"Saya tidak mau dan gak akan pernah mengizinkan hal itu terjadi," ucap Balqis lalu melepas pelukan Ashraf dan langsung keluar dari kamar Ashraf.Banyak yang hanya tergoda sesaat lalu meninggalkan. Bukankah pernikahan adalah sebuah perjanjian, untuk selalu bersama dalam keadaan suka dan duka.Balqis mendekati Risma yang sedang memasak. Lalu mendekatinya sembari menghapus air mata yang sedikit luruh."Umi, lagi masak apa?" tanya Balqis.Risma yang sedang mencuci beberapa jenis ikan dan sayur pun menoleh. "Iya nak, ini lagi mau goreng ikan Nila sama buat sayur asam," tukas Risma dengan senyuman hangat."Balqis mau bantu ya Umi," ucap Balqis kegirangan.Benar ya kata orang, bahwa tak semua sifat anak itu turun dari orang tuanya. Buktinya Risma begitu berbanding terbalik dengan Ashraf.Risma yang begitu peduli dan selalu ramah, serta murah senyum. Sementara Ashraf yang dingin dan suka semena-mena terhadap orang lain."Boleh dong, sini buatin mama bumbu buat sayur asam. Sekalian bumbu buat
Kedua orang itu saling diam, setelah beberapa lama tak bertemu. Kini mereka berada di sebuah taman perkotaan tak jauh dari pesantren Al-fatah. "Gimana kabarmu, Balqis?" tanya laki-laki itu dengan sopan. Sedari tadi melihat Balqis yang selalu menunduk. "Aku baik, kamu?" tanya Balqis juga. "Tadinya sih, belum baik. Tapi sekarang setelah bertemu dengan kamu, aku menjadi baik," tutur Ridho- santri putra Al- Fatah. Balqis mendongak, tatapannya tak tenang. Pikirannya seakan kabur. Hari yang paling Balqis takuti, sudah akan dia rasakan. "Maaf, Ridho, " lirih Balqis pelan. Kembali menunduk untuk menyembunyikan rasa bersalahnya. "Maaf untuk?" ucap Ridho penasaran. Rasanya seakan sama. Sejak dua tahun kedekatan mereka dahulu. "Aku sudah menikah, maaf," lirih Balqis. Sedari tadi dia memintal kain gamisnya. Ridho terdiam, tatapannya menjadi kosong. Tubuhnya melemah dan berdiri lagi. "Dengan siapa? Kau tak menungguku, Balqis. Padahal aku selalu mengingatmu," ucap Ridho sambil memijat peli
Dengan suara lantang, Ayra mengusir Balqis. Emosinya sudah tersulut dan sekarang Balqis semakin menguji kesabarannya. "Kalau orang seperti saya aib pesantren. Lantas bagaimana dengan Ning Ayra, yang kata-katanya selalu menyakitkan," timpal Balqis. Berusaha untuk tetap tegar walaupun rasa takut sudah menguasai dirinya. "Balqis, cukup!" bentak Ashraf menghampiri Balqis. Rasa kecewa, rasa sakit hati dan sekarang ditambah rasa terintimidasi. Bukankah di situasi seperti ini Ashraf harus membel Balqis. Atau setidaknya dia mempertahankan harga diri Balqis yang tengah Balqis perjuangkan. "Liat Balqis? Ashraf saja tidak membelamu. Jadi jangan terlalu percaya diri. Cepat kamu tinggalkan pesantren ini sekarang juga!" hardik Ayra. Dengan sorot mata penuh dengan dendam. Ridho yang melihat kejadian itu hanya bisa terdiam. Tidak bisa melakukan apapun untuk Balqis. Suaminya saja tidak membelanya apalagi dia yang bukan siapa-siapa. Balqis menatap Ashraf dan ke semua orang yang ada disana. "Maaf
Tanpa ada yang tahu, tekad Risma memasukkan sesuatu ke minuman Ashraf dan Balqis. Itu yang menyebabkan keduanya gelisah pada malam itu."Balqis," lirih Ashraf. Gelisah dan tubuhnya memanas. Seakan tak kuat dan ingin segera melakukannya.Sementara Balqis sudah tak tahan juga, keduanya sama-sama memiliki gairah yang besar detik itu juga."Ayo Ashraf," ucap Balqis pelan.Gerimis hujan yang membasahi bumi, di malam itu terjadi sesuatu yang sebelumnya tak mereka inginkan.Ashraf dan Balqis pun sudah melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan. Mungkin mereka melakukannya tanpa ada rasa kemauan yang nyata.Tapi dengan begitu, gelisah dan panas itu akan hilang. Mungkin secara tak sadar, mereka sudah menjadi istri suami layaknya suami istri diluar sana.***"Maafkan saya, Balqis. Tadi malam saya hilang kendali," ungkap
Ashraf mengendarai mobilnya dengan cepat. Pikirannya tak tenang setelah mendapat telepon dari Uminya.Sesampainya di rumah, Ashraf langsung masuk dengan berlari. "Umi," panggil Ashraf.Terlihat Risma yang terduduk di ruang tamu dengan keadaan menangis. Di tangannya terdapat selembar surat."Ashraf, Balqis pergi," ucap Risma. Lalu segera memberikan surat itu kepada Ashraf.Ashraf terduduk lemah, lalu mengambil surat itu dan langsung membacanya.Ustadz Ashraf, maafkan saya untuk kesekian kalinya. Saya telah membuat pertunangan Ustadz Ashraf dan Ning Ayra gagal. Gara-gara saya Ustadz harus dituduh dan selalu menjadi omongan. Maafkan saya jika kehadiran saya membuat semuanya hancur. Saya izin pergi, supaya Ustadz Ashraf bisa melanjutkan keinginan Ustadz untuk bersama Ning Ayra. Saya harus pergi karena saya tidak seharusnya ada dalam kehidupan ustadz Ashraf.Sampaikan salam saya buat Umi, terima kasih sudah mau menerima saya yang banyak kurangnya ini. Dan untuk yang kita lakukan kemarin,
Balqis yang kegirangan langsung berubah lemah. Ternyata orang di depannya saat ini tak mengenalnya. "Aku Balqis, kamu Vina kan?" seru Balqis dengan harapan sedikit mengingat dirinya. "Ya ampun, Balqis!" ucap gadis itu kaget. "Vina, aku kangen banget," ucap Balqis langsung berhambur memeluk perempuan itu. Akhirnya mereka pun saling mengenal dan berpelukan sangat lama. Mereka berdua ternyata teman masa kecil dan sekarang sudah tumbuh dewasa. "Aku pangling banget deh, soalnya kamu berubah total," ungkap Vina sambil memperhatikan dari bawah sampai atas tubuh Balqis. "Sama aja kok, kamu yang berubah tuh," ucap Balqis juga menghibur. Sedari kecil Balqis hidup dengan neneknya. Untuk itu kenapa orang tuanya tak terlalu perhatian. Karena memang penyebab itulah Balqis harus ikut sang nenek tinggal di desa. Orang tua Balqis selalu sibuk dan selalu menomorsatukan pekerjaan sampai mereka lupa dengan Balqis. Hingga saat Balqis masuk sekolah menengah pertama, Balqis dimasukkan ke pesantren.
"Kamu harus nepatin janji kamu. Aku sudah cukup menunggu," ucap Ayra di sambungan telepon dengan Ashraf. Sementara Ashraf memijat pelipisnya. Lalu menghembuskan nafasnya dengan kasar. Tatapannya sayu, seakan tak tenaga untuk melakukan apapun. "Ashraf, jawab aku," pinta Ayra menekan setiap ucapannya. Lalu Ashraf merebahkan tubuhnya, seakan tak mampu untuk berdiri. "Maaf Ayra, aku tidak bisa menepati janjiku," dalih Ashraf lalu mematikan teleponnya secara sepihak. Sementara Ayra di tempatnya sana sudah menahan luapan emosinya. Aulia hanya menjadi bahan pelampiasan amarahnya. Lalu Ashraf pun melempar ponselnya sembarang ke kasur. Dan merebahkan tubuhnya. "Aku lelah, Balqis. Kamu kemana sebenarnya," ujar Ashraf dengan kecewa. Pencariannya tak kunjung membawa hasil. *** "Begitu ceritanya," ujar Balqis. Matanya sudah sembab menangis sedari tadi. Sementara Vina dan Lulu ikut bersedih juga saat Balqis menceritakan semuanya. "Kamu yang sabar ya, Qis," UN ungkap Vina memeluk Balqis yang
Beberapa warga mulai mendekati Ashraf dan Ridho yang adu jotos. Bukan hanya itu, Ridho pun juga melawan tindakan Ashraf yang secara tiba-tiba itu. Namun setelah itu para warga pun melerai mereka berdua. Mereka berdua dipisahkan oleh warga. "Ada apa ini?" tanya seorang laki-laki berumur dan mendekati Ashraf dan Ridho. "Masalah pribadi, pak," jawab Ashraf enteng. Sementara Ridho meringis saat memegangi sudut bibirnya yang terluka. "Jangan bawa masalah pribadi disini, lebih baik diselesaikan secara kekeluargaan saja," ujar bapak itu menatap satu per satu. "Iya pak," sahut Ashraf dan Ridho secara kompak. Para warga pun meninggalkan mereka berdua. Ashraf yang masih tersulut emosi tak ingin melihat Ridho. Sementara Ridho sudah terduduk lemas di depan musholla. "Maaf, saya tadi tersulut emosi," ujar Ashraf dengan tatapan tajam. Lalu Ridho pun berdiri. "Saya juga minta maaf, ustadz," lalu meninggalkan Ashraf seorang diri. Tak seperti Ashraf yang bisa menahan amarah, namun kali ini d