"Ini pesanan salad kalian, ya!" Meletakkan bungkusan di meja bundar tempat briefing pagi.
"Thanks, Bu Selena" sahut rekan kerjanya hanya bergantian.
Saat berpamitan makan siang diluar lagi, rekan kerjanya meminta tolong dibelikan salad buah.
"Emangnya kalian tahu saya mau kesana?" goda Selena dengan memasang wajah jahil.
"Terus ibu mau makan dimana memangnya? Bawa bekal begituan apa diijinin sama warung bakso?" Rani staff-nya tak kalah jahil menggoda Selena yang sudah bersiap dengan tas bekal di tangannya.
Sontak seisi ruangan tertawa mengabaikan Harris yang masih bekerja di ruangannya.
"Iya, deh! Ketahuan banget si gue bukan anak tongkrongan!" Selena melangkah menuju pintu keluar sambil pura-pura merajuk.
"Yeee ... jadi kita bisa nitip beli salad 'kan, Bu?" tanya rekannya yang lain memastikan.
"Bisa, dong! Nanti japri aja!"
Dan disinilah ia sekarang, menerima uang pembayaran pesanan salad masing-masing temannya. Beberapa orang mengerubungi Selena, menunggu antrian pembayaran.
"Selena kenapa?" suara Harris tiba-tiba menghentikan keriuhan yang terjadi.
"Bu Selena baik-baik saja, pak!" suara Rina terdengar menanggapi pertanyaan Harris.
Selena malah terdiam kaku karena melihat mata yang sama seperti saat menabrak Harris kemarin. Harris mengkhawatirkan dirinya? How come?"Oh, jadi, kenapa rame-rame begini?" Harris masih berdiri di tempatnya, tak jauh dari kubikel Selena.
"E ... tadi teman-teman nitip beli salad, jadi ini lagi pada bayar" jawab Selena akhirnya setelah menguasai diri.
"Gak bisa nanti setelah jam kerja? Jam istirahat sudah selesai 'kan?" Harris melangkah masuk ke ruangannya.
Hah? Kok bikin bete, sih?
Teman-temannya membubarkan diri dan kembali ke meja masing-masing. Selena menahan tawa melihat ekspresi kesal di wajah temannya.
"Selena, kesini sebentar!" Harris memanggil.
"Saya, pak" sahut Selena segera.
Dalam hitungan detik Selena sudah berdiri di seberang meja Harris.
"Kamu sudah siapkan bahan meeting besok dengan departemen sales?" Harris bertanya tanpa melihat lawan bicaranya, ia menginginkan diri dengan laptopnya.
"Ini sedang dikerjakan, pak. Sambil tarik data pembayaran update per pukul 12.00"
Selena merasa sudah melakukan tugasnya sesuai instruksi kerja dari Harris."Oke, selesaikan sesuai deadline, ya! Sebisa mungkin yang paling update!" tegas Harris lagi.
"Baik, pak! Ada lagi yang lain, pak?"
Selena merasa Harris sedang ingin menyampaikan sesuatu yang bersifat personal. Jika ini urusan pekerjaan, dia sudah disuruh duduk sejak masuk.
"Hmm ... saya lihat kamu beberapa kali makan siang diluar. Harap kembali tepat waktu ke kantor. Jam istrihat di kantor ini belum berubah 'kan?"
Kali ini air muka Harris berubah lebih datar, menurut penglihatan Selena.
"E ... ya, hari ini kali kedua, pak. Baik, pak. Berikutnya saya akan kembali sebelum jam istirahat selesai" janji Selena.
Senyum masih terbentuk di bibirnya, tidak ada perubahan ekspresi sama sekali, iya ... Selena paham dia tidak mungkin mendebat Harris.
"Justru karena baru dua kali, jadi kamu bisa notice untuk berikutnya. Paham 'kan!" suara Harris mulai melunak.
"Saya paham, pak" angguk Selena kemudian.
Ia kembali ke meja kerjanya setelah Harris menaikkan dagunya pertanda pembicaraan dengannya sudah berakhir.Diperlakukan dengan dingin atau dimarahi karena pekerjaan sudah hal biasa bagi Selena. Namun sikap Harris kali ini mengusik pikirannya.
Ia mencoba mengingat lagi jam tiba di kantor setelah makan siang dari toko Delia. Jarak kantor dengan toko Delia dapat ditempuh dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Menghabiskan makan siang 40 menit, itu pun sudah makan dengan santai. Kembali ke kantor 10 menit sebelum jam 1 siang. Kalau pun terlambat tiba di kantor, mungkin 1 sampai 3 menit.
Lah, dia sendiri baru datang jam berapa tadi? Selena ngedumel dalam hati. Ah, biarkan saja, mungkin beliau diajak ngobrol direktur keuangan hari ini, batinnya lagi.
Dunia kerja kadang selucu itu. Atasanmu sering tiba-tiba marah ke kamu, karena atasannya atasanmu juga tiba-tiba marah. Seolah semua kesalahan datangnya dari bawahan atau semua instruksi atasan sudah benar.
'Saya ditegur keras oleh atasan, jadi saya mau kita sama-sama belajar dari kesalahan ini'
Semacam mekanisme pertahanan diri atas kemarahan yang tiba-tiba. Namun tidak pernah terucap kata maaf karena marah untuk urusan pekerjaan bukan urusan pribadi. Klise.
Memilih tidak terlarut dalam kesal pada teguran Harris, Selena mengerjakan update report penagihan untuk bahan briefing mingguan Sabtu besok.
Sesudah melakukan pengecekan ulang setiap sheet laporannya, juga memastikan ke masing-masing timnya, Selena mencari ponsel. Diusapnya layar sebesar 7" itu, barangkali ada pesan masuk yang terlewat.
[Lena, baca grup, ya. Tempat reuninya sudah fix. Anggota grup diminta reply nama yang fix ikut. Segera, sayang!]
Pesan dari Delia pukul 15.00, satu jam yang lalu. Dibukanya grup WA yang dimaksud Delia. Ribuan chat belum dibacanya karena jarang aktif di grup. Chat paling akhir baru 3 menit yang lalu, berisi 53 nama yang fix hadir besok.
Ia tidak berniat datang kalau bukan karena Delia. Nimbrung di grup saja tidak berselera apalagi bertatap muka. Bukannya sombong, ia hanya tidak mau bersikap pura-pura akrab, juga tidak ahli dalam bercandaan yang berujung pada bully-an.
Ia dijuluki si kutu buku yang kuper saat SMP. Teman akrabnya hanya Delia. Teman yang lainnya tidak suka mengobrol dengannya, membosankan katanya. Temannya hanya butuh Selena untuk urusan PR.
Tak ketinggalan si ketua kelas, Jefry, yang selalu membawakan aneka cokelat untuknya. Juga demi mendapatkan contekan PR bahkan ujian dari Selena. Merasa tersanjung dengan semua perhatian dan pemberi Jefry, ia tidak keberatan membantu. Setidaknya cap kutu buku yang kuper hilang darinya.
Sampai akhirnya ia sadar hanya dimanfaatkan oleh Jefry demi mendapat nilai yang bagus. Tidak hanya untuk Jefry, tapi juga untuk semua teman gengnya. Pengakuan itu didapat Selena dari mulut Jefry sendiri saat akhir tahun sekolah.
Kecewa pada diri sendiri dan menyadari sudah terlalu naif. Itu sebabnya ia tidak terlalu antusias saat diundang dalam grup remaja SMP. Pada akhirnya pun teman-temannya tetap menjadikan kisah Jefry dan dirinya sebagai bahan candaan.
Bunyi pesan masuk menarik Selena dari ingatan.
[Lena, kenapa belum balas di grup? Kamu harus ikut! Buruan, sayang!]
Pesan dari Delia lagi, memaksa harus ikut reuni besok.
[Del, sori banget, aku sudah ada janji jalan bareng Roy dan Cheryl]
Ditambahkannya emoticon kedua telapak tangan menyatu. Pesannya centang dua biru.
[Cocok banget malah! Bawa Roy dan Cheryl ke acara reuni, sekalian bikin si Jefry kapok]
Mata Selena mendelik membaca pesan baru dari Delia. Fix! Delia beneran rindu kenangan SMP!
[Aku tanya ke Roy dulu, ya! Aku gak janji ikut]
Ia justru tidak ingin menunjukan kehidupan pribadinya ke Jefry, juga tidak ingin pengakuan apapun dari mantan ketua kelasnya itu. Biarlah kenangan masa SMP menjadi pelajaran untuknya supaya semakin bijak memilih teman. Bahkan jika kisah mereka menjadi lelucon bagi Jefry demi membangun citra dirinya yang punya power sampai kini, ia tidak keberatan.
[Buruan, ya! Jangan lama-lama. Gak seru kalau kamu gak ikutan]
Delia membalas dengan cepat dibubuhi emoticon heart dan kiss yang banyak. Dibalasnya segera dengan emoticon jempol dan kiss. Ponsel ditaruh kembali, ia harus merampungkan reportnya sebelum Roy menjemput.
Ekor matanya menangkap bayangan Harris meninggalkan ruangan dengan tangan kosong. Selena dengan cepat memanggil dan menyusul langkah bosnya.
"Pak, ada customer yang mau bayar tagihan besok pagi sebelum jam 11, jatuh temponya hari ini. Ini customer yang kemarin pembayarannya macet selama 6 bulan"
Harris menghentikan dan membalikkan badannya menghadap Selena. Terdiam beberapa detik, "Apa alasan dia tidak bayar hari ini? Sales yang handle customer ini siapa?"
"Waktu saya call bagian keuangannya, katanya owner-nya masih di luar kota. Sales-nya Faisal, pak"
"Oke, make sure besok pagi mereka bayar, update ke saya lagi" pinta Harris sambil mengambil ponsel yang berdering daritong bagian dalam jasnya.
"Iya, pak!" sahut Selena hendak memutar badan menuju meja lagi.
"Selena ...." panggil Harris lagi dengan ponsel sudah menempel di telinga kanannya, "minta Faisal mengatur pertemuan kita dengan si owner. Saya mau hari ini ada kabar jadwalnya"
"Baik, pak" jawab Selena sedikit mengangguk.
Harris bergerak menuju pintu, "Saya masih di kantor, jangan ganggu saya" terdengar jelas dari tempat Selena berdiri.
***[Oke, sayang. Besok kita ke acara reuni teman sekolah kamu. Restorannya nyaman dan menunya enak-enak.]Ada lengkungan terbentuk di bibirnya saat membaca pesan dari Roy. Ia senang karena Roy mau meluangkan waktu meski itu bersamaan dengan reuni teman SMP-nya.
Selena akhirnya menanyakan kesediaan Roy ikut ke acaranya melalui ponsel. Tugas tambahannya dari Harris membuatnya pulang lebih lama dan secara bersamaan Roy mengabari akan pulang larut lagi.
Memberi kabar ke Delia setelah menuliskan namanya di grup. Sekarang ia sudah bisa duduk tenang menunggu taksi tumpangannya tiba di rumah. Meski tadi sudah memberi kabar ke Kak Ipah akan pulang terlambat tetap saja ia tidak tenang. Khawatir Cheryl ngambek karena mamanya tak kunjung datang, juga khawatir ibunya Kak Ipah butuh sesuatu.
Benar saja, Cheryl sudah merengek dipangkuan Kak Ipah, keduanya berdiri di dekat pagar.
"Maaf, ya, kak. Tadi ada tambahan pekerjaan yang harus diselesaikan segera" kata Selena sambil mencuci tangan di wastafel. Cheryl sudah meronta-ronta minta diturunkan.
"Santai, Lena. Aku juga sudah pamit ke ibu. Aman, kog!" sahut Kak Ipah menenangkan.
Kak Ipah akhirnya bersiap pulang setelah bercerita tentang kegiatannya dengan Cheryl hari ini. Selena diingatkan supaya membeli susu dan kebutuhan Cheryl lainnya.
"Stoknya sudah menipis, sempatkan belanja minggu ini"
Selena mengiyakan dan mengantar Kak Ipah ke pagar. Cheryl dengan semangat mengayunkan telapak tangannya tanda perpisahan.
"Duh, mama capek sekali ... kita pesan makanan, yuk!" Selena mengambil ponsel dari tas dan membuka aplikasi pesan antar.
"Cheryl mau apa? Mau kentang atau nugget?" Ditunjukkannya gambar pada ponsel.
Cheryl menepuk tangan kegirangan, "ni", jarinya menunjuk nugget.
Mulut Selena membulat sambil memandangi Cheryl kagum, "Wahhh ... Cheryl suka nugget!"
Ia sendiri memilih menu bakso. Kadang akibat terlalu kelelahan, pikiran maupun fisik, tidak bernafsu makan. Itu sebabnya ia memesan bakso, makanan berkuah yang disantap selagi hangat membuatnya berselera.
Bakso dengan kuah pedas mood booster gue, pikir Selena.
Selang beberapa menit ponselnya berbunyi. Cepat juga pesanannya diproses, pikir Selena. Mungkin baksonya sudah habis. Tangganya meraih benda pipih dari atas sofa.
Keningnya berkerut melihat layar ponsel. Bukan panggilan dari kurir.
"Halo, Pak Harris ...."
Selena mencoba menebak apa yang hendak dibicarakan Harris sampai-sampai menghubunginya diluar jam kerja. Ia yakin sudah membereskan pekerjannya. "Halo, Pak ... selamat malam" "Selena, apa meeting dengan restoran Traders jadi kamu jadwalkan?" Terdengar bunyi pengendali jarak jauh di belakang Harris. Berikutnya suara langkah kaki yang teratur. Sepertinya Harris baru keluar dari mobilnya. "Oh ... sudah, pak. Saya sudah email ke bapak juga ke tim sales. Owner-nya menyediakan waktu hari Senin jam 11.00, pak" jelas Selena. Cheryl berusaha meraih ponsel yang menempel di telinga Selena diiringi gumaman kecil. Tak ayal Selena menempelkan jari telunjuk ke hidung, meminta Cheryl tenang. ""Halo, pak ... maaf ..." Selena hendak menjelaskan kegaduhan kecil yang terjadi. "It's OK! Nanti saya cek email, deh! Thanks!" Harris memutuskan sambungan telepon. Selena memandangi layar pipih itu
Langkahku lebar-lebar menuju mobil, tak ku hiraukan Selena yang mengikuti dengan mata berembun. Melissa pasti sudah menunggu lama di salon. Aku memaksa mengantarnya sepulang kantor tadi dan berjanji menjemputnya lagi. Ku pikir acara reuni teman SMP Selena tidak akan lama. Ah, harusnya aku langsung pulang saat jamuan makan. Ku ambil selembar uang pecahan lima ribu, menempelkannya ke telapak tangan satpam yang sudah membantu mengeluarkan mobil. Ini Sabtu, restoran ramai pengunjung. Semakin malam semakin ramai. Memacu mobil dengan kecepatan sedang karena jalanan juga sudah mulai padat. Otakku memperkirakan lama perjalanan yang ku tempuh untuk sampai ke salon. "Arghh ... satu jam lagi!" Tanganku spontan memukul setir. Aku mengerang tak sabar. Khawatir Melissa tidak mau menunggu lebih lama seperti yang sudah-sudah. Ku ambil ponsel dan menekan nomor Melissa yang sengaja tidak ku simpan di buku kontak. "Mel ... sabar, ya! Kamu masih di salon 'kan?"
Kalimat itu meluncur dari mulut Selena dengan nada membujuk, tapi entah kenapa egoku seperti disentil. Yang ada di pikiranku saat itu hanya ingin menghabiskan malam bersama. Toh, tidak terjadi setiap hari!Kalau boleh jujur, ingin sekali aku memaksanya, aku berhak sebagai suami. Namun aku pun menyadari, Selena pun harus melakukannya dengan rela, tulus, dan penuh cinta. Kami berdua sama-sama membutuhkannya. Bukankah cinta itu memberi? Bukankah cinta itu membuat pasanganmu bahagia dan merasa dicintai dengan seks yang sehat?Aku sangat mencintai Selena, takut kehilangannya. Cheryl, buah hatiku, juga belahan jiwaku. Dua insan yang sangat berarti dalam hidupku, bahkan dalam perjalanan karirku. Aku berjanji dalam hati tidak akan pernah menyia-nyiakan mereka.Aku memilih bersabar menunggu Selena siap. Demi yang ku cinta, aku memberi waktu sebanyak yang ia butuhkan. Aku tahu cinta itu masih untukku, raga itu masih milikku. Istriku hanya perlu beristirahat panjang setela
Roy akhirnya tiba di apartemen Melissa. Dibukanya pintu dengan kode yang sudah dihapalnya di luar kepala."Mel ... aku sampai!" teriak Roy sambil mencari-cari sosok kekasihnya itu."Disini, Roy!" Suara Melissa terdengar dari arah dapur.Bergerak cepat ke dapur, hidung Roy menangkap aroma kopi dan bolu."Aromanya sungguh menggoda!" Roy mengambil sepotong bolu dari piring tempat Melissa menatanya."Oiya? Kok main comot aja? Kamu bukannya sudah kenyang?" tegur Melissa sambil membawa piring dan kopi ke sofa di depan TV.Roy mengikuti dengan melingkarkan kedua lengannya di pinggang dari samping tubuh Melissa."Aku selalu ingin mencicipi buatan tangan kamu"Kecupan kecil mendarat di pipi Melissa. Keduanya duduk di sofa berdekatan. Lengan Roy disampirkan di sandaran sofa, jarinya mengusap lengan Melissa yang terbuka."Jangan asal makan, buat jeda antara jam makan dan ngemil, nanti lambungnya terlalu lelah, nggiling mulu" ujar M
Tidur Selena terusik karena bunyi pagar dibuka. Terlihat angka 21.10 di jam digital di kamar Cheryl. Merapatkan tubuhnya ke Cheryl yang sudah terlelap."Biar mama di sini dulu, nak" ucapnya seolah Cherly menyuruhnya mendatangi Roy.Hatinya sakit tak terbilang, malu bukan kepalang. Hari ini bak petaka besar untuknya. Roy tega meninggalkannya dan Cheryl di restoran, tidak sedikitpun peduli saat ia tertatih menyusul ke parkiran, bahkan saat air mata mengalir deras di pipinya.Entah kenapa ia tidak bisa menguasai diri. Tak kuasa menahan emosi saat mengetahui panggilan dari nomor yang sama. Nomor itu bisa membuat Roy pergi begitu saja. Ia menyesal tidak bisa lebih tenang. Seandainya Roy tidak ia kejar, tak akan ada wajah kacau dengan air mata, tidak juga terdengar lengkingan tangis dari mulut Cheryl karena ketakutan ditinggal mamanya.Ia malah melanjutkan drama menangis di toilet, semakin konyol dengan membiarkan Cheryl turut serta. Ahh ... ibu macam apa aku i
Selena terjaga karena gerakan Cheryl di pelukannya. Gerakan kepala ke kiri dan ke kanan, seperti tak nyaman dengan posisinya. Ia dengan perlahan memindahkan Cheryl ke kasur dan ikut merebahkan diri.Ingin rasanya ia berlama-lama di tempat tidur, membiarkan hati dan pikiran disiksa luka, hingga air mata mengering. Namun itu tak adil untuk Cheryl yang memerlukan makanan sehat dan cinta dari orangtuanya.Seringkali anak menjadi korban karena pertengkaran orangtuanya. Tidak sedikit yang secara sadar mempertontonkan adu mulut, adu gengsi di depan anak. Mereka tidak menyadari hati sang anak terluka.Bahkan ada pula terbaru mengungkapkan bahwa pertengkaran orang tua yang disaksikan oleh anak bisa menyebabkan peningkatan produksi hormonstres anak. Balita pun bisa terkena efeknya.Bila terus menerus menyaksikan orangtuanya bertengkar, maka sangat mungkin muncul dampak negatif dialami anak. Rasa trauma, ingatan buruk, hingga gangguan kecemasan dapat dialami o
Deg!"Mungkin dia kecarian semalam" jawab Selena sedikit gugup."Nih, angkat! Pakai loud speaker" suruh Roy masih berdiri di tempatnya.Selena berpikir keras, ia harus memilih kata yang tepat agar Delia tidak bicara tentang pesannya."Selena! Lama amat diangkatnya! Kamu kemana aja, sih?" omel Delia panjang."Del, aku sibuk di dapur, ini lagi di kamar Cheryl dengan Roy, mau sarapan bareng" sahut Selena berusaha keras untuk tidak terlihat gugup."Oh ... ya sudah!", Delia terdiam sebentar, "nanti ku hubungi lagi"Delia memutuskan panggilan. Selena lega.Roy seperti tidak puas dengan percakapan pendek itu. Matanya masih tertuju ke wajah Selena. Seolah memindai setiap sudut wajah istrinya itu."Cheryl sudah lapar? Makan, yuk!" ajak Selena mengurai jengah akibat pandangan menyelidik Roy. Tangannya hendak meraih Cheryl."Biar denganku saja" ujar Roy membalikkan badan, berjalan menuju pintu.Cheryl terlihat antusia
[Mas, pemotretannya di perpanjang 3 hari ke depan. Aku gak jadi pulang hari ini.]Hatiku mendadak kacau membaca pesan Kirana, istriku. Sudah dua minggu di Singapura untuk pekerjaan. Pesan yang baru saja ku terima adalah kabar pertama sejak dia pergi.Kadang muncul rasa curiga setiap kali Kirana bepergian berdua dengan managernya ke luar kota atau ke luar negeri. Iya, managernya laki-laki begitupun pemilik agency-nya. Biasanya selalu berakhir dengan pertengkaran jika aku mengingatkan memberi kabar."Aku kerja, mas. Bukan jalan-jalan. Sibuk sepanjang waktu, kadang bikin lupa kasih kabar"Alasan yang sama setiap kali aku tanya kenapa jarang kasih kabar."Memangnya waktu baru bangun pagi, kamu gak bisa sempatin video call? Sebelum tidur? Aku suamimu, Kirana!"Bukannya melunak, Kirana semakin marah. Menuduhku tidak mendukung karirnya sebagai model juga tidak mempercayainya. Pernah terucap bahwa ia menyesal menikahi pria tua sepertiku dan ingin be