Bunyi gerbang digeser samar terdengar, Selena yang sengaja menunggu Roy di kamar memeriksa jam di ponsel. Pukul 23.30, matanya tidak kunjung terpejam. Tangannya mencoba merapikan uraian rambut di bantal dengan tetap berbaring.
Roy masuk ke kamar, langsung mendekat ke sisi ranjang.
"Kamu sudah tidur?" punggung tangan kanannya mengelus pipi Selena.
"Belum, aku gak bisa tidur" jawab Selena tanpa membuka mata.
"Katanya gak bisa tidur, tapi diajak ngobrol malah tutup mata" protes Roy makin mendekat ke Selena.
"Roy, kamu makan malam dengan siapa? Kenapa ada pesan di ponselmu sebut-sebut sayang?" Selena jujur, ia sedang rapuh. Biar saja Roy menganggapnya kekanakan, manja, kalau itu bisa memangkas jarak tak kasat mata diantara mereka.
"Ponsel? Ah ... iya, ponselku ketinggalan, ya?" Roy memutar badan mencari ponselnya.
Tatapan sendu Selena tidak berhenti, setiap gerakan Roy seolah penting untuknya. Benarkah ia siap dengan setiap kata yang akan keluar dari mulut Roy?
"Ini nomor baru, ya? Siapa, ya?" Menempelkan tubuhnya ke headboard ranjang, Roy yang masih berpakaian lengkap menaik turunkan jempolnya di layar ponsel.
"Beneran kamu gak kenal siapa dia, Roy? Dia juga telpon 5 kali" tanya Selena tak percaya.
"Nomornya aja gak tersimpan di kontakku, ini nomor baru." Sekarang gantian Roy yang menatap sendu, "Salah sambung mungkin, sayang"
"Beneran?" desaknya sambil mensejajarkan tubuh dengan posisi Roy. Dibiarkannya selimut menutup tubuhnya dari pinggang ke kaki, berharap lingerie dan payudaranya mendapat perhatian Roy.
Roy mendekat ke wajah Selena. Keheningan tercipta, keduanya bersitatap.
Tuhan, ku mohon malam ini!
Selena memejamkan mata saat Roy mengusap anak rambut di dahinya. Detik berikutnya bibir mereka bertaut. Keduanya saling mengecap dan memberi lidah.
Tangan Selena mengusap rahang kokoh yang sejak dulu jarang ditumbuhi bulu. Ia menginginkan sentuhan Roy lebih banyak lagi. Rambut dan tengkuk Roy menjadi tempat jari favorit Selena, dibuatnya usapan naik turun disana.
Nafas Roy yang semakin memburu terasa di kulit wajahnya. Menimbulkan sensasi hangat di seluruh tubuhnya. Mendadak ia merasa gerah. Diarahkannya tangan Roy ke tali lingerie di pundaknya.
Menunggu Roy mengusap punggung dan menyentuhnya disana, di dadanya. Namun harapannya sirna saat Roy berhenti dan mendorong tubuhnya menjauh.
"Kenapa, Roy?" Selena bertanya dengan wajah bingung. Letupan gairah masih terasa, menggantung.
"Eehmm ... kita obrolin tentang Sabtu, yuk! Kita main kemana, ya, enaknya!" Roy mengusap bibir Selena perlahan. Tubuhnya membuat jarak tapi tidak dengan kepalanya.
"Oh, ya? Harus malam ini, sayang? Besok aja, kita lanjut yang tadi ya, tanggung" rengek Selena manja, menjepit bisep Roy di dadanya.
"Aku belum bersih-bersih, lagian sudah larut malam, kita harus istirahat" bujuk Roy sambil berusaha melepas lengannya.
"Gak papa masih kotor, abis itu kita mandi bareng!" Selena menempel lagi ke bisep Roy, melingkarkan kedua lengannya.
"Hei ... hei ... hampir pukul satu pagi. Kamu harus bangun pagi, kita berdua butuh tidur cukup supaya fit ngantor" bisik Roy ke pucuk kepala Selena.
Low tone dan ciuman di kepala membuat Selena girang, sudah lama tidak ndusel-ndusel dengan suaminya di atas ranjang. Baginya tak masalah jika harus berlanjut dengan cumbuan hingga subuh, tapi pertimbangan Roy benar.
'Aku butuh tidur yang cukup, sayang. Kamu pun sama 'kan? Di kantor harus fit supaya maksimal kerja'
Kalimat itu yang sering ia sampaikan setiap kali Roy mengajaknya memadu kasih tengah malam menjelang dini hari. Saat itu ia tengah hamil tua qhingga Cheryl lahir.
Ia bersyukur Roy tidak pernah keberatan. Setidaknya tidak ada umpatan atau amarah yang ditunjukkannya. Biasanya akan berakhir dengan Roy pamit ke ruang TV, perlu pengalihan katanya.
"Ya, sudah. Bersih-bersih, gih! Nanti tidurnya peluk, ya!" Selena menggigit pelan bisep Roy. Gemas!
Roy menjerit kecil dan tertawa ringan setelah berhasil melepaskan dirinya dari Selena. Berlalu ke kamar mandi dan bersih-bersih.
Selena menunggu dengan sabar. Senyum tak berhenti menghiasi wajahnya, membayangkan wajah polos Roy setiap kali menginginkan Selena di ranjang.
Malam ini tak ada wajah polos itu, bahkan Roy tampak sangat mengontrol dirinya. Pikiran Selena terusik. Matanya tertuju ke layar ponsel Roy yang berkedip. Tangannya bergerak ke arah meja di sebelah ranjang. Suara pintu kamar mandi dibuka menghentikan gerakan Selena.
"Ada pesan di ponselmu" ujar Selena mengayunkan jari ke arah ponsel.
Roy mendekat dan mengambil ponsel, duduk di sisi ranjang membelakangi Selena. Hanya saat beberapa detik kemudian membalikkan badannya, menyusun bantal dan meletakkan badannya.
"Mau dipeluk?" Kedua lengan Roy terbuka. Selena segera masuk ke dalam pelukan yang dinantinya. Kepalanya menempel di dada kiri Roy. Tarikan nafas Roy yang teratur menenangkan Selena.
"Roy ...." panggil Selena pelan.
"Hmmmm ...."
"Gimana meeting tadi pagi, sayang? Kenapa sampai disambung dengan makan malam?" Selena rindu berbincang di ranjang menjelang tidur, mendengar dengung suara bariton Roy di dadanya.
"Lancar, sayang ... cuma karena ini klien besar, jadi harus terus dipantau" jelas Roy dengan mata yang sudah terpejam.
***"Kalau aku jadi kamu, aku angkat telponnya!" Delia mendesak kesal, "kamu kenapa mesti sungkan, Lena?""Ya ... sejak dulu kita memang menjaga privasi masing-masing, khusunya ponsel, Del" ujar Selena lemah.
"Oh, pantes! Karena itulah Roy gak balik jemput tuh henpon!" Delia menepuk meja pelan.
Meski semalam berakhir dengan cukup baik, tapi suasana kaku tetap terulang di pagi hari. Selena mengingat Delia lagi, ingin menunjukkan nomor ponsel pengirim pesan.
"Tolong simpan di ponsel kamu, Del. Supaya ada back up" pinta Selena saat mengirimkan foto layar ponsel Roy dengan tampilan pesan dan panggilan dari nomor tak dikenal itu. Pengambilan foto layar itu dilakukannya sebelum Roy kembali.
"Okay, aman! Ada lagi yang perlu aku bantu?" Kali ini Delia terlihat lebih serius.
"Seperti apa misalnya?"
"Mencari tahu siapa pemilik nomor itu, atau coba hubungi customer service kantor Roy terus cari tahu itu nomor siapa" usul Delia bak detektif.
"Untuk apa, Del? Kamu sendiri yang bilang harus jaga harga diri" elak Selena cepat.
"Bener ... tapi kan ada bukti di depan mata, ya kejarlah!" Delia yakin caranya akan membuahkan hasil.
Selena menggelengkan kepalanya. Mengikuti usul Delia akan menyita waktu dan tentu saja uang. Ia sadar sangat terbatas untuk kedua hal itu. Cheryl dan pekerjaannya di kantor akan menjadi korban.
"Aku masih percaya Roy jodohku sampai akhir hayat, Del. Dan, jika memang tidak berjodoh selama itu, maka biar Tuhan yang memberi tanda demi tanda dengan jelas hingga aku dan Roy tidak perlu ragu untuk berpisah" tuturnya dengan suara parau.
Pandangan matanya mulai mengabur, ia tak kuasa menahan getir di hati. Setelah hampir empat tahun pernikahannya, hari ini dia berpikir tentang perpisahan. Dia menyesal.
Delia menarik jemari Selena, mencoba memberi kekuatan melalui genggaman.
"Kamu yang kuat, ya! Bilang ke hatimu, aku bisa!" Delia mengeratkan tautan jari mereka.
"Terimakasih banyak, Delia" ucapan tulus Selena untuk Delia yang selalu mendukung pilihannya.
"Oiya, reunian teman SMP Sabtu nanti ikutan 'kan?" Delia mengingatkan.
"Duh, Sabtu kapan? Reunian?"
Karena kesibukan kantor dan urusan rumah tangga sangar menyita perhatiannya, Selena jarang membaca pesan di grup WA. Sampai notifikasinya pun tidak diaktifkan supaya tidak terganggu dengan banyaknya obrolan di grup.
Dilema perempuan pekerja dengan anak satu. Padahal baru anak satu, temannya yang juga pekerja dengan anak lebih dari satu bisa aktif di grup.
Agaknya aku perlu berguru ke Delia supaya gak ketinggalan informasi dan aktif di grup, batin Selena.
"Ya, ampun! Kamu sibuk atau sengaja gak mau baca isi grup?" goda Delia dengan sedikit gaya marah.
"Maafkan diriku." Kepala Selena ditundukkan dalam-dalam.
Keduanya merasa geli dengan tingkah masingmasing.
"Sabtu besok, jam 3 sore reunian teman SMP. Tempatnya belum fix tapi katanya bakal sewa restoran aja sekalian untuk makan malam"
"Jadi ada pengumpulan dana? Berapaan?"
"Gratis! Kita ditraktir sama mantan kamu!"
"Mantan? Siapa?"
"Duh ... jangan pura-pura lupa gitu, dong!"
Selena menautkan kedua alisnya, memandang Delia lebih lama. Mantan SMP? Tahun berapa itu? Wajar kalau lupa! Ha-ha-ha
"Gini emang kalau cinta monyet, ya! Gak ada kesannya sampai kamu bisa lupa si Jefry" lanjut Delia girang. Apaan ... yang pacaran siapa yang ingat nama mantan siapa.
Mulut Selena membulat, pun dengan matanya. Akhirnya dia ingat setelah nama Jefry disebut.
"Dia yang bayarin makan malam?"
"Janjinya begitu. Dia punya rekomendasi restoran enak di kota ini, katanya" terang Delia lagi.
"Oh, baguslah, berbagai rejeki. Dermawan itu namanya" balas Selena acuh.
"Dengar-dengar dia tajir melintir daaaaannnn ...." Delia sengaja menggantung kalimatnya.
Selena membereskan tas bekalnya, tidak peduli dengan godaan Delia.
"Kamu gak pengen tau, Lena?"
"Apaan emangnya?"
"Jefry belum menikah dan masih cari informasi tentang kamu ke kawan-kawan lain"
"Ini pesanan salad kalian, ya!" Meletakkan bungkusan di meja bundar tempat briefing pagi. "Thanks, Bu Selena" sahut rekan kerjanya hanya bergantian. Saat berpamitan makan siang diluar lagi, rekan kerjanya meminta tolong dibelikan salad buah. "Emangnya kalian tahu saya mau kesana?" goda Selena dengan memasang wajah jahil. "Terus ibu mau makan dimana memangnya? Bawa bekal begituan apa diijinin sama warung bakso?" Rani staff-nya tak kalah jahil menggoda Selena yang sudah bersiap dengan tas bekal di tangannya. Sontak seisi ruangan tertawa mengabaikan Harris yang masih bekerja di ruangannya. "Iya, deh! Ketahuan banget si gue bukan anak tongkrongan!" Selena melangkah menuju pintu keluar sambil pura-pura merajuk. "Yeee ... jadi kita bisa nitip beli salad 'kan, Bu?" tanya rekannya yang lain memastikan. "Bisa, dong! Nanti japri aja!" Dan disinilah ia sekarang, menerim
Selena mencoba menebak apa yang hendak dibicarakan Harris sampai-sampai menghubunginya diluar jam kerja. Ia yakin sudah membereskan pekerjannya. "Halo, Pak ... selamat malam" "Selena, apa meeting dengan restoran Traders jadi kamu jadwalkan?" Terdengar bunyi pengendali jarak jauh di belakang Harris. Berikutnya suara langkah kaki yang teratur. Sepertinya Harris baru keluar dari mobilnya. "Oh ... sudah, pak. Saya sudah email ke bapak juga ke tim sales. Owner-nya menyediakan waktu hari Senin jam 11.00, pak" jelas Selena. Cheryl berusaha meraih ponsel yang menempel di telinga Selena diiringi gumaman kecil. Tak ayal Selena menempelkan jari telunjuk ke hidung, meminta Cheryl tenang. ""Halo, pak ... maaf ..." Selena hendak menjelaskan kegaduhan kecil yang terjadi. "It's OK! Nanti saya cek email, deh! Thanks!" Harris memutuskan sambungan telepon. Selena memandangi layar pipih itu
Langkahku lebar-lebar menuju mobil, tak ku hiraukan Selena yang mengikuti dengan mata berembun. Melissa pasti sudah menunggu lama di salon. Aku memaksa mengantarnya sepulang kantor tadi dan berjanji menjemputnya lagi. Ku pikir acara reuni teman SMP Selena tidak akan lama. Ah, harusnya aku langsung pulang saat jamuan makan. Ku ambil selembar uang pecahan lima ribu, menempelkannya ke telapak tangan satpam yang sudah membantu mengeluarkan mobil. Ini Sabtu, restoran ramai pengunjung. Semakin malam semakin ramai. Memacu mobil dengan kecepatan sedang karena jalanan juga sudah mulai padat. Otakku memperkirakan lama perjalanan yang ku tempuh untuk sampai ke salon. "Arghh ... satu jam lagi!" Tanganku spontan memukul setir. Aku mengerang tak sabar. Khawatir Melissa tidak mau menunggu lebih lama seperti yang sudah-sudah. Ku ambil ponsel dan menekan nomor Melissa yang sengaja tidak ku simpan di buku kontak. "Mel ... sabar, ya! Kamu masih di salon 'kan?"
Kalimat itu meluncur dari mulut Selena dengan nada membujuk, tapi entah kenapa egoku seperti disentil. Yang ada di pikiranku saat itu hanya ingin menghabiskan malam bersama. Toh, tidak terjadi setiap hari!Kalau boleh jujur, ingin sekali aku memaksanya, aku berhak sebagai suami. Namun aku pun menyadari, Selena pun harus melakukannya dengan rela, tulus, dan penuh cinta. Kami berdua sama-sama membutuhkannya. Bukankah cinta itu memberi? Bukankah cinta itu membuat pasanganmu bahagia dan merasa dicintai dengan seks yang sehat?Aku sangat mencintai Selena, takut kehilangannya. Cheryl, buah hatiku, juga belahan jiwaku. Dua insan yang sangat berarti dalam hidupku, bahkan dalam perjalanan karirku. Aku berjanji dalam hati tidak akan pernah menyia-nyiakan mereka.Aku memilih bersabar menunggu Selena siap. Demi yang ku cinta, aku memberi waktu sebanyak yang ia butuhkan. Aku tahu cinta itu masih untukku, raga itu masih milikku. Istriku hanya perlu beristirahat panjang setela
Roy akhirnya tiba di apartemen Melissa. Dibukanya pintu dengan kode yang sudah dihapalnya di luar kepala."Mel ... aku sampai!" teriak Roy sambil mencari-cari sosok kekasihnya itu."Disini, Roy!" Suara Melissa terdengar dari arah dapur.Bergerak cepat ke dapur, hidung Roy menangkap aroma kopi dan bolu."Aromanya sungguh menggoda!" Roy mengambil sepotong bolu dari piring tempat Melissa menatanya."Oiya? Kok main comot aja? Kamu bukannya sudah kenyang?" tegur Melissa sambil membawa piring dan kopi ke sofa di depan TV.Roy mengikuti dengan melingkarkan kedua lengannya di pinggang dari samping tubuh Melissa."Aku selalu ingin mencicipi buatan tangan kamu"Kecupan kecil mendarat di pipi Melissa. Keduanya duduk di sofa berdekatan. Lengan Roy disampirkan di sandaran sofa, jarinya mengusap lengan Melissa yang terbuka."Jangan asal makan, buat jeda antara jam makan dan ngemil, nanti lambungnya terlalu lelah, nggiling mulu" ujar M
Tidur Selena terusik karena bunyi pagar dibuka. Terlihat angka 21.10 di jam digital di kamar Cheryl. Merapatkan tubuhnya ke Cheryl yang sudah terlelap."Biar mama di sini dulu, nak" ucapnya seolah Cherly menyuruhnya mendatangi Roy.Hatinya sakit tak terbilang, malu bukan kepalang. Hari ini bak petaka besar untuknya. Roy tega meninggalkannya dan Cheryl di restoran, tidak sedikitpun peduli saat ia tertatih menyusul ke parkiran, bahkan saat air mata mengalir deras di pipinya.Entah kenapa ia tidak bisa menguasai diri. Tak kuasa menahan emosi saat mengetahui panggilan dari nomor yang sama. Nomor itu bisa membuat Roy pergi begitu saja. Ia menyesal tidak bisa lebih tenang. Seandainya Roy tidak ia kejar, tak akan ada wajah kacau dengan air mata, tidak juga terdengar lengkingan tangis dari mulut Cheryl karena ketakutan ditinggal mamanya.Ia malah melanjutkan drama menangis di toilet, semakin konyol dengan membiarkan Cheryl turut serta. Ahh ... ibu macam apa aku i
Selena terjaga karena gerakan Cheryl di pelukannya. Gerakan kepala ke kiri dan ke kanan, seperti tak nyaman dengan posisinya. Ia dengan perlahan memindahkan Cheryl ke kasur dan ikut merebahkan diri.Ingin rasanya ia berlama-lama di tempat tidur, membiarkan hati dan pikiran disiksa luka, hingga air mata mengering. Namun itu tak adil untuk Cheryl yang memerlukan makanan sehat dan cinta dari orangtuanya.Seringkali anak menjadi korban karena pertengkaran orangtuanya. Tidak sedikit yang secara sadar mempertontonkan adu mulut, adu gengsi di depan anak. Mereka tidak menyadari hati sang anak terluka.Bahkan ada pula terbaru mengungkapkan bahwa pertengkaran orang tua yang disaksikan oleh anak bisa menyebabkan peningkatan produksi hormonstres anak. Balita pun bisa terkena efeknya.Bila terus menerus menyaksikan orangtuanya bertengkar, maka sangat mungkin muncul dampak negatif dialami anak. Rasa trauma, ingatan buruk, hingga gangguan kecemasan dapat dialami o
Deg!"Mungkin dia kecarian semalam" jawab Selena sedikit gugup."Nih, angkat! Pakai loud speaker" suruh Roy masih berdiri di tempatnya.Selena berpikir keras, ia harus memilih kata yang tepat agar Delia tidak bicara tentang pesannya."Selena! Lama amat diangkatnya! Kamu kemana aja, sih?" omel Delia panjang."Del, aku sibuk di dapur, ini lagi di kamar Cheryl dengan Roy, mau sarapan bareng" sahut Selena berusaha keras untuk tidak terlihat gugup."Oh ... ya sudah!", Delia terdiam sebentar, "nanti ku hubungi lagi"Delia memutuskan panggilan. Selena lega.Roy seperti tidak puas dengan percakapan pendek itu. Matanya masih tertuju ke wajah Selena. Seolah memindai setiap sudut wajah istrinya itu."Cheryl sudah lapar? Makan, yuk!" ajak Selena mengurai jengah akibat pandangan menyelidik Roy. Tangannya hendak meraih Cheryl."Biar denganku saja" ujar Roy membalikkan badan, berjalan menuju pintu.Cheryl terlihat antusia