Bunyi gerbang digeser samar terdengar, Selena yang sengaja menunggu Roy di kamar memeriksa jam di ponsel. Pukul 23.30, matanya tidak kunjung terpejam. Tangannya mencoba merapikan uraian rambut di bantal dengan tetap berbaring.
Roy masuk ke kamar, langsung mendekat ke sisi ranjang.
"Kamu sudah tidur?" punggung tangan kanannya mengelus pipi Selena.
"Belum, aku gak bisa tidur" jawab Selena tanpa membuka mata.
"Katanya gak bisa tidur, tapi diajak ngobrol malah tutup mata" protes Roy makin mendekat ke Selena.
"Roy, kamu makan malam dengan siapa? Kenapa ada pesan di ponselmu sebut-sebut sayang?" Selena jujur, ia sedang rapuh. Biar saja Roy menganggapnya kekanakan, manja, kalau itu bisa memangkas jarak tak kasat mata diantara mereka.
"Ponsel? Ah ... iya, ponselku ketinggalan, ya?" Roy memutar badan mencari ponselnya.
Tatapan sendu Selena tidak berhenti, setiap gerakan Roy seolah penting untuknya. Benarkah ia siap dengan setiap kata yang akan keluar dari mulut Roy?
"Ini nomor baru, ya? Siapa, ya?" Menempelkan tubuhnya ke headboard ranjang, Roy yang masih berpakaian lengkap menaik turunkan jempolnya di layar ponsel.
"Beneran kamu gak kenal siapa dia, Roy? Dia juga telpon 5 kali" tanya Selena tak percaya.
"Nomornya aja gak tersimpan di kontakku, ini nomor baru." Sekarang gantian Roy yang menatap sendu, "Salah sambung mungkin, sayang"
"Beneran?" desaknya sambil mensejajarkan tubuh dengan posisi Roy. Dibiarkannya selimut menutup tubuhnya dari pinggang ke kaki, berharap lingerie dan payudaranya mendapat perhatian Roy.
Roy mendekat ke wajah Selena. Keheningan tercipta, keduanya bersitatap.
Tuhan, ku mohon malam ini!
Selena memejamkan mata saat Roy mengusap anak rambut di dahinya. Detik berikutnya bibir mereka bertaut. Keduanya saling mengecap dan memberi lidah.
Tangan Selena mengusap rahang kokoh yang sejak dulu jarang ditumbuhi bulu. Ia menginginkan sentuhan Roy lebih banyak lagi. Rambut dan tengkuk Roy menjadi tempat jari favorit Selena, dibuatnya usapan naik turun disana.
Nafas Roy yang semakin memburu terasa di kulit wajahnya. Menimbulkan sensasi hangat di seluruh tubuhnya. Mendadak ia merasa gerah. Diarahkannya tangan Roy ke tali lingerie di pundaknya.
Menunggu Roy mengusap punggung dan menyentuhnya disana, di dadanya. Namun harapannya sirna saat Roy berhenti dan mendorong tubuhnya menjauh.
"Kenapa, Roy?" Selena bertanya dengan wajah bingung. Letupan gairah masih terasa, menggantung.
"Eehmm ... kita obrolin tentang Sabtu, yuk! Kita main kemana, ya, enaknya!" Roy mengusap bibir Selena perlahan. Tubuhnya membuat jarak tapi tidak dengan kepalanya.
"Oh, ya? Harus malam ini, sayang? Besok aja, kita lanjut yang tadi ya, tanggung" rengek Selena manja, menjepit bisep Roy di dadanya.
"Aku belum bersih-bersih, lagian sudah larut malam, kita harus istirahat" bujuk Roy sambil berusaha melepas lengannya.
"Gak papa masih kotor, abis itu kita mandi bareng!" Selena menempel lagi ke bisep Roy, melingkarkan kedua lengannya.
"Hei ... hei ... hampir pukul satu pagi. Kamu harus bangun pagi, kita berdua butuh tidur cukup supaya fit ngantor" bisik Roy ke pucuk kepala Selena.
Low tone dan ciuman di kepala membuat Selena girang, sudah lama tidak ndusel-ndusel dengan suaminya di atas ranjang. Baginya tak masalah jika harus berlanjut dengan cumbuan hingga subuh, tapi pertimbangan Roy benar.
'Aku butuh tidur yang cukup, sayang. Kamu pun sama 'kan? Di kantor harus fit supaya maksimal kerja'
Kalimat itu yang sering ia sampaikan setiap kali Roy mengajaknya memadu kasih tengah malam menjelang dini hari. Saat itu ia tengah hamil tua qhingga Cheryl lahir.
Ia bersyukur Roy tidak pernah keberatan. Setidaknya tidak ada umpatan atau amarah yang ditunjukkannya. Biasanya akan berakhir dengan Roy pamit ke ruang TV, perlu pengalihan katanya.
"Ya, sudah. Bersih-bersih, gih! Nanti tidurnya peluk, ya!" Selena menggigit pelan bisep Roy. Gemas!
Roy menjerit kecil dan tertawa ringan setelah berhasil melepaskan dirinya dari Selena. Berlalu ke kamar mandi dan bersih-bersih.
Selena menunggu dengan sabar. Senyum tak berhenti menghiasi wajahnya, membayangkan wajah polos Roy setiap kali menginginkan Selena di ranjang.
Malam ini tak ada wajah polos itu, bahkan Roy tampak sangat mengontrol dirinya. Pikiran Selena terusik. Matanya tertuju ke layar ponsel Roy yang berkedip. Tangannya bergerak ke arah meja di sebelah ranjang. Suara pintu kamar mandi dibuka menghentikan gerakan Selena.
"Ada pesan di ponselmu" ujar Selena mengayunkan jari ke arah ponsel.
Roy mendekat dan mengambil ponsel, duduk di sisi ranjang membelakangi Selena. Hanya saat beberapa detik kemudian membalikkan badannya, menyusun bantal dan meletakkan badannya.
"Mau dipeluk?" Kedua lengan Roy terbuka. Selena segera masuk ke dalam pelukan yang dinantinya. Kepalanya menempel di dada kiri Roy. Tarikan nafas Roy yang teratur menenangkan Selena.
"Roy ...." panggil Selena pelan.
"Hmmmm ...."
"Gimana meeting tadi pagi, sayang? Kenapa sampai disambung dengan makan malam?" Selena rindu berbincang di ranjang menjelang tidur, mendengar dengung suara bariton Roy di dadanya.
"Lancar, sayang ... cuma karena ini klien besar, jadi harus terus dipantau" jelas Roy dengan mata yang sudah terpejam.
***"Kalau aku jadi kamu, aku angkat telponnya!" Delia mendesak kesal, "kamu kenapa mesti sungkan, Lena?""Ya ... sejak dulu kita memang menjaga privasi masing-masing, khusunya ponsel, Del" ujar Selena lemah.
"Oh, pantes! Karena itulah Roy gak balik jemput tuh henpon!" Delia menepuk meja pelan.
Meski semalam berakhir dengan cukup baik, tapi suasana kaku tetap terulang di pagi hari. Selena mengingat Delia lagi, ingin menunjukkan nomor ponsel pengirim pesan.
"Tolong simpan di ponsel kamu, Del. Supaya ada back up" pinta Selena saat mengirimkan foto layar ponsel Roy dengan tampilan pesan dan panggilan dari nomor tak dikenal itu. Pengambilan foto layar itu dilakukannya sebelum Roy kembali.
"Okay, aman! Ada lagi yang perlu aku bantu?" Kali ini Delia terlihat lebih serius.
"Seperti apa misalnya?"
"Mencari tahu siapa pemilik nomor itu, atau coba hubungi customer service kantor Roy terus cari tahu itu nomor siapa" usul Delia bak detektif.
"Untuk apa, Del? Kamu sendiri yang bilang harus jaga harga diri" elak Selena cepat.
"Bener ... tapi kan ada bukti di depan mata, ya kejarlah!" Delia yakin caranya akan membuahkan hasil.
Selena menggelengkan kepalanya. Mengikuti usul Delia akan menyita waktu dan tentu saja uang. Ia sadar sangat terbatas untuk kedua hal itu. Cheryl dan pekerjaannya di kantor akan menjadi korban.
"Aku masih percaya Roy jodohku sampai akhir hayat, Del. Dan, jika memang tidak berjodoh selama itu, maka biar Tuhan yang memberi tanda demi tanda dengan jelas hingga aku dan Roy tidak perlu ragu untuk berpisah" tuturnya dengan suara parau.
Pandangan matanya mulai mengabur, ia tak kuasa menahan getir di hati. Setelah hampir empat tahun pernikahannya, hari ini dia berpikir tentang perpisahan. Dia menyesal.
Delia menarik jemari Selena, mencoba memberi kekuatan melalui genggaman.
"Kamu yang kuat, ya! Bilang ke hatimu, aku bisa!" Delia mengeratkan tautan jari mereka.
"Terimakasih banyak, Delia" ucapan tulus Selena untuk Delia yang selalu mendukung pilihannya.
"Oiya, reunian teman SMP Sabtu nanti ikutan 'kan?" Delia mengingatkan.
"Duh, Sabtu kapan? Reunian?"
Karena kesibukan kantor dan urusan rumah tangga sangar menyita perhatiannya, Selena jarang membaca pesan di grup WA. Sampai notifikasinya pun tidak diaktifkan supaya tidak terganggu dengan banyaknya obrolan di grup.
Dilema perempuan pekerja dengan anak satu. Padahal baru anak satu, temannya yang juga pekerja dengan anak lebih dari satu bisa aktif di grup.
Agaknya aku perlu berguru ke Delia supaya gak ketinggalan informasi dan aktif di grup, batin Selena.
"Ya, ampun! Kamu sibuk atau sengaja gak mau baca isi grup?" goda Delia dengan sedikit gaya marah.
"Maafkan diriku." Kepala Selena ditundukkan dalam-dalam.
Keduanya merasa geli dengan tingkah masingmasing.
"Sabtu besok, jam 3 sore reunian teman SMP. Tempatnya belum fix tapi katanya bakal sewa restoran aja sekalian untuk makan malam"
"Jadi ada pengumpulan dana? Berapaan?"
"Gratis! Kita ditraktir sama mantan kamu!"
"Mantan? Siapa?"
"Duh ... jangan pura-pura lupa gitu, dong!"
Selena menautkan kedua alisnya, memandang Delia lebih lama. Mantan SMP? Tahun berapa itu? Wajar kalau lupa! Ha-ha-ha
"Gini emang kalau cinta monyet, ya! Gak ada kesannya sampai kamu bisa lupa si Jefry" lanjut Delia girang. Apaan ... yang pacaran siapa yang ingat nama mantan siapa.
Mulut Selena membulat, pun dengan matanya. Akhirnya dia ingat setelah nama Jefry disebut.
"Dia yang bayarin makan malam?"
"Janjinya begitu. Dia punya rekomendasi restoran enak di kota ini, katanya" terang Delia lagi.
"Oh, baguslah, berbagai rejeki. Dermawan itu namanya" balas Selena acuh.
"Dengar-dengar dia tajir melintir daaaaannnn ...." Delia sengaja menggantung kalimatnya.
Selena membereskan tas bekalnya, tidak peduli dengan godaan Delia.
"Kamu gak pengen tau, Lena?"
"Apaan emangnya?"
"Jefry belum menikah dan masih cari informasi tentang kamu ke kawan-kawan lain"
"Ini pesanan salad kalian, ya!" Meletakkan bungkusan di meja bundar tempat briefing pagi. "Thanks, Bu Selena" sahut rekan kerjanya hanya bergantian. Saat berpamitan makan siang diluar lagi, rekan kerjanya meminta tolong dibelikan salad buah. "Emangnya kalian tahu saya mau kesana?" goda Selena dengan memasang wajah jahil. "Terus ibu mau makan dimana memangnya? Bawa bekal begituan apa diijinin sama warung bakso?" Rani staff-nya tak kalah jahil menggoda Selena yang sudah bersiap dengan tas bekal di tangannya. Sontak seisi ruangan tertawa mengabaikan Harris yang masih bekerja di ruangannya. "Iya, deh! Ketahuan banget si gue bukan anak tongkrongan!" Selena melangkah menuju pintu keluar sambil pura-pura merajuk. "Yeee ... jadi kita bisa nitip beli salad 'kan, Bu?" tanya rekannya yang lain memastikan. "Bisa, dong! Nanti japri aja!" Dan disinilah ia sekarang, menerim
Selena mencoba menebak apa yang hendak dibicarakan Harris sampai-sampai menghubunginya diluar jam kerja. Ia yakin sudah membereskan pekerjannya. "Halo, Pak ... selamat malam" "Selena, apa meeting dengan restoran Traders jadi kamu jadwalkan?" Terdengar bunyi pengendali jarak jauh di belakang Harris. Berikutnya suara langkah kaki yang teratur. Sepertinya Harris baru keluar dari mobilnya. "Oh ... sudah, pak. Saya sudah email ke bapak juga ke tim sales. Owner-nya menyediakan waktu hari Senin jam 11.00, pak" jelas Selena. Cheryl berusaha meraih ponsel yang menempel di telinga Selena diiringi gumaman kecil. Tak ayal Selena menempelkan jari telunjuk ke hidung, meminta Cheryl tenang. ""Halo, pak ... maaf ..." Selena hendak menjelaskan kegaduhan kecil yang terjadi. "It's OK! Nanti saya cek email, deh! Thanks!" Harris memutuskan sambungan telepon. Selena memandangi layar pipih itu
Langkahku lebar-lebar menuju mobil, tak ku hiraukan Selena yang mengikuti dengan mata berembun. Melissa pasti sudah menunggu lama di salon. Aku memaksa mengantarnya sepulang kantor tadi dan berjanji menjemputnya lagi. Ku pikir acara reuni teman SMP Selena tidak akan lama. Ah, harusnya aku langsung pulang saat jamuan makan. Ku ambil selembar uang pecahan lima ribu, menempelkannya ke telapak tangan satpam yang sudah membantu mengeluarkan mobil. Ini Sabtu, restoran ramai pengunjung. Semakin malam semakin ramai. Memacu mobil dengan kecepatan sedang karena jalanan juga sudah mulai padat. Otakku memperkirakan lama perjalanan yang ku tempuh untuk sampai ke salon. "Arghh ... satu jam lagi!" Tanganku spontan memukul setir. Aku mengerang tak sabar. Khawatir Melissa tidak mau menunggu lebih lama seperti yang sudah-sudah. Ku ambil ponsel dan menekan nomor Melissa yang sengaja tidak ku simpan di buku kontak. "Mel ... sabar, ya! Kamu masih di salon 'kan?"
Kalimat itu meluncur dari mulut Selena dengan nada membujuk, tapi entah kenapa egoku seperti disentil. Yang ada di pikiranku saat itu hanya ingin menghabiskan malam bersama. Toh, tidak terjadi setiap hari!Kalau boleh jujur, ingin sekali aku memaksanya, aku berhak sebagai suami. Namun aku pun menyadari, Selena pun harus melakukannya dengan rela, tulus, dan penuh cinta. Kami berdua sama-sama membutuhkannya. Bukankah cinta itu memberi? Bukankah cinta itu membuat pasanganmu bahagia dan merasa dicintai dengan seks yang sehat?Aku sangat mencintai Selena, takut kehilangannya. Cheryl, buah hatiku, juga belahan jiwaku. Dua insan yang sangat berarti dalam hidupku, bahkan dalam perjalanan karirku. Aku berjanji dalam hati tidak akan pernah menyia-nyiakan mereka.Aku memilih bersabar menunggu Selena siap. Demi yang ku cinta, aku memberi waktu sebanyak yang ia butuhkan. Aku tahu cinta itu masih untukku, raga itu masih milikku. Istriku hanya perlu beristirahat panjang setela
Roy akhirnya tiba di apartemen Melissa. Dibukanya pintu dengan kode yang sudah dihapalnya di luar kepala."Mel ... aku sampai!" teriak Roy sambil mencari-cari sosok kekasihnya itu."Disini, Roy!" Suara Melissa terdengar dari arah dapur.Bergerak cepat ke dapur, hidung Roy menangkap aroma kopi dan bolu."Aromanya sungguh menggoda!" Roy mengambil sepotong bolu dari piring tempat Melissa menatanya."Oiya? Kok main comot aja? Kamu bukannya sudah kenyang?" tegur Melissa sambil membawa piring dan kopi ke sofa di depan TV.Roy mengikuti dengan melingkarkan kedua lengannya di pinggang dari samping tubuh Melissa."Aku selalu ingin mencicipi buatan tangan kamu"Kecupan kecil mendarat di pipi Melissa. Keduanya duduk di sofa berdekatan. Lengan Roy disampirkan di sandaran sofa, jarinya mengusap lengan Melissa yang terbuka."Jangan asal makan, buat jeda antara jam makan dan ngemil, nanti lambungnya terlalu lelah, nggiling mulu" ujar M
Tidur Selena terusik karena bunyi pagar dibuka. Terlihat angka 21.10 di jam digital di kamar Cheryl. Merapatkan tubuhnya ke Cheryl yang sudah terlelap."Biar mama di sini dulu, nak" ucapnya seolah Cherly menyuruhnya mendatangi Roy.Hatinya sakit tak terbilang, malu bukan kepalang. Hari ini bak petaka besar untuknya. Roy tega meninggalkannya dan Cheryl di restoran, tidak sedikitpun peduli saat ia tertatih menyusul ke parkiran, bahkan saat air mata mengalir deras di pipinya.Entah kenapa ia tidak bisa menguasai diri. Tak kuasa menahan emosi saat mengetahui panggilan dari nomor yang sama. Nomor itu bisa membuat Roy pergi begitu saja. Ia menyesal tidak bisa lebih tenang. Seandainya Roy tidak ia kejar, tak akan ada wajah kacau dengan air mata, tidak juga terdengar lengkingan tangis dari mulut Cheryl karena ketakutan ditinggal mamanya.Ia malah melanjutkan drama menangis di toilet, semakin konyol dengan membiarkan Cheryl turut serta. Ahh ... ibu macam apa aku i
Selena terjaga karena gerakan Cheryl di pelukannya. Gerakan kepala ke kiri dan ke kanan, seperti tak nyaman dengan posisinya. Ia dengan perlahan memindahkan Cheryl ke kasur dan ikut merebahkan diri.Ingin rasanya ia berlama-lama di tempat tidur, membiarkan hati dan pikiran disiksa luka, hingga air mata mengering. Namun itu tak adil untuk Cheryl yang memerlukan makanan sehat dan cinta dari orangtuanya.Seringkali anak menjadi korban karena pertengkaran orangtuanya. Tidak sedikit yang secara sadar mempertontonkan adu mulut, adu gengsi di depan anak. Mereka tidak menyadari hati sang anak terluka.Bahkan ada pula terbaru mengungkapkan bahwa pertengkaran orang tua yang disaksikan oleh anak bisa menyebabkan peningkatan produksi hormonstres anak. Balita pun bisa terkena efeknya.Bila terus menerus menyaksikan orangtuanya bertengkar, maka sangat mungkin muncul dampak negatif dialami anak. Rasa trauma, ingatan buruk, hingga gangguan kecemasan dapat dialami o
Deg!"Mungkin dia kecarian semalam" jawab Selena sedikit gugup."Nih, angkat! Pakai loud speaker" suruh Roy masih berdiri di tempatnya.Selena berpikir keras, ia harus memilih kata yang tepat agar Delia tidak bicara tentang pesannya."Selena! Lama amat diangkatnya! Kamu kemana aja, sih?" omel Delia panjang."Del, aku sibuk di dapur, ini lagi di kamar Cheryl dengan Roy, mau sarapan bareng" sahut Selena berusaha keras untuk tidak terlihat gugup."Oh ... ya sudah!", Delia terdiam sebentar, "nanti ku hubungi lagi"Delia memutuskan panggilan. Selena lega.Roy seperti tidak puas dengan percakapan pendek itu. Matanya masih tertuju ke wajah Selena. Seolah memindai setiap sudut wajah istrinya itu."Cheryl sudah lapar? Makan, yuk!" ajak Selena mengurai jengah akibat pandangan menyelidik Roy. Tangannya hendak meraih Cheryl."Biar denganku saja" ujar Roy membalikkan badan, berjalan menuju pintu.Cheryl terlihat antusia
Selena berulang kali membaca hasil putusan pengadilan yang baru saja ia terima hari ini. Tangannya bergetar memegang kertas. Gemuruh di dada semakin mengguncang pundaknya. Air matanya tak ayal tumpah. Sakit.Tak pernah membayangkan akan menjalani usia pernikahan yang singkat. Kalah dengan usia pernikahan orang tuanya. Pun tidak pernah menyangka akan menjadi janda diusia menjelang 30. Dengan satu balita.Kalau ada yang harus disesalkan, tak lain adalah komunikasi yang buruk dengan suaminya. Ketidak mampuan mereka dalam hal menyamakan persepsi tentang persiapan memiliki bayi. Kebanyakan pasangan kurang pemahaman dan pengetahuan tentang kehamilan dan mengasuh anak. Peran istri dan suami sama pentingnya dalam setiap fase. Sama-sama merasakan lelah dan bahagia menanti sang buang hati. Ayah dan ibu ada pada setiap tumbuh kembang janin bahkan hingga lahir ke dunia.Namun waktu tak lagi diulang. Tak guna juga berlama-lama dalam penyesalan. Toh, ia pun sudah berusa
POV SelenaLangkahku sedikit kaku menuju ruang kerja direktur keuangan. Pagi tadi, intercom di mejaku berbunyi sesaat setelah meletakkan bokong di kursi."Bu Selena, ada pesan dari direktur keuangan. Ditunggu jam 10 di ruangannya. Terima kasih."Intercom ditutup begitu saja. Dari nomor yang tertera di layar pesawat telepon, panggilan dari resepsionis. Entah apa yang membuat mereka sesinis itu denganku. Mengucap salam pagi pun tidak saat memulai pembicaraan.Aku tak bisa menebak apa topik pembicaraan kali ini. Ku ingat-ingat lagi seluruh list KPI-ku sebagai asisten manajer. Rasanya tidak ada yang meleset dari target. Tunjangan jabatan dan insentif tidak akan cair jika pencapainku kurang dari 75%.Perihal ijin dan kasus persidanganku, juga tidak mungkin. Sidang terakhir pun tidak ku ikuti. Semua urusan administrasi ku percayakan ke Aldo. Roy tak pernah lagi mampir dan membuat keributan.Apa berurusan dengan internal birokrasi kantor yang tidak tertulis? S
"Del, mau makan ke mana? Jangan jauh-jauh. Jam 1 sudah harus di kantor lagi." Sungkan menolak ajakan Delia dan Aldo, tapi ia juga tak ingin membuat masalah baru. Jangankan si resepsionis, tembok gedung kantor pun bisa membuat laporan ke direktur."Cafe dekat sini aja, Len. Yuk!" sahut Delia dengan mata teduh seolah menenangkan sahabatnya.Tak membantah, Selena masuk ke kursi penumpang, tepat di belakang Aldo. Mobil melaju dengan perlahan dan berhenti pada sebuah cafe yang jaraknya tak lebih 500 meter dari kantor."Roy benar-benar sentimen ke Arjuna, Len. Untung aja si Juna lagi waras tadi, kalo gak, beuhh!" Delia membuka percakapan setelah memesan menu untuknya dan Aldo."Sampai Aldo kehabisan kata dengan kepercayaan diri si Roy. Ha-ha-ha. Iya, gak, Al?" sikut Delia ke Aldo yang masih sibuk dengan ponselnya sejak turun dari mobil."Hm ... mungkin, dia baru ngerasa salah langkah sudah mengusir Selena dari rumah." imbuh Aldo sambil memastikan
"Mas, aku sudah bikin janji dengan dokter, hari ini hari pertama haidku." Karina membuka mulut, memasukkan sepotong sandwich berisi irisan alpukat dan telur."Oh, ya? Jadwalnya jam 11, kan?" Arjuna terlihat kaget. Tangannya yang sedang memotong roti terhenti sejenak."Aku berangkat sendiri saja, mas. Kamu nyusul." Karina tak membalas tatapan rasa bersalah Arjuna. Ia tahu suaminya harus hadir sebagai saksi di sidang perceraian Selena. Keputusan Arjuna yang tidak bisa diterimanya hingga sekarang. Jangankan menjadi saksi, mencarikan pengacara saja sudah sangat membuat Karina cemburu."Sayang, maaf, aku tidak menyangka akan jadi sulit begini. Jadwal sidang jam 10.00." sesal Arjuna menarik jemari istrinya ke sisi mejanya."Gimana kalau nanti pas kamu konsul, video call denganku, di ruangan si dokternya." pinta Arjuna sambil membujuk Karina.'Sudahlah, mas! Kamu dengan sadar memberi perhatian untuk perempuan lain.'Anggukan ringan kepa
POV MelissaHari ini lelahnya maksimal. Sejak pagi, jam 08.00 hingga pukul 09.00 malam berkutat dengan banyak data dan memandangi laptop. Aku dan Mey bersemangat membenahi sistem dan fasilitas yang diperlukan untuk mengembangkan bisnis start up IT Om Arman.Iya, data klien dan seluruh informasi dari perusahaan Pak Fendy, ku olah bersama Mey. Tidak meniru bulat-bulat, kami melakukan modifikasi dan membuat program menarik. Baik secara hardware dan software. Berbekal pengetahuan selama dua tahun bekerja di perusahaan Pak Fendy dan kemampuan manajemen SDM yang dikuasai Mey, kami memperkuat pilar-pilar bisnis baru Om Arman.Hari ini finishing, tahap terakhir, setelah hampir 3 minggu menjalani puluhan rapat direksi, beberapa kali briefing dengan konsultan IT bersertifikat, dan banyak agenda lain di luar kantor. Dan, aku sangat lega. Meskipun tidak mendapat posisi dalam perusahaan rintisan Om Arman, tapi aku dan Mey punya jumlah saham yang sama. Atas pemberian Om
Hari-hari berlalu terasa cepat. Sidang pertama serasa baru kemarin ia jalani, malam ini Roy menjumpai amplop coklat di pagar. Amplop yang membuat ingatannya akan kehilangan Selena dan Cheryl.Sejak ditegur oleh orang tuanya, Roy tak lagi bernyali menemui istrinya. Meski ia sangat ingin berbicara dari hati ke hati, seperti yang dulu sering mereka lakukan. Saat Cheryl belum ada.'Ah, itu sudah lama sekali. Aku baru merasa rindu sekarang. Mungkin Selena merindukannya sejak lama dan aku tidak peka.'Masuk ke rumah dengan lesu, Roy berencana langsung tidur. Ia tak ingin tidur di kamar lagi. Mendadak ia merasa kamar itu sangat sepi dan kosong. Belakangan lebih nyaman berlama-lama di sofa hingga terlelap sembari membayangkan Selena masih sibuk membersihkan dapur dan Cheryl ketiduran di karpet rasfur ditemani mainannya.Tak ia hiraukan jeritan perut yang minta diisi. Sejak pagi memang hanya diisi semangkuk mie instan. Siang tadi ia menyibukkan dir
POV RoyKepalaku berdenyut seperti dipukuli palu kecil persis di kedua pelipis. Tengkukku terasa panas dan tegang. Entah karena otakku mulai panas atau karena lapar yang ku tahan sejak siang.Aku harus makan kalau tak ingin sakit. Ku seret kaki ke dapur hendak memeriksa isi lemari. Berharap ada sisa roti setidaknya untuk pengganjal perut. Tanganku sedikit gemetar saat mengambil air minum di dispenser. Ah ... kenapa jadi konyol begini? Tak pernah terlintas dalam bayangan akan tinggal sendiri dengan kondisi mengenaskan.Ku periksa dompet, hanya ada selembar pecahan 100 ribu. Bensin belum ku isi lagi. Seingatku jarum penunjuknya sudah di garis kedua dari bawah.Tak ada stok roti. Isi kulkas kosong, bersih.Ah, kenapa gak stok mie instan dan telur, sih? Si Lala bikin stok beras gak, sih? Perutku harus diisi nasi kalau sudah begini. Container beras diletak di mana lagi.Rasanya lelah sekali mengitari dapur padahal ukuran
POV RoyAku tidak bisa menahan golak amarah melihat Selena meninggalkanku begitu saja. Dia berubah jadi pembangkang sejak ku usir dari rumah. Belum lagi temannya si Delia yang sok tahu tentang cinta. Ta* kucing!Tidak ada yang salah dengan sikap dan omonganku. Aku jelas tidak akan mencari kenikmatan dari perempuan lain kalau Selena sanggup memenuhi kebutuhanku. Istri itu, kan, memang harus sedia setiap kali suami butuh. Selena malah tidak mengakui kekurangannya. Padahal kalau dia minta maaf dan mencabut gugatan, aku siap menerimanya kembali. Meskipun dia sudah bekasnya Arjuna.Belum selesai amarah karena sikap sombong Selena, foto Bram dan Melissa di restoran Arjuna menambah tegang otot leherku. Ku lampiaskan amarah dengan meninju kaca mobil dan setir bergantian.Ku pikir aku harus melakukan sesuatu. Melissa harus tahu aku marah. Dia gak bisa pergi begitu aja dan membuatku hancur. Karir dan pendapatanku di ujung tanduk. Mengenaskan.K
Roy berulang membaca pesan terakhir Bram. Rasanya tak percaya kalau Bram kenal dengan Arjuna dan pengacara Selena. 'Selena punya pengacara? Ia mampu membayar jasa pengacara? Pasti si Arjuna yang membantunya. Sialan!'Telapak tangannya membuka, Roy menepuk meja dengan kesal. Ia tak menyangka Selena seniat itu bercerai.'Dia silau oleh harta dan kenyamanan dari Arjuna. Cih! Perempuan itu memang tak layak ku pertahankan!'Mie instannya sampai mengembang karena masih asik menggerutu. Panggilan intercom menyadarkannya, waktu sepuluh menitnya sudah berakhir."Istrimu mengajukan gugatan cerai? Apa dia tahu tentang Melissa?" tanya pak direktur terkesan mengejek. Roy terpaksa harus jujur tentang keperluan cuti mendadaknya besok. Ia bertekad hadir dan membela diri. Ia akan mengungkapkan semua kebenaran. Persetan dengan Bram, Melissa dan Arjuna!"Iya, pak. Ini hanya salah paham, itu sebabnya saya ingin meluruskan semuanya. Berdamai dan ruk