“Sampai kapan pun aku tak akan menceraikanmu. Aku tak ingin anakku menjadi anak broken home yang tak memiliki keluarga utuh!” tegas Mas Raka.
“Tak ingin menjadikan anakmu menjadi anak broken home katamu?! Lucu sekali! Apa kamu ngga pernah mikir, Mas? Kamu sendiri yang lebih dulu membuat anak kita sebagai calon anak broken home!!” ucapku meninggi.Perkataannya sungguh sangat lucu. Apa dia tak menyadari kesalahannya?Mas Raka kemudian berlalu ke luar kamar kami. Ditutupnya pintu kamar dengan sedikit kasar. Jam sudah menunjukkan pukul empat subuh. Langit gelap perlahan mulai terang. Pertengkaran singkat di pagi itu menjadi awal dari keretakan rumah tanggaku dimulai.Kedua kakiku terasa lemas. Masih tak menyangka, suamiku yang sebelumnya lembut dan hangat kepadaku, kini berubah menjadi seorang pemarah. Kenapa dia berubah? Apa yang salah?Aku terduduk sembari menangis. Mendengar seruan azan yang menggema dari masjid yang tak jauh dari rumah.Aku menguatkan kedua kakiku untuk melangkah ke kamar mandi, bergegas wudhu sebelum melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim.Berulang kali aku melafalkan istighfar karena sudah meminta cerai dari pria itu. Aku juga berharap agar Mas Raka tak menceraikanku. Meski aku marah padanya, bagaimanapun juga dia adalah ayah dari anakku.*Aku menyibukkan diri dengan memasak di dapur. Setelah mengetahui kalau suamiku kembali tidur di kamar tamu, hatiku sedikit lega. Suamiku tak memutuskan ke luar rumah atau menemui pengirim pesan yang menjadi pemicu pertengkaran kami.Aku tak tahu apakah ia sudah menjalankan kewajibannya beribadah atau tidak. Namun, biasanya dia akan rajin salat subuh berjamaah di masjid meski akhir-akhir ini sangat jarang sekali.“Mas, sarapannya sudah siap,” ucapku membangunkan suamiku.Aku menggoyangkan lengannya perlahan. Tanpa disangka, ia menepis tanganku yang bersentuhan dengan lengannya.Dan entah mengapa aku merasa ada tangan tak kasat mata meremukkan jantungku. Hatiku terasa sedikit nyeri mendapatkan penolakan darinya.Aku meninggalkan kamar tamu. Membiarkan dirinya kembali mengarungi mimpi. Pun menghindari pertengkaran itu terulang kembali.Beruntung saat itu adalah hari Minggu. Yang artinya dia libur bekerja. Tetapi hatiku masih tetap merasa tak tenang. Aku takut suamiku benar-benar pergi menemui orang itu, orang yang tak ku kenali siapa itu.*Jam menunjukkan pukul delapan pagi. Terdengar derap langkah mendekat ke arahku yang tengah bermain dengan Delisha.Tiba-tiba sebuah tangan kekar menyeret lenganku dengan kasar. Nyaris membuatku terjatuh karena tindakan kasar yang mengagetkan ku. Beruntung saat itu Delisha tak sedang dalam pangkuanku.Aku menatap pria yang tengah memegang lenganku dengan sangat erat hingga aku meringis kesakitan. Dia bahkan tak peduli meski aku meronta agar ia sedikit melonggarkan cekalannya.“Kenapa kamu gak bangunin aku?!” geram suamiku, Mas Raka.“Lepasin dulu tanganmu, Mas.” Aku masih berusaha melepas cengkeraman tangan pria itu yang semakin erat.“Jawab dulu pertanyaan ku!!” bentak pria itu.“Sakit, Mas. Lepasin tanganmu! Kamu menyakitiku!” ucapku dengan suara yang mulai meninggi.Mungkin ia mulai tak tega saat melihat kedua mataku mulai berkaca-kaca. Dia melepaskan cengkeramannya dan menghempaskan lenganku kasar. Nyaris saja membuatku terjungkal.“Aku sudah membangunkanmu jam tujuh tadi. Tapi kamu tak merespons. Kamu bahkan menepis tanganku saat aku berusaha membuatmu terjaga,” ucapku sembari mengusap lenganku yang memerah dan masih terasa nyeri.“Alah! Alasan! Aku tahu kalau kamu itu sengaja,” ucap suamiku kemudian berlalu pergi.Kulihat dia berjalan menuju kamar kami. Aku tak mengejarnya, karena tak mungkin aku membiarkan Delisha sendirian.*Tiga puluh menit kemudian, Delisha merengek. Sepertinya gadis kecilku kembali mengantuk. Malaikat kecilku itu masih suka tidur karena selalu bangun terlalu pagi. Setiap pukul setengah lima, gadis mungil itu sudah terjaga lalu akan kembali tidur saat jam enam pagi dan bangun kembali jam delapan pagi.Aku membawa gadis kecilku ke kamarnya. Tepat saat aku membuka pintu kamar anakku, kulihat suamiku berjalan ke luar rumah dengan terburu-buru. Ingin rasanya aku mengejar pria itu dan mengikutinya.Namun aku mengurungkan niatku mengingat Delisha yang mengantuk dan tak memungkinkan untuk berkendara. Tak mungkin juga aku membiarkan Delisha tinggal di rumah dengan ART yang masih sibuk mengerjakan pekerjaannya di ruang belakang sana.Aku mengalah. Aku yakin, akan tiba saatnya apa yang suamiku sembunyikan, terbuka dengan sendirinya.*Hari sudah mulai sore. Senja sudah mulai menampakkan diri. Matahari sudah hendak kembali ke peraduannya. Aku masih menunggu suamiku di teras rumah. Berharap ia yang pergi sedari pagi, akan pulang sore ini.Hingga azan Maghrib berkumandang, lelakiku tak kunjung datang. Tak ada kabar yang ia berikan. Apakah dia baik-baik saja di luar sana?Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Aku harus menyiapkan makan malam, khawatir suamiku pulang dalam keadaan lapar.Saat aku baru saja menutup pintu rumah, terdengar suara mesin mobil memasuki carport rumah kami. Mobil itu berhenti, lalu suamiku tampak keluar dari dalamnya. Raut wajah datar ia tunjukkan saat melihatku menyambutnya di ambang pintu.Dia mengabaikanku, lagi!Aku berusaha tersenyum, menghibur gadis kecil yang sedang aku gendong. Gadis itu merengek saat mendapati ayahnya tak menghiraukannya.“Mas! Delisha.” Aku memanggil suamiku, berharap pria itu mau menoleh ke arah Delisha.Raut wajahnya berbeda dengan saat melihatku tadi. Suamiku menyambut Delisha yang meminta untuk digendong. Senyuman itu, tak lagi ia tunjukkan kepadaku. Kenapa? Apa salahku? Apa masih karena ponsel itu?“Titip Delisha dulu sebentar, Mas. Aku mau nyiapin makan malam.”Dia tak menjawab. Hanya sebuah anggukan yang ia berikan sebagai persetujuan.Aku bergegas memasak secepat kilat agar suamiku tak mengeluh lagi karena masakan lama terhidang. Dia selalu makan malam pukul tujuh, sesudah salat isya’.Beberapa menit kemudian, makanan sudah selesai aku hidangkan. Aku berjalan menuju ruang tengah di mana Delisha dan suamiku bermain bersama sebelumnya.Kulihat Delisha tertidur dengan nyenyak dalam dekapan ayahnya. Keduanya tampak kelelahan hingga tertidur di atas sofa.Aku mendekat ke arah ayah-anak yang tertidur dengan lelap itu. Perlahan aku mengangkat tubuh mungil malaikat kecilku. Berharap makhluk mungil itu tak terusik dengan apa yang aku lakukan.Menyadari aku mengangkat Delisha, suamiku akhirnya terjaga. Pria itu mengerjap perlahan lalu duduk di pinggir sofa tempat ia tertidur sebelumnya.“Makan malam sudah siap. Makanlah dulu selagi hangat.”“Hemm.” Pria itu mengangguk lalu berjalan menuju wastafel dapur untuk mencuci tangan dan mencuci wajahnya agar sedikit segar.Aku meletakkan putriku di atas ranjang kecil di kamarnya. Gadis kecil itu tak merasa terganggu saat kupindahkan. Mungkin ia masih merasa berada dalam dekapan Mas Raka. Sehingga ia tertidur dengan tenang.Setelah itu, aku berjalan menuju dapur. Hendak menemani suamiku makan malam bersama. Dia masih di sana.Kulemparkan senyuman seperti biasanya. Namun, dia tak menatapku lagi. Mengabaikan ku dan bertindak seolah aku tak ada.“Kamu masih marah, Mas?” tanyaku.Dia tak menjawab.“Maaf,” ucapku lagi.“Iya, aku maafin.” Hanya jawaban singkat itu yang aku dapatkan.Setelah itu, kulihat suamiku meninggalkan meja makan sembari membawa piringnya yang sudah kosong ke tempat cuci piring.Tak sengaja kulihat sebuah noda merah di kerah baju suamiku yang berwarna biru muda itu. Aku mendekat ke arah suamiku. Terendus bau parfum wanita.Aku memberanikan diri menyentuh kerah baju suamiku. Memastikan kalau penglihatan ku tak salah. Sebuah noda merah namun tampak samar menempel di sana.“Apa-apaan kamu?!” seru suamiku yang mungkin terkejut dengan kelakuanku yang tiba-tiba saja menarik krah bajunya.Aku mundur beberapa langkah. Berjaga agar pria itu tak bisa menjangkau ku jika memukul aku saat marah.“Siapa wanita itu, Mas?” tanyaku dengan suara bergetar.Mas Raka tampak terkejut. Dia tampak gugup mencari-cari alasan yang semakin tampak kebohongannya.“B-bukan siapa-siapa. A-apa urusanmu?!” pria itu berusaha menutupi rasa terkejutnya.“Parfum wanita, noda merah lipstick, tertinggal padamu. Siapa dia, Mas?”“Tega kamu, Mas!” gumam ku di sela tangis yang mulai pecah. Mas Raka memilih untuk pergi. Meninggalkanku yang masih menahan bendungan air yang dalam hitungan detik akan membuat aliran sungai deras melewati kedua pipiku. Aku bangkit dan berjalan menuju kran air di dapur. Ku basuh wajahku agar penglihatan ku yang sedikit buram menjadi lebih cerah.Selera makan kini telah sirna. Aku merapikan sisa masakan di atas meja dan memasukkannya ke arah kulkas. Berjaga-jaga takut suamiku akan merasa lapar saat malam hari seperti biasanya.Ah, di saat seperti ini aku masih memikirkan dia?Kukira hanya ada di televisi atau novel-novel online yang sering aku baca. Ternyata kehidupanku kini tak jauh berbeda dengan apa yang dikisahkan orang lain dalam cerita. Apakah aku terlalu terbawa suasana dan mendalami karakter? Tidak! Ini nyata! Aku bergegas menuju kamar. Berharap suamiku akan kembali ke kamar kami seperti malam-malam sebelumnya. Kubuka pintu kamarku perlahan. Takut ia terganggu dengan suara p
“Te-terima kasih,” ucap Mas Raka.Aku menghampiri suamiku yang kini tengah terduduk di ruang tengah membawakan dua cangkir teh yang masih mengepulkan asap panasnya. Lalu aku letakkan dua cangkir teh itu di atas meja kecil di hadapannya.Bisa kulihat raut wajahnya yang gugup. Berulang kali ia membetulkan posisi duduknya yang sepertinya tak nyaman. Padahal biasanya kami menghabiskan waktu berdua bersenda gurau di sana sebelumnya.“Katakan apa yang akan kamu katakan,” ucapku berusaha setenang mungkin.“Semua itu gak seperti yang kamu pikirkan, Zhy.”“Lalu?”“Semalam aku memang berada di sana. Tapi itu tak seperti yang kamu pikirkan.” Ucap suamiku.Aku menyesap tehku yang mulai menghangat. Aku membiarkan dia panik. Aku hanya akan mendengarkan penjelasan darinya. Tak berniat untuk mengonfrontasinya terlebih dahulu. Aku masih belum mendapatkan bukti yang kuat untuk menekannya. “Kamu yang membuat aku sangat marah semalam. Bukankah kamu yang seharusnya meminta maaf padaku terlebih dahulu?”H
"Sudah selesai?" tanya Mas Raka saat aku baru kembali dari toilet.Pria itu menyambutku, memintaku duduk di sampingnya. Sementara di sisi lain, Shakila duduk berhadapan dengan kami..Wanita yang memiliki tubuh proporsional itu benar-benar sangat memukau. Gestur tubuh dan tutur kata nya membuat orang lain kagum dengan wanita yang bernama Shakila itu.“Emm, ngomong-ngomong, kamu tinggal di mana, Ki?”Aku melihat wanita itu tersentak. Pertanyaan ku seolah membuyarkan lamunannya. Ada yang salah kah?Aku berusaha berpikiran positif. Sedari tadi aku melihat wanita itu memang tampak fokus dengan makanannya. Mungkin saja itu yang menyebabkan ia terkejut.“E-eh, gimana Zi?” ulang wanita itu.“Kamu tinggal di mana?” aku mengulang pertanyaan ku lagi.“Aku tinggal di Jalan Cempaka. Gak terlalu jauh dari sini. Dan memang aku biasa makan di sini. Walau gak sering, sih. Kalau sering, ya rugi aku,” jawabnya diiringi tawa canggung.Dilihat dari wajahnya, perempuan itu tampak polos. Dia lebih suka diam
Pria di hadapanku terdiam. Sepatah kata pun tak terucap dari pria yang masih berstatus suamiku itu. Pria yang cukup tampan dan populer yang dulu pernah menggetarkan hatiku. Kini? Tidak lagi. "Kenapa diam, Mas?! Bicaralah! Apa ada yang salah dengan ucapanku?"Hatiku tak lagi merasakan getaran aneh seperti dulu, seperti saat kami pertama kali bertemu. Hatiku tanpa ku sadari membunuh segala rasa yang dulu pernah ia rasakan. Tak ada lagi perasaan cinta kepada pria ini, bahkan kepada pria lain. Mati rasa! Namun, karena status ku yang masih seorang istri dari Raka Prayoga, sebisa mungkin aku masih melayani apa pun keperluannya. Ingin rasanya aku menolak. Akan tetapi aku masih takut akan bayang-bayang dosa yang tiada terkira. “Kamu gak perlu menjelaskan apa pun lagi, Mas. Toh, aku gak lagi melarang kamu berhubungan dengan dia atau wanita lain? Bukankah itu cukup untukmu? Atau masih ada yang kurang?” Aku memendam semua emosiku sedalam-dalamnya. Tak ingin pria itu betapa perihnya sakit
Setelah cukup stalking wanita yang “dekat” dengan suamiku itu, aku memutuskan untuk menghibur diriku.Aku memilih mengalihkan perhatianku dengan membaca komik atau manhwa di salah satu aplikasi online yang aku instal di ponsel pintarku. Setidaknya pikiranku tak melulu berisi rencana pembalasan mereka yang mengkhianati ku.Kalau boleh jujur, sebenarnya aku sangat malas memperpanjang urusan itu. Namun, aku perlu kejelasan status, apakah putus atau terus.Tak mungkin ‘kan kalau hubungan kami mengambang dan tak memiliki ujung?Kehidupan rumah tanggaku tak seindah kelihatannya. Orang lain mungkin berpikir kalau biduk rumah tangga kami baik-baik saja. Tanpa terdengar percekcokan di dalamnya. Namun, siapa sangka, aku yang juga lengah, tak mengira kalau sebenarnya pernikahan kami tak wajar.Mas Raka memang seorang pria pendiam, irit bicara, dan lebih suka membuktikan kesungguhannya dengan tindakannya.Namun, apa kini seperti itu juga?***"Yang, kaos kaki aku di mana?" tanya Mas Raka pagi itu
Aku melirik ke arah Mas Raka yang buru-buru meraih ponselnya. Ia tampak berusaha menyembunyikan pesan itu dariku.“Aku ke kamar dulu,” ucapnya memberitahuku.Ia beranjak meninggalkan meja makan tanpa menunggu jawabanku.Aku menahan tremor tanganku yang mendadak hadir tanpa sebab. Lutut ku juga merasa lemas. Sekuat tenaga aku menumpu badan dengan tanganku, meraih tempat duduk yang berada tak jauh dari jangkauan ku.Tanpa terasa, bulir bening jatuh melawati pipi. Tubuhku bergetar, tak sanggup menahan emosi yang saat ini membuncah tak terkendali. Ingin ku marah atas semua kebohongan yang dilakukan oleh suamiku itu. Tapi aku tak berdaya."Mama kenapa nangis?" Suara Delisa menyadarkanku yang larut dalam perasaanku sendiri.Gadis kecil itu baru saja turun dari kamarnya. mungkin dia sudah merasa lapar karena aku tak kunjung membawakannya makanan."Mama tidak apa-apa, Sayang. Delisha sudah lapar ya? Sini duduk di sini, Mama suapin," ucapku mengajak gadis kecil itu majan malam."Mama jangan se
"Mama, Ayo main," ucap Delisha membuyarkan lamunanku.Aku tersenyum ditengah rasa kalut yang kini menyelimuti hatiku."Delisha mau ikut Mama, nggak?" tawarku pada Delisha.Gadis kecil itu kemudian menganggukkan kepalanya. "Kita mau ke mana, Ma?""Kita jalan-jalan yuk!" ajakku.Gadis mungil itu bersorak riang mendengar ajakanku. Aku memang jarang sekali mengajak Delisha pergi jalan-jalan akhir-akhir ini. Tak heran kalau dia begitu senang dan antusias saat aku ajak pergi.Aku meraih tasku, membawa serta Delisha. Aku memutuskan untuk menyusul suamiku ke kantornya. Entah mengapa instingku mengatakan ada sesuatu yang tak beres.Usai mengunci pintu rumah, taksi online yang aku pesan tiba. Gegas aku masuk ke dalam kendaraan beroda empat itu dan duduk di dalamnya dengan Delisha yang berada dalam pangkuan."Mau diantar ke mana, Bu?" tanya sang sopir dari balik kemudi.“Ke PT Samudera, Pak,” jawabku.Sopir itu mengangguk singkat. Dengan kecepatan sedang mobil melaju membawa kami ke perusahaan
Sepanjang perjalanan pulang, suasana sangat hening. Hanya sesekali terdengar embusan napas kasar dari “Kalau Ibu capek, bisa istirahat saja. Perjalanan masih cukup jauh,” ujar sopir itu sembari tersenyum. Aku hanya mengangguk. Namun, aku tak lagi memejamkan mataku meski aku merasa kantuk mulai menyerang. Aku harus terjaga. Aku yang tadinya berniat istirahat sebentar dalam mobil, terpaksa mengurungkan niat. Aku berulang kali memergoki pria itu melihat ke arahku melalui kaca spion tengah. Hal itu cukup membuatku tak nyaman. Apa ada yang aneh dariku sehingga pria itu menatapku seperti itu?Atau jangan-jangan, sopir itu memiliki niat tak baik terhadapku? "Ibu ngga perlu khawatir. Saya akan mengantar ke tempat tujuan dengan selamat. Saya ngga tega aja lihat ibu kecapekan," ujar sopir taksi itu menatapku melalui kaca tengah mobil."Iya, Pak. Terima kasih," sahutku sekenanya.Aku tak pulang ke rumah di mana Mas Raka dan aku sebelumnya tinggal. Sengaja aku ingin melihat bagaimana reaksiny