Akan tetapi, ekspresi wajah Bastian tiba-tiba berubah sendu dan kemudian keningnya berkerut. Ia menjadi bertanya-tanya.Bagimana Aditama melakukan hal tersebut?Padahal, dia hanya pergi sebentar saja tadi. Bastian sendiri juga tidak tahu ke mana perginya dan apa yang dilakukannya. Jadi, mana mungkin jika dia pergi ke rumah sakit Siola. Kalau pun Aditama menghubungi pihak rumah sakit Siola lewat panggilan telefon ... hal tersebut sangat lah mustahil! Lagi pula, mana mungkin pihak rumah sakit akan mempercayainya?Bastian mendecakan lidahnya, berpikir dengan keras. Lalu, siapa yang mungkin melakukan hal itu dari salah satu anggota keluarga Hermanto?Mendadak, kepala Bastian terasa begitu berat tatkala memikirkan hal itu. Pasalnya, kedatangan petugas dari rumah sakit Siola itu, berselang tidak lama setelah Aditama menyinggung hal tersebut. Jadi, sungguh aneh, bukan? Apakah ... hal tersebut hanya sebuah kebetulan saja? Pikir Bastian lagi. Bastian buru-buru menggeleng, mendongak dan
"Iya ... bukan Aditama 'kan?!" Sambung Stephanie yang ikutan berjalan mendekat. "Apa kata pihak rumah sakit ini, Pa?" Bella ikutan bertanya dengan alis tertaut. Dia kemudian menambahkan. "Tapi, siapa kira-kira anggota keluarga kita yang telah membayarnya kalau bukan Aditama? Kita semua kan tahu ... jika kita semua ada di rumah sakit tempat Kakek dirawat sebelumnya ... dan kalau pun ada salah satu diantara kita yang telah membayarnya ... pasti akan memberitahukannya, tidak mungkin akan diam-diam an seperti ini, 'kan?!" Mendengar hal tersebut, semua orang langsung menatap Bella, mencerna perkataan Bella dalam sepersekian detik. Lalu, mereka menganggukan kepala setuju. Benar apa yang dikatakan Bella! Sementara Vania tampak sedang mengigit bibirnya kuat-kuat, tak ikut berkomentar, memilih menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Mendapati sang istri bersikap demikian, Aditama segera menarik tubuhnya ke dalam dekapannya, bermaksud ingin menenangkan.Vania tidak protes dengan apa
"Pak Fernando ... direktur rumah sakit ini," ucap Aditama dengan senyum penuh kemenangan.Secara spontan, Aditama menyebutkan nama tersebut kala tiba-tiba terlintas di benaknya.Mendengar itu, seketika Bastian melebarkan matanya, mencerna nama yang baru saja disebutkan oleh Aditama itu dalam sepersekian detik, diikuti tatapan keterkejutan dari anggota keluarga Hermanto yang lain setelahnya. Semua orang pun menjadi tak habis pikir dengan Aditama yang masih saja berkhayal tinggi. "Tama! Hentikan omong kosongmu itu!" "Cukup ya berhalusinasinya!" "Kuli bangunan sepertimu itu mana mungkin mempunyai kenalan orang-orang penting ... apalagi direktur rumah sakit elit seperti Siola Hospital yang baru saja kau katakan itu!""Mau aku datangkan Pak Fernando saja ke ruangan ini? Supaya kalian semua percaya?" Sambar Aditama tegas yang membuat semua orang terdiam dan seketika menatap Aditama tajam. Begitu pula dengan Vania. Selagi semua orang tengah melayangkan tatapan mematikan ke arahnya, Ad
Fernando masih bergeming di hadapan semua orang yang ada di situ tanpa mempedulikan keterkejutan di wajah-wajah para anggota keluarga Hermanto untuk beberapa saat. Lalu, ia menyisir wajah orang-orang yang ada di sana lebih dulu sebelum kemudian pandangannya jatuh pada sosok Aditama.Namun, seketika pria itu terbeliak, menatap Aditama untuk beberapa saat seraya menelan ludah.'Tuan Muda Gandara ...' Pikir Fernando. Mendapati Fernando bersikap demikian, Aditama pun menyunggingkan senyum kecil, ia paham kenapa direktur rumah sakit itu begitu kaget saat melihat dirinya.Namun, ia buru-buru memberikan kode kepadanya. Sama seperti kejadian sebelumnya, jangan sampai Fernando keceplosan membocorkan identitas dirinya yang sebenarnya kepada anggota keluarga Hermanto. Menangkap kode yang diberikan Aditama, Fernando pun buru-buru menguasai diri. Di saat itu, ia juga langsung teringat dengan pesan Panji yang menuyuruhnya untuk bersikap selayaknya seorang teman terhadap Aditama."P-ak Fernando
Fernando begitu terkejut melihat orang-orang menghina Aditama. Bagimana bisa orang-orang ini begitu berani melakukannya?! Tidakkah mereka tau siapa orang yang mereka hina itu?! Dengan mengepalkan tangan, Fernando langsung mendekat dan menatap tajam orang-orang itu satu persatu sebelum kemudian pandangannya jatuh pada Bastian. Lalu, Fernando berdiri di hadapan Bastian dengan tatapan mematikan. "Memangnya kenapa kalau Aditama bekerja sebagai kuli bangunan?!" ucap Fernando seraya mengangkat alisnya tinggi-tinggi. "Saya tak peduli dengan hal itu dan tidak mempermasalahkanya juga." kata Fernando lagi sambil menggeleng dengan rahang mengeras yang membuat Bastian seketika terdiam. Fernando lalu kembali menatap semua orang yang ada di situ satu persatu, lalu berkata, "Aditama adalah anak dari teman saya ... Ayah Aditama adalah teman saya ... jadi saya tidak suka jika ada orang yang berani menghina Aditama! Itu sama saja dengan kalian menghina Ayahnya Aditama! Mengerti?!" Fernando berser
Aditama dan Vania tampak sedang berjalan di lorong rumah sakit Siola hendak pulang. Keduanya memutuskan pulang karena semuanya telah beres.Beberapa anggota keluarga Hermanto yang lain masih berada di kamar inap Kakek Hermanto untuk menemaninya. Namun, ada pula yang pulang duluan. Mereka akan bergantian menunggui Kakek Hermanto selama dirawat di rumah sakit. Rencananya, Aditama dan Vania pun juga akan ikutan menemani Kakek. Vania baru bisa menghela napas lega karena setidaknya sang Kakek telah mengijinkan dirinya menjenguknya dan ia juga merasa senang karena pada akhirnya penyakit jantung sang Kakek akan segera dioperasi. Akan tetapi, kepala Vania masih terasa penuh oleh banyak pertanyaan dengan kejadian tadi. Ia masih belum bisa mencerna semuanya. Terlebih sang suami yang selalu saja mengejutkan dan sekarang telah banyak berubah. Di sisi lain, Vania merasa tersentuh dengan apa yang dilakukan oleh sang suami terhadapnya. Sedangkan Aditama merasa begitu puas kala melihat anggo
"Karena aku akan melamar kerja di tempat lain yang lebih baik dan gajinya juga lebih besar, Van." ucap Aditama memotong kalimat Vania yang membuat Vania seketika terdiam. Mendengar itu, Vania memicingkan matanya. "Kamu mau bekerja di mana, Tam? Kerja apa?" tanya Vania dengan alis tertaut. Rahang Aditama mengeras, lalu berkata. "Ada, Van. Tapi aku belum bisa cerita sekarang. Tapi aku janji, begitu semuanya telah selesai kuurus, aku akan langsung cerita kepadamu. Jadi, aku minta kepadamu untuk bersabar menunggu ya." Dia kemudian menambahkan. "Dan jangan mencemaskan apa pun ... yakin lah ... semua akan baik-baik saja, Van ... percaya padaku."Vania bergeming di tempat sambil masih menatap sang suami dengan lekat, tengah mencerna perkataannya. Akhirnya, setelah terdiam sesaat seraya menghembuskan napas berat, Vania mengangguk pelan dan berkata. "Baik lah. Aku akan menunggu dengan sabar dan akan mencoba percaya padamu, Tam."Mendengar ucapan Vania tak elak membuat Aditama tersenyum. "T
Evan langsung mencengkram kerah baju Aditama sambil mendelik. "Jelaskan kepadaku ... kenapa kau bisa membuatku dan Boss Chris dipecat?!" Evan berseru marah.Mendengar hal itu, mata Aditama melebar. Begitu juga dengan Vania. Detik berikutnya, terbit senyum di bibir Aditama. Sementara Vania langsung menatap Aditama dengan tatapan tidak percaya, refleks membekap mulutnya, mencerna apa yang baru saja Evan katakan dalam waktu sepersekian detik. Apa!? Vania pun tercengang. Bahkan, suaminya kali ini bisa membuat seorang mandor dan atasanya dipecat?Bagimana mungkin!? Selagi Vania tercengang, Aditama angkat bicara. "Benar kah ... kalian berdua ... dipecat?!" Aditama mengulangi perkataan Evan. Memastikan ia tidak salah dengar. Aditama juga berpura-pura terkejut mendengar hal itu. Padahal, memang dirinya lah yang membuat mereka berdua dipecat. Evan pun mendengus dingin. "Tidak usah berlagak tidak tau kau, Aditama!" ucapnya dengan gigi gemeretak, suaranya meninggi dan wajahnya mengeras,
Satu bulan yang lalu, Vania telah melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Darren Alvaro Gandara. Sebagai bentuk untuk mengungkapkan kebahagiaan yang tengah dirasakan anggota keluarga Gandara, khususnya bagi pasangan Aditama dan Vania, sekaligus untuk menyambut anggota keluarga Gandara yang baru, keluarga Gandara kembali menggelar pesta besar-besar an. Pesta diadakan di ruangan dan halaman rumah. Malam ini, ruangan dan halaman itu disulap menjadi tempat pesta yang megah. Ada ratusan undangan yang datang dalam acara. Kerabat dekat, kolega, rekan bisnis dan kenalan keluarga Gandara. Meja-meja makanan tampak tersusun rapi dengan menu spesial di atasnya. Dekorasi acara terhampar di setiap titik-titik paling pasnya. Juga halaman rumah dihiasi lampu-lampu yang membuat belakang rumah itu terlihat lebih menawan. Di saat ini, Aditama dan Vania—yang sedang menggendong bayinya—tampak berdiri di dalam ruangan menyambut para tamu yang terus berdatangan silih berganti. Tamu-tamu it
Begitu melihat sang suami memasuki rumah, Vania yang sedang duduk di sofa ruang tamu bersama sang ibu—langsung bangkit dari duduknya—segera berhambur setengah berlari ke arah Aditama, lantas langsung memeluknya dengan erat. "Kenapa malam sekali pulangnya, Tam ... aku sungguh mencemaskanmu tadi ... takut terjadi apa-apa denganmu. Juga Papa. Aku tidak bisa tidur, sayang. Entah kenapa, rasanya tidak tenang saja kalau kamu belum pulang." Ucap Vania dalam posisi wajah tenggelam di dada suaminya. Di saat yang sama, Vania merasa sangat lega karena sang suami pulang dengan selamat. Dalam keadaan baik-bajk saja. Begitu pula dengan sang Ayah. Aditama menghela napas. "Maafkan aku, sayang karena baru sampai rumah. Karena urusannya baru selesai. Jadi, aku dan Papa baru bisa pulang." Balas Aditama seiring menghembuskan napas lega, mengusap kepala sang istri dengan lembut, juga terus mengecup keningnya. Aditama lanjut berkata. "Sekarang aku sudah pulang sesuai janji aku tadi, Van ... p
Sementara itu, Aditama dan sang Ayah memutuskan beranjak dari perumahan Paradise hendak pulang. Di dalam mobil, tiba-tiba ponsel Aditama berbunyi menandakan ada panggilan masuk yang membuat perhatian pria tampan itu teralihkan. Seketika ia merogoh saku jas, mengeluarkan ponsel dari dalam sana, nama Heru terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, mata Aditama melebar! Mendadak, ia teringat sesuatu. Apakah Kak Heru hendak memberitahu kabar mengenai Edwin? Juga Robert dan Andika? Pikir Aditama. Melihat sang anak laki-lakinya bersikap demikian, Laksana Gandara mengernyitkan kening. "Telepon dari siapa, Tam?" tanya Laksana Gandara seraya menghadap Aditama.Mendapatkan pertanyaan dari sang Ayah membuat Aditama menoleh. Dia kemudian menjawab. "Kak Heru, Pa,"Laksana Gandara mengerjap mendengarnya. Dia kemudian buru-buru berkata. "Cepat angkat, Tam ... sepertinya dia mau mengabarkan sesuatu tentang Edwin." Laksana Gandara langsung mendesak Aditama yang dijawab angg
Sementara itu, tiba di gedung kasino milik Robert dan Andika, Edwin disambut keributan dan kericuhan oleh orang-orang di sana. Kesibukan pun menyertai. Para petugas pemadam kebakaran tengah berusaha memadamkan api yang melahap gedung kasino tersebut. Beberapa mobil-mobil tampak keluar, sebagian besar adalah para pengunjung kasino yang sedang bergegas pulang, tapi ada pula yang masih berada di sana—menonton. Namun Edwin tidak mempedulikan hal tersebut, ia bergegas mencari dua orang yang sebelumnya ia agung-agungkan, tapi kini ia telah berubah benci pada keduanya.Selang sebentar saja, tiba-tiba Edwin menghentikan langkah saat melihat dua orang yang sedang ia cari—berdiri di dekat salah satu mobil—menyaksikan kesibukan. Melalui ekor matanya, Robert menyadari kedatangan Edwin, ia pun segera menoleh diikuti Andika setelahnya. Kemudian, Robert memicingkan pandangan. Detik berikutnya, dia terhenyak. Begitu pula dengan Andika. Edwin!? Selama sesaat, keduanya kompak tercengang. Seg
Begitu melihat sosok Arumi dan Haikal, Laksana Gandara langsung murka bukan main. Seketika ekspresi wajahnya menjadi masam, seruan marah, sumpah serapah dan makian terlontar keluar dari mulutnya. Mendapati hal tersebut, Arumi dan Haikal hanya bisa pasrah. "Aku pikir kau sudah takut denganku, Arumi ... sudah takut dengan keluarga Gandara ... tidak mau berurusan dengan keluargaku lagi setelah kuusir dirimu," seru Laksana Gandara dengan emosi menggebu seraya menunjuk-nunjuk Arumi. "Tapi apa yang malah akan kau lakukan kepada anggota keluargaku, wanita iblis!? Kau bahkan berencana mau membunuh anggota keluarga tercintaku!?" Lanjut Laksana Gandara. Mendengar itu, Arumi refleks mengangkat wajah menatap Laksana Gandara. Kemudian, ia langsung menggeleng cepat. "Tidak, tuan. Bukan seperti itu. Itu bukan ide saya. Saya tidak ada niatan sedikit pun mau menghabisi anggota keluarga anda. Itu sepenuhnya adalah ide tuan Robert, tuan Andika, juga Edwin." Jawab Arumi yang langsung dibenarkan
Aditama menatap Arumi dan Haikal dengan saksama. Juga dengan dingin. Ekspresi wajahnya datar. Kemudian, ia pindah menatap Arumi untuk beberapa saat. "Akhirnya kita bertemu lagi, Nona Arumi ... setelah sekian lama," ucap Aditama. Dia kemudian menambahkan. "Aku tidak menyangka kalau anda benar-benar licik. Tak selemah yang dibayangkan. Aku pikir, anda sudah kapok, tak akan mau berurusan dengan keluarga kami lagi, tapi nyatanya aku salah." "Anda memang tidak bisa kami anggap remeh. Dan hal yang membuat aku cukup terkejut adalah ... Anda bekerja sama dengan Robert, Andika dan Edwin untuk membalas keluarga Gandara. Sungguh menakjubkan. Tapi terlepas dari itu, anda tidak bisa berbuat apa-apa." Aditama terdiam sebentar. "Seorang wanita seperti anda ... bisa meyakinkan Papa? Hal itu juga sungguh tak bisa dipercaya. Dan anda yang memfitnahku dan mama dulu ... benar-benar tidak akan pernah kulupakan, Nona Arumi." Kata Aditama lagi. Mendengar itu, Arumi mengangkat wajah menatap Aditama.
Aditama dan Edwin membahas soal pembunuh keluarganya Edwin yang sebenarnya yang tak lain tak bukan adalah Robert, juga Andika, pun termasuk kejahatan dan kebusukan yang telah mereka berdua lakukan. Kala membicarakan hal itu, mendadak, dendam kesumat pada diri Edwin seketika membara, juga tekad ingin membunuh mereka berdua langsung mencuat deras. Akhirnya, setelah terdiam beberapa saat, Edwin mengangkat wajah menatap Aditama. "Silahkan jika tuan muda ingin menghukum saya, ingin membunuh saya sekali pun. Saya rela tuan muda! Saya menerimanya karena saya memang jahat kepada keluarga Gandara! Telah berkhianat!!!" seru Edwin tegas penuh penekanan pada kalimatnya. Tidak ada sedikit pun keraguan dalam setiap kata yang diucapkannya. Semua orang kaget mendengar hal itu. Edwin menyerahkan diri untuk dihabisi? Untuk dibunuh? Dia mengakui kesalahannya? Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena semua keputusan ada di tangan Aditama. Sementara Aditama menatap Edwin dengan lekat. Te
Sesampainya di depan rumah yang ditinggali Arumi perumahan Paradise, Aditama, Letnan dan para tukang pukul bergegas turun dari mobil. Akan tetapi, mendadak Aditama menghentikan langkah ketika hendak berjalan menuju rumah itu kala mendengar bunyi tanda ada panggilan masuk dari ponselnya. Aditama pun mengurungkan niatnya. Begitu pula dengan anak buahnya. Menunggu sang tuan muda. Aditama kembali mengecek ponselnya dan nama sang Ayah terpampang jelas di layar. Seketika ia mengerjap, baru ingat jika ia belum mengabari sang Ayah. Kemudian, ia segera mengusap layar ponsel dan menempelkannya di telinga. "Bagaimana, Tam? Apakah rencanamu berhasil? Kamu tidak kenapa-kenapa, 'kan, Nak?" tanya Laksana Gandara dengan nada cemas sekaligus penasaran begitu panggilan terhubung. Mendengar itu, Aditama pun langsung menceritakan apa yang terjadi di gedung kasino tadi. Setelah Aditama selesai bercerita, terdengar helaan napas lega di sebrang sana. Detik berikutnya, sang Ayah terkekeh puas
Selagi Aditama menyilangkan tangan di depan dada—duduk di jok mobil belakang masih dalam perjalanan menuju perumahan Paradise—memikirkan semua musuhnya yang sebentar lagi akan berhasil ia bereskan, sebuah dering berbunyi berasal dari ponsel miliknya menandakan ada panggilan masuk membuat lamunan pria tampan itu terbuyar. Ia pun kembali mengecek ponselnya dan nama sang istri terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, demi apa pun, Aditama langsung merasa senang bukan main. Namun di sisi lain, ia tidak mau sang istri mengetahui apa yang sebenarnya sedang ia lakukan, mengetahui apa yang terjadi dengan keluarga Gandara! Demikian, ia tidak mau membuat Vania cemas berlebihan—apalagi jika sampai tahu ia, sang ibu dan bayi yang ada di dalam kandungnya itu menjadi target pembunuhan. Akan tetapi, hal itu tidak akan pernah terjadi mengingat rencananya yang sebentar lagi akan selesai. Akhirnya, setelah terdiam sejenak, Aditama mengusap layar ponsel dan segera menempelkannya di