Sore harinya, aktivitas di pesantren Al-fatah berjalan seperti biasa. Para santri melanjutkan belajar kajian kitab di masing-masing kelas.
Tidak termasuk bagi Ashraf dan Balqis, mereka berdua dipanggil kembali menghadap Kyai Zulkifli.
"Maaf Kyai, ini benar-benar salah paham. Dan saya rasa bukan seperti itu jalan penyelesaiannya," Ashraf menolak permintaan Kyai Zulkifli yang menyarankan untuk menikahi Bilqis.
"Tapi Ustadz Ashraf, masalah ini sudah sampai ke semua santri dan juga wali santri. Pihak pengasuh sudah berunding akan hal ini, dan kesepakatan yang terbaik dari kami seperti itu," Kyai Zulkifli menatap Ashraf dengan serius.
"Maaf Kyai, bagaimana dengan Ayra?" Ashraf terlihat bingung, dia salah satu santri yang selalu menuruti permintaan Kyai Zulkifli. Untuk itulah dia dijadikan sebagai menantu.
"Ayra masih belum pantas untuk menjadi pasangan siapapun, ego dia masih besar. Saya harap ustadz Ashraf mau menuruti permintaan saya ini. Jadikan Balqis sebagai pasanganmu," ucap Kyai Zulkifli melihat Balqis yang sedari tadi menunduk.
"Kyai, saya tidak bisa. Saya tidak pantas untuk ustadz Ashraf, dan masalah ini saya lah penyebabnya. Saya akan menyelesaikan semua masalah ini dengan keluar dari pesantren ini," Balqis mengatakan itu dengan nada bergetar. Sedari tadi dia menahan tangis. Lalu sekarang dia diminta untuk menikah dengan ustadz Ashraf.
"Meskipun kamu keluar dari pesantren, masalah ini tidak akan selesai. Kecuali masalah yang sudah menjadi aib bagi pesantren ini diselesaikan dengan cara yang halal. Insya Allah. Semua akan baik-baik saja," papar Kyai Zulkifli.
Balqis semakin ragu, berusaha dengan sekuat tenaga agar tangisannya tak terdengar. Sementara Ashraf dilanda ketakutan, takut untuk mengambil keputusan dan juga takut untuk tidak menuruti permintaan sang gurunya.
"Beri kami waktu, Kyai. Dan saya akan melaksanakan sholat istikharah. Jika jalan ini terbaik, saya akan menuruti keinginan Kyai. Dan jika belum baik, maaf jika saya harus menolak permintaan Kyai," ucap Ashraf akhirnya, membulatkan tekad untuk tetap menerima takdir.
Balqis tercengang, tidak menyangka jika Ashraf akan melakukan hal itu. Balqis kira Ashraf akan menolak keinginan Kyai Zulkifli secara mentah-mentah karena mengingat Balqis adalah santri yang tidak bagus perangai nya.
"Baiklah, dua hari. Pikirkan baik-baik ustadz Ashraf," ucap Kyai Zulkifli akhirnya.
Asra mengangguk pasrah, dirinya sudah memantapkan untuk memikirkan permintaan Kyai Zulkifli.
***
Setelah dua hari berlalu, dan kini tibalah Asrhaf untuk memutuskan pilihannya. Ashraf menemui Kyai Zulkifli.
"Saya sudah menemukan jawabannya, Kyai. Saya sudah melaksanakan sholat istikharah dan juga bertanya kepada beberapa guru saya," Ashraf duduk di hadapan Kyai Zulkifli yang sedang berdzikir.
Mereka berdua berada di masjid putra Al-Fattah. Tempat dimana Ashraf akan mengambil keputusan.
"Apa jawaban ustadz Ashraf?" tanya Kyai Zulkifli.
"Saya menyetujui permintaan Kyai untuk menikah dengan Balqis."
Kyai Zulkifli langsung mengucap syukur, "Alhamdulillah, pernikahan kalian berdua akan dilaksanakan secepatnya," tukas Kyai Zulkifli.
"Ketahuilah Ustadz Ashraf, orang seperti Balqis jika sudah berubah, dia akan melebihi alimnya dari seorang perempuan yang kau anggap alim," tutur Kyai Zulkifli kembali.
Ashraf bingung dengan maksud Kyai Zulkifli, dia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Serasa tidak mungkin," ucap Ashraf dalam hatinya.
Ashraf hanya mengangguk patuh, seolah menyetujui perkataan Kyai Zulkifli.
"Apakah Balqis sudah mengetahuinya?" tanya kyai Zulkifli.
"Belum, Kyai," jawab Ashraf.
"Baiklah, biarlah pernikahan kalian pihak pesantren yang akan mempersiapkan semuanya. Kamu hanya perlu memberitahu Balqis saja," ucap Kyai Zulkifli beranjak meninggalkan Ashraf yang masih menunduk patuh.
***
"Kenapa Ustadz menyetujui permintaan Kyai Zulkifli?" tanya Balqis saat ditemui Ashraf di ruang kelas putri. Mereka tidak berdua. Ada beberapa santri lain juga.
"Saya tidak bisa menolak permintaan Kyai, karena bagi saya, permintaan Kyai Zulkifli adalah perintah," acuh Ashraf tanpa menatap Balqis.
"Tapi Ustadz, saya itu berbeda jauh dengan ustadz Ashraf. Saya menyadari kekurangan saya," ucap Balqis sudah lelah dengan julukan dirinya dari orang lain.
"Untuk itulah saya memberitahu kamu. Saya ingin kita membuat kesepakatan," jelas Ashraf lalu mengeluarkan selembar kertas. Ashraf memberi selembar kertas itu kepada Balqis.
Balqis langsung menerima dan membacanya. "Perjanjian pernikahan?" tanya Balqis.
Bahwa di kertas itu dijelaskan tentang perjanjian pernikahan mereka. Yang dimana ada beberapa syarat dan juga kesepakatan.
Mulai dari tidak boleh tidur sekamar, tidak boleh ada rasa cinta diantara mereka berdua. Mengurus urusannya masing-masing serta diharuskan menjaga perjanjian itu sampai dengan waktu yang ditangguhkan.
"Kamu paham 'kan?" tanya Ashraf setelah Balqis selesai membaca semua penjelasan di kertas itu.
"Maksud ustadz apa? Bukankah pernikahan itu hal yang sakral. Tidak boleh ada rahasia perjanjian seperti ini. Sama saja kita membohongi semua orang," Balqis tak terima lalu menyerahkan kembali kertas itu.
"Gak usah sok paling tahu dan menggurui saya. Jelas ini masalah adalah kamu penyebabnya. Jadi saya gak mau kamu menolak perjanjian ini. Jika kamu mau masalah ini selesai," Ashraf meninggikan suaranya sampai beberapa santriwati yang lain menoleh ke arah mereka.
Balqis tak dapat berkata-kata, di dalam hatinya dia hanya mengutuk kebodohan dirinya sendiri. Tanpa disadari, air matanya keluar dengan derasnya.
"Maaf, baiklah jika ini mau ustadz saya setuju," lalu mengambil bolpoin dari tangan Ashraf dan segera menandatangani surat perjanjian pernikahan itu.
Perjanjian resmi lengkap dengan tanda tangan beserta materai. Disana tertulis jika Balqis menyetujui dengan syarat yang Ashraf tulis.
Tanpa sepatah kata apapun, Ashraf langsung pergi setelah Balqis menandatangani surat itu. Balqis meratapi nasibnya sekarang.
Selama ini Balqis jarang menangis karena seringnya dia berbuat onar. Tapi kali ini hatinya benar-benar sakit dan penyebabnya adalah ustadz dingin itu, Ashraf.
"Ciee, yang mau nikah sama ustadz ganteng. Bangga nggak, adanya malu-maluin."
"Sadar diri dong, antara langit dan bumi aja sok-sok an."
"Udah rebut tunangan orang kok masih nangis. Mending party aja."
"Tukang buat onar, sering dihukum, dan sekarang jadi pelakor. Dasar rendahan!"
Kata-kata pedas itu diucapkan oleh beberapa teman santri lain. Balqis tak bisa tinggal diam untuk satu ini. Sudah terlalu berlebihan teman-temannya sekarang.
Bugh!!
Satu santri yang merupakan ketua dari tiga orang itu langsung terdorong. Tanpa ampun, Balqis juga melakukan hal yang sama untuk kedua temannya.
"Kalian ini apa sudah sempurna? Berani membicarakan orang lain di depannya. Tidak ada yang sempurna, semua santri disini itu sama," gertak Balqis dengan nafas naik turun.
Ketiga santri itu tersungkur, tak berani melawan Balqis yang tenaganya sangat kuat. Mulut mereka bungkam dengan keberanian yang Balqis miliki.
***
Kyai Zulkifli mengumumkan pernikahan Ashraf dan Balqis yang akan dilaksanakan tiga hari lagi di hadapan semua pengurus.
"Ayra tidak menyetujui pernikahan mereka sampai kapanpun!"
"Pernikahan ustadz Ashraf dan Balqis tidak membutuhkan persetujuanmu, Ayra," ungkap Kyai Zulkifli dengan dingin.Ayra terdiam, tak mampu membalas ucapan sang Kyai. Apalagi sekarang semua pengurus sedang berkumpul, rasanya dia tak dapat berkutik."Jadi semuanya harap menerima. Demi ketentraman pesantren Al-fatah. Ustadz Ashraf dan Balqis sudah menyetujui untuk menikah," sambung Kyai Zulkifli.Ayra melirik Balqis dengan sinis, seakan membenci Balqis teramat dalam. Dan juga menatap Ashraf tak suka. Sementara Balqis hanya terdiam, begitupun Ashraf yang tampak dingin seperti biasa.***"Kamu hanya buat malu keluarga, mau ditaruh dimana muka Mama sama papa mu ini, Balqis," ujar Amira- Mama Balqis."Iya, Papa malu banget punya anak seperti kamu. Bukannya jadi santri yang berprestasi malah harus dinikahkan secara tiba-tiba seperti ini," David ikut menimpali ucapan sang istri.Kedua orang tua Balqis hadir di pernikahan Balqis dan Ashraf. Mengucap secara terang-terangan di hadapan Balqis sebel
Malam sudah larut namun Balqis tak dapat memejamkan kedua matanya. Rasa gelisah dan takut selalu saja muncul dimanapun. Balqis merubah posisi menjadi duduk. Sementara Ashraf sudah tertidur lelap di karpet bawah.Namun Ashraf terlihat sangat kedinginan, Balqis lalu memberikan selimut yang dia kenakan untuk menutupi tubuh Ashraf. Lalu dia sendiri tetap membuka matanya sampai dini hari menjelang."Disaat orang lain bersenang-senang dengan pasangan, namun aku merasa sepi dan sendirian. Beginikah nasib orang yang suka membuat onar. Atau memang sudah nasibku dari dulu, tak akan pernah bahagia," lirih Balqis.Derai air mata Balqis membasahi kedua pipinya. Seakan mengeluh terhadap takdir yang tak pernah berpihak padanya."Bukankah aku ini rendahan kata mereka? Tak pernah seorang pun merasakan keberadaanku. Tapi aku masih berharap setelah ini bisa menjadi lebih baik lagi," keluh Balqis.Tangis Balqis semakin pecah, tak seharusnya dia menangisi takdirnya. Tapi dia sudah tidak tahan sedari kema
Saat Ashraf tetap menahan tubuh Balqis, tiba-tiba pintu kamar Ashraf terbuka."Waduh, Maaf ya. Umi kira kenapa, tadi ada yang teriak soalnya. Umi ganggu ya," ucap Risma penuh senyum saat melihat kedua insan itu.Balqis dan Ashraf sama terkejutnya, lalu dengan terburu-buru Balqis bangkit dari Ashraf. Ashraf pun langsung berdiri juga."Tidak seperti yang Umi pikiran kok. Tadi ada tikus, jadi Balqis gak sengaja lompat ke Ustadz Ashraf," kilah Balqis."Loh, emangnya kenapa kalau kalian seperti itu. Kalian kan sudah menikah, hal itu wajar kok. Dan kenapa Balqis masih manggil ustadz ke Ashraf?" tanya penuh selidik Risma.Saking groginya, Balqis lupa panggilannya untuk Ashraf. "Udah, Umi. Balqis masih belum terbiasa. Udah ya umi keluar dulu, kami mau siap-siap," ucap Ashraf memegang pindah Risma ke pintu kamarnya."Iya deh iya, yang gak mau dilihat siapapun ini," kekeh Risma lalu meninggalkan mereka berdua di kamar."Ucapan saya tadi lupain. Itu gak benar," lirih Ashraf mendekati Balqis ta
Kini hujan deras itu sudah berganti rintik. Suasana tenang mulai tergambar saat hujan membasahi seisi bumi.Tapi tidak dengan Ashraf dan Risma yang dilanda kekhawatiran. Karena Balqis tadi tidak sadarkan diri waktu di taman."Kenapa dia bisa pingsan, Ashraf?" tanya Risma dengan serius. Sembari terus menerus menggosok tangan Balqis dengan minyak kayu putih."Dia tadi mandi hujan, Umi," jawab Ashraf dengan cemas. Dia baru selesai berganti baju.Balqis dibaringkan di kamar Ashraf. Wajahnya sangat pucat dan terlihat lemah."Astaghfirullah, umi baru ingat. Dia belum makan seharian, katanya mau nunggu kamu datang. Jangan bilang tadi kamu tidak mengajaknya makan?" ucap Risma dengan panik.Ashraf terkejut mendengar pernyataan sang ibunya. "Kami belum sempat makan," lirih Ashraf.Risma hanya menggeleng dengan kelakuan anaknya. Tapi tetap saja panik dengan keadaan sang menantu.Namun setelah itu terlihat tangan Balqis yang bergerak. Dan juga membuka kedua matanya perlahan."Alhamdulillah, kamu
"Aku juga, kita hanya menunggu waktu. Tolong tunggu aku Ayra," ajak Ashraf sambil berbicara di ponselnya. Balqis yang mendengar semua itu hanya tersenyum kecut. Setelah itu ia merasa kecewa, karena Ashraf melihat dirinya tanpa izin. Setelah cukup lama mereka berbincang, akhirnya Ashraf menutup teleponnya. Balqis hanya mendengarkan saja tanpa ingin menegur. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Ashraf ketika ia berbalik dan Balqis sudah berada di depan pintu kamarnya. “Saya ingin meminta penjelasan kepada Ustadz,” jawab Balqis blak-blakan. Kemarahannya sudah meluap sejak tadi. Namun sebisa mungkin dia tahan. "Tentang?" kata Ashraf. “Saya tidak suka dengan cara ustadz. Ustadz menikahi saya hanya untuk menghilangkan rasa malu, tapi ustadz mengganti baju saya sesuka hati tanpa izin,” kata Balqis lirih. “Tidak ada jalan lain, jadi tenang saja. Aku tidak tergoda dengan tubuhmu,” cibir Ashraf lalu duduk di meja belajarnya. Balqis masuk ke dalam kamar, menguncinya dari dalam. "Ini
Sejak malam kejadian itu, Balqis tak ada obrolan dengan Ashraf. Sudah seminggu lamanya dan Balqis benar-benar menghindari Ashraf.Benar kata orang lain, biasanya orang yang sudah merasa kecewa akan memilih diam. Ketika sudah berat hati untuk menentukan, hanyalah kata menyerah yang ada.Menyerah dengan takdir yang sudah tertulis. Entah takdir Balqis seperti apa, berakhir sedih kah atau sebaliknya."Balqis," sapa Ashraf. Ashraf membuka pembicaraan terlebih dahulu.Mereka sedang berada di mobil Ashraf, dan akan menuju ke pesantren Al Fatah."Hm," jawab Balqis cuek."Perasaan kamu sekarang gimana?" tanya Ashraf sambil melajukan mobilnya secara pelan."Biasa aja," lirih Balqis. Pandangannya lurus ke depan. Sesekali melihat ke luar jendela mobil."Setelah malam itu, kamu masih benci dengan saya?" tanya Ashraf. Dirinya tak fokus menyetir karena sesekali sambil melihat Balqis disebelahnya."Lupakan ustadz. Ustadz sendiri kan yang meminta saya untuk melupakan semua itu. Tolong jangan dibahas l
"Saya tidak mau dan gak akan pernah mengizinkan hal itu terjadi," ucap Balqis lalu melepas pelukan Ashraf dan langsung keluar dari kamar Ashraf.Banyak yang hanya tergoda sesaat lalu meninggalkan. Bukankah pernikahan adalah sebuah perjanjian, untuk selalu bersama dalam keadaan suka dan duka.Balqis mendekati Risma yang sedang memasak. Lalu mendekatinya sembari menghapus air mata yang sedikit luruh."Umi, lagi masak apa?" tanya Balqis.Risma yang sedang mencuci beberapa jenis ikan dan sayur pun menoleh. "Iya nak, ini lagi mau goreng ikan Nila sama buat sayur asam," tukas Risma dengan senyuman hangat."Balqis mau bantu ya Umi," ucap Balqis kegirangan.Benar ya kata orang, bahwa tak semua sifat anak itu turun dari orang tuanya. Buktinya Risma begitu berbanding terbalik dengan Ashraf.Risma yang begitu peduli dan selalu ramah, serta murah senyum. Sementara Ashraf yang dingin dan suka semena-mena terhadap orang lain."Boleh dong, sini buatin mama bumbu buat sayur asam. Sekalian bumbu buat
Kedua orang itu saling diam, setelah beberapa lama tak bertemu. Kini mereka berada di sebuah taman perkotaan tak jauh dari pesantren Al-fatah. "Gimana kabarmu, Balqis?" tanya laki-laki itu dengan sopan. Sedari tadi melihat Balqis yang selalu menunduk. "Aku baik, kamu?" tanya Balqis juga. "Tadinya sih, belum baik. Tapi sekarang setelah bertemu dengan kamu, aku menjadi baik," tutur Ridho- santri putra Al- Fatah. Balqis mendongak, tatapannya tak tenang. Pikirannya seakan kabur. Hari yang paling Balqis takuti, sudah akan dia rasakan. "Maaf, Ridho, " lirih Balqis pelan. Kembali menunduk untuk menyembunyikan rasa bersalahnya. "Maaf untuk?" ucap Ridho penasaran. Rasanya seakan sama. Sejak dua tahun kedekatan mereka dahulu. "Aku sudah menikah, maaf," lirih Balqis. Sedari tadi dia memintal kain gamisnya. Ridho terdiam, tatapannya menjadi kosong. Tubuhnya melemah dan berdiri lagi. "Dengan siapa? Kau tak menungguku, Balqis. Padahal aku selalu mengingatmu," ucap Ridho sambil memijat peli