Tanpa ada yang tahu, tekad Risma memasukkan sesuatu ke minuman Ashraf dan Balqis. Itu yang menyebabkan keduanya gelisah pada malam itu.
"Balqis," lirih Ashraf. Gelisah dan tubuhnya memanas. Seakan tak kuat dan ingin segera melakukannya.
Sementara Balqis sudah tak tahan juga, keduanya sama-sama memiliki gairah yang besar detik itu juga.
"Ayo Ashraf," ucap Balqis pelan.
Gerimis hujan yang membasahi bumi, di malam itu terjadi sesuatu yang sebelumnya tak mereka inginkan.
Ashraf dan Balqis pun sudah melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan. Mungkin mereka melakukannya tanpa ada rasa kemauan yang nyata.
Tapi dengan begitu, gelisah dan panas itu akan hilang. Mungkin secara tak sadar, mereka sudah menjadi istri suami layaknya suami istri diluar sana.
***
"Maafkan saya, Balqis. Tadi malam saya hilang kendali," ungkap
Ashraf mengendarai mobilnya dengan cepat. Pikirannya tak tenang setelah mendapat telepon dari Uminya.Sesampainya di rumah, Ashraf langsung masuk dengan berlari. "Umi," panggil Ashraf.Terlihat Risma yang terduduk di ruang tamu dengan keadaan menangis. Di tangannya terdapat selembar surat."Ashraf, Balqis pergi," ucap Risma. Lalu segera memberikan surat itu kepada Ashraf.Ashraf terduduk lemah, lalu mengambil surat itu dan langsung membacanya.Ustadz Ashraf, maafkan saya untuk kesekian kalinya. Saya telah membuat pertunangan Ustadz Ashraf dan Ning Ayra gagal. Gara-gara saya Ustadz harus dituduh dan selalu menjadi omongan. Maafkan saya jika kehadiran saya membuat semuanya hancur. Saya izin pergi, supaya Ustadz Ashraf bisa melanjutkan keinginan Ustadz untuk bersama Ning Ayra. Saya harus pergi karena saya tidak seharusnya ada dalam kehidupan ustadz Ashraf.Sampaikan salam saya buat Umi, terima kasih sudah mau menerima saya yang banyak kurangnya ini. Dan untuk yang kita lakukan kemarin,
Balqis yang kegirangan langsung berubah lemah. Ternyata orang di depannya saat ini tak mengenalnya. "Aku Balqis, kamu Vina kan?" seru Balqis dengan harapan sedikit mengingat dirinya. "Ya ampun, Balqis!" ucap gadis itu kaget. "Vina, aku kangen banget," ucap Balqis langsung berhambur memeluk perempuan itu. Akhirnya mereka pun saling mengenal dan berpelukan sangat lama. Mereka berdua ternyata teman masa kecil dan sekarang sudah tumbuh dewasa. "Aku pangling banget deh, soalnya kamu berubah total," ungkap Vina sambil memperhatikan dari bawah sampai atas tubuh Balqis. "Sama aja kok, kamu yang berubah tuh," ucap Balqis juga menghibur. Sedari kecil Balqis hidup dengan neneknya. Untuk itu kenapa orang tuanya tak terlalu perhatian. Karena memang penyebab itulah Balqis harus ikut sang nenek tinggal di desa. Orang tua Balqis selalu sibuk dan selalu menomorsatukan pekerjaan sampai mereka lupa dengan Balqis. Hingga saat Balqis masuk sekolah menengah pertama, Balqis dimasukkan ke pesantren.
"Kamu harus nepatin janji kamu. Aku sudah cukup menunggu," ucap Ayra di sambungan telepon dengan Ashraf. Sementara Ashraf memijat pelipisnya. Lalu menghembuskan nafasnya dengan kasar. Tatapannya sayu, seakan tak tenaga untuk melakukan apapun. "Ashraf, jawab aku," pinta Ayra menekan setiap ucapannya. Lalu Ashraf merebahkan tubuhnya, seakan tak mampu untuk berdiri. "Maaf Ayra, aku tidak bisa menepati janjiku," dalih Ashraf lalu mematikan teleponnya secara sepihak. Sementara Ayra di tempatnya sana sudah menahan luapan emosinya. Aulia hanya menjadi bahan pelampiasan amarahnya. Lalu Ashraf pun melempar ponselnya sembarang ke kasur. Dan merebahkan tubuhnya. "Aku lelah, Balqis. Kamu kemana sebenarnya," ujar Ashraf dengan kecewa. Pencariannya tak kunjung membawa hasil. *** "Begitu ceritanya," ujar Balqis. Matanya sudah sembab menangis sedari tadi. Sementara Vina dan Lulu ikut bersedih juga saat Balqis menceritakan semuanya. "Kamu yang sabar ya, Qis," UN ungkap Vina memeluk Balqis yang
Beberapa warga mulai mendekati Ashraf dan Ridho yang adu jotos. Bukan hanya itu, Ridho pun juga melawan tindakan Ashraf yang secara tiba-tiba itu. Namun setelah itu para warga pun melerai mereka berdua. Mereka berdua dipisahkan oleh warga. "Ada apa ini?" tanya seorang laki-laki berumur dan mendekati Ashraf dan Ridho. "Masalah pribadi, pak," jawab Ashraf enteng. Sementara Ridho meringis saat memegangi sudut bibirnya yang terluka. "Jangan bawa masalah pribadi disini, lebih baik diselesaikan secara kekeluargaan saja," ujar bapak itu menatap satu per satu. "Iya pak," sahut Ashraf dan Ridho secara kompak. Para warga pun meninggalkan mereka berdua. Ashraf yang masih tersulut emosi tak ingin melihat Ridho. Sementara Ridho sudah terduduk lemas di depan musholla. "Maaf, saya tadi tersulut emosi," ujar Ashraf dengan tatapan tajam. Lalu Ridho pun berdiri. "Saya juga minta maaf, ustadz," lalu meninggalkan Ashraf seorang diri. Tak seperti Ashraf yang bisa menahan amarah, namun kali ini d
Balqis tertegun saat melihat seseorang di depannya. Seseorang yang ingin dia jauhi, seseorang yang telah membuatnya kecewa. Seseorang yang sangat Balqis hindari.Ashraf berjalan mendekati Balqis dan berada di tengah-tengah Balqis dan Ridho."Jadi ini alasan kamu pergi?" tanya Ashraf dengan raut kecewa. Balqis memalingkan wajah tak sanggup untuk melihat Ashraf. "Kenapa Ustadz kesini?" ucap Balqis. Bukannya menjawab malah bertanya hal lain.Lalu Ashraf menarik lengan Balqis secara paksa untuk ikut dengannya. "Ustadz Ashraf, lepaskan Balqis," cegah Ridho."Dia istri saya, ingat itu!" hardik Ashraf menunjuk Ridho."Maaf nak, gimana kalau masalahnya diselesaikan dengan kepala dingin saja. Dengan cara baik-baik, takutnya nanti para warga kesini kalau rame-rame seperti ini," ucap Lulu menahan Ashraf yang hendak membawa Balqis pergi."Baiklah Bu, tapi saya mau jangan ada dia disini," ucap Ashraf sembari menoleh ke arah RidhoRidho hanya terkejut dan pasrah mendengar penuturan Ashraf. "Aku p
Seketika oleh-oleh yang Balqis bawa jatuh tepat di depannya. Karena tadi sebelum sampai di rumah Ashaf, mereka berdua menyempatkan diri membeli beberapa oleh-oleh untuk Umi Risma.Seperti bunyi petir yang menyambar, membuat keadaan menjadi hening. Sementara Risma hanya terdiam melihat kejadian itu."Maksud semuanya ini apa Ustadz? Ustadz menjemput saya tapi setelah saya sampai disini malah diberi kenyataan seperti ini," ungkap Balqis menahan sesak di dadanya."Nak Balqis," ucap Risma kendekati Balqis. Sementara Ayra yang melihat itu langsung merasakan cemburu. "Umi, itu tidak benar kan?" tanya Balqis memeluk Risma.Ashraf hanya terdiam melihat kenyataan di depannya. Sangat sulit untuk memutuskan harus bagaimana kelanjutannya."Ashraf, kenapa kamu diam," ujar Ayra mendekati Ashraf."Ayra maafkan aku. Aku tidak bisa," ungkap Ashraf. Tak ingin membuat kekacauan lagi setelah Balqis pergi meninggalkannya kemarin."Kamu sudah berjanji, Ashraf. Jadi Minggu depan kamu harus segera bercerai d
Belum saja rasa lelah itu usai, namun Balqis kembali dikejutkan dengan ucapan Ashraf. Seperti petir di siang bolong, bagai menyambar di permukaan."Maksud Ustadz apa?" tanya Balqis merubah posisinya duduk. Berhadapan dengan Ashraf."Saya pernah berjanji untuk menikahi Ayra setelah perjanjian kita selesai. Tapi saya juga tidak bisa menceraikan kamu," ungkap Ashraf gusar. Frustasi dengan keputusannya sendiri."Ya sudah ceraikan saya saja ustadz, repot banget sih," ucap Balqis mengibaskan jilbabnya."Nggak. Kamu harus sama saya, karena di dalam diri kamu sudah ada benih saya," ucap Ashraf tegas."Cukup Ustadz, jangan bahas itu lagi. Kalau ustadz minta pendapat saya masalah poligami, jelas saya tidak setuju. Wanita mana sih yang mau diduakan. Wanita gila saja sejatinya gak mau diduakan. Apalagi saya yang masih waras. Pilih saja, saya atau Ayra!" cecar Balqis menunjuk Ashraf.Entah Ashraf yang salah waktu berbicara, atau karena memang sudah sepertinya lelah menguasai diri Balqis. Tapi yang
Selama proses mengajar, Ashraf tak bisa fokus. Pikirannya selalu mengingat pasal pembicaraan tadi dengan Gus Rohman. Dimana Gus Rohman menyatakan kalau dirinya semenjak dulu tak menyukai Ashraf. Lalu kenapa dia dulu malah menyetujui pertunangan adiknya dengan Ashraf. Bukankah seharusnya dia bisa menolaknya. "Apa ada yang belum paham?" tanya Ashraf saat mengajar kitab nahwu Shorof. Kitab yang membahas tentang bahasa arab dan cara membaca kitab tanpa harokat."Tidak ada ustadz," jawab santri putra kelas dua tingkat madrasah Tsanawiyah dengan serempak."Baiklah, materi kali ini sampai disini dulu, insyaallah kita lanjut besok," ucap Ashraf. Lalu segera meninggalkan kelas. Dan santri putra kelas itu langsung istirahat karena sudah waktunya jam istirahat.Ashraf langsung memasuki ruangannya, di dalam sudah ada sahabatnya yang sudah duduk sopan di depan kursi Ashraf."Hai bro," sapa Fakih saat Ashraf memasuki ruangan itu dengan wajah datar."Hm," sahut Ashraf langsung duduk dan merapikan m