"Del, mau makan ke mana? Jangan jauh-jauh. Jam 1 sudah harus di kantor lagi." Sungkan menolak ajakan Delia dan Aldo, tapi ia juga tak ingin membuat masalah baru. Jangankan si resepsionis, tembok gedung kantor pun bisa membuat laporan ke direktur.
"Cafe dekat sini aja, Len. Yuk!" sahut Delia dengan mata teduh seolah menenangkan sahabatnya. Tak membantah, Selena masuk ke kursi penumpang, tepat di belakang Aldo. Mobil melaju dengan perlahan dan berhenti pada sebuah cafe yang jaraknya tak lebih 500 meter dari kantor."Roy benar-benar sentimen ke Arjuna, Len. Untung aja si Juna lagi waras tadi, kalo gak, beuhh!" Delia membuka percakapan setelah memesan menu untuknya dan Aldo."Sampai Aldo kehabisan kata dengan kepercayaan diri si Roy. Ha-ha-ha. Iya, gak, Al?" sikut Delia ke Aldo yang masih sibuk dengan ponselnya sejak turun dari mobil. "Hm ... mungkin, dia baru ngerasa salah langkah sudah mengusir Selena dari rumah." imbuh Aldo sambil memastikanPOV SelenaLangkahku sedikit kaku menuju ruang kerja direktur keuangan. Pagi tadi, intercom di mejaku berbunyi sesaat setelah meletakkan bokong di kursi."Bu Selena, ada pesan dari direktur keuangan. Ditunggu jam 10 di ruangannya. Terima kasih."Intercom ditutup begitu saja. Dari nomor yang tertera di layar pesawat telepon, panggilan dari resepsionis. Entah apa yang membuat mereka sesinis itu denganku. Mengucap salam pagi pun tidak saat memulai pembicaraan.Aku tak bisa menebak apa topik pembicaraan kali ini. Ku ingat-ingat lagi seluruh list KPI-ku sebagai asisten manajer. Rasanya tidak ada yang meleset dari target. Tunjangan jabatan dan insentif tidak akan cair jika pencapainku kurang dari 75%.Perihal ijin dan kasus persidanganku, juga tidak mungkin. Sidang terakhir pun tidak ku ikuti. Semua urusan administrasi ku percayakan ke Aldo. Roy tak pernah lagi mampir dan membuat keributan.Apa berurusan dengan internal birokrasi kantor yang tidak tertulis? S
Selena berulang kali membaca hasil putusan pengadilan yang baru saja ia terima hari ini. Tangannya bergetar memegang kertas. Gemuruh di dada semakin mengguncang pundaknya. Air matanya tak ayal tumpah. Sakit.Tak pernah membayangkan akan menjalani usia pernikahan yang singkat. Kalah dengan usia pernikahan orang tuanya. Pun tidak pernah menyangka akan menjadi janda diusia menjelang 30. Dengan satu balita.Kalau ada yang harus disesalkan, tak lain adalah komunikasi yang buruk dengan suaminya. Ketidak mampuan mereka dalam hal menyamakan persepsi tentang persiapan memiliki bayi. Kebanyakan pasangan kurang pemahaman dan pengetahuan tentang kehamilan dan mengasuh anak. Peran istri dan suami sama pentingnya dalam setiap fase. Sama-sama merasakan lelah dan bahagia menanti sang buang hati. Ayah dan ibu ada pada setiap tumbuh kembang janin bahkan hingga lahir ke dunia.Namun waktu tak lagi diulang. Tak guna juga berlama-lama dalam penyesalan. Toh, ia pun sudah berusa
[Sayang, aku pulang agak malam, kamu dan Cheryl makan duluan aja, ya!] Selena menghela nafas dengan berat. Pesan dari suaminya, Royano Budiman, menganggu suasana hatinya yang bersemangat merampungkan laporan kerja hariannya. Diliriknya sudut kanan bawah laptopnya, pukul 17.15. Suaminya selalu memberi kabar menjelang jam pulang kantornya. Entah sengaja atau memang baru sempat memberi kabar. Selena berniat acuh, tak ingin membalas pesan itu. Jarinya bergerak lincah pada keyboard laptop, melakukan pemeriksaan ulang pada setiap sheet dan file laporannya. Namun matanya tidak berhenti melirik ponsel. [Iya, sayang. Jangan telat makan malam, ya! Oiya, kalau bisa hari ini bacain buku dongeng baru untuk Cheryl.] Ditambahkannya emoticon kiss diakhir pesan. Berharap suaminya mengerti kerinduan hatinya membagi waktu bersama dengan Cheryl. Ah. Tidak seharusnya aku takut meminta perhatian dari suami sendiri, bagaimanapun ini d
Ditatapnya ponsel dengan seksama. Nama pengirim pesan dan jam pengiriman. Selama bekerja, ini pertama kalinya Harris mengiriminya pesan. Pesan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan dan dikirimq diluar jam kerja. Oh, No! Gerangan apakah ini? Selena spontan menutup mulut dengan pekikan tertahan. Otaknya mulai mengurai dan menerka-nerka maksud pesan Harris. "Tenang, Selena! Jangan bodoh! Pak Harris hanya khawatir saja, tidak lebih!" bisik Selena menghalau ketakutan akan bos pria yang manipulatif. Oke, cepat berikan respon! Ingat sopan santun dengan atasan! [Terimakasih, Pak Harris. Saya baik-baik saja. Maaf baru membalas pesan. Selamat malam] Dibubuhkannya emoticon smile pada akhir pesan. Send. Centang dua abu-abu. Centang dua biru. Dalam hitungan detik dan selanjutnya Harris terlihat mengetik. Selena menggigit bibir bawahnya.
"Kamu yakin itu celana dalam Roy?" Delia meletakkan sepiring salad buah di meja. "Yakin, Del! Emang ada laki-laki di rumah selain Roy?" balas Selena sedikit kesal. "Kali aja tertukar dengan orang lain" lagi Delia menggoda Selena yang terlihat semakin cemberut. "Ya ampun, Del! Kamu ada-ada aja! Jelas-jelas aku yang beliin pakaian dalam itu, Roy gak pernah ikutan belanja pakaian, tiap hari aku yang cuci, gak mungkin punya orang lain" Ia tahu Delia sedang menghiburnya dengan caranya. Iya, Selena merasa perlu teman bertukar pikiran setelah jawaban tidak masuk akal dari Roy di meja makan pagi tadi. Dia ingat Roy bersikap tenang, sedikit cuek, meski nada bicaranya sedikit meninggi. "Bercak putih? Yang mana?" "Yang ada di daleman kamu, Roy. Di bagian belakang!" sahut Selena dengan cepat. "Oh ... yang itu ... itu lendir ingus. Kemarin, waktu mandi aku bersih-bersih" terang Roy santai. Kelewat s
Bunyi gerbang digeser samar terdengar, Selena yang sengaja menunggu Roy di kamar memeriksa jam di ponsel. Pukul 23.30, matanya tidak kunjung terpejam. Tangannya mencoba merapikan uraian rambut di bantal dengan tetap berbaring. Roy masuk ke kamar, langsung mendekat ke sisi ranjang. "Kamu sudah tidur?" punggung tangan kanannya mengelus pipi Selena. "Belum, aku gak bisa tidur" jawab Selena tanpa membuka mata. "Katanya gak bisa tidur, tapi diajak ngobrol malah tutup mata" protes Roy makin mendekat ke Selena. "Roy, kamu makan malam dengan siapa? Kenapa ada pesan di ponselmu sebut-sebut sayang?" Selena jujur, ia sedang rapuh. Biar saja Roy menganggapnya kekanakan, manja, kalau itu bisa memangkas jarak tak kasat mata diantara mereka. "Ponsel? Ah ... iya, ponselku ketinggalan, ya?" Roy memutar badan mencari ponselnya. Tatapan sendu Selena tidak berhenti, setiap gerakan Roy seolah penting untukn
"Ini pesanan salad kalian, ya!" Meletakkan bungkusan di meja bundar tempat briefing pagi. "Thanks, Bu Selena" sahut rekan kerjanya hanya bergantian. Saat berpamitan makan siang diluar lagi, rekan kerjanya meminta tolong dibelikan salad buah. "Emangnya kalian tahu saya mau kesana?" goda Selena dengan memasang wajah jahil. "Terus ibu mau makan dimana memangnya? Bawa bekal begituan apa diijinin sama warung bakso?" Rani staff-nya tak kalah jahil menggoda Selena yang sudah bersiap dengan tas bekal di tangannya. Sontak seisi ruangan tertawa mengabaikan Harris yang masih bekerja di ruangannya. "Iya, deh! Ketahuan banget si gue bukan anak tongkrongan!" Selena melangkah menuju pintu keluar sambil pura-pura merajuk. "Yeee ... jadi kita bisa nitip beli salad 'kan, Bu?" tanya rekannya yang lain memastikan. "Bisa, dong! Nanti japri aja!" Dan disinilah ia sekarang, menerim
Selena mencoba menebak apa yang hendak dibicarakan Harris sampai-sampai menghubunginya diluar jam kerja. Ia yakin sudah membereskan pekerjannya. "Halo, Pak ... selamat malam" "Selena, apa meeting dengan restoran Traders jadi kamu jadwalkan?" Terdengar bunyi pengendali jarak jauh di belakang Harris. Berikutnya suara langkah kaki yang teratur. Sepertinya Harris baru keluar dari mobilnya. "Oh ... sudah, pak. Saya sudah email ke bapak juga ke tim sales. Owner-nya menyediakan waktu hari Senin jam 11.00, pak" jelas Selena. Cheryl berusaha meraih ponsel yang menempel di telinga Selena diiringi gumaman kecil. Tak ayal Selena menempelkan jari telunjuk ke hidung, meminta Cheryl tenang. ""Halo, pak ... maaf ..." Selena hendak menjelaskan kegaduhan kecil yang terjadi. "It's OK! Nanti saya cek email, deh! Thanks!" Harris memutuskan sambungan telepon. Selena memandangi layar pipih itu