Suamiku Polisi
Part 4
"Aku bisa sangat tegas jika berhadapan dengan penjahat, akan tetapi aku seperti mati kutu berhadapan dengan Ibumu," begitu kata Bang Raja ketika kami bertemu keesokan harinya.
"Kok mati kutu, Bang?" tanyaku kemudian. Saat itu lagi-lagi Bang Raja beli air mineral, kebetulan toko lagi sepi, kami bisa mengobrol.
"Iya, Dina, aku gugup, tak bisa bicara tegas, dan maaf, ibumu aneh, bapakmu juga aneh."
"Aneh bagaimana?"
"Ibumu sudah tahu aku datang mau lamar kau, kan, masa dijodohkan dengan Mila? Terus bapakmu kok diam saja, selalu ibumu yang bicara?"
Ya, Bang Raja betul, keluargaku aneh, Ayah berubah jadi pendiam setelah tak bisa kerja lagi. Ayah seperti kehilangan semangat, penyakit sesak napas menggerogotinya.
"Aku jadi berpikir Dina, mungkin kau anak tiri, atau anak pungut, maaf ya," kata Bang Raja.
"Gak lah, Bang, aku bukan anak tiri, ada kok foto aku baru lahir, di akte juga ada nama Ayah dan mamak," jawabku.
"Kok ada Ibu dan kakak seperti itu? Aku jadi teringat cerita bawang,"
"Bawang apaan, Bang,"
"Udah nanti kita lanjut, ada orang itu," kata Bang Raja seraya menunjuk orang yang di belakangnya.
Aku jadi berpikir, apa iya aku anak tiri, melihat wajah yang jauh berbeda dengan Kak Mila, sifat kami juga beda jauh, perlakuan Ibu juga beda, ini sudah pernah kutanya ke seorang ahli, katanya itu ciri khas anak kedua, selalu anak pertama yang paling disayang.
Ketika sampai di rumah, Ayah sedang duduk di teras, aku duduk di dekatnya, ingin kutanya juga kecurigaan Bang Raja.
"Ayah, apa aku anak tiri?" tanyaku langsung saja.
"Ngomong apa kau, Dina?"
"Aku tanya apa aku anak tiri, barangkali aku anak pungut gitu," kataku lagi.
"Tidaklah, Dina,"
"Lalu kenapa aku berbeda, Ayah, kenapa aku dibedakan?" tanyaku kemudian.
"Tidak, Dina, Ayah tak pernah membedakan kalian,"
"Ayah memang tidak, tapi mamak?"
"Baiklah, Dina, Ayah akan cerita rahasia, mumpung mamak dan kakakmu lagi pergi," kata Ayah seraya menarik napas panjang.
"Iya, Ayah, rahasia apa?"
"Jangan bilang mamakmu ya,"
"Iya, Ayah, janji,"
"Kau bukan anak tiri, Dina, yang anak tiri justru Mila," kata Ayah.
"Wah, bagaimana bisa?"
"Ayah menikah dengan mamakmu dulu demi menyelamatkan mamak dari malu,"
"Maksudnya, Yah?"
"Mamakmu dulu punya pacar tentara, terus terlanjur, hamil, tentara itu tak mau tanggung jawab, karena masih saudara, Ayah mau nikahi mamakmu, tak Ayah apa-apain sampe lahir si Mila, Mila yang anak tiri Ayah," kata Ayah lagi.
"Oh, begitu,"
"Jangan bilang mamak ya, Ayah mau cerita ini karena kau curiga,"
"Iya Yah, janji."
Ternyata ini jawaban dari perlakuan ibuku padaku selama ini, ibuku sama dengan Kak Mila, terobsesi dengan pria berseragam. Ah, aku tak akan kalah.
Keesokan harinya, aku lebih cepat pergi kerja, aku ingin menghabiskan waktu dengan Bang Raja, tak akan kubiarkan dia digaet Kak Mila. Jam dua belas siang aku sudah datang, padahal aku masuk jam dua.
"Tumben?" kata Bang Raja ketika aku datang menemuinya di Bank tempat dia kerja.
"Aku mau makan siang sama Abang," kataku.
"Oh, ayo," kata Bang Raja.
Ayam Penyet di dekat bank itu jadi pilihan kami, tak lupa aku siaran langsung, niatku hanya satu, aku ingin Kak Mila melihat kalau aku pantas untuk Bang Raja, aku bisa jadi bhayangkari.
"B R Siregar," kataku membaca nama di dada Bang Raja.
'B R itu apa, Bang?" tanyaku.
"Bangkit Raja,"
"Hahaha, Bangkit Raja Siregar?"
"Iya,"
"Aneh kali, kok Bangkit?"
"Itu nama pemberian opungku katanya biar gelar raja kami bangkit lagi, dulu keluargaku keturunan raja di desa,"
"Oh, kek bangkit dari kematian aja,"
"Dina, aku sudah bilang sama orang tuaku, mereka akan datang tiga minggu lagi, bagaimana dengan ibumu, nanti dia bilang harus Mila dilamar, kan orang tuaku nanti ikut bingung, sementara fotomu sudah kutunjukkan sama orang tua," kata Bang Raja.
"Begini saja, Bang, besok aku off, Abang datang ke rumah pagi jam sembilan, ulangi lagi lamaran itu, tapi lamarnya sama ayah, tolong Bang, tunjukkan pada Kak Mila dan Ibu, kalau abang pilih aku," kataku kemudian.
"Ok, aku ajak saudaraku ya,"
"Iya, Bang, terserah," kataku.
Keesokan paginya, aku sudah bersiap menanti kedatangan Bang Raja, sudah kuberitahu pada ayah. Ibu dan Kak Mila juga kuberitahu. Kak Mila dan Ibu jadi sibuk, pagi itu Ibu dan Kak Mila pergi ke salon, pulangnya sudah kek mau kondangan saja. Dalam hati aku tersenyum. Kali ini aku tak mau mengalah lagi.
"Dina, jam berapa dia datang?" kata Kak Mila seraya membetulkan rambutnya.
"Jam sembilan, Kak,"
"Oh,"
Ada dua motor masuk gang kecil menuju rumahku, suara motor ninja itu membuat aku deg-degan. Bang Raja datang bersama dua temannya yang sudah agak tua. Begitu masuk langsung salim ke Ayah dan Ibu.
"Buatkan minum, Dina," perintah ibu.
Aku ke dapur, mereka mulai bicara tanpaku, akan tetapi masih bicara basa-basi, aku mendengarnya.
'Bukan Bang Raja ternyata yang bicara, tapi teman Bang Raja yang sudah agak tua.
"Begini, Pak, kedatangan kami kemari hendak melamar putri Bapak yang bernama Dina Safitri, saya mewakili keluarga besar Raja Siregar melamar putri Bapak yang bernama Dina Safitri, Dina Safitri." entah itu suruhan Bang Raja, akan tetapi namaku sering kali diulang.
"Tunggu sebentar," potong ibuku, sementara Kak Mila sudah munyun.
"Maaf, Bu, kami bicara dengan Bapak sebagai kepala keluarga," kata pria itu lagi.
'Heh mana bisa begitu," kata Ibu.
"Memang begitu, Bu, kami bicara ke Bapak dulu," kata teman Bang Raja yang satu lagi.
Ibuku terdiam.
"Jadi bagaimana, Pak bolehkah putri Bapak yang bernama Dina Safitri kami jadikan menantu di rumah kami? Dina Safitri ya, Pak," kata teman Bang Raja lagi.
"Kalau saya setuju, tapi semua berpulang ke Dina, apakah kau setuju Dina?" kata Ayah.
"Tidak, dia tidak setuju, sebelum kakaknya nikah dia tak boleh nikah," Ibu yang menjawab.
"Saya setuju," kataku seraya menunduk.
"Dina!" bentak Ibu.
"Maaf, Mak, kali ini aku tak tahu mau mengalah lagi." kataku.
"Baiklah kalau begitu, sebagai tanda terima kasih kami, ini sebagai cendra mata, atau sebagai pengikat." kata pria itu lagi.
Kemudian Bang Raja mengeluarkan sesuatu dari kantongnya, ternyata cincin berlian. Dia hendak memakaikan ke jariku, akan tetapi Kak Mila malah merampas dari tangan Raja, kedua teman Bang Raja sampai geleng-geleng kepala.
"Kemarin itu kau sudah setuju lamar aku, sekarang kenapa dia, kenapa?" kata Kak Mila.
"Aku tak pernah bilang setuju, Mila,"
"Tapi kau Diam, diam berarti ya," kata Ibu.
Aku berdiri, kurampas kembali cincin itu dari tangan Kak Mila.
"Ini milikku," kataku seraya memasang cincin itu ke jari manis.
Kak Mila menangis, dia pergi ke kamarnya seraya menghentakkan kaki.
Bang Raja dan temannya pulang, ibu langsung memarahi Ayah.
"Kenapa Ayah terima, kenapa, kan si Mila yang harus nikah duluan?" kata Ibu.
"Maaf, Mak, si Mila aku tak berhak jadi walinya," kata Ayah.
Suamiku PolisiPart 5Ada rasa puas tersendiri ketika aku bisa melawan, lelah sudah selama ini selalu mengalah. Aku masih ingat sejak kecil aku jarang dibeli pakaian baru, pakaianku selalu bekas Kak Mila. Kalau sudah tak muat sama Kak Mila, baru diberikan Ibu padaku. Sejak kecil aku sudah seperti dianak tirikan. Hanya Ayah yang sayang padaku, sementara dulu ayah jarang di rumah, beliau bekerja sebagai supir bus antar kota. Ayah dan ibu masih bertengkar malam itu, aku menguping pembicaraan mereka. "Ayah, si Mila lebih pantas jadi istri polisi, bukan si Dina, Mila sarjana," kata Ibu lagi. "Mak, aku tak bisa nikahkan si Mila, aku hanya bisa terima jika ada yang lamaran untuk si Dina," kata Ayah lagi. "Lo, Ayah kok ungkit ke situ terus, kalau bukan Ayah siapa lagi yang nikahkan dia?""Cari walinya, aku tak berhak, gak sah itu nikahnya," kata Ayah. "Ayah, sini kubilang rahasia," kata ibu, suaranya makin pelan. Aku mendekatkan telinga ke lubang kunci, penasaran juga rahasia apa yang m
Suamiku PolisiPart 6Aku tak percaya begitu saja perkataan Ibu, dugaanku ini hanya salah satu siasat mereka untuk menggagalkanku bertemu calon Ayah Mertua. Aku jadi merasa bersalah, entah untuk apa aku tergoda untuk pamer. Akan tetapi hatiku tak tenang, bagaimana jika betul? "Kenapa, Dina?" tanya Bang Raja. "Itu, Bang, kata Ibu Ayah jatuh di kamar mandi, tapi aku tak percaya,""Telepon saja Ayah,""Ayah tak punya HP," "Telepon tetangga atau siapa saja," kata Bang Raja. "Oh, iya, ya," Segera kutelepon tetangga depan rumah, jika benar Ayah Jatuh, tak mungkin rasanya dia tak tahu. "Kak, ini aku Dina, mau tanya aja, apa di rumah baik-baik saja?" Tanyaku begitu telepon tersambung. "Oh, baik kok, gak ada terlihat apa-apa?""Tolong lihat, Kak, apa ayahku kenapa-kenapa?" pintaku lagi. "Ayahmu itu kok, dia duduk di teras," "Oh, terima kasih, Kak," Dasar memang, orang tua apa yang cocok disebut Ibuku itu, dia bukannya senang lihat anaknya bahagia, segala cara dia lakukan untuk mengg
Suamiku PolisiPart 7Bagaimana bisa ayahku masuk rumah sakit? Padahal tadi sudah kutelepon tetangga, katanya Ayah duduk di teras rumah. Kak Mila kirim pesan lagi, nama rumah sakit dan nomor ruang dia tuliskan. "Ada apa, Maen?" tanya calon Ibu Mertua. "Ayahku, Bu, kata kakakku jatuh di kamar mandi," jawabku. "Ayo kita lihat, Maen.," Calon Ibu mertua memanggil Bang Raja dan Ayah Bang Raja, akhirnya kami berempat berangkat ke rumah sakit. "Kok bisa?" tanya Bang Raja. "Aku juga tak tahu, Bang, Kak Mila video call, jelas kulihat Ayah di ranjang rumah sakit,* Kataku. Ayah memang sudah lama sakit, dia akan sesak napas jika berjalan agak jauh. Aku sangat khawatir sekali, hanya Ayah yang sayang padaku. Tak habis pikir bagaimana Ayah bisa jatuh, padahal tadi kata tetangga ... Ketika kami sampai di rumah sakit, ayah masih belum sadar, belum bisa dilihat. Kutatap tajam Mila, aku curiga ada yang tidak beres, bagaimana bisa ayah jatuh? Apa iya dia bilang jatuh duluan sebelum kejadian? "K
Suamiku PolisiPart 8PoV Mila. Semenjak SMA, aku sudah terobsesi punya suami seorang polisi atau tentara. Sering kubayangkan diriku jadi bhayangkari atau anggota persit. Ibuku juga mendukung, katanya aku punya potensi. Wajahku tergolong cantik, kulit putih dan tinggi semampai. Aku hanya mau pacaran dengan aparat, yang lain tak kuterima, akan tetapi entah kenapa tak ada yang jadi. Mulai tamat SMA, entah sudah berapa pacarku polisi dan tentara. Semua kandas di tengah jalan. Adalah Raja, polisi yang baru bertugas di Medan, dia tampan, dengan mudah kudekati. Dengan mudah dia sudah bertekut lutut di kakiku. Dia tampak serius. Aku senang. Jika berurusan dengan polisi dengan cepat dia kutelepon, dia akan bantu aku. Rasanya bangga punya pacar polisi, tak ada yang berani ganggu kita. Pernah aku distop polisi karena tidak memakai helm, kutelepon Raja, dia langsung datang, aku bebas dari tilang. Adalah teman Raja, teman yang juga atasannya, tak begitu tampan, akan tetapi dia sudah perwira.
Suamiku PolisiPart, 9Kak Mila jadi berubah pendiam dan mudah emosi, kini dia lebih banyak berkurang di dalam kamar. Semenjak kejadian itu, Ibu juga marah padanya. Emas Ibu raib karena obsesi mereka. Sementara itu keluarga besar Bang Raja sudah ada di Medan. Ayah Bang Raja ternyata sudah pensiun, kini mereka bisa pokus untuk mengurus pernikahan anaknya. Mereka juga beli rumah di kota ini. Sesuai waktu yang disepakati mereka datang ke rumah kami. Ayah dan beberapa pamanku juga sudah lebih dulu kami undang. Perwakilan keluarga Bang Raja berbicara, menanyakan masalah mahar yang mereka sebut namanya Tuhor. Yaitu jumlah uang yang diberikan pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai perempuan. Ayah hanya minta lima puluh juta, yang langsung disetujui oleh perwakilan keluarga Bang Raja. "Karena masih ada kakaknya di sini yang belum menikah, kami akan memberikan sebagai uang pengganti malu, atau istilahnya uang langkah, berapa kira-kira minta uang langkahnya." kata perwakilan keluarga
Suamiku PolisiPart 10"Dina, bilang sama Raja, kita terima yang dua puluh lima juta," kata Ibu, pagi itu kami lagi mempersiapkan kedatangan keluarga Bang Raja. "Malu aku, Mak,""Kok malu?""Malulah, Mak, keluarga kita aneh, udah ditolak terima lagi," kataku. "Hei, Dina, ini urusan dua puluh lima juta ya, Dina, dua puluh lima juta, itu uang yang banyak, cukup untuk belanja kami di sini satu tahun, kau mau nikah, siapa lagi yang kasih kami makan, ayahmu nampak kau sendiri nya, gak ada yang bisanya lagi," kata Ibu panjang lebar. "Gak berani aku, Mak.""Masa sih gak berani, mereka itu orang kaya lo, Dina, uang segitu bagi mereka kecil.""Aku tetap gak berani, Mak, bilang sendiri napa, Mak?""Gitulah kau, gak bisa diandalkan," kata ibu. Aku mau menjawab lagi, akan tetapi aku coba tahan diri, ini hari di mana akan ada hantaran untukku, aku tak ingin merusak suasana. Sementara itu Kak Mila terus berkurung di kamarnya, tak mau bantu apa-apa, padahal kami lagi sibuk masak. Akan ada makan
Suamiku PolisiPart 11PoV MilaAku merasa dikucilkan, Ibu yang dulu selalu dukung aku kini mulai marah-marah terus, semua karena emas itu. Obsesi Ibu yang aku harus punya suami aparat. Ini memang obsesiku juga, akan tetapi Ibu terus mendukung, akhirnya aku tertipu polisi gadungan. Malu, ya, jelas malu. Sakit lagi, ditambah lagi Dina yang terus seperti pamer padaku, dia menertawai aku yang tertipu. "Sarjana kok bisa tertipu?" begitu katanya, menyakitkan. Di rumah, aku seperti dianggap tidak ada, semua orang membicarakan Dina, Dina lagi, dan Dina. Tak pernah lagi Mila. Padahal dulu aku yang selalu jadi bahan pujian di rumah ini, aku pernah menang peragaan busana muslim tingkat sekolah. Pialaku juga berjejer di rak. Dina? tak ada. Dia hanya bernasib mujur. Keluarga Raja datang hendak membicarakan Mahar, entah kenapa sakit rasanya selalu Dina yang dibahas. Aku makin terpinggirkan, aku mengurang diri di kamar. Akan tetapi tetep kucuri dengar juga pembicaraan mereka. Lima puluh juta,
Suamiku PolisiPart 12Para tetangga dan saudara sudah berkumpul di rumah, tempat untuk tamu sudah disediakan. Seorang pemuda sudah ditugaskan mengatur parkir mobil tamu di depan gang. Kak Mila berulah lagi, dia keluar dari kamarnya, dengan senyuman mengembang dia bilang akan membalasku. Duh, emang aku salah apa sehingga harus dibalas? "Udah, Dina, gak usah pedulikan, fokus ke acara saja," bisik ayah yang lagi duduk di dekatku. Tepat sehabis isa, keluarga Bang Raja datang, mereka bawa antaran yang banyak juga. Sampai tiga orang mengangkatnya melewati gang kecil jalan ke rumah. Setelah basa-basi sejenak. Mereka mulai bicara. Mereka bergantian berpidato, intinya adalah penghormatan untuk kami mora mereka. Uang yang mereka berikan dalam bentuk emas tiga puluh gram dan uang dua puluh tiga juta. Kata mereka uang itu untuk dibakar. Uang hangus istilahnya. Aku sempat terkejut ternyata maksudnya adalah untuk kami pakai biaya pesta. Sedangkan dalam bentuk emas untuk kupakai. Wah, baru ni