[Sayang, aku pulang agak malam, kamu dan Cheryl makan duluan aja, ya!]
Selena menghela nafas dengan berat. Pesan dari suaminya, Royano Budiman, menganggu suasana hatinya yang bersemangat merampungkan laporan kerja hariannya.
Diliriknya sudut kanan bawah laptopnya, pukul 17.15. Suaminya selalu memberi kabar menjelang jam pulang kantornya. Entah sengaja atau memang baru sempat memberi kabar.
Selena berniat acuh, tak ingin membalas pesan itu. Jarinya bergerak lincah pada keyboard laptop, melakukan pemeriksaan ulang pada setiap sheet dan file laporannya. Namun matanya tidak berhenti melirik ponsel.
[Iya, sayang. Jangan telat makan malam, ya! Oiya, kalau bisa hari ini bacain buku dongeng baru untuk Cheryl.]
Ditambahkannya emoticon kiss diakhir pesan. Berharap suaminya mengerti kerinduan hatinya membagi waktu bersama dengan Cheryl.
Ah. Tidak seharusnya aku takut meminta perhatian dari suami sendiri, bagaimanapun ini demi Cheryl, buah cinta kami. Bayi berumur 3 tahun yang sedang bersemangat mengeksplor dunianya.
Selena memijit batang hidungnya perlahan. Ia mulai jenuh bersikap seolah semua baik-baik saja. Ia enggan mengakui pernikahan mereka semakin dingin, meski baru akan genap 4 tahun bulan depan.
Dua menit berlalu sejak Selena membalas pesan Roy, tidak ada balasan lagi. Selalu begitu.
"Apa lagi yang kau harapkan, Selena? Jangan menunggunya pulang!"
Monolog yang membantunya melepaskan rasa sesak tertahan di dadanya. Ia bergegas untuk pulang. Tangannya membereskan laptop kerja dan merapikan meja. Ia terbiasa meninggalkan meja dan kubikel kerjanya dalam keadaan bersih dan rapi.
Sudah pukul 18.00, ia perlu ke toilet sebelum memesan taksi online.
"Lena, belum pulang?" Harris, managernya, menyapa dari ruangannya.
"Loh! Bapak masih ada?" Selena memundurkan langkahnya ke arah pintu ruangan.
"Baru selesai zoom meeting dengan direktur" seru Harris tanpa menoleh ke arah Selena berdiri.
"Semangat, pak! Ada kebijakan baru atau kerja tambahan, pak?" Ia masih berdiri di pintu.
"Nothing, masih sama dengan minggu lalu" jawaban pendek dari Harris membuat Selena kehabisan akal.
Ia berlalu setelah berpamitan. Mustahil membuat percakapan hangat dan panjang dengan managernya. Baik berdua maupun dalam tim, managernya konsisten pelit berbicara, bahkan menghindari kontak mata.
Selena mengingat lagi hari pertama Harris bergabung di kantor, itu dua tahun yang lalu. Saat itu Selena ditunjuk oleh direktur untuk membawa Harris berkenalan ke seluruh departemen. Candaan teman-teman ditanggapi Harris dengan senyum tipis dan 'oh' saja.
Meski sejauh ini belum pernah ada masalah yang berarti dalam pekerjaan dengan Harris, Selena sangat berhati-hati agar tetap nyaman dalam bekerja. Stigma bos laki-laki manipulatif dan suka melecehkan staff perempuan tidak ada dalam tampilan harian Harris.
Selena bergegas dari toilet setelah menerima panggilan dari supir taksi online pesanannya. Digenggamnya tas kerja di tangan kanan, shoulder bag kesayangan yang dihadiahkan Roy saat ulang tahun pernikahan mereka yang pertama.
"Yaah! Lupa lagi!" Selena mendengus kesal, tas bekalnya masih tertinggal di meja kerja. Ia berlari kecil sambil menulis pesan singkat ke supir agar menunggu.
"Bugh!" Tubuhnya menabrak seseorang dan hampir kehilangan keseimbangan.
"Kamu bisa lebih hati-hati?" Harris membantunya berdiri tegak. Telapak tangannya yang besar menempel di punggung dan panggul Selena. Alih-alih menegakkan posisi berdiri, Selena malah memeluk Harris karena posisinya yang juga belum seimbang.
Terlalu asik dengan ponsel sambil berlari kecil membuatnya menabrak Harris di pintu masuk ruangan departemen mereka.
"Kamu gak papa? Ada yang sakit?" Harris membuat jarak sambil memasukkan tangan ke kantong celananya. Matanya lurus menatap Selena.
Belum hilang degub jantung karena panik, Selena malah semakin gugup karena tatapan mata Harris.
"E ... saya gak apa-apa, pak. Saya minta maaf" Sedikit nyeri di dahinya, sepertinya akibat benturan dengan dagu Harris.
Menyadari kecanggungan yang harus diakhiri, Selena mengangguk pamit, "Tas bekal saya ketinggalan, pak. Saya buru-buru karena taksi pesanan saya sudah di lobby"
Ia berlalu dari hadapan Harris tanpa menunggu sahutan pria itu. Rasa gugup makin menjadi saat ia lihat Harris masih berdiri memandanginya.
"Pak, saya duluan. Saya pamit kedua kali, nih!" erang Selena pelan dengan senyum. Harris melangkahkan kakinya mengikuti Selena.
Keduanya membisu saat mengantri lift dan turun ke lobby. Selena yang tak ingin lebih canggung lagi langsung menuju taksi pesanannya.
"Huft ... apes banget, sih! Untung pak Harris gak marah" Selena ingat Harris terdesak ke pintu kaca saat tabrakan tadi. Diusapnya dahi yang masih perih, tak hanya karena benturan juga karena janggut kasar Harris yang baru tumbuh menggesek dahinya.
'Kepalanya tadi nabrak kaca, dong!' Mulut Selena membulat. Ia ingat lagi, Harris tampak baik-baik saja tadi bahkan menatapnya lama. Tatapan yang membuat Selena gugup, rasa khawatir terpancar dari netra coklat tua itu.
Ada buncah hangat di dadanya, sudah lama ia tidak melihat hal itu di mata Roy. Sejak hamil dan melahirkan Cheryl ada jarak tercipta. Entah sejak kapan mereka saling acuh dan abai, tidak ada lagi pelukan hangat dan obrolan enak di rumah. Ia rindu tatapan sayang Roy.
Matanya mendadak memburam. Genangan air bersiap jatuh dari sudut matanya. Tidak, ia tidak boleh menyerah. Menangis tidak menyelesaikan masalah. Malah akan membuatnya tampak semakin konyol di depan Roy.
Diusapnya lengannya perlahan. Pelukan Harris terekam jelas dalam memorinya. Kedua telapak tangan yang menempel menopang punggung dan panggulnya, juga perut dan dada Harris di dadanya. Ia bahkan merasakan paha kokoh Harris berada diantara kedua pahanya saat akan terjatuh.
Selena memejamkan mata, menahan gejolak yang muncul karena ingatannya. Ia malu dengan dirinya, tak seharusnya tubuhnya merespon cepat hanya karena pelukan Harris. Tubuhnya berdenyut, ia butuh pengalihan.
Dipandanginya jalanan yang padat dengan kendaraan serupa. Jam pulang kantor memang tak ayal membuat macet. Semua orang ingin segera tiba di rumah bertemu dengan keluarga atau sekedar melepas penat dari sibuknya pekerjaan. Sama hal dengan dirinya, selalu ingin tiba lebih awal di rumah, memeluk Cheryl dan main berdua. Sambil menyiapkan makan malam untuknya dan Roy, andai Roy mau pulang lebih awal.
Jalanan kembali lancar saat memasuki area perumahan tempat tinggal mereka. Selena berusaha tetap optimis dan bersemangat. Ia tak ingin Cheryl bertemu dengan wajah muram atau lelahnya. Senyum nakal terbentuk di bibirnya, ia punya rencana dipenghujung malam.
Bunyi pesan masuk di ponselnya tepat saat taksi berhenti di depan pagar rumahnya. Selena merogoh tas dan memberikan sedikit tip untuk si supir.
Kak Ipah membukakan pagar dengan sigap dan menyapa dengan riang, seriang Cheryl yang sudah duduk manis di sofa teras.
"Halo, mama ...." teriak Cheryl yang tetap duduk menyaksikan Selena mencuci tangan di wastafel pojok teras.
"Haii ... Cheryl, anak mama ... tunggu, ya!"
Cheryl semakin girang melihat mamanya berjalan ke arahnya. Tangannya bertepuk lebih cepat dengan celotehan lucu dari bibirnya.
Selena memainkan gerakan cilukba sambil menirukan lompatan kecil Cheryl. Keduanya semakin ceria dengan berpelukan dan saling cium. Cheryl menyembunyikan wajahnya di perpotongan leher mamanya. Posenya terlihat semakin manja dan manis saat tangannya memeluk erat leher mamanya.
"Cheryl rewel hari ini, kak? Makannya banyak, gak?"
Selena akhirnya duduk setelah Cheryl tenang dalam pangkuannya.
"Anak baik Cheryl-nya, mama!" Kak Ipah, baby sitter yang dipercaya Selena sejak Cheryl bayi menirukan gerakan cilukba saat menjawab pertanyaan majikannya.
"Kak Ipah sudah makan malam? Lauk tadi siang cukup, kan?"
"Aman, aku sudah kenyang, Lena!" ujarnya sambil meletakkan tas Selena ke atas meja.
"Seriusan? Masuk, yuk! Aku masakin mie goreng, kita makan bareng" Selena berdiri dan membawa Cheryl ke dalam rumah, Kak Ipah mengekor.
"Aku langsung pulang, ya, Lena! Mama nitip belanjaan tadi" Kak Ipah sibuk dengan tas dan jaketnya.
"Oh ... itu yang di kulkas, kalo butuh diambil aja, kak!" Selena meletakkan Cheryl dia karpet yang sudah dipenuhi mainan.
"Makasih, Lena. Mama nitip beli benang untuk rajutannya." Selena mengantar Kak Ipah sampai ke gerbang.
Seperti biasa Selena akan menunggui hingga sepeda motor Kak Ipah berlalu dari blok perumahan mereka dan menutup gerbang.
Dikuncinya pintu dan berlalu ke dapur setelah memastikan Cheryl nyaman dengan mainannya. Ia butuh sedikit waktu untuk membersihkan diri dan mengisi perut.
Urusannya harus selesai sebelum jam tidur Cheryl. Ia memilih memotong buah terlebih dahulu, mencicipinya dan menyiapkan bahan untuk tumisan sayurnya.
Baru saja tumisan sayurnya matang, Cheryl terdengar mendekat ke dapur sambil menangis. Selena berjongkok menunggu putrinya tiba di pelukannya.
"Cheryl bosan? Gak ada mama yang nemenin main, ya?" Digendongnya putri semata wayangnya menuju meja makan.
"Mau temani mama makan?" Cheryl menurut saat didudukkan di high chair di sebelah mamanya. Tangannya menggenggam potongan buah melon.
Ditariknya nafas lalu melepaskannya perlahan. Ia butuh suasana hati yang tenang saat makan. Hal yang sulit didapatkan oleh ibu-ibu yang memiliki batita. Seperti Cheryl yang selalu ingin dekat dengannya, membuatnya tidak leluasa mengerjakan urusan domestik rumah tangga.
Ia pernah menggunakan jasa asisten rumah tangga, sejak usia kandungannya lima bulan. Kesibukan di kantor dan adaptasi dengan kehamilan pertamanya membuatnya tidak sanggup mengerjakan urusan rumah.
Hingga usia Cheryl setahun, Roy meminta Selena berhenti menggunakan jasa ART. Roy beralasan kurang nyaman dengan ART yang tinggal bersama di rumah.
Sebenarnya Selena masih membutuhkan jasa asistennya, namun Roy kerap menuduhnya manja dan tidak mau belajar mandiri. Pertengkaran tak terelakkan dan selalu berakhir dengan aksi bisu Roy. Dengan berat hati Selena memberhentikan asisten yang usianya terpaut 5 tahun dengannya.
Mangkoknya bersih tak bersisa, Cheryl tampak menguap dengan potongan melon di mulutnya. Putrinya tidak mengunyah buah karena sudah mengantuk. Ia urung untuk mandi.
"Aduh, manisnya anak mama. Nungguin mama makan, ya!" Selena menggendong Cheryl ke kamar di lantai dua. Dengan telaten Selena membersihkan bekas buah dari tangan dan mulut putrinya, juga mengganti pakaian yang basah karena terkena liur.
"Waktunya membaca buku iniiii ..." pekik Selena pelan sambil mengayunkan buku tebal berisi cerita bergambar di hadapan Cheryl yang sudah rebahan di kasur.
Membacakan buku menjadi kegiatan rutin untuk Cheryl sejak lepas ASI setahun lalu. Selain memberi stimulus melalui gambar dan cerita, Cheryl lebih mudah tertidur tanpa drama rewel. Sehingga Selena masih memiliki cukup waktu untuk dirinya dan urusan rumah tangga.
Terdengar dengkuran halus, Selena meletakkan buku perlahan dan menutup tubuh putrinya dengan selimut. Ia beranjak perlahan dan mencari letak tasnya.
Bunyi pesan masuk di ponselnya. Dibukanya layar benda pipih itu.
[Aku gak janji, sayang. Kamu dengan Cheryl aja, ya!]
Balasan dari Roy pukul 18.45.
[Sayang, tidur duluan ya. Aku pulang larut. Nanti aku cerita, ya!]
Pesan dari Roy lagi, baru saja, pukul 20.30.
Selena terduduk lemas. Rencananya menggoda Roy gagal. Hatinya lagi-lagi kecewa, Roy bahkan tidak menanyakan keadaannya.
Sudut matanya melirik chat room Roy, terlihat tulisan online di status Roy. Jarinya mengetik sejumlah kata namun urung dikirimnya. Ia malas berdebat.
Ditutupnya chat room dengan Roy. Dahinya mengernyit melihat pesan masuk diurutan kedua.
[Selena, dahimu tidak apa-apa? Saya kirimkan salep untuk mengurangi memarnya?]
Pesan dari Harris pukul 18.45.
Ditatapnya ponsel dengan seksama. Nama pengirim pesan dan jam pengiriman. Selama bekerja, ini pertama kalinya Harris mengiriminya pesan. Pesan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan dan dikirimq diluar jam kerja. Oh, No! Gerangan apakah ini? Selena spontan menutup mulut dengan pekikan tertahan. Otaknya mulai mengurai dan menerka-nerka maksud pesan Harris. "Tenang, Selena! Jangan bodoh! Pak Harris hanya khawatir saja, tidak lebih!" bisik Selena menghalau ketakutan akan bos pria yang manipulatif. Oke, cepat berikan respon! Ingat sopan santun dengan atasan! [Terimakasih, Pak Harris. Saya baik-baik saja. Maaf baru membalas pesan. Selamat malam] Dibubuhkannya emoticon smile pada akhir pesan. Send. Centang dua abu-abu. Centang dua biru. Dalam hitungan detik dan selanjutnya Harris terlihat mengetik. Selena menggigit bibir bawahnya.
"Kamu yakin itu celana dalam Roy?" Delia meletakkan sepiring salad buah di meja. "Yakin, Del! Emang ada laki-laki di rumah selain Roy?" balas Selena sedikit kesal. "Kali aja tertukar dengan orang lain" lagi Delia menggoda Selena yang terlihat semakin cemberut. "Ya ampun, Del! Kamu ada-ada aja! Jelas-jelas aku yang beliin pakaian dalam itu, Roy gak pernah ikutan belanja pakaian, tiap hari aku yang cuci, gak mungkin punya orang lain" Ia tahu Delia sedang menghiburnya dengan caranya. Iya, Selena merasa perlu teman bertukar pikiran setelah jawaban tidak masuk akal dari Roy di meja makan pagi tadi. Dia ingat Roy bersikap tenang, sedikit cuek, meski nada bicaranya sedikit meninggi. "Bercak putih? Yang mana?" "Yang ada di daleman kamu, Roy. Di bagian belakang!" sahut Selena dengan cepat. "Oh ... yang itu ... itu lendir ingus. Kemarin, waktu mandi aku bersih-bersih" terang Roy santai. Kelewat s
Bunyi gerbang digeser samar terdengar, Selena yang sengaja menunggu Roy di kamar memeriksa jam di ponsel. Pukul 23.30, matanya tidak kunjung terpejam. Tangannya mencoba merapikan uraian rambut di bantal dengan tetap berbaring. Roy masuk ke kamar, langsung mendekat ke sisi ranjang. "Kamu sudah tidur?" punggung tangan kanannya mengelus pipi Selena. "Belum, aku gak bisa tidur" jawab Selena tanpa membuka mata. "Katanya gak bisa tidur, tapi diajak ngobrol malah tutup mata" protes Roy makin mendekat ke Selena. "Roy, kamu makan malam dengan siapa? Kenapa ada pesan di ponselmu sebut-sebut sayang?" Selena jujur, ia sedang rapuh. Biar saja Roy menganggapnya kekanakan, manja, kalau itu bisa memangkas jarak tak kasat mata diantara mereka. "Ponsel? Ah ... iya, ponselku ketinggalan, ya?" Roy memutar badan mencari ponselnya. Tatapan sendu Selena tidak berhenti, setiap gerakan Roy seolah penting untukn
"Ini pesanan salad kalian, ya!" Meletakkan bungkusan di meja bundar tempat briefing pagi. "Thanks, Bu Selena" sahut rekan kerjanya hanya bergantian. Saat berpamitan makan siang diluar lagi, rekan kerjanya meminta tolong dibelikan salad buah. "Emangnya kalian tahu saya mau kesana?" goda Selena dengan memasang wajah jahil. "Terus ibu mau makan dimana memangnya? Bawa bekal begituan apa diijinin sama warung bakso?" Rani staff-nya tak kalah jahil menggoda Selena yang sudah bersiap dengan tas bekal di tangannya. Sontak seisi ruangan tertawa mengabaikan Harris yang masih bekerja di ruangannya. "Iya, deh! Ketahuan banget si gue bukan anak tongkrongan!" Selena melangkah menuju pintu keluar sambil pura-pura merajuk. "Yeee ... jadi kita bisa nitip beli salad 'kan, Bu?" tanya rekannya yang lain memastikan. "Bisa, dong! Nanti japri aja!" Dan disinilah ia sekarang, menerim
Selena mencoba menebak apa yang hendak dibicarakan Harris sampai-sampai menghubunginya diluar jam kerja. Ia yakin sudah membereskan pekerjannya. "Halo, Pak ... selamat malam" "Selena, apa meeting dengan restoran Traders jadi kamu jadwalkan?" Terdengar bunyi pengendali jarak jauh di belakang Harris. Berikutnya suara langkah kaki yang teratur. Sepertinya Harris baru keluar dari mobilnya. "Oh ... sudah, pak. Saya sudah email ke bapak juga ke tim sales. Owner-nya menyediakan waktu hari Senin jam 11.00, pak" jelas Selena. Cheryl berusaha meraih ponsel yang menempel di telinga Selena diiringi gumaman kecil. Tak ayal Selena menempelkan jari telunjuk ke hidung, meminta Cheryl tenang. ""Halo, pak ... maaf ..." Selena hendak menjelaskan kegaduhan kecil yang terjadi. "It's OK! Nanti saya cek email, deh! Thanks!" Harris memutuskan sambungan telepon. Selena memandangi layar pipih itu
Langkahku lebar-lebar menuju mobil, tak ku hiraukan Selena yang mengikuti dengan mata berembun. Melissa pasti sudah menunggu lama di salon. Aku memaksa mengantarnya sepulang kantor tadi dan berjanji menjemputnya lagi. Ku pikir acara reuni teman SMP Selena tidak akan lama. Ah, harusnya aku langsung pulang saat jamuan makan. Ku ambil selembar uang pecahan lima ribu, menempelkannya ke telapak tangan satpam yang sudah membantu mengeluarkan mobil. Ini Sabtu, restoran ramai pengunjung. Semakin malam semakin ramai. Memacu mobil dengan kecepatan sedang karena jalanan juga sudah mulai padat. Otakku memperkirakan lama perjalanan yang ku tempuh untuk sampai ke salon. "Arghh ... satu jam lagi!" Tanganku spontan memukul setir. Aku mengerang tak sabar. Khawatir Melissa tidak mau menunggu lebih lama seperti yang sudah-sudah. Ku ambil ponsel dan menekan nomor Melissa yang sengaja tidak ku simpan di buku kontak. "Mel ... sabar, ya! Kamu masih di salon 'kan?"
Kalimat itu meluncur dari mulut Selena dengan nada membujuk, tapi entah kenapa egoku seperti disentil. Yang ada di pikiranku saat itu hanya ingin menghabiskan malam bersama. Toh, tidak terjadi setiap hari!Kalau boleh jujur, ingin sekali aku memaksanya, aku berhak sebagai suami. Namun aku pun menyadari, Selena pun harus melakukannya dengan rela, tulus, dan penuh cinta. Kami berdua sama-sama membutuhkannya. Bukankah cinta itu memberi? Bukankah cinta itu membuat pasanganmu bahagia dan merasa dicintai dengan seks yang sehat?Aku sangat mencintai Selena, takut kehilangannya. Cheryl, buah hatiku, juga belahan jiwaku. Dua insan yang sangat berarti dalam hidupku, bahkan dalam perjalanan karirku. Aku berjanji dalam hati tidak akan pernah menyia-nyiakan mereka.Aku memilih bersabar menunggu Selena siap. Demi yang ku cinta, aku memberi waktu sebanyak yang ia butuhkan. Aku tahu cinta itu masih untukku, raga itu masih milikku. Istriku hanya perlu beristirahat panjang setela
Roy akhirnya tiba di apartemen Melissa. Dibukanya pintu dengan kode yang sudah dihapalnya di luar kepala."Mel ... aku sampai!" teriak Roy sambil mencari-cari sosok kekasihnya itu."Disini, Roy!" Suara Melissa terdengar dari arah dapur.Bergerak cepat ke dapur, hidung Roy menangkap aroma kopi dan bolu."Aromanya sungguh menggoda!" Roy mengambil sepotong bolu dari piring tempat Melissa menatanya."Oiya? Kok main comot aja? Kamu bukannya sudah kenyang?" tegur Melissa sambil membawa piring dan kopi ke sofa di depan TV.Roy mengikuti dengan melingkarkan kedua lengannya di pinggang dari samping tubuh Melissa."Aku selalu ingin mencicipi buatan tangan kamu"Kecupan kecil mendarat di pipi Melissa. Keduanya duduk di sofa berdekatan. Lengan Roy disampirkan di sandaran sofa, jarinya mengusap lengan Melissa yang terbuka."Jangan asal makan, buat jeda antara jam makan dan ngemil, nanti lambungnya terlalu lelah, nggiling mulu" ujar M