya izin pergi, supaya Ustadz Ashraf bisa melanjutkan keinginan Ustadz untuk bersama Ning Ayra. Saya harus pergi karena saya tidak seharusnya ada dalam kehidupan ustadz Ashraf.Sampaikan salam saya buat Umi, terima kasih sudah mau menerima saya yang banyak kurangnya ini. Dan untuk yang kita lakukan kemarin,