Fernando masih bergeming di hadapan semua orang yang ada di situ tanpa mempedulikan keterkejutan di wajah-wajah para anggota keluarga Hermanto untuk beberapa saat. Lalu, ia menyisir wajah orang-orang yang ada di sana lebih dulu sebelum kemudian pandangannya jatuh pada sosok Aditama.Namun, seketika pria itu terbeliak, menatap Aditama untuk beberapa saat seraya menelan ludah.'Tuan Muda Gandara ...' Pikir Fernando. Mendapati Fernando bersikap demikian, Aditama pun menyunggingkan senyum kecil, ia paham kenapa direktur rumah sakit itu begitu kaget saat melihat dirinya.Namun, ia buru-buru memberikan kode kepadanya. Sama seperti kejadian sebelumnya, jangan sampai Fernando keceplosan membocorkan identitas dirinya yang sebenarnya kepada anggota keluarga Hermanto. Menangkap kode yang diberikan Aditama, Fernando pun buru-buru menguasai diri. Di saat itu, ia juga langsung teringat dengan pesan Panji yang menuyuruhnya untuk bersikap selayaknya seorang teman terhadap Aditama."P-ak Fernando
Fernando begitu terkejut melihat orang-orang menghina Aditama. Bagimana bisa orang-orang ini begitu berani melakukannya?! Tidakkah mereka tau siapa orang yang mereka hina itu?! Dengan mengepalkan tangan, Fernando langsung mendekat dan menatap tajam orang-orang itu satu persatu sebelum kemudian pandangannya jatuh pada Bastian. Lalu, Fernando berdiri di hadapan Bastian dengan tatapan mematikan. "Memangnya kenapa kalau Aditama bekerja sebagai kuli bangunan?!" ucap Fernando seraya mengangkat alisnya tinggi-tinggi. "Saya tak peduli dengan hal itu dan tidak mempermasalahkanya juga." kata Fernando lagi sambil menggeleng dengan rahang mengeras yang membuat Bastian seketika terdiam. Fernando lalu kembali menatap semua orang yang ada di situ satu persatu, lalu berkata, "Aditama adalah anak dari teman saya ... Ayah Aditama adalah teman saya ... jadi saya tidak suka jika ada orang yang berani menghina Aditama! Itu sama saja dengan kalian menghina Ayahnya Aditama! Mengerti?!" Fernando berser
Aditama dan Vania tampak sedang berjalan di lorong rumah sakit Siola hendak pulang. Keduanya memutuskan pulang karena semuanya telah beres.Beberapa anggota keluarga Hermanto yang lain masih berada di kamar inap Kakek Hermanto untuk menemaninya. Namun, ada pula yang pulang duluan. Mereka akan bergantian menunggui Kakek Hermanto selama dirawat di rumah sakit. Rencananya, Aditama dan Vania pun juga akan ikutan menemani Kakek. Vania baru bisa menghela napas lega karena setidaknya sang Kakek telah mengijinkan dirinya menjenguknya dan ia juga merasa senang karena pada akhirnya penyakit jantung sang Kakek akan segera dioperasi. Akan tetapi, kepala Vania masih terasa penuh oleh banyak pertanyaan dengan kejadian tadi. Ia masih belum bisa mencerna semuanya. Terlebih sang suami yang selalu saja mengejutkan dan sekarang telah banyak berubah. Di sisi lain, Vania merasa tersentuh dengan apa yang dilakukan oleh sang suami terhadapnya. Sedangkan Aditama merasa begitu puas kala melihat anggo
"Karena aku akan melamar kerja di tempat lain yang lebih baik dan gajinya juga lebih besar, Van." ucap Aditama memotong kalimat Vania yang membuat Vania seketika terdiam. Mendengar itu, Vania memicingkan matanya. "Kamu mau bekerja di mana, Tam? Kerja apa?" tanya Vania dengan alis tertaut. Rahang Aditama mengeras, lalu berkata. "Ada, Van. Tapi aku belum bisa cerita sekarang. Tapi aku janji, begitu semuanya telah selesai kuurus, aku akan langsung cerita kepadamu. Jadi, aku minta kepadamu untuk bersabar menunggu ya." Dia kemudian menambahkan. "Dan jangan mencemaskan apa pun ... yakin lah ... semua akan baik-baik saja, Van ... percaya padaku."Vania bergeming di tempat sambil masih menatap sang suami dengan lekat, tengah mencerna perkataannya. Akhirnya, setelah terdiam sesaat seraya menghembuskan napas berat, Vania mengangguk pelan dan berkata. "Baik lah. Aku akan menunggu dengan sabar dan akan mencoba percaya padamu, Tam."Mendengar ucapan Vania tak elak membuat Aditama tersenyum. "T
Evan langsung mencengkram kerah baju Aditama sambil mendelik. "Jelaskan kepadaku ... kenapa kau bisa membuatku dan Boss Chris dipecat?!" Evan berseru marah.Mendengar hal itu, mata Aditama melebar. Begitu juga dengan Vania. Detik berikutnya, terbit senyum di bibir Aditama. Sementara Vania langsung menatap Aditama dengan tatapan tidak percaya, refleks membekap mulutnya, mencerna apa yang baru saja Evan katakan dalam waktu sepersekian detik. Apa!? Vania pun tercengang. Bahkan, suaminya kali ini bisa membuat seorang mandor dan atasanya dipecat?Bagimana mungkin!? Selagi Vania tercengang, Aditama angkat bicara. "Benar kah ... kalian berdua ... dipecat?!" Aditama mengulangi perkataan Evan. Memastikan ia tidak salah dengar. Aditama juga berpura-pura terkejut mendengar hal itu. Padahal, memang dirinya lah yang membuat mereka berdua dipecat. Evan pun mendengus dingin. "Tidak usah berlagak tidak tau kau, Aditama!" ucapnya dengan gigi gemeretak, suaranya meninggi dan wajahnya mengeras,
Aditama mengerutkan kening mendapati Vania terana."Van ... " panggil Aditama. Namun, panggilan itu tak menyadarkan Vania dari lamunannya. "Vania ... ayo kita masuk ke dalam." kata Aditama lagi yang membuat Vania baru tersadar pada akhirnya, gelagapan untuk sesaat sebelum kemudian langsung menatap Aditama. Lalu, Vania mendekat, berdiri tepat di hadapan Aditama, memegangi pipi sang suami seraya menatapnya lekat. Dia kemudian berkata. "Kamu ... beneran Aditama 'kan?" tanya Vania dengan hati-hati. Seperti hendak memastikan bahwa sosok pria yang sedang berdiri dihadapanya itu adalah benar-benar suaminya. Mendengar itu, Aditama menautkan alis. "Memangnya kenapa?" Aditama balik tanya. Dia kemudian menambahkan. "Aku Aditama ... suami kamu, Van." Vania terpana lagi. "Benar kah?" ucapnya dengan terbata. Aditama tak elak geleng-geleng kepala mendengar itu sembari tersenyum. "Aku beneran Aditama, Van." Dia kemudian menambahkan. "Memangnya kenapa sih?""Dulu, kamu tidak akan seberani ini,
Aditama langsung memasang kuda-kuda, menatap mereka dengan tajam, mengepalkan tinju dan bersiap melawan ke enam preman tersebut.Jual beli pukulan dan tendangan dalam jarak dekat pun terjadi. BUGH! BUGH! BUGH! Aditama sigap menangkis, berkelit dan menghindari serangan.PLAK! PLAK! PLAK! Ia sedang bertahan, berkonsentrasi penuh, mencari titik lemah dan celah kosong.Ia masih belum mendapat celah untuk menyerang. Pasalnya, ia tengah dikeroyok, mereka mencecar serangan dari berbagai arah.Depan, belakang, atas, bawah, kanan, kiri yang dilakukannya dengan begitu cepat. Di saat itu, juga terdengar suara erangan, jeritan dan mengadu kesakitan. Sementara itu, ketua preman-preman itu yang bernama Erik memilih mejauh, menonton perkelahian tersebut sambil menghisap rokoknya dengan santai.Senyum licik tengah menghiasi bibirnya karena ia merasa begitu percaya diri jika anak buahnya akan dapat menghabisi Aditama, tanpa ia harus susah-susah mengotori tangannya sendiri.Akan tetapi, bebera
Vania terkejut kala melihat keadaan sang suami yang baru saja masuk ke dalam apartemen. "Kenapa dengan wajahmu?" tanya Vania dengan alis tertaut sambil bangkit dari duduknya. Kemudian ia mengamatinya dengan saksama. Belum sempat Aditama menjawab, Vania sudah bertanya lagi. "Dan bajumu ... astaga ... kenapa kotor begini." Akhirnya, setelah menghela napas berat, Aditama berkata. "Tadi sewaktu di jalan dalam perjalanan pulang, tiba-tiba aku dikeroyok oleh para preman, Van --"Belum sempat Aditama menyelesaikan kalimatnya, Vania telah melebarkan mata lebih dulu yang membuat Aditama menghentikan ceritanya sejenak. Selagi Vania tercengang, Aditama memilih menaruh plastik berisi makanan lebih dulu di atas meja. Lalu, ia balik menatap Vania lagi dan lanjut berkata. "Dan setelah aku berhasil melumpuhkan mereka semua ... aku tanya kepada ketua dari mereka ... dan dia memberitahuku kalau Edward lah yang telah menyuruh mereka untuk menyerangku."Sontak, Vania tambah semakin melebarkan matany