Langkahku lebar-lebar menuju mobil, tak ku hiraukan Selena yang mengikuti dengan mata berembun. Melissa pasti sudah menunggu lama di salon. Aku memaksa mengantarnya sepulang kantor tadi dan berjanji menjemputnya lagi. Ku pikir acara reuni teman SMP Selena tidak akan lama. Ah, harusnya aku langsung pulang saat jamuan makan.
Ku ambil selembar uang pecahan lima ribu, menempelkannya ke telapak tangan satpam yang sudah membantu mengeluarkan mobil. Ini Sabtu, restoran ramai pengunjung. Semakin malam semakin ramai.
Memacu mobil dengan kecepatan sedang karena jalanan juga sudah mulai padat. Otakku memperkirakan lama perjalanan yang ku tempuh untuk sampai ke salon.
"Arghh ... satu jam lagi!" Tanganku spontan memukul setir.
Aku mengerang tak sabar. Khawatir Melissa tidak mau menunggu lebih lama seperti yang sudah-sudah. Ku ambil ponsel dan menekan nomor Melissa yang sengaja tidak ku simpan di buku kontak.
"Mel ... sabar, ya! Kamu masih di salon 'kan?"
"Roy, aku sudah di taksi, nih! On the way ke apartemen"
Suara lembut Melissa di seberang sana membuatku tak enakan.
"Kenapa gak ambil treatment yang lain sambil nungguin aku?" Tone suaraku pun ikut merendah. Aku tak berniat membuat Melissa semakin kesal.
"Roy, kamu 'kan ada acara dengan Selena dan Cheryl. Kenapa ditinggal?"
Aku malas kalau Melissa mulai mengungkit keberadaan Selena dan Cheryl. Bicara tentang kita berdua saja, Mel! Apa susahnya?
"Taksinya sudah sampai dimana? Kita jumpa di apartemen, deh!" pintaku memaksa.
"Roy ... dengerin aku ... mendingan kamu putar balik ...."
Klik!
Ku putuskan panggilan dengan Melissa. Ucapannya selanjutnya sudah bisa ku tebak. Tak masuk di akal ku. Jelas-jelas aku menyiapkan waktu khusus untuknya malam ini. Lebih aku fokus menyetir.
Bibirku mengulas senyum saat mengingat kejadian siang saat hendak mengantar Melissa ke salon. Wajah teduhnya dibuat garang supaya aku percaya bahwa dia marah. Namun tak berhasil menggagalkan rencanaku.
Dulu Selena pun demikian. Awal pertemuanku dengannya karena dikenalkan ibu. Wajahnya teduh dan lembut. Penampilannya good looking termasuk selera fashionnya. Apa saja yang dipakainya selalu terlihat bagus dan cocok. Berbincang dengannya tidak pernah membosankan. Pengetahuannya luas dan caranya bertutur pun selalu disesuaikan dengan lawan bicaranya.
Banyak alasan dan kecocokan diantara kami yang membuatku ingin menjadikannya teman sehidup semati. Kami berdua sama-sama ingin berkarir dan juga ingin membentuk keluarga. Begitulah dulu idealisme kami sebelum menikah, bahwa keluarga akan menjadi support system yang baik untuk jenjang karir.
Tentu saja kedua orangtua kami merasa senang. Tak ada niat menjodohkan, tapi jadi juga ke pelaminan. Begitu candaan ibu saat mulai sibuk mempersiapkan lamaran hingga menikah. Beruntung jarak rumah berdekatan sehingga kedua keluarga tidak kesulitan komunikasi dalam setiap detail persiapan. Acara pun berlangsung dengan hikmat dan penuh rasa haru.
Aku dan Selena mengambil cuti seminggu untuk keperluan menikah hingga hari H. Dua hari terakhir kami pergunakan untuk beristirahat di kosan Selena, tempat tinggal kami sementara. Malam pertama sebagai suami istri kami nikmati di kosan. Meski sudah sah, ada rasa malu jika kebersamaan kami terdengar oleh tetangga kosan.
Beberapa bulan menikah, kami sepakat membeli rumah. Sebelumnya kami tinggal di kosan Selena dekat dengan kantornya. Kamar berukuran 5x7 meter itu cocok untuk yang single.Tidak ada masalah atau keributan yang berarti selama setahun pernikahan kami. Urusan domestik rumah tangga, Selena sangat bisa membagi waktu. Jarang memintaku turut membantu. Urusan uang, kami berdua menyukai keterbukaan. Saling mengetahui pendapatan pasangan, sepakat tentang dana tabungan dan belanja rumah tangga. Aku selalu percaya Selena bisa mengelola dengan bertanggung jawab. Urusan ranjang, kami sama-sama senang mengeksplor dan berusaha saling memberi yang terbaik.
Namun kenyamanan itu mulai berubah sejak Selena mengandung. Masa-masa ngidam membuat tampilannya buruk, pucat dan tidak bersemangat. Selera makannya berubah-ubah, tapi sekalinya ingin makanan tertentu harus dituruti. Emosinya labil, sering menangis dan tak lagi enak diajak ngobrol. Ia semakin manja, tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah, berkeras harus menggunakan jasa ART.
Anehnya lagi, mulai rajin mengeluh tentang keuangan. Membuat list kebutuhannya selama hamil, membuat list kebutuhannya saat melahirkan bahkan list kebutuhan bayi yang masih di perutnya.
Yang paling tidak bisa ku terima ialah perubahan kehidupan seks kami. Selena selalu mengeluh capek badan, sedang tidak bersemangat bercinta, takut janin terganggu dan banyak alasan kekhwatiran lainnya. Beberapa kali bertengkar karena aku mengingatkannya tentang hak suami atas tubuh istri, berakhir dengan tudingan tidak punya hati dari bibir Selena. Atau jika kami berdua sedang mood bercinta, selalu Selena yang meminta berhenti sebelum klimaks dengan alasan sakit pinggang. Padahal aku sudah berusaha membuatnya senyaman mungkin.
Bukan tidak bersyukur dengan kehadiran bayi di rahim Selena, aku juga menginginkan keturunan seperti kerinduan orangtuaku. Namun aku tidak bisa menerima cara Selena menghadapi perubahan fase dalam keluarga kami. Ia terlalu takut. Takut kandungan jatuh karena kelelahan, terpaksa mengeluarkan uang untuk membayar jasa ART. Takut tabungan dan gaji bulanan tidak cukup hingga melahirkan nanti, sampai membuat berderet list dan menempelkannya di meja riasnya. Takut kelelahan karena bercinta, takut janin terganggu karena guncangan, takut janin kontraksi dini.
Jujur, aku berusaha memahami Selena. Ibu menjadi tempatku bertanya seputar ibu hamil dan melahirkan, tentu saja tanpa menceritakan keadaan Selena yang terlalu takut. Sesekali ku bantu dalam urusan domestik rumah tangga, tapi Selena tidak pernah menghargai. Performa kerja maksimal ku lakukan di kantor agar dapat insentif besar, ku tunjukkan ke Selena bahwa semua kebutuhan akan tercukupi, tapi ia bilang list yang dia buat bukan untuk sekali waktu. Bahkan banyak artikel tentang gaya bercinta untuk ibu hamil ku baca, ku diskusikan dengan Selena, lagi-lagi berakhir dengan pertengkaran.
Kehamilan Selena bulan ke-tujuh membuat petaka baru untukku. Setelah ia menolak meneruskan penetrasi, aku keluar ke ruang TV. Seperti biasa, ruangan itu menjadi tempat aman untuk menuntaskan hasrat yang menggantung. Sialnya aku tidak mematikan lampu ruangan sehingga ART dengan sengaja memergoki aku yang sudah hampir klimaks.
Diluar dugaan, ART itu menawarkan diri untuk menyelesaikan. Aku yang sudah tidak berpikir jernih mengiyakan dengan cepat. Begitulah awal mula hubungan rahasiaku dengan ART yang mengaku gadis itu.
Aku merasa bodoh telah kalah oleh nafsu. Sampai melupakan harga diri dan berhubungan badan dengan ART. Ku bulatkan tekad bahwa kejadian itu menjadi yang pertama dan terakhir dan lebih menahan diri jika sedang ingin.
Namun niat tinggal niat, otakku tidak bisa kompromi jika sudah urusan nafsu. Apalagi melihat Selena yang semakin sexy di trimester tiga kehamilannya. Dadanya semakin berisi, tubuhnya membentuk siluet yang indah di mataku. Menghindari pertengkaran, aku berinisiatif langsung ke ruang TV dan terkejut melihat si ART sudah duduk manis dengan pakaian yang minim.
"Saya sudah menunggu bapak dari tadi"
Bicaranya yang dibuat sensual dengan sedikit desahan tak ayal membuat birahiku naik. Malam itu aku terjatuh lagi dalam buaian si ART yang semakin piawai memainkan peran di atas tubuhku. Satu hal yang membuatku merasa semakin jantan, dia mau melakukan apa yang ku minta dan mengaku ketagihan dengan tubuhku. Tak terkecuali dengan cairanku yang selalu berakhir di mulutnya.
Lama kelamaan aku menikmati hubungan terlarang ini. Tak lagi mengharapkan momen bercinta dengan Selena. Otomatis pertengkaran kami tentang kebutuhan seks semakin jarang. Pernah beberapa kali Selena meminta bercumbu namun ku tolak halus karena aku tidak ingin kehabisan tenaga saat bertempur dengan si ART.
"Kamu istirahat, ya, sayang. Jaga bayi kita. Aku gak mau ada apa-apa, misalnya kontraksi dini seperti yang dulu kamu bilang" ucapku lembut sambil mengusap puncak perutnya.
"Kata dokter di trimester akhir gak papa, sayang. Asal dilakukan perlahan dan aku tetap dengan posisi nyaman" rengek Selena kala itu.
Sebenarnya aku kasihan melihat wajah memelas Selena, tapi rasa enggan juga timbul kalau mengingat keluhan kesakitan dan aktivitas berhenti bahkan sebelum aku ejakulasi.
Ku bawa Selena letak dalam pelukanku. Mengusap perlahan punggungnya dan sesekali mengecup kedua pelupuk matanya. Setelah bunyi nafasnya teratur, aku meninggalkan kamar dan menuju kamar ART di lantai 1.
Hubunganku dengan si ART tersimpan rapi. Sikapku biasa saja meski sudah berkali-kali mereguk kenikmatan dengannya, terutama jika di hadapan Selena. Petualangan percintaan kami semakin menantang saat Cheryl lahir. Sulit untuk memiliki waktu bercinta dengan si ART karena Selena mulai begadang menyusui Cheryl. Namun tetap ku sempatkan saat Selena sudah terlelap.
Hingga suatu hari, saat Cheryl berumur 3 bulan, si ART yang sudah dua seminggu tidak ku datangi berulah. Ia nekat mendatangi kamar kami dan mengetuk pintu. Selena yang saat itu menyusui Cheryl membukakan pintu.
"Saya gak ada teman nonton TV, Bu. Biasanya bapak yang menemani"
Mendengar suaranya sontak membuatku terbangun dari tidur yang belum sepenuhnya lelap karena baru saja menemani Selena menenangkan Cheryl. Mata ku tutup kembali, tubuhku tetap terbaring, membiarkan Selena menjawab permintaan gila si ART.
Esoknya, aku tidak tinggal diam. Ku datangi kamar si ART saat Selena sudah lelap. Makian dan ancaman keluar dari mulutku. Aku tidak terima diatur oleh seorang ART yang tidak tahu diri. Aku harus memberinya pelajaran.
"Saya hanya ingin kehangatan dari bapak. Tubuh saya sudah terbiasa dengan sentuhan bapak. Saya gak minta macem-macem, pak. Saya pun mau ini tetap jadi rahasia kita. Bahkan saya gak minta uang bapak 'kan?" jawabnya terisak.
Aku semakin marah, tidak terima tangisnya mengendalikan hidupku dan keputusanku. Sesukaku dong mau pakai dia kapan. Aku tidak ingin terikat apapun dengannya. Jelas hubungan ini harus dirahasiakan, bukan hanya aku, posisinya pun terancam. Uang dia bilang? Gaji perbulannya dua kali UMR kota ini!!
Kurang ajar!
Tidak bisa dibiarkan, kemarin mendatangi kamar, besok apalagi? Aku mencari alasan agar Selena memecatnya.
"Aku jadi tidak nyaman di rumah sendiri! Urusan menonton TV pun dikuntit ART. Ngaku-ngaku ku temani nonton pula! Dari dulu aku sudah bilang, aku tidak suka dengan ART yang tinggal bersama dengan kita. Sekarang aku malah gak enak sama kamu, sayang, kamu pasti mikirin yang enggak-enggak tentang aku dan ART itu 'kan?" omelku panjang lebar dengan suara besar.
Tak kurang dari seminggu sejak obrolan itu, Selena memberhentikan si ART dengan alasan tidak butuh lagi jasanya. Bertepatan dengan adanya Kak Ipah sebagai pengasuh Cheryl selama Selena bekerja. Irama jantungku kembali normal, nafas tidak lagi tersekat di tenggorokan. Huaaah!!!
Akhirnya aku terbebas dari ketakutan ketahuan berselingkuh. Muncul rasa bersalah dan menyesal telah membagi tubuh ini selain dengan Selena. Terutama karena aku melihat sendiri bagaimana lelahnya melahirkan dan mengurus bayi. Pengorbanannya tidak terkira demi tumbuh kembang Cheryl. Juga, sikap Selena berangsur membaik setelah kembali aktif bekerja di kantor.
Mulai menikmati peran baru sebagai ayah. Terpesona dengan setiap tingkah bayi lima bulan itu. Meski tangisannya terkadang menganggu istirahat malam, tetap saja wajah sembab penuh air mata terlihat menggemaskan.
Suasana rumah menjadi ramai karena kehadiran Cheryl. Ada saja yang menjadi hiburan dari bayi berpipi gembul itu. Selena bahkan tidak bosan menghabiskan waktu hingga tertidur bersama di kamar Cheryl. Terkadang lupa menyiapkan makan malam. It's Oke!
Keinginan untuk berbincang berkualitas itu kembali ada. Bahan obrolan yang beragam pun kembali karena kesibukan pekerjaan. Paling senang kalau bertukar pikiran dengan Selena tentang motivasi kerja dan cara meraih jenjang kerja yang lebih baik. Kami kembali saling support.
Benar kata orangtua dulu, jika suami istri satu hati dan saling terbuka, maka rejeki akan mengalir untuk keluarga. Kami pun merasakan gelombang rejeki itu dengan sukacita. Bermula dengan promosi jabatanku menjadi assisten manager setelah beberapa bulan kedatangan manager baru. Kemudian Selena, mendapat promosi menjadi supervisor collection menggantikan temannya yang resign karena ingin fokus pada masa kehamilan.
Bukan Selena namanya kalau tidak bersemangat bercerita tentang peran barunya.
"Kerjaan makin banyak, pulang pun gak bisa teng go, but i'm happy!"
Aku ingat matanya penuh binar bahagia saat menerima promosi itu, begitupun aku. Bangga memiliki istri yang tetap bersemangat mengejar karir meski sudah punya anak. Apalagi ia tak pernah mengeluh tentang urusan domestik rumah tangga. Jarang memintaku terlibat. Aku suami yang beruntung!
Demi kenyamanan bekerja, kami sepakat membeli mobil. Kami menjual sepeda motor yang menjadi saksi perjalanan rumah tangga ini. Dalam hati aku berdoa, semoga mobil ini menjadi saksi kebersamaan keluarga kecilku, khususnya Selena.
Aku mulai percaya diri lagi soal bercinta dengan Selena. Setelah beberapa bulan menjajaki dengan bercumbu mesra tanpa menuntut hingga klimaks, gairah itu kembali muncul.
Merencanakan malam romantis berdua dengan Selena di kamar seperti awal pernikahan. Namun tidak terlaksana karena Cheryl rewel, demam akibat tumbuh gigi. Malam berakhir dengan tidur sendiri di ranjang memeluk guling.
Lain waktu ku rayu Selena dengan ciuman panjang yang membuatnya hampir kehilangan keseimbangan. Ia terhanyut dan mulai mengikuti irama nafasku. Usahaku tak sia-sia, kedua lengannya melingkari leherku, ia ingin berlama-lama di bibirku. Usapan lembut dari jemarinya semakin memacuku ingin melayaninya, memberinya seluruh jiwa ragaku.
Namun gairah itu seketika hilang saat Selena menghentikan tanganku membelai dadanya yang penuh.
"Sayang, kita istirahat, yuk. Aku capek di kantor, belum urus Cheryl sepulang kerja. Besok harus fit di kantor, kamu juga kan?
Kalimat itu meluncur dari mulut Selena dengan nada membujuk, tapi entah kenapa egoku seperti disentil. Yang ada di pikiranku saat itu hanya ingin menghabiskan malam bersama. Toh, tidak terjadi setiap hari!Kalau boleh jujur, ingin sekali aku memaksanya, aku berhak sebagai suami. Namun aku pun menyadari, Selena pun harus melakukannya dengan rela, tulus, dan penuh cinta. Kami berdua sama-sama membutuhkannya. Bukankah cinta itu memberi? Bukankah cinta itu membuat pasanganmu bahagia dan merasa dicintai dengan seks yang sehat?Aku sangat mencintai Selena, takut kehilangannya. Cheryl, buah hatiku, juga belahan jiwaku. Dua insan yang sangat berarti dalam hidupku, bahkan dalam perjalanan karirku. Aku berjanji dalam hati tidak akan pernah menyia-nyiakan mereka.Aku memilih bersabar menunggu Selena siap. Demi yang ku cinta, aku memberi waktu sebanyak yang ia butuhkan. Aku tahu cinta itu masih untukku, raga itu masih milikku. Istriku hanya perlu beristirahat panjang setela
Roy akhirnya tiba di apartemen Melissa. Dibukanya pintu dengan kode yang sudah dihapalnya di luar kepala."Mel ... aku sampai!" teriak Roy sambil mencari-cari sosok kekasihnya itu."Disini, Roy!" Suara Melissa terdengar dari arah dapur.Bergerak cepat ke dapur, hidung Roy menangkap aroma kopi dan bolu."Aromanya sungguh menggoda!" Roy mengambil sepotong bolu dari piring tempat Melissa menatanya."Oiya? Kok main comot aja? Kamu bukannya sudah kenyang?" tegur Melissa sambil membawa piring dan kopi ke sofa di depan TV.Roy mengikuti dengan melingkarkan kedua lengannya di pinggang dari samping tubuh Melissa."Aku selalu ingin mencicipi buatan tangan kamu"Kecupan kecil mendarat di pipi Melissa. Keduanya duduk di sofa berdekatan. Lengan Roy disampirkan di sandaran sofa, jarinya mengusap lengan Melissa yang terbuka."Jangan asal makan, buat jeda antara jam makan dan ngemil, nanti lambungnya terlalu lelah, nggiling mulu" ujar M
Tidur Selena terusik karena bunyi pagar dibuka. Terlihat angka 21.10 di jam digital di kamar Cheryl. Merapatkan tubuhnya ke Cheryl yang sudah terlelap."Biar mama di sini dulu, nak" ucapnya seolah Cherly menyuruhnya mendatangi Roy.Hatinya sakit tak terbilang, malu bukan kepalang. Hari ini bak petaka besar untuknya. Roy tega meninggalkannya dan Cheryl di restoran, tidak sedikitpun peduli saat ia tertatih menyusul ke parkiran, bahkan saat air mata mengalir deras di pipinya.Entah kenapa ia tidak bisa menguasai diri. Tak kuasa menahan emosi saat mengetahui panggilan dari nomor yang sama. Nomor itu bisa membuat Roy pergi begitu saja. Ia menyesal tidak bisa lebih tenang. Seandainya Roy tidak ia kejar, tak akan ada wajah kacau dengan air mata, tidak juga terdengar lengkingan tangis dari mulut Cheryl karena ketakutan ditinggal mamanya.Ia malah melanjutkan drama menangis di toilet, semakin konyol dengan membiarkan Cheryl turut serta. Ahh ... ibu macam apa aku i
Selena terjaga karena gerakan Cheryl di pelukannya. Gerakan kepala ke kiri dan ke kanan, seperti tak nyaman dengan posisinya. Ia dengan perlahan memindahkan Cheryl ke kasur dan ikut merebahkan diri.Ingin rasanya ia berlama-lama di tempat tidur, membiarkan hati dan pikiran disiksa luka, hingga air mata mengering. Namun itu tak adil untuk Cheryl yang memerlukan makanan sehat dan cinta dari orangtuanya.Seringkali anak menjadi korban karena pertengkaran orangtuanya. Tidak sedikit yang secara sadar mempertontonkan adu mulut, adu gengsi di depan anak. Mereka tidak menyadari hati sang anak terluka.Bahkan ada pula terbaru mengungkapkan bahwa pertengkaran orang tua yang disaksikan oleh anak bisa menyebabkan peningkatan produksi hormonstres anak. Balita pun bisa terkena efeknya.Bila terus menerus menyaksikan orangtuanya bertengkar, maka sangat mungkin muncul dampak negatif dialami anak. Rasa trauma, ingatan buruk, hingga gangguan kecemasan dapat dialami o
Deg!"Mungkin dia kecarian semalam" jawab Selena sedikit gugup."Nih, angkat! Pakai loud speaker" suruh Roy masih berdiri di tempatnya.Selena berpikir keras, ia harus memilih kata yang tepat agar Delia tidak bicara tentang pesannya."Selena! Lama amat diangkatnya! Kamu kemana aja, sih?" omel Delia panjang."Del, aku sibuk di dapur, ini lagi di kamar Cheryl dengan Roy, mau sarapan bareng" sahut Selena berusaha keras untuk tidak terlihat gugup."Oh ... ya sudah!", Delia terdiam sebentar, "nanti ku hubungi lagi"Delia memutuskan panggilan. Selena lega.Roy seperti tidak puas dengan percakapan pendek itu. Matanya masih tertuju ke wajah Selena. Seolah memindai setiap sudut wajah istrinya itu."Cheryl sudah lapar? Makan, yuk!" ajak Selena mengurai jengah akibat pandangan menyelidik Roy. Tangannya hendak meraih Cheryl."Biar denganku saja" ujar Roy membalikkan badan, berjalan menuju pintu.Cheryl terlihat antusia
[Mas, pemotretannya di perpanjang 3 hari ke depan. Aku gak jadi pulang hari ini.]Hatiku mendadak kacau membaca pesan Kirana, istriku. Sudah dua minggu di Singapura untuk pekerjaan. Pesan yang baru saja ku terima adalah kabar pertama sejak dia pergi.Kadang muncul rasa curiga setiap kali Kirana bepergian berdua dengan managernya ke luar kota atau ke luar negeri. Iya, managernya laki-laki begitupun pemilik agency-nya. Biasanya selalu berakhir dengan pertengkaran jika aku mengingatkan memberi kabar."Aku kerja, mas. Bukan jalan-jalan. Sibuk sepanjang waktu, kadang bikin lupa kasih kabar"Alasan yang sama setiap kali aku tanya kenapa jarang kasih kabar."Memangnya waktu baru bangun pagi, kamu gak bisa sempatin video call? Sebelum tidur? Aku suamimu, Kirana!"Bukannya melunak, Kirana semakin marah. Menuduhku tidak mendukung karirnya sebagai model juga tidak mempercayainya. Pernah terucap bahwa ia menyesal menikahi pria tua sepertiku dan ingin be
Delia pamit pulang lebih dulu. Ia berpesan agar tidak sungkan jika memburuh bantuan. Selena memeluknya dan mengucap terimakasih karena selalu ada untuknya. "Titip ini untuk Cheryl, ya!" Delia menyodorkan satu set bandana dan jepit rambut yang dikemas dalam kotak lucu. "Lucunya ... terimakasih banyak aunty!" Selena berbicara menirukan gaya anak kecil. Sebuah pesan masuk dari Roy memberi tahu akan tiba dalam 20 menit. Rupanya treatment mobil sudah selesai. Selena berniat menunggu di pintu masuk supermarket dengan troli berisi belanjaan. Matanya menangkap sosok yang sepertinya ia kenal, tapi ia kurang yakin. Mengurungkan niat menyapa lebih dulu, Selena memilih berdiri di sebelah sosok itu. "Mba Selena!" Ternyata ingatannya tidak salah. "Hei ... kamu Lala 'kan? Apa kabar?" Telapak kanannya terjulur untuk bersalaman. "Aku kabar baik, mba. Dari tadi aku udah lihat, mba. Sendirian aja, mba?" Lala menautkan jari bersala
"Roy, ponselmu tertinggal di meja teras," panggil Selena, "ada pesan balasan dari Mel."Akhirnya Selena menemukan Roy di ruang kerjanya. Memanfaatkan ruang kosong di sudut lantai 2 dekat jendela, Roy menata dengan penambahan meja dan lemari kerja. Jadilah tempat kerja yang nyaman untuknya.Roy yang didapatinya sedang fokus ke monitor laptop tiba-tiba menoleh cepat saat mendengar kalimat terakhir Selena."Kamu mulai lancang dengan ponselku?" Roy sudah beranjak dari kursinya dan berjalan mendekati Selena. Hanya butuh dua langkah saja."Siapa Mel, Roy?" Selena tidak merasa lancang jika membuka ponsel suami sendiri."Bukan urusanmu, sini!" Roy terlihat mulai emosi. Bola matanya tampak membulat sempurna.Selena berkelit dengan cepat, "Tidak! Sebelum kamu jujur tentang nomor ini dan siapa Mel."Dengan suara bergetar menepis tangan Roy yang hendak mengambil ponsel. Ia mengambil jarak lebih lebar ke belakang Roy. Ponsel masih dalam genggamann