“Yang, tolong siapin baju, ya? Mas sebentar lagi mau ada acara dengan teman-teman, Mas,” ucap suamiku pagi itu.
Belum sempat aku mengeluarkan suara, suamiku kembali berkata, “Kamu di rumah aja. Soalnya acaranya sampai malam. Kasihan Delisha kalau ikut. Takut capek.”Pria itu kemudian menghilang di balik pintu kamar mandi. Suara gemercik air, terdengar dari balik pintu ruangan yang tak terlalu besar di samping kamar itu. Rutinitas pagi hari yang sibuk, membuatku tak terlalu ambil pusing dengan sikap Mas Raka, suamiku. Aku melanjutkan kegiatan memasak untuk sarapan pria itu dan juga putri kecilku yang masih tertidur di dalam kamar.Orang-orang mengenalku sebagai Zhyvanna Amira, mantan desainer muda di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang ekspor pakaian jadi ini memiliki seorang suami bernama Raka Prayoga.Banyak orang yang mengatakan bahwa aku beruntung karena memiliki seorang suami yang baik dan penyayang. Apalagi pekerjaannya adalah seorang manajer keuangan di salah satu perusahaan besar. Belum lagi parasnya yang tergolong rupawan menurut sebagian orang, membuat tetangga dan teman-temanku begitu iri padaku.Usai menu sarapan matang dan bekal untuk Mas Raka selesai aku siapkan, aku beranjak menuju lemari pakaian di kamar kami, menyiapkan pakaian yang pantas untuk suamiku. Setelah itu, aku meninggalkan kamar itu menuju kamar putri kesayanganku yang sedang bermain di ruang tengah.Tepat saat aku selesai memandikan Delisha, suamiku juga selesai bersiap dan rapi. Kami berjalan menuju meja makan untuk menyantap sarapan kami. Tak banyak bicara, hidangan yang kusiapkan tadi telah tandas dalam hitungan menit.“Mas berangkat dulu, ya?” ucap Mas Raka seraya mengusap kepalaku usai menyeka sudut bibirnya dengan tisu.Aku mengangguk. “Hati-hati di jalan. Kalau bisa jangan pulang terlalu malam, ya?”Dia tak menjawab. Namun aku bisa menangkap kalau dirinya terpaksa untuk tersenyum. Ia langsung pergi meninggalkan kami berdua di dalam rumah.*Waktu begitu cepat bergulir. Kini, hari sudah berganti malam. Meskipun langit masih gelap, terdengar ayam berkokok pertanda saat ini sudah tengah malam. Namun, suamiku masih belum juga datang.“Ada acara apa hingga lewat tengah malam?” gumamku sembari terus melihat ke arah jendela kaca yang tertutup. Berharap suamiku datang.Jarum jam di dinding kamar menunjukkan pukul satu lebih lima belas menit. Terdengar suara mesin mobil memasuki pelataran rumah. Aku segera berlari ke luar menyambut suamiku yang pastinya lelah usai bekerja.Aku mendekat ke arah pria yang baru saja membuka pintu mobil yang terparkir di tempat parkir rumah. Tak seperti yang aku duga, pria itu masih tampak segar dan bisa kulihat rambutnya masih basah seperti baru saja mandi. Aku menepis segala bentuk pikiran buruk yang tiba-tiba bersarang di kepalaku.“Sudah pulang, Mas?” ucapku kepada suamiku yang baru saja menutup pintu mobil.“E-eh, kamu belum tidur, Zhy?” sahutnya gugup.“Zhy?” aku mengulang perkataan suamiku yang memanggilku dengan nama panggilanku.“E-em, maksud aku ... kamu belum tidur, Yang?” ucapnya meralat perkataannya tadi.“Iya, Mas. Sengaja nunggu kamu. Khawatir kamu kenapa-kenapa karena gak ada kabar.”“Ya udah, ayo kita masuk.” Suamiku berjalan lebih dulu melewati diriku yang masih mematung di ambang pintu.Aroma sampo lain terendus indra penciumanku saat pria itu lewat di depanku. Aku hafal aroma sampo yang ada di kamar mandi rumah kami. Aromanya tak seperti itu.“Habis mandi di mana kamu, Mas?” tanyaku pada suamiku yang kini hendak berganti pakaian.“Mandi di rumah teman. Tadi soalnya bantu benerin mobilnya yang mogok. Karena badan kotor semua dan gerah, jadi mandi aja sekalian,” ucapnya enteng. Hanya saja dia tak berani menatap kedua mataku seperti biasanya.Aku hanya menganggukkan kepalaku, mencoba memahami meskipun sulit untuk dimengerti.Aku tak mendapati bekas oli atau kotor mobil pada pakaiannya. Dan juga, kenapa harus keramas juga? Dengan aroma sampo wanita pula.Aku duduk di tepi ranjang, menunggu suamiku yang sangat lama berganti pakaian. Tak biasanya pria itu berperilaku demikian.Setelah sekitar lima belas menit di kamar mandi, suamiku keluar dari ruangan itu. Dia tersenyum lalu mengajakku tidur.Karena tak ingin terus menerus berpikir yang tidak-tidak, aku memilih menuruti keinginan suamiku untuk merebahkan diri di atas ranjang kami.Pria itu memelukku dari belakang. Seperti malam-malam biasanya, kami selalu tidur saling berpelukan.Aku mencoba memejamkan mata meski rasanya sangat susah. Akan tetapi aku harus beristirahat meski hanya beberapa jam agar tubuhku tetap bugar karena aktivitas pagi hari yang sangat padat.Saat jam menunjukkan pukul tiga lebih empat puluh lima menit di pagi hari, aku merasakan ada benda kenyal yang menyentuh leher belakangku. Siapa lagi kalau bukan ulah suamiku. Aku tak bergeming meskipun ia melakukan hal itu. Aku biarkan ia melakukan apa pun yang ia mau.Beberapa saat kemudian, ia menghentikan kegiatannya karena tak mendapat balasan dariku. Dia kemudian beranjak ke kamar mandi, menutup pintu dengan sedikit kasar.“Apa mungkin ia marah?” gumamku lirih.Aku mendapati ponsel suamiku di sisi ranjang yang sebelumnya ia tempati. Kucoba membuka ponselnya. Dikunci.“Tak seperti biasanya,” gumamku.Aku terus mencoba menggunakan kombinasi angka yang sering ia gunakan bahkan menggunakan kombinasi tanggal lahir kami.Gagal!Sekali lagi aku mencoba menggunakan kombinasi tanggal pernikahan kami.Belum selesai aku mengetikkan angka untuk membuka kunci benda pipih itu, sebuah notifikasi pesan masuk tertera di layar.Sebuah nama hanya dengan tanda titik mengirimkan pesan kepada suamiku. Bisa aku pastikan kalau orang yang mengirim pesan itu adalah seorang wanita. Melihat foto profil yang ditampilkan di sana adalah seorang wanita berkaca mata yang sangat cantik dan modis.“Nanti tolong jemput Icha dulu kalau mau ke rumah ya?” aku membaca isi pesan yang tampak di layar pop up ponsel yang terkunci itu.Ponsel itu kembali berbunyi, menampilkan sebuah pesan lain dari nomor yang sama.Belum sempat aku membaca isinya, benda pipih itu kini sudah beralih ke tangan seorang pria yang menatapku nyalang.“Apa-apaan kamu?!” bentaknya.Aku hanya terdiam. Hanya karena memegang ponselnya, dia se-marah itu?“Kamu bisa gak, sih, menghargai privasi aku? Ponsel ini privasi aku, jangan sekali-kali kamu menyentuh atau membuka isinya!” ujarnya dengan suara meninggi.Aku tertegun. Masih tak menyangka dengan ucapannya yang baru saja ia katakan.Tanpa terasa, bulir bening mengalir di kedua pipiku. Air mata itu lolos dari bendungannya tanpa permisi.Aku menatap pria itu tak kalah sengit. Kulihat wajahnya memerah dengan dadanya yang naik turun menahan emosi.“Privasi katamu, Mas?! Oke. Kalau kamu memiliki privasi dengan tak membiarkanku membuka isi ponselmu, jangan pernah dekati aku. Jangan pula kamu membuka isi ponselku. Seimbang, bukan?” cibirku mengatur gemuruh yang sekuat mungkin ku tahan.“Kamu!” dia mengacungkan telunjuknya ke arahku tanpa menyelesaikan kalimatnya.“Apa?! Bukankah itu yang kamu mau??”Bulir bening lolos begitu saja tanpa bisa kucegah. Kuusap kasar jejak basah yang masih tersisa di pipiku.“Kita berpisah saja. Buat apa bersama jika ada batasan privasi di antara kita? Aku lebih senang hidup sendiri daripada terikat status denganmu, Mas!”Rasa panas menjalar usai Mas Raka mengayunkan tangannya ke pipi. Detik berikutnya, kakinya melangkah mundur seraya menatap tangannya yang sedikit memerah.“A-aku tak akan pernah menceraikanmu, Zi!”“Sampai kapan pun aku tak akan menceraikanmu. Aku tak ingin anakku menjadi anak broken home yang tak memiliki keluarga utuh!” tegas Mas Raka.“Tak ingin menjadikan anakmu menjadi anak broken home katamu?! Lucu sekali! Apa kamu ngga pernah mikir, Mas? Kamu sendiri yang lebih dulu membuat anak kita sebagai calon anak broken home!!” ucapku meninggi.Perkataannya sungguh sangat lucu. Apa dia tak menyadari kesalahannya?Mas Raka kemudian berlalu ke luar kamar kami. Ditutupnya pintu kamar dengan sedikit kasar. Jam sudah menunjukkan pukul empat subuh. Langit gelap perlahan mulai terang. Pertengkaran singkat di pagi itu menjadi awal dari keretakan rumah tanggaku dimulai. Kedua kakiku terasa lemas. Masih tak menyangka, suamiku yang sebelumnya lembut dan hangat kepadaku, kini berubah menjadi seorang pemarah. Kenapa dia berubah? Apa yang salah?Aku terduduk sembari menangis. Mendengar seruan azan yang menggema dari masjid yang tak jauh dari rumah.Aku menguatkan kedua kakiku untuk melangkah ke
“Tega kamu, Mas!” gumam ku di sela tangis yang mulai pecah. Mas Raka memilih untuk pergi. Meninggalkanku yang masih menahan bendungan air yang dalam hitungan detik akan membuat aliran sungai deras melewati kedua pipiku. Aku bangkit dan berjalan menuju kran air di dapur. Ku basuh wajahku agar penglihatan ku yang sedikit buram menjadi lebih cerah.Selera makan kini telah sirna. Aku merapikan sisa masakan di atas meja dan memasukkannya ke arah kulkas. Berjaga-jaga takut suamiku akan merasa lapar saat malam hari seperti biasanya.Ah, di saat seperti ini aku masih memikirkan dia?Kukira hanya ada di televisi atau novel-novel online yang sering aku baca. Ternyata kehidupanku kini tak jauh berbeda dengan apa yang dikisahkan orang lain dalam cerita. Apakah aku terlalu terbawa suasana dan mendalami karakter? Tidak! Ini nyata! Aku bergegas menuju kamar. Berharap suamiku akan kembali ke kamar kami seperti malam-malam sebelumnya. Kubuka pintu kamarku perlahan. Takut ia terganggu dengan suara p
“Te-terima kasih,” ucap Mas Raka.Aku menghampiri suamiku yang kini tengah terduduk di ruang tengah membawakan dua cangkir teh yang masih mengepulkan asap panasnya. Lalu aku letakkan dua cangkir teh itu di atas meja kecil di hadapannya.Bisa kulihat raut wajahnya yang gugup. Berulang kali ia membetulkan posisi duduknya yang sepertinya tak nyaman. Padahal biasanya kami menghabiskan waktu berdua bersenda gurau di sana sebelumnya.“Katakan apa yang akan kamu katakan,” ucapku berusaha setenang mungkin.“Semua itu gak seperti yang kamu pikirkan, Zhy.”“Lalu?”“Semalam aku memang berada di sana. Tapi itu tak seperti yang kamu pikirkan.” Ucap suamiku.Aku menyesap tehku yang mulai menghangat. Aku membiarkan dia panik. Aku hanya akan mendengarkan penjelasan darinya. Tak berniat untuk mengonfrontasinya terlebih dahulu. Aku masih belum mendapatkan bukti yang kuat untuk menekannya. “Kamu yang membuat aku sangat marah semalam. Bukankah kamu yang seharusnya meminta maaf padaku terlebih dahulu?”H
"Sudah selesai?" tanya Mas Raka saat aku baru kembali dari toilet.Pria itu menyambutku, memintaku duduk di sampingnya. Sementara di sisi lain, Shakila duduk berhadapan dengan kami..Wanita yang memiliki tubuh proporsional itu benar-benar sangat memukau. Gestur tubuh dan tutur kata nya membuat orang lain kagum dengan wanita yang bernama Shakila itu.“Emm, ngomong-ngomong, kamu tinggal di mana, Ki?”Aku melihat wanita itu tersentak. Pertanyaan ku seolah membuyarkan lamunannya. Ada yang salah kah?Aku berusaha berpikiran positif. Sedari tadi aku melihat wanita itu memang tampak fokus dengan makanannya. Mungkin saja itu yang menyebabkan ia terkejut.“E-eh, gimana Zi?” ulang wanita itu.“Kamu tinggal di mana?” aku mengulang pertanyaan ku lagi.“Aku tinggal di Jalan Cempaka. Gak terlalu jauh dari sini. Dan memang aku biasa makan di sini. Walau gak sering, sih. Kalau sering, ya rugi aku,” jawabnya diiringi tawa canggung.Dilihat dari wajahnya, perempuan itu tampak polos. Dia lebih suka diam
Pria di hadapanku terdiam. Sepatah kata pun tak terucap dari pria yang masih berstatus suamiku itu. Pria yang cukup tampan dan populer yang dulu pernah menggetarkan hatiku. Kini? Tidak lagi. "Kenapa diam, Mas?! Bicaralah! Apa ada yang salah dengan ucapanku?"Hatiku tak lagi merasakan getaran aneh seperti dulu, seperti saat kami pertama kali bertemu. Hatiku tanpa ku sadari membunuh segala rasa yang dulu pernah ia rasakan. Tak ada lagi perasaan cinta kepada pria ini, bahkan kepada pria lain. Mati rasa! Namun, karena status ku yang masih seorang istri dari Raka Prayoga, sebisa mungkin aku masih melayani apa pun keperluannya. Ingin rasanya aku menolak. Akan tetapi aku masih takut akan bayang-bayang dosa yang tiada terkira. “Kamu gak perlu menjelaskan apa pun lagi, Mas. Toh, aku gak lagi melarang kamu berhubungan dengan dia atau wanita lain? Bukankah itu cukup untukmu? Atau masih ada yang kurang?” Aku memendam semua emosiku sedalam-dalamnya. Tak ingin pria itu betapa perihnya sakit
Setelah cukup stalking wanita yang “dekat” dengan suamiku itu, aku memutuskan untuk menghibur diriku.Aku memilih mengalihkan perhatianku dengan membaca komik atau manhwa di salah satu aplikasi online yang aku instal di ponsel pintarku. Setidaknya pikiranku tak melulu berisi rencana pembalasan mereka yang mengkhianati ku.Kalau boleh jujur, sebenarnya aku sangat malas memperpanjang urusan itu. Namun, aku perlu kejelasan status, apakah putus atau terus.Tak mungkin ‘kan kalau hubungan kami mengambang dan tak memiliki ujung?Kehidupan rumah tanggaku tak seindah kelihatannya. Orang lain mungkin berpikir kalau biduk rumah tangga kami baik-baik saja. Tanpa terdengar percekcokan di dalamnya. Namun, siapa sangka, aku yang juga lengah, tak mengira kalau sebenarnya pernikahan kami tak wajar.Mas Raka memang seorang pria pendiam, irit bicara, dan lebih suka membuktikan kesungguhannya dengan tindakannya.Namun, apa kini seperti itu juga?***"Yang, kaos kaki aku di mana?" tanya Mas Raka pagi itu
Aku melirik ke arah Mas Raka yang buru-buru meraih ponselnya. Ia tampak berusaha menyembunyikan pesan itu dariku.“Aku ke kamar dulu,” ucapnya memberitahuku.Ia beranjak meninggalkan meja makan tanpa menunggu jawabanku.Aku menahan tremor tanganku yang mendadak hadir tanpa sebab. Lutut ku juga merasa lemas. Sekuat tenaga aku menumpu badan dengan tanganku, meraih tempat duduk yang berada tak jauh dari jangkauan ku.Tanpa terasa, bulir bening jatuh melawati pipi. Tubuhku bergetar, tak sanggup menahan emosi yang saat ini membuncah tak terkendali. Ingin ku marah atas semua kebohongan yang dilakukan oleh suamiku itu. Tapi aku tak berdaya."Mama kenapa nangis?" Suara Delisa menyadarkanku yang larut dalam perasaanku sendiri.Gadis kecil itu baru saja turun dari kamarnya. mungkin dia sudah merasa lapar karena aku tak kunjung membawakannya makanan."Mama tidak apa-apa, Sayang. Delisha sudah lapar ya? Sini duduk di sini, Mama suapin," ucapku mengajak gadis kecil itu majan malam."Mama jangan se
"Mama, Ayo main," ucap Delisha membuyarkan lamunanku.Aku tersenyum ditengah rasa kalut yang kini menyelimuti hatiku."Delisha mau ikut Mama, nggak?" tawarku pada Delisha.Gadis kecil itu kemudian menganggukkan kepalanya. "Kita mau ke mana, Ma?""Kita jalan-jalan yuk!" ajakku.Gadis mungil itu bersorak riang mendengar ajakanku. Aku memang jarang sekali mengajak Delisha pergi jalan-jalan akhir-akhir ini. Tak heran kalau dia begitu senang dan antusias saat aku ajak pergi.Aku meraih tasku, membawa serta Delisha. Aku memutuskan untuk menyusul suamiku ke kantornya. Entah mengapa instingku mengatakan ada sesuatu yang tak beres.Usai mengunci pintu rumah, taksi online yang aku pesan tiba. Gegas aku masuk ke dalam kendaraan beroda empat itu dan duduk di dalamnya dengan Delisha yang berada dalam pangkuan."Mau diantar ke mana, Bu?" tanya sang sopir dari balik kemudi.“Ke PT Samudera, Pak,” jawabku.Sopir itu mengangguk singkat. Dengan kecepatan sedang mobil melaju membawa kami ke perusahaan