Selena mencoba menebak apa yang hendak dibicarakan Harris sampai-sampai menghubunginya diluar jam kerja. Ia yakin sudah membereskan pekerjannya.
"Halo, Pak ... selamat malam"
"Selena, apa meeting dengan restoran Traders jadi kamu jadwalkan?"
Terdengar bunyi pengendali jarak jauh di belakang Harris. Berikutnya suara langkah kaki yang teratur. Sepertinya Harris baru keluar dari mobilnya.
"Oh ... sudah, pak. Saya sudah email ke bapak juga ke tim sales. Owner-nya menyediakan waktu hari Senin jam 11.00, pak" jelas Selena.
Cheryl berusaha meraih ponsel yang menempel di telinga Selena diiringi gumaman kecil. Tak ayal Selena menempelkan jari telunjuk ke hidung, meminta Cheryl tenang.
""Halo, pak ... maaf ..."
Selena hendak menjelaskan kegaduhan kecil yang terjadi.
"It's OK! Nanti saya cek email, deh! Thanks!"
Harris memutuskan sambungan telepon. Selena memandangi layar pipih itu untuk sesaat. Maksud bapak apa, sih? Bukannya dia yang yang minta di info via email! Ah, jadi makin lapar ....
***"Nanti aku jemput dari rumah, ya!" Roy mengunyah sarapannya. Roti bakar isi selai Nutella."Iya, sayang. Biar gak bolak balik, ya" sahut Selena mengiyakan.
Akibat kelelahan sepulang kerja, Selena tertidur dan tidak mendengar kedatangan Roy. Ia menyadari tubuh Roy di ranjang saat hendak bangun subuh tadi.
Baik Selena dan Roy sama-sama bekerja dari Senin sampai Sabtu. Jam kerja dihari Sabtu hingga pukul 13.00, itu sebabnya jalan-jalan atau sekedar makan di luar rumah adalah hal yang dinanti setelah penat seminggu dengan pekerjaan.
Acara reuni sengaja diselenggarakan hari Sabtu sore hari, supaya teman-teman yang masih berkutat dengan pekerjaan kantor bisa hadir.
"Tolong siapkan Cheryl nanti, ya, kak! Dress-nya sudah aku letakin di sofa" jelas Selena saat berpamitan ke pengasuh Cheryl.
Roy sudah menunggu di mobil membunyikan klakson mengingatkan Selena.
"Kamu bukannya briefing Sabtu?" tanya Roy terkesan jengkel.
"Bener, jam 8.00" Selena meletakkan perlengkapannya di jok belakang.
"Makanya, buruan!" ujar Roy lagi tidak sabaran.
Selena memasang seat belt dan merapikan pakaiannya. Tak perlu menyahuti supaya tak tersakiti.
Mobil melaju dengan cepat, sepertinya Roy juga ingin tiba lebih awal di kantornya. Selena menikmati kecepatan itu dengan tenang sembari memandangi setiap kendaraan yang mereka lalui.
***"Saya mau kasus sejenis ini diingatkan setiap briefing jadi kita bisa lihat ada progres penagihan atau tidak. Tenaga penjualnya sudah melakukan pekerjaannya dengan benar atau tidak"Harris mengakhiri briefing bersama tim sales dan penagihan dengan memberi catatan untuk kedua tim. Ketukan pulpennya di meja menandakan keseriusan.
"Dan, untuk meeting Senin depan dengan owner restoran Traders, saya mau sales yang selama ini urus customer ini ikut meeting juga!" Harris mengarahkan wajahnya kepada sales yang dimaksud.
Selena berbincang sebentar dengan si sales setelah meeting berakhir. Harris yang masih duduk tampak sibuk dengan handphonenya. Sementara isi ruangan sudah mulai kosong.
"Pak, saya duluan ke ruangan" pamit Selena.
"Oke, salesnya sudah paham 'kan untuk hari Senin?" Harris beranjak dari kursi.
"Sudah, pak. Kalau pun dia datang sedikit telat, kita mulai saja meeting dengan owner-nya, pak" sahut Selena mengekor langkah Harris.
"Saya tetap akan tunggu dia, karena saya mau tahu apa yang dia sampaikan ke si owner ini tentang sistem pembayaran di kantor kita"
"Baik, pak. Nanti saya hubungi dia satu jam sebelum meeting" ujar Selena lagi.
Berkutat kembali dengan pekerjaan sambil sesekali melirik penunjuk jam pada pojok kanan laptopnya. Dikirimnya pesan ke Kak Ipah supaya mulai membenahi Cheryl juga mengingatkan Roy supaya menjemput tepat waktu.
"Pak, saya permisi pulang duluan" Selena menghampiri meja Harris. Meski jam kantor sampai pukul 13.00 tak jarang karyawan terus bekerja lewat dari jam kerja. Seperti Harris yang selalu pulang lebih lama dari anak buahnya setiap Sabtu.
"Oke, Senin ke kantor dulu, nanti kita berangkat sama-sama ke trades" ujar Harris tanpa menoleh ke Selena.
"Baik, pak!"
***[Aku sudah on the way ke rumah, kalian sudah siap?]Pesan Roy setengah jam lalu, baru dibacanya.
[Sayang, kami sudah selesai beres-beres. Kamu dimana?]
Seharusnya Roy sudah tiba jika benar berangkat 30 menit lalu dari kantor.
Tin!
Suara klakson mobil terdengar di pagar. Selena dan Cheryl menuju pintu menunggu Roy.
"Halo Cheryl ... mau kemana? Sudah cantik pakai pita!" Roy menggoda Cheryl setelah keluar dari mobil.
Cheryl tertawa renyah sambil menggelengkan kepalanya, "yok ... yok ...."
"Duh, udah gak sabar pengen naik mobil? Yok katanya pa!"
"Yok ... yok ...." sahut Roy menirukan seruan Cheryl dan membawaya ke pelukannya.
"Kamu gak ganti pakaian, sayang? Aku sudah siapin di kamar"
"Kamu mau aku ganti pakaian? Gak match dengan dress kamu, ya?" tanya Roy yang memandangi Selena sejak tadi.
Binar di mata Roy membuat Selena geli. Ditahannya tawa yang sudah di ujung bibirnya.
"Kenapa mesti matching-in ke dress aku? Kamu nyamannya gimana? Siapa tahu nanti dapat calon klien baru disana, kan perlu mempersiapkan diri" terang Selena panjang lebar.
"Ya, sudah ... sebentar aku ganti dulu"
Terdengar rengekan Cheryl saat Roy bergerak masuk ke rumah diikuti tawa kecil Selena menenangkan putrinya. Tak berapa lama Roy sudah bergabung dengan mereka di teras.
"Let's go, Cheryl!" Roy meletakkan putrinya di car seat dan memastikan posisinya sudah aman dan nyaman.
"Kita berangkat, ya. Belum telat kan?" Memundurkan mobil dan keluar lagi untuk menarik pagar.
"Belum, sayang, di grup juga belum berisik. Biasanya pasti langsung kasih kabar kalau sudah tiba di resto" ucap Selena sambil memeriksa isi handphonenya.
"Kita ke Traders kan?" Roy memastikan alamat yang mereka tuju.
"Ho'oh, kata kamu enak tempatnya, ya!" Selena mengingat lagi pembicaraan dengan Roy beberapa hari lalu.
"Enak! Aku sering kesana bawa klien atau calon klien. Steik-nya juara!" jawab Roy antusias.
"Keren juga kantor kamu, service klien dengan steik! Apa kabar si gue yang hari-hari makan bekal makan siang bikinan sendiri"
Roy terdiam sejenak menatap lurus ke jalan, "Itu kan demi imej perusahaan, sayang. Ada kok yang menolak makan steik dan lebih memilih masakan padang" ucapnya pelan.
Merasa tidak ada sahutan dari istrinya, Roy menoleh ke arah kiri.
"Kamu kenapa? Ada yang salah dengan pakaianku?" Roy menunduk memeriksa atasan dan pakaiannya. Pasalnya Selena memandanginya sudah cukup lama.
"Heh ... dijawab, dong! Kok malah senyum-senyum, sih?" tanya Roy lagi sambil bergantian memandang jalanan dan Selena.
"Hhmmm ... aku seneng aja, sayang. Sudah lama kita gak bepergian bareng kayak gini"
Tangan Selena bergerak mengusap pundak ke bisep Roy. Kagum dengan tubuh tegap dan kesan kokoh pada pundaknya. Mau dipakaikan apapun terlihat fit di tubuh Roy. Seperti kemeja flanel kotak-kotak kecil dengan gradasi hijau juga celana panjang khaki yang membalut pahanya yang ramping. Manly juga sexy, bisik Selena dalam hati.
"Thanks ya, sayang" ujar Selena setelah puas menjelajah tubuh Roy dengan matanya.
Sebuah anggukan kecil dengan senyuman manis di wajah menjadi tanggapan singkat dari Roy.
Akhirnya mereka tiba di tujuan, Selena memeriksa handphone dan grup WA, barangkali ada informasi baru. Roy memastikan mobil sudah terparkir dengan posisi yang benar. Cheryl meronta-ronta ingin melepaskan diri dari seat car.
"Sabar, sayang!" Selena menenangkan.
"Biar aku yang pegang Cheryl!" Roy sudah berdiri di pintu jok belakang.
Selena membuat dirinya nyaman dengan sendal 7 centi berwana putih dengan perlahan mengetukkan block heel nya ke batako.
"Yuk!" Roy mengajaknya masuk ke restoran. Segera diikuti Selena dengan menautkan jemarinya ke jemari Roy, mengimbangi langkah dan berjalan bersisian.
Salah satu karyawan restoran mengarahkan mereka ke ruangan yang sudah dibooking untuk acara reuni teman SMP-nya. Mereka tiba di sebuah ruangan besar lengkap dengan karaoke. Meja dan kursi sudah ditata rapi, pun dengan menu makan dan cemilan di sisi kiri kanan ruangan .
"Wah, sudah banyak yang datang!" seru Selena yang disambut teriakan oleh temannya.
"Selena! Itu kau?"
"Kamu dengan suami?""Lucunya anakmu!" "Sibuk apa sekarang?""Kerjaan suamimu apa?"Beberapa pertanyaan 'wajib' yang saling dipertanyakan saat berjumpa dengan teman satu sekolah setelah puluhan tahun tidak bertukar kabar.
Ada yang merespon dengan sungguh-sungguh dan tulus, ada juga yang menanggapi dengan bersikap misterius, atau malah menanggapi dengan teka teki. Ada yang dengan bangga mengulang lagi kisah-kisah penuh heroik ala anak SMP, ada yang memilih menjadi pendengar.
Selena sendiri sudah memisahkan diri dari kumpulam teman yang masih asik bercerita, ia mengajak Roy mengambil tempat yang dekat dengan jendela.
"Mau ambilin kopi, sayang?" Selena menawarkan diri.
"Boleh, sayang" Roy masih asik dengan Cheryl yang sudah didudukkan di high chair.
Hei ... Selena!" Terdengar suara seorang pria memanggilnya.
"Hei ... hallo ... Jefry?" tebak Selena masih meneruskan mengisi cangkir untuk Roy.
"Wah ... you look different!" Jefry mendekat.
"Oiya? Kamu juga. Gak pakai seragam SMP lagi" jawab Selena asal sambil mengambil beberapa bungkus brown sugar.
Ucapan Selena tak ayal membuat Jefry tergelak, "rupanya kau pun tak lagi pendiam!" Tangannya menekan tombol termos kopi.
"Waktu merubah segalanya, Jef" ucap Selena.
"Ya ... betul! Bahkan aku surprise melihatmu mengambil kopi dengan brown sugar!" Jefri makin penasaran.
"Oh, ini untuk suamiku" terang Selena mengambil jarak dari Jefry.
"Kamu sudah menikah?" tanya Jefry seolah tidak percaya.
"Tentu, mari ku kenalkan dengan suamiku, Jef" ajak Selena melangkah mendekat ke meja Roy.
"Sayang, ini kopimu. Oiya, kenalkan ... ini Jefry"
"Hallo, Roy"
"Hei ... aku Jefry, teman dekat Selena semasa SMP!" Jefry sangat percaya diri.
"Oiya? Salam kenal" sahur Roy lagi sambil menyodorkan tangan kanan Cheryl ke Jefry.
"Hallo, om!" Cheryl membawa punggung tangan Jefry ke bibirnya.
"Anakmu, Lena?" Jefry seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Ya, umurnya 3 tahun, om" sahut Selena menirukan suara putrinya.
Tiba-tiba pembicaraan mereka dikejutkan oleh Delia yang memeluk Selena dari belakang.
"Selena ...!" Delia memeluk erat pinggang temannya itu dengan suara pekik suara gembira.
"Duh, jangan kencang-kencang, Del! Sesak" gumam Selena manja.
"Hai, Jef! Gercep juga, lo!" seru Delia yang baru menyadari kehadiran Jefry si ketua kelas.
"Iya, gue penasaran sama Selena. Dia banyak berubah, Del!" Jefry terlihat serius menanggapi Delia.
"Ya, iyalah, kalau sudah menikah dan punya anak, auranya memang beda" sahut Delia yakin.
Jefry tampak membuka mulut hendak menanggapi perkataan Delia ketika terdengar suara microphone diketuk. Pemandu acara menyapa peserta yang hadir dan meminta untuk duduk pada kursi masing-masing.
Jefry mengambil meja tidak jauh dari Selena, Delia duduk satu meja dengan sahabatnya itu.
"Kenapa datang sendiri, Del?" bisik Selena.
"Suamiku tidak pernah nyaman dengan teman SMP kita. Bahkan dia merasa grup WA kita gak guna. Jadi, dia memilih berdua dengan si kecil di rumah" jelas Delia panjang lebar sambil menahan tawa.
Sama dengan Selena, merasa lucu dengan ekspresi wajah Delia saat berbicara tentang suaminya, akhirnya ikut tertawa kecil sambil menutup mulutnya.
Begitulah, selera tidak bisa dipaksakan. Beruntung Roy masih mau ikut serta dan tidak banyak mengomentari grup pertemanannya di aplikasi pesan berlogo hijau itu.
Susunan acara berlangsung satu demi satu. Acara memang dirancang untuk saling mengingat kebersamaan jaman SMP. Dikemas dengan santai namun tetap melibatkan semua peserta yang hadir.
Tiba saat bersantap hidangan yang disediakan, Cheryl mulai gelisah dan rewel. Selena menawarkan cemilan kentang goreng tapi tidak disambut oleh Cheryl. Mungkin diaper-nya penuh, pikir Selena.
"Roy, aku bawa Cheryl ke toilet dulu, ya. Mau ganti diaper" pamit Selena berbisik ke telinga Roy.
Ternyata Cheryl ingin buang air besar, mereka tepat waktu tiba di toilet. Membersihkan putrinya dan mengganti pakaian, Selena kembali ke ruang reuni.
Saat kembali meletakkan bokongnya di kursi, matanya tidak sengaja menangkap ponsel Roy yang berkedip-kedip. Sebuah panggilan masuk.
Tunggu dulu ... itu seperti nomor yang kemarin, batin Selena. Iya masih ingat tiga angka terakhirnya.
Roy yang fokus bernyanyi tidak menyadari kehadiran Selena, juga tidak melihat ponselnya. Delia pun sama, bernyanyi bersama dengan yang lainnya.
Beberapa menit berlalu, nyanyian berhenti menunggu sukarelawan yang mau bernyanyi. Roy kembali ke meja dan mengambil ponsel, mengaktifkan layar dan wajahnya berubah serius.
"Apa dia menyuruhmu pulang?" Selena tidak mau dibohongi lagi.
"Kamu ngomong apa, sih?"
"Aku lihat pop up pesannya, Roy!" seru Selena berusaha menekan suaranya. Delia tampak mendekat ke meja.
"Oiya? Dia bukan siapa-siapa" Roy memasukkan ponselnya ke kantong kemejanya.
Delia melihat perubahan mood Selena, menyenggol siku temannya dan bertanya dengan isyarat mata. Gelengan kecil kepalanya menjadi jawaban.
Tidak berapa lama Roy terlihat menarik ponsel dari sakunya dan mengangkat telepon. Ia menyingkir ke pojok ruangan, menjauh dari kumpulan orang yang sudah mulai bernyanyi.
Mata Selena mengekor kemana Roy pergi. Ia gelisah dan mulai kesal. Kenapa tidak menjawab panggilan di meja, Selena curiga.
"Sayang, aku ada urusan mendadak. Nanti kalau aku tidak bisa jemput, naik taksi aja, ya!"
Roy pamitan setelah kembali dari pojok ruangan. Air mukanya berubah serius.
"Roy, jangan begini, please!" Selena menarik tangan Roy dengan wajah memelas. Membaut Roy terhenti sejenak.
Beberapa orang temannya menyaksikan keributan kecil mereka. Cheryl ikut gelisah melihat papa mamanya menjauh darinya, sedang Delia hanya bisa diam menunggu.
"Lena, please, ini urgen!" Roy mulai kesal, menarik tangannya dan melangkah lebar-lebar.
"Aku harus tahu kamu kemana" ujar Selena yang berhasil menyusul langkah Roy hingga ke pintu keluar ruangan.
"Bukan urusanmu!" hardik Roy dengan suara besar.
"Roy ... sayang ... tunggu!" Selana bersiap mengejar Roy namun dicegat Delia yang menggendong Cheryl.
"Lena, Cheryl menangis keras sekali" ucap Delia lirih.
Dada Selena naik turun menahan tangis, ia malu melihat Delia. Dibawanya Cheryl ke pelukannya dan berjalan tertatih ke toilet. Tak mungkin kembali ke ruangan dengan keadaannya yang kacau.
Diletakkannya Cheryl di wastafel sementara ia masuk ke toilet dan menangis tergugu. Ia menenggelamkan wajahnya diantara kedua lutut yang diangkatnya ke closet duduk.
Cheryl bingung melihat pantulan dirinya di cermin dan sesekali melirik ke pintu tempat mamanya masuk tadi. Ia mulai menangis. Namun tangisannya tak kunjung membuat Selena keluar.
***Suara anak kecil menangis menarik perhatian Arjuna yang baru saja selesai dari toilet pria. Setengah tak yakin, kakinya melangkah ke toilet wanita, arah datangnya suara itu.Suara anak menangis semakin jelas di telinganya, langkahnya semakin cepat. Benar saja, ia melihat anak kecil duduk di wastafel menangis kencang. Ia iba dengan wajah penuh air mata dan ingus di hidung itu.
"Sssttt .... sayang, kamu ngapain disini?" Arjuna menyentuh puncak kepala Cheryl.
Tangisan Cheryl semakin kencang, sepertinya ia ketakutan. Arjuna kelabakan, matanya mencari-cari orang dewasa, nihil. Hanya ia dan bayi kecil ini. Ada orang iseng meletakkan anaknya di toilet? Arjuna mendesah tak percaya.
"Halo, ada orang disini?" Arjuna masih menepuk-nepuk punggung Cheryl yang sudah mulai tenang.
Isak tangis Selena terhenti demi mendengar suara pria di toilet wanita. Sekali lagi didengarnya pria itu bertanya memastikan ada orang atau tidak.
Siapa, sih? Selena kesal. Ia sempat melihat Jefry berdiri saat ia mengejar Roy. Apa itu Jefry? Kening Selena berkerut. Cepat ia membersihkan wajah dengan tissue saat menyadari Cheryl sudah tidak menangis lagi dan suara langkah kaki menjauh ke pintu.
Apa Jefry ingin mencuri perhatian dariku dengan membujuk Cheryl? Pikiran Selena mulai tak karuan. Segera membuka pintu toilet dan hendak menghentikan Jefry.
"Jefry! Berhenti! Jangan bawa Cheryl!" Selena berteriak histeris menarik kerah baju pria yang menggendong Cheryl. Tarikan yang kuat dan tiba-tiba menjadi keseimbangan pria dihadapannya oleng.
Arjuna terkejut dengan tarikan di kerah kemejanya, berbalik dengan tidak sempurna dan hampir jatuh menimpa perempuan di belakangnya. Beruntung ia cepat menguasai diri dan menarik perempuan itu ke pelukannya dengan cepat. Sehingga posisi tubuh mereka terhuyung ke depan.
Selena menarik nafas lega mengetahui dirinya tidak jadi jatuh. Namun seketika panik saat melihat wajah pria yang memeluknya.
"Kau bukan Jefry?"
"Mama ...."
Langkahku lebar-lebar menuju mobil, tak ku hiraukan Selena yang mengikuti dengan mata berembun. Melissa pasti sudah menunggu lama di salon. Aku memaksa mengantarnya sepulang kantor tadi dan berjanji menjemputnya lagi. Ku pikir acara reuni teman SMP Selena tidak akan lama. Ah, harusnya aku langsung pulang saat jamuan makan. Ku ambil selembar uang pecahan lima ribu, menempelkannya ke telapak tangan satpam yang sudah membantu mengeluarkan mobil. Ini Sabtu, restoran ramai pengunjung. Semakin malam semakin ramai. Memacu mobil dengan kecepatan sedang karena jalanan juga sudah mulai padat. Otakku memperkirakan lama perjalanan yang ku tempuh untuk sampai ke salon. "Arghh ... satu jam lagi!" Tanganku spontan memukul setir. Aku mengerang tak sabar. Khawatir Melissa tidak mau menunggu lebih lama seperti yang sudah-sudah. Ku ambil ponsel dan menekan nomor Melissa yang sengaja tidak ku simpan di buku kontak. "Mel ... sabar, ya! Kamu masih di salon 'kan?"
Kalimat itu meluncur dari mulut Selena dengan nada membujuk, tapi entah kenapa egoku seperti disentil. Yang ada di pikiranku saat itu hanya ingin menghabiskan malam bersama. Toh, tidak terjadi setiap hari!Kalau boleh jujur, ingin sekali aku memaksanya, aku berhak sebagai suami. Namun aku pun menyadari, Selena pun harus melakukannya dengan rela, tulus, dan penuh cinta. Kami berdua sama-sama membutuhkannya. Bukankah cinta itu memberi? Bukankah cinta itu membuat pasanganmu bahagia dan merasa dicintai dengan seks yang sehat?Aku sangat mencintai Selena, takut kehilangannya. Cheryl, buah hatiku, juga belahan jiwaku. Dua insan yang sangat berarti dalam hidupku, bahkan dalam perjalanan karirku. Aku berjanji dalam hati tidak akan pernah menyia-nyiakan mereka.Aku memilih bersabar menunggu Selena siap. Demi yang ku cinta, aku memberi waktu sebanyak yang ia butuhkan. Aku tahu cinta itu masih untukku, raga itu masih milikku. Istriku hanya perlu beristirahat panjang setela
Roy akhirnya tiba di apartemen Melissa. Dibukanya pintu dengan kode yang sudah dihapalnya di luar kepala."Mel ... aku sampai!" teriak Roy sambil mencari-cari sosok kekasihnya itu."Disini, Roy!" Suara Melissa terdengar dari arah dapur.Bergerak cepat ke dapur, hidung Roy menangkap aroma kopi dan bolu."Aromanya sungguh menggoda!" Roy mengambil sepotong bolu dari piring tempat Melissa menatanya."Oiya? Kok main comot aja? Kamu bukannya sudah kenyang?" tegur Melissa sambil membawa piring dan kopi ke sofa di depan TV.Roy mengikuti dengan melingkarkan kedua lengannya di pinggang dari samping tubuh Melissa."Aku selalu ingin mencicipi buatan tangan kamu"Kecupan kecil mendarat di pipi Melissa. Keduanya duduk di sofa berdekatan. Lengan Roy disampirkan di sandaran sofa, jarinya mengusap lengan Melissa yang terbuka."Jangan asal makan, buat jeda antara jam makan dan ngemil, nanti lambungnya terlalu lelah, nggiling mulu" ujar M
Tidur Selena terusik karena bunyi pagar dibuka. Terlihat angka 21.10 di jam digital di kamar Cheryl. Merapatkan tubuhnya ke Cheryl yang sudah terlelap."Biar mama di sini dulu, nak" ucapnya seolah Cherly menyuruhnya mendatangi Roy.Hatinya sakit tak terbilang, malu bukan kepalang. Hari ini bak petaka besar untuknya. Roy tega meninggalkannya dan Cheryl di restoran, tidak sedikitpun peduli saat ia tertatih menyusul ke parkiran, bahkan saat air mata mengalir deras di pipinya.Entah kenapa ia tidak bisa menguasai diri. Tak kuasa menahan emosi saat mengetahui panggilan dari nomor yang sama. Nomor itu bisa membuat Roy pergi begitu saja. Ia menyesal tidak bisa lebih tenang. Seandainya Roy tidak ia kejar, tak akan ada wajah kacau dengan air mata, tidak juga terdengar lengkingan tangis dari mulut Cheryl karena ketakutan ditinggal mamanya.Ia malah melanjutkan drama menangis di toilet, semakin konyol dengan membiarkan Cheryl turut serta. Ahh ... ibu macam apa aku i
Selena terjaga karena gerakan Cheryl di pelukannya. Gerakan kepala ke kiri dan ke kanan, seperti tak nyaman dengan posisinya. Ia dengan perlahan memindahkan Cheryl ke kasur dan ikut merebahkan diri.Ingin rasanya ia berlama-lama di tempat tidur, membiarkan hati dan pikiran disiksa luka, hingga air mata mengering. Namun itu tak adil untuk Cheryl yang memerlukan makanan sehat dan cinta dari orangtuanya.Seringkali anak menjadi korban karena pertengkaran orangtuanya. Tidak sedikit yang secara sadar mempertontonkan adu mulut, adu gengsi di depan anak. Mereka tidak menyadari hati sang anak terluka.Bahkan ada pula terbaru mengungkapkan bahwa pertengkaran orang tua yang disaksikan oleh anak bisa menyebabkan peningkatan produksi hormonstres anak. Balita pun bisa terkena efeknya.Bila terus menerus menyaksikan orangtuanya bertengkar, maka sangat mungkin muncul dampak negatif dialami anak. Rasa trauma, ingatan buruk, hingga gangguan kecemasan dapat dialami o
Deg!"Mungkin dia kecarian semalam" jawab Selena sedikit gugup."Nih, angkat! Pakai loud speaker" suruh Roy masih berdiri di tempatnya.Selena berpikir keras, ia harus memilih kata yang tepat agar Delia tidak bicara tentang pesannya."Selena! Lama amat diangkatnya! Kamu kemana aja, sih?" omel Delia panjang."Del, aku sibuk di dapur, ini lagi di kamar Cheryl dengan Roy, mau sarapan bareng" sahut Selena berusaha keras untuk tidak terlihat gugup."Oh ... ya sudah!", Delia terdiam sebentar, "nanti ku hubungi lagi"Delia memutuskan panggilan. Selena lega.Roy seperti tidak puas dengan percakapan pendek itu. Matanya masih tertuju ke wajah Selena. Seolah memindai setiap sudut wajah istrinya itu."Cheryl sudah lapar? Makan, yuk!" ajak Selena mengurai jengah akibat pandangan menyelidik Roy. Tangannya hendak meraih Cheryl."Biar denganku saja" ujar Roy membalikkan badan, berjalan menuju pintu.Cheryl terlihat antusia
[Mas, pemotretannya di perpanjang 3 hari ke depan. Aku gak jadi pulang hari ini.]Hatiku mendadak kacau membaca pesan Kirana, istriku. Sudah dua minggu di Singapura untuk pekerjaan. Pesan yang baru saja ku terima adalah kabar pertama sejak dia pergi.Kadang muncul rasa curiga setiap kali Kirana bepergian berdua dengan managernya ke luar kota atau ke luar negeri. Iya, managernya laki-laki begitupun pemilik agency-nya. Biasanya selalu berakhir dengan pertengkaran jika aku mengingatkan memberi kabar."Aku kerja, mas. Bukan jalan-jalan. Sibuk sepanjang waktu, kadang bikin lupa kasih kabar"Alasan yang sama setiap kali aku tanya kenapa jarang kasih kabar."Memangnya waktu baru bangun pagi, kamu gak bisa sempatin video call? Sebelum tidur? Aku suamimu, Kirana!"Bukannya melunak, Kirana semakin marah. Menuduhku tidak mendukung karirnya sebagai model juga tidak mempercayainya. Pernah terucap bahwa ia menyesal menikahi pria tua sepertiku dan ingin be
Delia pamit pulang lebih dulu. Ia berpesan agar tidak sungkan jika memburuh bantuan. Selena memeluknya dan mengucap terimakasih karena selalu ada untuknya. "Titip ini untuk Cheryl, ya!" Delia menyodorkan satu set bandana dan jepit rambut yang dikemas dalam kotak lucu. "Lucunya ... terimakasih banyak aunty!" Selena berbicara menirukan gaya anak kecil. Sebuah pesan masuk dari Roy memberi tahu akan tiba dalam 20 menit. Rupanya treatment mobil sudah selesai. Selena berniat menunggu di pintu masuk supermarket dengan troli berisi belanjaan. Matanya menangkap sosok yang sepertinya ia kenal, tapi ia kurang yakin. Mengurungkan niat menyapa lebih dulu, Selena memilih berdiri di sebelah sosok itu. "Mba Selena!" Ternyata ingatannya tidak salah. "Hei ... kamu Lala 'kan? Apa kabar?" Telapak kanannya terjulur untuk bersalaman. "Aku kabar baik, mba. Dari tadi aku udah lihat, mba. Sendirian aja, mba?" Lala menautkan jari bersala