Deg!
"Mungkin dia kecarian semalam" jawab Selena sedikit gugup.
"Nih, angkat! Pakai loud speaker" suruh Roy masih berdiri di tempatnya.
Selena berpikir keras, ia harus memilih kata yang tepat agar Delia tidak bicara tentang pesannya.
"Selena! Lama amat diangkatnya! Kamu kemana aja, sih?" omel Delia panjang.
"Del, aku sibuk di dapur, ini lagi di kamar Cheryl dengan Roy, mau sarapan bareng" sahut Selena berusaha keras untuk tidak terlihat gugup.
"Oh ... ya sudah!", Delia terdiam sebentar, "nanti ku hubungi lagi"
Delia memutuskan panggilan. Selena lega.
Roy seperti tidak puas dengan percakapan pendek itu. Matanya masih tertuju ke wajah Selena. Seolah memindai setiap sudut wajah istrinya itu.
"Cheryl sudah lapar? Makan, yuk!" ajak Selena mengurai jengah akibat pandangan menyelidik Roy. Tangannya hendak meraih Cheryl.
"Biar denganku saja" ujar Roy membalikkan badan, berjalan menuju pintu.
Cheryl terlihat antusia
[Mas, pemotretannya di perpanjang 3 hari ke depan. Aku gak jadi pulang hari ini.]Hatiku mendadak kacau membaca pesan Kirana, istriku. Sudah dua minggu di Singapura untuk pekerjaan. Pesan yang baru saja ku terima adalah kabar pertama sejak dia pergi.Kadang muncul rasa curiga setiap kali Kirana bepergian berdua dengan managernya ke luar kota atau ke luar negeri. Iya, managernya laki-laki begitupun pemilik agency-nya. Biasanya selalu berakhir dengan pertengkaran jika aku mengingatkan memberi kabar."Aku kerja, mas. Bukan jalan-jalan. Sibuk sepanjang waktu, kadang bikin lupa kasih kabar"Alasan yang sama setiap kali aku tanya kenapa jarang kasih kabar."Memangnya waktu baru bangun pagi, kamu gak bisa sempatin video call? Sebelum tidur? Aku suamimu, Kirana!"Bukannya melunak, Kirana semakin marah. Menuduhku tidak mendukung karirnya sebagai model juga tidak mempercayainya. Pernah terucap bahwa ia menyesal menikahi pria tua sepertiku dan ingin be
Delia pamit pulang lebih dulu. Ia berpesan agar tidak sungkan jika memburuh bantuan. Selena memeluknya dan mengucap terimakasih karena selalu ada untuknya. "Titip ini untuk Cheryl, ya!" Delia menyodorkan satu set bandana dan jepit rambut yang dikemas dalam kotak lucu. "Lucunya ... terimakasih banyak aunty!" Selena berbicara menirukan gaya anak kecil. Sebuah pesan masuk dari Roy memberi tahu akan tiba dalam 20 menit. Rupanya treatment mobil sudah selesai. Selena berniat menunggu di pintu masuk supermarket dengan troli berisi belanjaan. Matanya menangkap sosok yang sepertinya ia kenal, tapi ia kurang yakin. Mengurungkan niat menyapa lebih dulu, Selena memilih berdiri di sebelah sosok itu. "Mba Selena!" Ternyata ingatannya tidak salah. "Hei ... kamu Lala 'kan? Apa kabar?" Telapak kanannya terjulur untuk bersalaman. "Aku kabar baik, mba. Dari tadi aku udah lihat, mba. Sendirian aja, mba?" Lala menautkan jari bersala
"Roy, ponselmu tertinggal di meja teras," panggil Selena, "ada pesan balasan dari Mel."Akhirnya Selena menemukan Roy di ruang kerjanya. Memanfaatkan ruang kosong di sudut lantai 2 dekat jendela, Roy menata dengan penambahan meja dan lemari kerja. Jadilah tempat kerja yang nyaman untuknya.Roy yang didapatinya sedang fokus ke monitor laptop tiba-tiba menoleh cepat saat mendengar kalimat terakhir Selena."Kamu mulai lancang dengan ponselku?" Roy sudah beranjak dari kursinya dan berjalan mendekati Selena. Hanya butuh dua langkah saja."Siapa Mel, Roy?" Selena tidak merasa lancang jika membuka ponsel suami sendiri."Bukan urusanmu, sini!" Roy terlihat mulai emosi. Bola matanya tampak membulat sempurna.Selena berkelit dengan cepat, "Tidak! Sebelum kamu jujur tentang nomor ini dan siapa Mel."Dengan suara bergetar menepis tangan Roy yang hendak mengambil ponsel. Ia mengambil jarak lebih lebar ke belakang Roy. Ponsel masih dalam genggamann
"Selena ...."Panggilan Harris menghentikan gerakan jemari Selena di laptopnya."Saya, pak" jawab Selena yang sudah berdiri di pintu ruangan."Janji dengan restoran The Traders jam 11.00 'kan?" tanya Harris masih sibuk dengan ponselnya."Betul, pak. Rencana berangkat dari kantor 10.20, pak" jelas Selena terus menatap Harris."Saya dipanggil direktur, nih ...," Harris menempelkan ponsel ke telinganya dan menatap lawan bicaranya, " ... kamu kenapa?"Pertanyaan Harris diluar dugaan Selena. Padahal ia sudah berusaha menyamarkan mata bengkak dan wajah sembabnya dengan make up."Saya, pak?" tanya Selena kikuk.Harris mengangkat telunjuknya ke hidung."Halo, bu ... iya ... saya ketemu customer 10.20. Oke! I'm on my way!"Harris berbicara dengan direktur keuangan sambil terus menatap wajah Selena. Seperti memindai sesuatu."Emm ... saya meeting dengan direktur dulu, nanti kamu tunggu saya di lobby!" Harris beranjak
'Melissa''Mel''Roy dan Melissa'Tubuh Selena masih berdiri kaku di balik dinding yang tingginya tidak lebih dari 2 meter. Kedua tangannya masih memegang erat ponsel di dada. Hidungnya mulai kembang kempis. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Mendatangi Roy dan menyapa Melissa? Memaki keduanya dan mempermalukan dirinya sendiri?Masuk ke toilet menjadi pilihan Selena. Ia sudah tak sanggup menahan desakan air mata yang sejak tadi menggantung di sudut matanya. Isak tangisnya tertahan, ia tak ingin menjadi tontonan pengguna toilet.'Selena, kau belum kalah. Roy hanya butuh sedikit hiburan'Mengulang-ulang kalimat itu di pikirannya sambil mematut pantulan dirinya di cermin.'Kau cantik, body masih ramping meski anak satu, kau punya pekerjaan yang kau banggakan, kau berharga!'Sekeras apapun ia mencoba, sakit hati dan rendah diri itu semakin kuat menguasai perasannya. Menyeka ingus di hidung merahnya lalu membasuh pipinya yang sudah
"Selena ...." panggil Harris bersamaan saat baru tiba di ruangan. Tangannya melambai ke arah Selena meminta ikut dengannya ke ruang kerja."Duduk ...."Selena menarik kursi dan duduk sesuai perintah Harris. Ia tak bisa menebak apa yang akan disampaikan Harris sesore ini. Sepuluh menit lagi pukul 18.00. Bukan menolak penugasan mendadak, tapi ia belum berbagi kabar dengan Kak Ipah."Tolong pulang lebih awal, Lena. Ada tetangga yang menikah, seberang rumah. Seenggaknya aku bisa mampir sebentar setelah magrib"Pesan Kak Ipah sebelum ia berangkat kerja pagi tadi. Semoga Harris tidak membuatnya pulang terlambat."Selena, saya minta data customer yang pembeliannya diatas lima 3 juta dalam seminggu. Berikan keterangan apakah customer bayar cash atau kredit, lalu ... saya minta dibuatkan riwayat pembayarannya selama jadi customer kita""Baik, pak. Kapan bapak butuh data ini?" tanya Selena meminta penjelasan lanjut.""Rabu pagi, ya! Untuk riway
[Roy yang mana, Mas?]Sebenarnya Selena enggan membalas pesan Arjuna. Pria itu baru dikenalnya dalam dua kali waktu. Meski kesan yang dirasakannya positif, tapi Selena merasa perlu menjaga diri mengingat statusnya. Satu-satunya alasan menerima panggilan video darinya adalah titipan makanan untuk Cheryl.Namun rasa penasaran tak ayal membuat Selena mengetikkan pesan balasan meski sudah larut malam. Kalau benar Roy yang dimaksud adalah suaminya, lantai apa yang hendak disampaikan Arjuna?Sepuluh menit berlalu. Ponselnya belum juga berdering. Selena salah tingkah. Tak seharusnya membalas langsung pesan Arjuna. Bagaimana kalau Arjuna hanya ingin memancingnya?Merasa konyol sudah berpikir keras tentang Arjuna, dilanjutkannya mengirim pesan kepada rekan kantornya tentang tugas tambahan dari Harris.[Duh, kok mepet banget, Bu?][Tumben minta data begituan, Bu? Ada kasus apa?]Dan beragam feedback lainnya dari rekan kerjanya membuat grup menj
Malam semakin larut, Roy sudah mendengkur. Ia sendiri ingin segera lelap. Matanya rasa panas juga lelah. Seluruh tubuhnya seperti remuk. Suasana hatinya tak kunjung damai. Jam 02.00 dini hari, ia harus tidur. Menutup kelopak mata kuat-kuat berharap gerakan itu membuat saraf matanya rileks. Entah gerakan apa lagi yang dilakukannya hingga akhirnya tertidur pulas. Tetap terjaga pada jam yang sama meski tidur larut. Bangun siang tidak ada dalam kamus hidupnya. Memaksa tubuhnya yang terasa berat menuruni tangga. Kepalanya semakin terasa berat. Namun ia harus terus bergerak. Mustahil untuk ijin tidak masuk kerja hari ini. Baru kemarin Harris memberinya tugas tambahan. Bisa-bisanya penilaian kinerja turun kalau tidak bisa mengawal diri. Roy bangun lebih awal. Ia sudah berpakaian kerja saat mengapa Cheryl di meja makan. Berlalu begitu saja ke luar rumah. Beberapa detik kemudian deru mesin mobil terdengar, diakhiri suara besi beradu. Menatap pintu kelu
Selena berulang kali membaca hasil putusan pengadilan yang baru saja ia terima hari ini. Tangannya bergetar memegang kertas. Gemuruh di dada semakin mengguncang pundaknya. Air matanya tak ayal tumpah. Sakit.Tak pernah membayangkan akan menjalani usia pernikahan yang singkat. Kalah dengan usia pernikahan orang tuanya. Pun tidak pernah menyangka akan menjadi janda diusia menjelang 30. Dengan satu balita.Kalau ada yang harus disesalkan, tak lain adalah komunikasi yang buruk dengan suaminya. Ketidak mampuan mereka dalam hal menyamakan persepsi tentang persiapan memiliki bayi. Kebanyakan pasangan kurang pemahaman dan pengetahuan tentang kehamilan dan mengasuh anak. Peran istri dan suami sama pentingnya dalam setiap fase. Sama-sama merasakan lelah dan bahagia menanti sang buang hati. Ayah dan ibu ada pada setiap tumbuh kembang janin bahkan hingga lahir ke dunia.Namun waktu tak lagi diulang. Tak guna juga berlama-lama dalam penyesalan. Toh, ia pun sudah berusa
POV SelenaLangkahku sedikit kaku menuju ruang kerja direktur keuangan. Pagi tadi, intercom di mejaku berbunyi sesaat setelah meletakkan bokong di kursi."Bu Selena, ada pesan dari direktur keuangan. Ditunggu jam 10 di ruangannya. Terima kasih."Intercom ditutup begitu saja. Dari nomor yang tertera di layar pesawat telepon, panggilan dari resepsionis. Entah apa yang membuat mereka sesinis itu denganku. Mengucap salam pagi pun tidak saat memulai pembicaraan.Aku tak bisa menebak apa topik pembicaraan kali ini. Ku ingat-ingat lagi seluruh list KPI-ku sebagai asisten manajer. Rasanya tidak ada yang meleset dari target. Tunjangan jabatan dan insentif tidak akan cair jika pencapainku kurang dari 75%.Perihal ijin dan kasus persidanganku, juga tidak mungkin. Sidang terakhir pun tidak ku ikuti. Semua urusan administrasi ku percayakan ke Aldo. Roy tak pernah lagi mampir dan membuat keributan.Apa berurusan dengan internal birokrasi kantor yang tidak tertulis? S
"Del, mau makan ke mana? Jangan jauh-jauh. Jam 1 sudah harus di kantor lagi." Sungkan menolak ajakan Delia dan Aldo, tapi ia juga tak ingin membuat masalah baru. Jangankan si resepsionis, tembok gedung kantor pun bisa membuat laporan ke direktur."Cafe dekat sini aja, Len. Yuk!" sahut Delia dengan mata teduh seolah menenangkan sahabatnya.Tak membantah, Selena masuk ke kursi penumpang, tepat di belakang Aldo. Mobil melaju dengan perlahan dan berhenti pada sebuah cafe yang jaraknya tak lebih 500 meter dari kantor."Roy benar-benar sentimen ke Arjuna, Len. Untung aja si Juna lagi waras tadi, kalo gak, beuhh!" Delia membuka percakapan setelah memesan menu untuknya dan Aldo."Sampai Aldo kehabisan kata dengan kepercayaan diri si Roy. Ha-ha-ha. Iya, gak, Al?" sikut Delia ke Aldo yang masih sibuk dengan ponselnya sejak turun dari mobil."Hm ... mungkin, dia baru ngerasa salah langkah sudah mengusir Selena dari rumah." imbuh Aldo sambil memastikan
"Mas, aku sudah bikin janji dengan dokter, hari ini hari pertama haidku." Karina membuka mulut, memasukkan sepotong sandwich berisi irisan alpukat dan telur."Oh, ya? Jadwalnya jam 11, kan?" Arjuna terlihat kaget. Tangannya yang sedang memotong roti terhenti sejenak."Aku berangkat sendiri saja, mas. Kamu nyusul." Karina tak membalas tatapan rasa bersalah Arjuna. Ia tahu suaminya harus hadir sebagai saksi di sidang perceraian Selena. Keputusan Arjuna yang tidak bisa diterimanya hingga sekarang. Jangankan menjadi saksi, mencarikan pengacara saja sudah sangat membuat Karina cemburu."Sayang, maaf, aku tidak menyangka akan jadi sulit begini. Jadwal sidang jam 10.00." sesal Arjuna menarik jemari istrinya ke sisi mejanya."Gimana kalau nanti pas kamu konsul, video call denganku, di ruangan si dokternya." pinta Arjuna sambil membujuk Karina.'Sudahlah, mas! Kamu dengan sadar memberi perhatian untuk perempuan lain.'Anggukan ringan kepa
POV MelissaHari ini lelahnya maksimal. Sejak pagi, jam 08.00 hingga pukul 09.00 malam berkutat dengan banyak data dan memandangi laptop. Aku dan Mey bersemangat membenahi sistem dan fasilitas yang diperlukan untuk mengembangkan bisnis start up IT Om Arman.Iya, data klien dan seluruh informasi dari perusahaan Pak Fendy, ku olah bersama Mey. Tidak meniru bulat-bulat, kami melakukan modifikasi dan membuat program menarik. Baik secara hardware dan software. Berbekal pengetahuan selama dua tahun bekerja di perusahaan Pak Fendy dan kemampuan manajemen SDM yang dikuasai Mey, kami memperkuat pilar-pilar bisnis baru Om Arman.Hari ini finishing, tahap terakhir, setelah hampir 3 minggu menjalani puluhan rapat direksi, beberapa kali briefing dengan konsultan IT bersertifikat, dan banyak agenda lain di luar kantor. Dan, aku sangat lega. Meskipun tidak mendapat posisi dalam perusahaan rintisan Om Arman, tapi aku dan Mey punya jumlah saham yang sama. Atas pemberian Om
Hari-hari berlalu terasa cepat. Sidang pertama serasa baru kemarin ia jalani, malam ini Roy menjumpai amplop coklat di pagar. Amplop yang membuat ingatannya akan kehilangan Selena dan Cheryl.Sejak ditegur oleh orang tuanya, Roy tak lagi bernyali menemui istrinya. Meski ia sangat ingin berbicara dari hati ke hati, seperti yang dulu sering mereka lakukan. Saat Cheryl belum ada.'Ah, itu sudah lama sekali. Aku baru merasa rindu sekarang. Mungkin Selena merindukannya sejak lama dan aku tidak peka.'Masuk ke rumah dengan lesu, Roy berencana langsung tidur. Ia tak ingin tidur di kamar lagi. Mendadak ia merasa kamar itu sangat sepi dan kosong. Belakangan lebih nyaman berlama-lama di sofa hingga terlelap sembari membayangkan Selena masih sibuk membersihkan dapur dan Cheryl ketiduran di karpet rasfur ditemani mainannya.Tak ia hiraukan jeritan perut yang minta diisi. Sejak pagi memang hanya diisi semangkuk mie instan. Siang tadi ia menyibukkan dir
POV RoyKepalaku berdenyut seperti dipukuli palu kecil persis di kedua pelipis. Tengkukku terasa panas dan tegang. Entah karena otakku mulai panas atau karena lapar yang ku tahan sejak siang.Aku harus makan kalau tak ingin sakit. Ku seret kaki ke dapur hendak memeriksa isi lemari. Berharap ada sisa roti setidaknya untuk pengganjal perut. Tanganku sedikit gemetar saat mengambil air minum di dispenser. Ah ... kenapa jadi konyol begini? Tak pernah terlintas dalam bayangan akan tinggal sendiri dengan kondisi mengenaskan.Ku periksa dompet, hanya ada selembar pecahan 100 ribu. Bensin belum ku isi lagi. Seingatku jarum penunjuknya sudah di garis kedua dari bawah.Tak ada stok roti. Isi kulkas kosong, bersih.Ah, kenapa gak stok mie instan dan telur, sih? Si Lala bikin stok beras gak, sih? Perutku harus diisi nasi kalau sudah begini. Container beras diletak di mana lagi.Rasanya lelah sekali mengitari dapur padahal ukuran
POV RoyAku tidak bisa menahan golak amarah melihat Selena meninggalkanku begitu saja. Dia berubah jadi pembangkang sejak ku usir dari rumah. Belum lagi temannya si Delia yang sok tahu tentang cinta. Ta* kucing!Tidak ada yang salah dengan sikap dan omonganku. Aku jelas tidak akan mencari kenikmatan dari perempuan lain kalau Selena sanggup memenuhi kebutuhanku. Istri itu, kan, memang harus sedia setiap kali suami butuh. Selena malah tidak mengakui kekurangannya. Padahal kalau dia minta maaf dan mencabut gugatan, aku siap menerimanya kembali. Meskipun dia sudah bekasnya Arjuna.Belum selesai amarah karena sikap sombong Selena, foto Bram dan Melissa di restoran Arjuna menambah tegang otot leherku. Ku lampiaskan amarah dengan meninju kaca mobil dan setir bergantian.Ku pikir aku harus melakukan sesuatu. Melissa harus tahu aku marah. Dia gak bisa pergi begitu aja dan membuatku hancur. Karir dan pendapatanku di ujung tanduk. Mengenaskan.K
Roy berulang membaca pesan terakhir Bram. Rasanya tak percaya kalau Bram kenal dengan Arjuna dan pengacara Selena. 'Selena punya pengacara? Ia mampu membayar jasa pengacara? Pasti si Arjuna yang membantunya. Sialan!'Telapak tangannya membuka, Roy menepuk meja dengan kesal. Ia tak menyangka Selena seniat itu bercerai.'Dia silau oleh harta dan kenyamanan dari Arjuna. Cih! Perempuan itu memang tak layak ku pertahankan!'Mie instannya sampai mengembang karena masih asik menggerutu. Panggilan intercom menyadarkannya, waktu sepuluh menitnya sudah berakhir."Istrimu mengajukan gugatan cerai? Apa dia tahu tentang Melissa?" tanya pak direktur terkesan mengejek. Roy terpaksa harus jujur tentang keperluan cuti mendadaknya besok. Ia bertekad hadir dan membela diri. Ia akan mengungkapkan semua kebenaran. Persetan dengan Bram, Melissa dan Arjuna!"Iya, pak. Ini hanya salah paham, itu sebabnya saya ingin meluruskan semuanya. Berdamai dan ruk