"Kamu yakin itu celana dalam Roy?" Delia meletakkan sepiring salad buah di meja.
"Yakin, Del! Emang ada laki-laki di rumah selain Roy?" balas Selena sedikit kesal.
"Kali aja tertukar dengan orang lain" lagi Delia menggoda Selena yang terlihat semakin cemberut.
"Ya ampun, Del! Kamu ada-ada aja! Jelas-jelas aku yang beliin pakaian dalam itu, Roy gak pernah ikutan belanja pakaian, tiap hari aku yang cuci, gak mungkin punya orang lain" Ia tahu Delia sedang menghiburnya dengan caranya.
Iya, Selena merasa perlu teman bertukar pikiran setelah jawaban tidak masuk akal dari Roy di meja makan pagi tadi. Dia ingat Roy bersikap tenang, sedikit cuek, meski nada bicaranya sedikit meninggi.
"Bercak putih? Yang mana?"
"Yang ada di daleman kamu, Roy. Di bagian belakang!" sahut Selena dengan cepat.
"Oh ... yang itu ... itu lendir ingus. Kemarin, waktu mandi aku bersih-bersih" terang Roy santai. Kelewat santai dengan ponsel di tangan kiri dan mulut yang masih penuh.
"Ingus gimana? Sebanyak itu? Baunya beda, Roy!" Selena mulai berang.
Cheryl kebingungan karena suapan mamanya terhenti jauh dari mulutnya.
"Banyak? Bau beda? Maksud kamu apa, sih, sayang?" Suara Roy melunak. Akhirnya matanya menatap lurus ke Selena.
Selena tahu caranya tidak akan membuahkan hasil. Bodohnya dia sudah mencuci celana itu, barang bukti hilang. Ujaran berikutnya tentu akan membuat ia tampak konyol di depan Roy.
"Segitunya kamu rindu dengan punyaku, sayang" Senyum jahil di wajah Roy mendadak membuat perut Selena mual.
"Jadi ... tadi masih berangkat bareng ke kantor, kan?" Delia menyadarkan Selena dari lamunan.
"Masih! Gak ada gunanya juga ngambek, gak bakal dibujuk, yang ada aku telat ngantor" Selena memasukkan suapan terakhir ke mulutnya.
Setelah tiba di kantor, Selena langsung mengabari teman dekatnya, Delia Wibowo, kalau ia ingin mampir makan siang. Tadinya mereka teman sekantor. Delia memilih resign karena kehamilan pertamanya lemah, beberapa kali mengalami flek dan rembes ketuban.
Suaminya, Richard Permadi, memberi ide untuk membuka usaha pastry, mengingat Delia rajin membuat kue. Awalnya Delia pesimis, tapi karena sudah hobi akhirnya betah dan bertahan sampai sekarang.
Maka disinilah Selena sekarang, menghabiskan jam istirahat dan makan siangnya sambil mencurahkan kegundahannya tentang Roy.
"Tuh, salad buahnya dihabisin juga. Aku yang buatin, loh!" Delia terus mengamati wajah sahabatnya. Tepatnya menunggui Selena menghabiskan bekal makan siangnya.
"Masih kenyang, Del. Aku bawa ke kantor aja nanti, yah! Sekalian promosi ke teman-teman" senyum tulus Selena yang menjadi favorit Delia.
"Bilang aja kamu takut gendut!" ejekan yang selalu berhasil mencairkan suasana di tiap curhat galau mereka.
"Eh ... emang iya? Aku gendutan? Aku kucel, Del? Makanya Roy sampai sedingin itu?" Mendadak ia tak nyaman dengan dirinya.
"Apaan, sih? Jangan pernah merendahkan dirimu sendiri, sayang!" hardik Delia gemas.
"Jadi ... apa yang harus aku lakukan, Del?"
Tubuhnya bertumpu pada kedua siku di meja. Kepalanya menunduk dalam. Ia takut pada pikirannya sendiri. Bagaimanapun pernikahannya masih banyak, setidaknya untuknya.
"Saranku, jangan menunjukkan sikap curiga yang membuat Roy semakin tak nyaman, tapi mulai lah waspada" Delia sendiri tidak yakin dengan ini, "Lupain kejadian tadi pagi, tapi mulai buka mata lebar-lebar, lihat apa kebiasaan Roy yang baru"
Terdengar menakutkan dan membingungkan bagi Selena. Bukankah itu yang selama ini dia lakukan? Berpikir bahwa semua dalam kendali, bersikap seolah tidak ada masalah, dan sebisa mungkin menghindari pertengkaran.
"Aku perlu cari tahu ke kantornya, gak, Del?"
"Hah? Buat apa? Jangan mempermalukan dirimu sendiri, sayang!" Delia beranjak dari kursi mengambil kemasan salad. Mata Selena mengikuti kemana Delia bergerak.
"Selena, percayalah, jika cinta kalian kuat, maka akan selalu ada jalan untuk kembali"
"Kalau ternyata cinta itu tak lagi untukku?" suaranya terdengar parau.
"Lepaskan. Jangan terpaksa tinggal hanya untuk saling menyakiti"
***"Bu Lena, salad buahnya enak! Beli dimana?" Rani, rekan kerjanya menghampiri kubikelnya.Delia sengaja menambah salad buah beberapa kemasan lagi dan menolak untuk dibayar.
"Aku tahu gimana pusingnya berhadapan dengan tumpukan lembar invoice dan berjam-jam di depan monitor. Mengunyah mencegah kejang otak, betul gak?"
Keduanya tertawa lepas saat ingat kesibukan di kantor.
"Itu dari Delia, tadi aku main ke tokonya sebentar" jawab Selena menghentikan sejenak pekerjaannya. Ia selalu berusaha menatap lawan bicaranya meski sedang berbincang hal sederhana.
"Oiya? Apa kabar Bu Delia?" Rani antusias mendengar nama Delia. Beberapa rekan kerja yang lain ikut menimpali dari kubikel masing-masing. Delia yang ramah, cerewet dan selalu ingin hasil kerja yang maksimal.
Obrolan mereka berhenti saat pintu masuk utama terbuka, Harris memasuki ruangan. Pandangan bertubrukan mata dengan Selena.
"Selena ...." panggil Harris begitu menghempaskan bokongnya ke kursi kerjanya.
"Saya, pak" Sebentar saja yang dipanggil sudah berdiri di pintu masuk ruangan khusus manager.
"Ini apa?" jari panjangnya menunjuk kotak salad di mejanya.
"Oh, salad buah, pak. Saya yang taruh disitu. Dicoba ya, pak!" Selena menghampiri meja Harris. Masih dengan posisi berdiri menjelaskan salad buah pemberiannya.
Selena menutupi rasa canggung karena tubrukan kemarin. Ia harus tetap bekerja dengan profesional, toh dia tidak dirugikan malah bermimpi aneh. Aneh?
"Ada sendok yang bisa saya pakai?" Harris masih belum mengalihkan pandangannya dari wajah lawan bicaranya.
"Sebentar, pak"
Berjalan perlahan kembali ke kubikelnya dan mengambil sendok di laci meja.
"Ini, pak"
Sendok diletakkan persis di atas kotak salad. Harris sudah fokus dengan laptopnya.
***Seisi ruangan berkutat dengan pekerjaan masing-masing. Sesekali terdengar obrolan tentang update pembayaran pelanggan yang mereka handle. Saling berbagi informasi tentang kebiasaan sistem pembayaran si pelanggan.Apalagi kalau sudah menjelang berakhirnya jam kerja, Selena fokus menarik laporan kerja timnya dari sistem database untuk dibuatkan update daily report. Itu salah satu tugasnya sebagai supervisor collection di perusahaan ini.
Umur kerjanya sudah terbilang lama, lima tahun. Namun untuk posisi supervisor baru dijalaninya dua tahun terakhir. Ia menikmati tugasnya yang bertambah dan berusaha meningkatkan performa kerja.
Awalnya Roy tidak setuju dengan promosi jabatan Selena. Khawatir Cheryl tidak terurus, alasan klise. Meski sempat terjadi pertengkaran kecil, Roy mengijinkan Selena menerima promosi itu.
Cheryl seolah mengerti isi hati mamanya. Ia bertumbuh dengan sehat dan jarang sakit. Jam tidurnya teratur, melahap habis setiap makanan yang sudah disediakan, dan aktif. Pertumbuhan yang sesuai dengan usianya membuat Selena semakin semangat bekerja.
Sejujurnya ia tidak menargetkan apapun dalam dunia kerjanya. Tidak pula berambisi mengejar jabatan. Memiliki kesibukan di rumah dan di kantor sama saja baginya. Yang terpenting ia bisa menjadi berguna di setiap perannya.
Pun begitu dengan besaran kompensasi dan benefit yang ia dapat. Sejauh lima tahun, ia dihargai sesuai performa kerja. Perusahan tempat ia bekerja sangat fair akan hal itu.
Rekan kerja dan atasannya menjadi support system yang solid. Terutama sejak Harris menjadi managernya, banyak kebijakan yang dibuat untuk mempermudah teknis kerja timnya. Meski jarang terlibat obrolan yang bersifat personal, semua bawahan Harris, termasuk dirinya nyaman dengan pekerjaan masing-masing.
"Kalian gak bosan pulang malam melulu?" tanya Harris saat meeting mingguan mereka, "Saya heran kerjaan kalian itu apa saja sampai harus pulang malam"
Selanjutnya setiap orang dimintai daftar tugas dan daftar nama pelanggan yang di-handle. Membuat timetable harian dan mingguan selama 3 bulan kehadiran Harris.
Akhirnya mereka menemukan teknis kerja yang lebih efektif dengan dibantu kebijakan oleh Harris. Target pekerjaan tercapai dan berusaha tidak pulang lewat malam. Sangat melegakan untuk ibu anak satu seperti Selena.
Kesibukannya terhenti sejenak saat layar ponselnya berkedip. Terlihat sebuah pesan masuk dan pukul 17.00 di layar. Mungkin Roy yang memberi kabar, pikir Selena.
[Dijemput seperti biasa kan, sayang? Mau makan malam diluar?]
Spontan bibirnya membentuk selarik senyum.
[Iya. Kabari kalau sudah sampai di lobby, ya! Makan malam bawa Cheryl, boleh?]
Seperti biasa, tak lupa menambahkan emoticon kiss diakhir pesan. Roy masih online dan terlihat mengetik.
[Oke, sayang]
Selena hampir memekik senang jika saja tak menyadari Harris yang bersiap pulang. Kali ini jangan ada drama ketinggalan lagi Selena!
Semoga makan malam kali ini menjadi awal yang baik untuk memperbaiki komunikasi mereka yang memburuk akhir-akhir ini. Benar kata Delia, ia harus melupakan tentang bercak putih di celana dalam Roy, tapi juga harus mulai waspada dengan kebiasaan baru suaminya.
Mungkin saja ajakan makan malam kali ini hanya pengalihan. Apapun itu, Selena harus menyiapkan diri.
Satu persatu rekan kerjanya pamit setelah Harris berlalu.
"Bu, dijemput? Saya duluan, ya!" Rani menjenguk kubikel kerja Selena.
"Oh ya ... hati-hati di jalan, sampai ketemu besok!" sahut Selena sambil merapikan meja kerjanya.
Roy sudah menunggu, Selena bergegas turun ke lobby. Sampai lupa touch up, disempatkannya mampir ke toilet lobby memulas lipstik dan merapikan rambut ikal sepunggungnya.
Lagi-lagi karena ingin segera bertemu Roy, langkah panjangnya yang terburu-buru membuatnya menubruk punggung seseorang yang baru keluar dari toilet pria.
"Aduh! Maaf ...." tubuhnya mengambil jarak dengan pria di hadapannya. Matanya membola saat melihat Harris lah pemilik punggung itu.
"Kamu buru-buru?" Harris yang tampak baik-baik saja mundur selangkah memberi ruang untuk Selena.
"Iya, pak. Maaf, ya" Selena segera berlalu dengan sedikit membungkuk di depan Harris. Ia merasa bodoh, terlalu tergesa-gesa, akhirnya berakhir konyol. Kenapa Pak Harris lagi, sih? Mati gue!
Roy menyambutnya dengan senyuman, sedikit belaian saat menyelipkan rambut halus Selena ke belakang telinga.
"Sudah reservasi tempat makannya, sayang? Minta disediain high chair untuk Cheryl, ya!" tanya Selena dengan semangat. Ia terlihat sangat antusias.
"Belum, sayang. Setelah ku pikir-pikir lagi, waktunya terlalu malam untuk bawa Cheryl keluar rumah. Gimana kalau Sabtu aja. Kan ngantor setengah hari, kita bisa bawa Cheryl main dulu. Gak lama lagi, kog! Dua hari lagi sudah Sabtu!" bujuk Roy santai.
Selena termangu, hatinya seperti dicubit. Perih. Ekspresinya spontan kembali ke mode awal. Datar. Lebih baik diam saja ketimbang semakin disakiti.
Mereka tiba di rumah tepat waktu. Cheryl dan Kak Ipah sudah menunggu di teras sambil bermain. Selena memilih duduk di teras, berbincang sebentar dengan Kak Ipah sebelum berpamitan pulang.
Memasuki rumah, tidak terlihat keberadaan Roy di ruang keluarga. Selena berusaha tidak peduli. Menyibukkan diri di dapur sambil sesekali bercanda dengan Cheryl. Mungkin masih ada kesempatan saat makan malam, harap Selena.
Cheryl menggosok-gosok matanya, mulai rewel karena mengantuk.
"Cheryl mama antar ke kamar, ya!"
Baru saja sampai di lantai 2, Roy muncul dari kamar. Berpakaian kasual dan sudah wangi. Ia kaget menyadari kehadiran Selena.
"Cheryl, papa ijin keluar sebentar, ya!" Roy mengambil Cheryl dari gendongan Selena, membawanya ke kamar.
Selena mematung, membiarkan Roy berdua dengan Cheryl, hatinya serasa hangat. Ini yang selalu ia tunggu, momen quality time Roy dengan bayi mereka.
"Mama, buku dogengnya yang mana?" panggil Roy setengah berteriak.
Meski mengantuk, Cheryl masih sanggup menepuk kedua tangannya melihat Selena membuka buku.
"Sayang, dogengnya dibacain sama mama, ya! Papa belum mahir" Roy menarik tubuh Selena duduk di ranjang dekat Cheryl.
Selena mendongak ke Roy, dahinya mengerut.
"Kamu mau kemana? Makan dulu, aku sudah siapin makan malam"
"Ini juga janji makan malam dengan calon klien yang meeting tadi pagi, sayang. Aku berangkat, ya!" Roy mengusap pucuk kepala Selena dan menjauh ke pintu.
"Roy, tunggu!" Selena tidak tahan lagi.
"Nanti, ya, ngobrolnya. Aku janji pulang cepat" suara Roy mengecil dari balik pintu.
Tangisan Cheryl menghentikan langkah Selena di tangga. Ah, dia lupa Cheryl belum tidur nyenyak. Cepat ia kembali ke kamar Cheryl. Usapan halus di punggung menjadi andalan Selena agar bayinya kembali tidur.
Saat Cheryl sudah tenang, samar terdengar dering ponsel dari kamar mereka. Bergerak perlahan dari ranjang, Selena mencari asal bunyi itu.
Dering ponsel milik Roy, seingatnya diatur untuk panggilan memalui aplikasi WA. Matanya menemukan ponsel terletak diatas tumpukan baju kerja Roy.
Panggilan berakhir sebelum Selena sempat menjawab. Sekilas terlihat pop up pesan masuk dari nomor yang tidak tersimpan di kontak.
[Sayang, jangan terlambat!]
Bunyi gerbang digeser samar terdengar, Selena yang sengaja menunggu Roy di kamar memeriksa jam di ponsel. Pukul 23.30, matanya tidak kunjung terpejam. Tangannya mencoba merapikan uraian rambut di bantal dengan tetap berbaring. Roy masuk ke kamar, langsung mendekat ke sisi ranjang. "Kamu sudah tidur?" punggung tangan kanannya mengelus pipi Selena. "Belum, aku gak bisa tidur" jawab Selena tanpa membuka mata. "Katanya gak bisa tidur, tapi diajak ngobrol malah tutup mata" protes Roy makin mendekat ke Selena. "Roy, kamu makan malam dengan siapa? Kenapa ada pesan di ponselmu sebut-sebut sayang?" Selena jujur, ia sedang rapuh. Biar saja Roy menganggapnya kekanakan, manja, kalau itu bisa memangkas jarak tak kasat mata diantara mereka. "Ponsel? Ah ... iya, ponselku ketinggalan, ya?" Roy memutar badan mencari ponselnya. Tatapan sendu Selena tidak berhenti, setiap gerakan Roy seolah penting untukn
"Ini pesanan salad kalian, ya!" Meletakkan bungkusan di meja bundar tempat briefing pagi. "Thanks, Bu Selena" sahut rekan kerjanya hanya bergantian. Saat berpamitan makan siang diluar lagi, rekan kerjanya meminta tolong dibelikan salad buah. "Emangnya kalian tahu saya mau kesana?" goda Selena dengan memasang wajah jahil. "Terus ibu mau makan dimana memangnya? Bawa bekal begituan apa diijinin sama warung bakso?" Rani staff-nya tak kalah jahil menggoda Selena yang sudah bersiap dengan tas bekal di tangannya. Sontak seisi ruangan tertawa mengabaikan Harris yang masih bekerja di ruangannya. "Iya, deh! Ketahuan banget si gue bukan anak tongkrongan!" Selena melangkah menuju pintu keluar sambil pura-pura merajuk. "Yeee ... jadi kita bisa nitip beli salad 'kan, Bu?" tanya rekannya yang lain memastikan. "Bisa, dong! Nanti japri aja!" Dan disinilah ia sekarang, menerim
Selena mencoba menebak apa yang hendak dibicarakan Harris sampai-sampai menghubunginya diluar jam kerja. Ia yakin sudah membereskan pekerjannya. "Halo, Pak ... selamat malam" "Selena, apa meeting dengan restoran Traders jadi kamu jadwalkan?" Terdengar bunyi pengendali jarak jauh di belakang Harris. Berikutnya suara langkah kaki yang teratur. Sepertinya Harris baru keluar dari mobilnya. "Oh ... sudah, pak. Saya sudah email ke bapak juga ke tim sales. Owner-nya menyediakan waktu hari Senin jam 11.00, pak" jelas Selena. Cheryl berusaha meraih ponsel yang menempel di telinga Selena diiringi gumaman kecil. Tak ayal Selena menempelkan jari telunjuk ke hidung, meminta Cheryl tenang. ""Halo, pak ... maaf ..." Selena hendak menjelaskan kegaduhan kecil yang terjadi. "It's OK! Nanti saya cek email, deh! Thanks!" Harris memutuskan sambungan telepon. Selena memandangi layar pipih itu
Langkahku lebar-lebar menuju mobil, tak ku hiraukan Selena yang mengikuti dengan mata berembun. Melissa pasti sudah menunggu lama di salon. Aku memaksa mengantarnya sepulang kantor tadi dan berjanji menjemputnya lagi. Ku pikir acara reuni teman SMP Selena tidak akan lama. Ah, harusnya aku langsung pulang saat jamuan makan. Ku ambil selembar uang pecahan lima ribu, menempelkannya ke telapak tangan satpam yang sudah membantu mengeluarkan mobil. Ini Sabtu, restoran ramai pengunjung. Semakin malam semakin ramai. Memacu mobil dengan kecepatan sedang karena jalanan juga sudah mulai padat. Otakku memperkirakan lama perjalanan yang ku tempuh untuk sampai ke salon. "Arghh ... satu jam lagi!" Tanganku spontan memukul setir. Aku mengerang tak sabar. Khawatir Melissa tidak mau menunggu lebih lama seperti yang sudah-sudah. Ku ambil ponsel dan menekan nomor Melissa yang sengaja tidak ku simpan di buku kontak. "Mel ... sabar, ya! Kamu masih di salon 'kan?"
Kalimat itu meluncur dari mulut Selena dengan nada membujuk, tapi entah kenapa egoku seperti disentil. Yang ada di pikiranku saat itu hanya ingin menghabiskan malam bersama. Toh, tidak terjadi setiap hari!Kalau boleh jujur, ingin sekali aku memaksanya, aku berhak sebagai suami. Namun aku pun menyadari, Selena pun harus melakukannya dengan rela, tulus, dan penuh cinta. Kami berdua sama-sama membutuhkannya. Bukankah cinta itu memberi? Bukankah cinta itu membuat pasanganmu bahagia dan merasa dicintai dengan seks yang sehat?Aku sangat mencintai Selena, takut kehilangannya. Cheryl, buah hatiku, juga belahan jiwaku. Dua insan yang sangat berarti dalam hidupku, bahkan dalam perjalanan karirku. Aku berjanji dalam hati tidak akan pernah menyia-nyiakan mereka.Aku memilih bersabar menunggu Selena siap. Demi yang ku cinta, aku memberi waktu sebanyak yang ia butuhkan. Aku tahu cinta itu masih untukku, raga itu masih milikku. Istriku hanya perlu beristirahat panjang setela
Roy akhirnya tiba di apartemen Melissa. Dibukanya pintu dengan kode yang sudah dihapalnya di luar kepala."Mel ... aku sampai!" teriak Roy sambil mencari-cari sosok kekasihnya itu."Disini, Roy!" Suara Melissa terdengar dari arah dapur.Bergerak cepat ke dapur, hidung Roy menangkap aroma kopi dan bolu."Aromanya sungguh menggoda!" Roy mengambil sepotong bolu dari piring tempat Melissa menatanya."Oiya? Kok main comot aja? Kamu bukannya sudah kenyang?" tegur Melissa sambil membawa piring dan kopi ke sofa di depan TV.Roy mengikuti dengan melingkarkan kedua lengannya di pinggang dari samping tubuh Melissa."Aku selalu ingin mencicipi buatan tangan kamu"Kecupan kecil mendarat di pipi Melissa. Keduanya duduk di sofa berdekatan. Lengan Roy disampirkan di sandaran sofa, jarinya mengusap lengan Melissa yang terbuka."Jangan asal makan, buat jeda antara jam makan dan ngemil, nanti lambungnya terlalu lelah, nggiling mulu" ujar M
Tidur Selena terusik karena bunyi pagar dibuka. Terlihat angka 21.10 di jam digital di kamar Cheryl. Merapatkan tubuhnya ke Cheryl yang sudah terlelap."Biar mama di sini dulu, nak" ucapnya seolah Cherly menyuruhnya mendatangi Roy.Hatinya sakit tak terbilang, malu bukan kepalang. Hari ini bak petaka besar untuknya. Roy tega meninggalkannya dan Cheryl di restoran, tidak sedikitpun peduli saat ia tertatih menyusul ke parkiran, bahkan saat air mata mengalir deras di pipinya.Entah kenapa ia tidak bisa menguasai diri. Tak kuasa menahan emosi saat mengetahui panggilan dari nomor yang sama. Nomor itu bisa membuat Roy pergi begitu saja. Ia menyesal tidak bisa lebih tenang. Seandainya Roy tidak ia kejar, tak akan ada wajah kacau dengan air mata, tidak juga terdengar lengkingan tangis dari mulut Cheryl karena ketakutan ditinggal mamanya.Ia malah melanjutkan drama menangis di toilet, semakin konyol dengan membiarkan Cheryl turut serta. Ahh ... ibu macam apa aku i
Selena terjaga karena gerakan Cheryl di pelukannya. Gerakan kepala ke kiri dan ke kanan, seperti tak nyaman dengan posisinya. Ia dengan perlahan memindahkan Cheryl ke kasur dan ikut merebahkan diri.Ingin rasanya ia berlama-lama di tempat tidur, membiarkan hati dan pikiran disiksa luka, hingga air mata mengering. Namun itu tak adil untuk Cheryl yang memerlukan makanan sehat dan cinta dari orangtuanya.Seringkali anak menjadi korban karena pertengkaran orangtuanya. Tidak sedikit yang secara sadar mempertontonkan adu mulut, adu gengsi di depan anak. Mereka tidak menyadari hati sang anak terluka.Bahkan ada pula terbaru mengungkapkan bahwa pertengkaran orang tua yang disaksikan oleh anak bisa menyebabkan peningkatan produksi hormonstres anak. Balita pun bisa terkena efeknya.Bila terus menerus menyaksikan orangtuanya bertengkar, maka sangat mungkin muncul dampak negatif dialami anak. Rasa trauma, ingatan buruk, hingga gangguan kecemasan dapat dialami o