Setelah selesai membaca dan memeriksa laporan keuangan dan dokumen lainya yang diberikan Vania, ditambah mendengar penjelasan dari Vania dan Aditama mengenai kejanggalan pada laporan keuangan tersebut, tiba-tiba muka Kakek Hermanto menjadi merah padam. Ada amarah yang terpancar jelas dari balik sorot matanya. "Bastian ... apa yang telah kau lakukan?!" Kakek Hermanto berseru dengan emosi menggebu, membuat yang lainya terlonjak kaget dan seketika agak panik. Bahkan, karena saking marahnya, urat-urat di pelipis dan leher, menyembul keluar ke permukaan kulit. Aditama dan Vania menemukan kejanggalan dan keanehan lain yang membawa keduanya berkesimpulan bahwa sang Paman juga melakukan cara lain untuk menggelapkan dana perusahaan. Keduanya menemukan beberapa dokumen pendukung palsu supaya dana perusahaan bisa dicairkan. Menemukan dokumen pendukung palsu, Vania pun langsung mengingat-ngingat kembali mengenai kegiatan, agenda dan proyek perusahaan belakangan ini ... yang sepertinya
Tiba di rumah Hermanto, Bastian, Susan dan Mario melangkah ke dalam dengan penuh percaya diri. Melihat Aditama dan Vania duduk di sofa bersama Kakek Hermanto dan Stephanie, membuat ketiganya tersenyum kecut. Tidak menyapa. Apalagi berbasa-basi. Begitu pun sebaliknya, Aditama dan Vania juga sama malasnya. Apalagi setelah mengetahui kebusukan sang Paman, jangan tanya lagi. Bastian hanya menatap ke arah Aditama dan Vania sekilas sebelum kemudian bergegas menghampiri sang Ayah dan menjatuhkan diri di sampingnya. Sedangkan Susan dan Mario duduk di sofa yang kosong. Bastian memperbaiki posisi duduk lebih dulu, menatap sang Ayah dengan lekat. "Bagaimana, Yah? Apakah Ayah sudah menginterogasi mereka berdua? Mereka berdua jujur kepada Ayah, 'kan?" Bastian langsung mencecar sang Ayah dengan pertanyaan. Suaranya lirih, karena tak mau Aditama dan Vania mengetahui niatnya yang sedang mengorek informasi tentang Aditama dan keluarganya. Akan tetapi, Kakek Hermanto tidak langsu
Karena sudah tidak bisa mengelak lagi, bukti berupa dokumen-dokumen itu sudah cukup kuat untuk memojokan dirinya, Bastian pun mengaku pada akhirnya jika ia telah menggelapkan dana perusahaan kepada sang Ayah. Mendengar pengakuan Bastian, membuat semua orang terkejut bukan main. Aditama dan Vania tidak terlalu karena sudah menduga hal itu. Stephanie tidak menyangka dan menjadi sangat kecewa dengan Kakak iparnya tersebut. Kakek Hermanto menjadi kian marah. Emosinya seketika membuncah. Sudah tak terkontrol lagi. Alhasil, segala ucapan marah bernada tinggi, caci maki, serta sumpah serapah langsung keluar dari mulut pria tua itu yang ditunjukan kepada Bastian. Sementara itu, justru yang paling terkejut adalah Susan dan Mario karena keduanya benar-benar tidak menyangka. Selama ini, bagi keduanya, Bastian adalah sosok kepala keluarga yang sempurna—yang tidak akan mungkin jika sampai melakukan tindakan seperti itu. Pun merasa marah dan kecewa di waktu bersamaan. Mendapati sang Ayah m
Di saat ini, Susan berujar. "Pa ... Papa menggunakan uang perusahaan untuk membeli tanah, rumah, mobil dan barang-barang mewah lainya ... tapi ... kenapa aku tidak tahu? Kenapa Papa tidak pernah bercerita?" wajah Susan mengernyit. Tampak kebingungan. "Iya, Pa. Kenapa Papa tidak pernah memberitahu hal itu kepada kami. Lalu, di mana tanah, rumah dan mobilnya?" sambung Mario sama bingungnya. Mendengar hal itu, mata Bastian melebar! Langsung ketangkap basah tak bisa menyembunyikan keterkejutanya. Namun ia buru-buru menguasai diri, berusaha bersikap senormal mungkin. Ia tidak mungkin berterus terang kepada istri dan anaknya jika semua yang ia beli menggunakan uang perusahaan itu diberikan untuk wanita selingkuhanya. Seketika Bastian memutar otak, mencari alasan untuk menjelaskanya kepada istri dan anaknya. Mereka tidak boleh tahu jika ia mempunyai selingkuhan. Bisa mati ia di tangan mereka! Sementara Kakek Hermanto menautkan alis, beralih menatap Susan dan Mario. Ucapan ke
Jelas Bastian tidak mau mengaku jika semua yang dibeli dengan menggunakan uang perusahaan sepenuhnya ia berikan kepada wanita selingkuhanya. Itu sama saja dengan ia cari mati. Kini ia masih percaya diri dan yakin jika perselingkuhananya tidak akan terbongkar. Namun tidak menutup kemungkinan jika hal itu akan terjadi mengingat kebusukanya menggelapkan dana perusahaan yang berhubungan dengan perselingkuhanya telah terbongkar. Ditambah, Haryadi juga memegang rahasia terbesarnya, hanya tinggal menunggu waktu saja Haryadi akan membongkarnya jika ia membuatnya marah. Kala memikirkan keadaan dirinya yang malah kian memburuk, terpojok, ia pun rasanya ingin mengamuk saja. Akan tetapi, ia merasa seseorang yang bisa membongkar perselingkuhanya dengan cepat adalah Haryadi. Maka dari itu, ia tidak boleh gagal menjalankan tugas darinya. Tugas mencari tahu identitas Aditama yang sebenarnya. Juga tentang keluarganya. Ini lah saatnya yang tepat. Ia sudah tak mempunyai banyak waktu lagi. Akhi
"Edward anjing!!!" teriak Mario tak sadar dengan pandangan masih tertuju pada layar ponsel. Wajahnya merah padam. Giginya bergemeretak. Mendengar hal itu, semua orang kompak menoleh ke arah Mario. Edward? Mereka pun menjadi penasaran. "Ada apa, Mar?!" tanya sang ibu sambil memutar tubuh menghadap anak laki-lakinya. "Kau berurusan dengan Edward, Mar?" sambung Kakek Hermanto, hendak memastikan diikuti tatapan penasaran Stephanie dan Vania. Sedangkan Aditama bersikap biasa saja karena dia sudah tahu apa yang terjadi dengan Mario dan Edward. Menyadari jika ia baru saja keceplosan, Mario mendongak dan gelagapan seketika. "In ... ini Edward ... ya aku sedang ada masalah denganya ... urusan bisnis, Ma, Kek." Karena tak mau semua orang mengintrogasinya, ia beranjak berdiri seraya berkata. "Aku mau keluar sebentar untuk membicarakan masalah ini," Tanpa menunggu balasan dari yang lainya, Mario segera membawa langkahnya keluar rumah. Melihat sang Ayah yang tampak sedang masuk ke
Kini mobil Aditama tampak tengah dikepung oleh banyak orang. "Turun!" titah salah satu dari mereka dengan galak seraya mengetuk pintu kaca mobil milik Aditama. "Siapa mereka, Tam?" ucap Vania dengan suara dan bibir bergetar selagi mengedar pandangan ke sekeliling—kentara jelas cemas. "Orang suruhan, Pak Haryadi dan Edward, Van." Jawab Aditama santai dengan pandangan lurus ke depan, sesekali menatap ke arah istrinya. Meskipun demikian, pria tampan itu tetap tenang. Tak gentar. Juga tidak ada gurat ketakutan sedikit pun yang menghiasi wajahnya. Kemudian, ia menatap sang istri lagi. "Biar aku yang turun menghadapi mereka, kamu tunggu di sini saja." Pinta Aditama yang dijawab anggukan kepala oleh Vania. "Kamu hati-hati ya, Tam." ujar Vania. Aditama balas mengangguk. "Pasti." Usai mengatakan hal itu, Aditama turun dari mobil—yang langsung disambut tatapan garang dari orang-orang itu. Aditama lalu menatap orang-orang itu satu persatu dengan saksama. "Mau apa kalian
"Haryadi dan Edward menyuruhmu untuk melakukan apa kepadaku?" tanya Aditama dengan dingin kepada Delon. Pria itu kini terkapar tak berdaya di aspal dengan kondisi babak belur. Wajahnya dipenuhi lebam. Berdarah. Giginya rompol. Juga terdapat luka di banyak tempat. Setelah anak buah Delon tumbang semua, perkelahian berlanjut antara Delon melawan Heru. Sedangkan dua anak buah Delon yang masih tersisa melawan anak buah Heru. Selagi mereka tengah saling serbu, serang, berusaha mengalahkan satu sama lain, Vania buru-buru turun dari mobil. Alhasil, Aditama dan Vania menonton perkelahian itu tak jauh dari sana. Pertempuran itu benar-benar meletus hebat. Menanjak keintensitas tertingginya. Demikian, karena ditambah menggunakan senjata dari mereka masing-masing. Heru mengakui jika kemampuan Delon tidak main-main. Ia menemukan lawan yang sepadan. Sesekali dari keduanya saling terdesak, pun sesekali unggul, hingga akhirnya Heru berhasil mengalahkan Delon yang membuat pria itu sepert
Satu bulan yang lalu, Vania telah melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Darren Alvaro Gandara. Sebagai bentuk untuk mengungkapkan kebahagiaan yang tengah dirasakan anggota keluarga Gandara, khususnya bagi pasangan Aditama dan Vania, sekaligus untuk menyambut anggota keluarga Gandara yang baru, keluarga Gandara kembali menggelar pesta besar-besar an. Pesta diadakan di ruangan dan halaman rumah. Malam ini, ruangan dan halaman itu disulap menjadi tempat pesta yang megah. Ada ratusan undangan yang datang dalam acara. Kerabat dekat, kolega, rekan bisnis dan kenalan keluarga Gandara. Meja-meja makanan tampak tersusun rapi dengan menu spesial di atasnya. Dekorasi acara terhampar di setiap titik-titik paling pasnya. Juga halaman rumah dihiasi lampu-lampu yang membuat belakang rumah itu terlihat lebih menawan. Di saat ini, Aditama dan Vania—yang sedang menggendong bayinya—tampak berdiri di dalam ruangan menyambut para tamu yang terus berdatangan silih berganti. Tamu-tamu it
Begitu melihat sang suami memasuki rumah, Vania yang sedang duduk di sofa ruang tamu bersama sang ibu—langsung bangkit dari duduknya—segera berhambur setengah berlari ke arah Aditama, lantas langsung memeluknya dengan erat. "Kenapa malam sekali pulangnya, Tam ... aku sungguh mencemaskanmu tadi ... takut terjadi apa-apa denganmu. Juga Papa. Aku tidak bisa tidur, sayang. Entah kenapa, rasanya tidak tenang saja kalau kamu belum pulang." Ucap Vania dalam posisi wajah tenggelam di dada suaminya. Di saat yang sama, Vania merasa sangat lega karena sang suami pulang dengan selamat. Dalam keadaan baik-bajk saja. Begitu pula dengan sang Ayah. Aditama menghela napas. "Maafkan aku, sayang karena baru sampai rumah. Karena urusannya baru selesai. Jadi, aku dan Papa baru bisa pulang." Balas Aditama seiring menghembuskan napas lega, mengusap kepala sang istri dengan lembut, juga terus mengecup keningnya. Aditama lanjut berkata. "Sekarang aku sudah pulang sesuai janji aku tadi, Van ... p
Sementara itu, Aditama dan sang Ayah memutuskan beranjak dari perumahan Paradise hendak pulang. Di dalam mobil, tiba-tiba ponsel Aditama berbunyi menandakan ada panggilan masuk yang membuat perhatian pria tampan itu teralihkan. Seketika ia merogoh saku jas, mengeluarkan ponsel dari dalam sana, nama Heru terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, mata Aditama melebar! Mendadak, ia teringat sesuatu. Apakah Kak Heru hendak memberitahu kabar mengenai Edwin? Juga Robert dan Andika? Pikir Aditama. Melihat sang anak laki-lakinya bersikap demikian, Laksana Gandara mengernyitkan kening. "Telepon dari siapa, Tam?" tanya Laksana Gandara seraya menghadap Aditama.Mendapatkan pertanyaan dari sang Ayah membuat Aditama menoleh. Dia kemudian menjawab. "Kak Heru, Pa,"Laksana Gandara mengerjap mendengarnya. Dia kemudian buru-buru berkata. "Cepat angkat, Tam ... sepertinya dia mau mengabarkan sesuatu tentang Edwin." Laksana Gandara langsung mendesak Aditama yang dijawab angg
Sementara itu, tiba di gedung kasino milik Robert dan Andika, Edwin disambut keributan dan kericuhan oleh orang-orang di sana. Kesibukan pun menyertai. Para petugas pemadam kebakaran tengah berusaha memadamkan api yang melahap gedung kasino tersebut. Beberapa mobil-mobil tampak keluar, sebagian besar adalah para pengunjung kasino yang sedang bergegas pulang, tapi ada pula yang masih berada di sana—menonton. Namun Edwin tidak mempedulikan hal tersebut, ia bergegas mencari dua orang yang sebelumnya ia agung-agungkan, tapi kini ia telah berubah benci pada keduanya.Selang sebentar saja, tiba-tiba Edwin menghentikan langkah saat melihat dua orang yang sedang ia cari—berdiri di dekat salah satu mobil—menyaksikan kesibukan. Melalui ekor matanya, Robert menyadari kedatangan Edwin, ia pun segera menoleh diikuti Andika setelahnya. Kemudian, Robert memicingkan pandangan. Detik berikutnya, dia terhenyak. Begitu pula dengan Andika. Edwin!? Selama sesaat, keduanya kompak tercengang. Seg
Begitu melihat sosok Arumi dan Haikal, Laksana Gandara langsung murka bukan main. Seketika ekspresi wajahnya menjadi masam, seruan marah, sumpah serapah dan makian terlontar keluar dari mulutnya. Mendapati hal tersebut, Arumi dan Haikal hanya bisa pasrah. "Aku pikir kau sudah takut denganku, Arumi ... sudah takut dengan keluarga Gandara ... tidak mau berurusan dengan keluargaku lagi setelah kuusir dirimu," seru Laksana Gandara dengan emosi menggebu seraya menunjuk-nunjuk Arumi. "Tapi apa yang malah akan kau lakukan kepada anggota keluargaku, wanita iblis!? Kau bahkan berencana mau membunuh anggota keluarga tercintaku!?" Lanjut Laksana Gandara. Mendengar itu, Arumi refleks mengangkat wajah menatap Laksana Gandara. Kemudian, ia langsung menggeleng cepat. "Tidak, tuan. Bukan seperti itu. Itu bukan ide saya. Saya tidak ada niatan sedikit pun mau menghabisi anggota keluarga anda. Itu sepenuhnya adalah ide tuan Robert, tuan Andika, juga Edwin." Jawab Arumi yang langsung dibenarkan
Aditama menatap Arumi dan Haikal dengan saksama. Juga dengan dingin. Ekspresi wajahnya datar. Kemudian, ia pindah menatap Arumi untuk beberapa saat. "Akhirnya kita bertemu lagi, Nona Arumi ... setelah sekian lama," ucap Aditama. Dia kemudian menambahkan. "Aku tidak menyangka kalau anda benar-benar licik. Tak selemah yang dibayangkan. Aku pikir, anda sudah kapok, tak akan mau berurusan dengan keluarga kami lagi, tapi nyatanya aku salah." "Anda memang tidak bisa kami anggap remeh. Dan hal yang membuat aku cukup terkejut adalah ... Anda bekerja sama dengan Robert, Andika dan Edwin untuk membalas keluarga Gandara. Sungguh menakjubkan. Tapi terlepas dari itu, anda tidak bisa berbuat apa-apa." Aditama terdiam sebentar. "Seorang wanita seperti anda ... bisa meyakinkan Papa? Hal itu juga sungguh tak bisa dipercaya. Dan anda yang memfitnahku dan mama dulu ... benar-benar tidak akan pernah kulupakan, Nona Arumi." Kata Aditama lagi. Mendengar itu, Arumi mengangkat wajah menatap Aditama.
Aditama dan Edwin membahas soal pembunuh keluarganya Edwin yang sebenarnya yang tak lain tak bukan adalah Robert, juga Andika, pun termasuk kejahatan dan kebusukan yang telah mereka berdua lakukan. Kala membicarakan hal itu, mendadak, dendam kesumat pada diri Edwin seketika membara, juga tekad ingin membunuh mereka berdua langsung mencuat deras. Akhirnya, setelah terdiam beberapa saat, Edwin mengangkat wajah menatap Aditama. "Silahkan jika tuan muda ingin menghukum saya, ingin membunuh saya sekali pun. Saya rela tuan muda! Saya menerimanya karena saya memang jahat kepada keluarga Gandara! Telah berkhianat!!!" seru Edwin tegas penuh penekanan pada kalimatnya. Tidak ada sedikit pun keraguan dalam setiap kata yang diucapkannya. Semua orang kaget mendengar hal itu. Edwin menyerahkan diri untuk dihabisi? Untuk dibunuh? Dia mengakui kesalahannya? Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena semua keputusan ada di tangan Aditama. Sementara Aditama menatap Edwin dengan lekat. Te
Sesampainya di depan rumah yang ditinggali Arumi perumahan Paradise, Aditama, Letnan dan para tukang pukul bergegas turun dari mobil. Akan tetapi, mendadak Aditama menghentikan langkah ketika hendak berjalan menuju rumah itu kala mendengar bunyi tanda ada panggilan masuk dari ponselnya. Aditama pun mengurungkan niatnya. Begitu pula dengan anak buahnya. Menunggu sang tuan muda. Aditama kembali mengecek ponselnya dan nama sang Ayah terpampang jelas di layar. Seketika ia mengerjap, baru ingat jika ia belum mengabari sang Ayah. Kemudian, ia segera mengusap layar ponsel dan menempelkannya di telinga. "Bagaimana, Tam? Apakah rencanamu berhasil? Kamu tidak kenapa-kenapa, 'kan, Nak?" tanya Laksana Gandara dengan nada cemas sekaligus penasaran begitu panggilan terhubung. Mendengar itu, Aditama pun langsung menceritakan apa yang terjadi di gedung kasino tadi. Setelah Aditama selesai bercerita, terdengar helaan napas lega di sebrang sana. Detik berikutnya, sang Ayah terkekeh puas
Selagi Aditama menyilangkan tangan di depan dada—duduk di jok mobil belakang masih dalam perjalanan menuju perumahan Paradise—memikirkan semua musuhnya yang sebentar lagi akan berhasil ia bereskan, sebuah dering berbunyi berasal dari ponsel miliknya menandakan ada panggilan masuk membuat lamunan pria tampan itu terbuyar. Ia pun kembali mengecek ponselnya dan nama sang istri terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, demi apa pun, Aditama langsung merasa senang bukan main. Namun di sisi lain, ia tidak mau sang istri mengetahui apa yang sebenarnya sedang ia lakukan, mengetahui apa yang terjadi dengan keluarga Gandara! Demikian, ia tidak mau membuat Vania cemas berlebihan—apalagi jika sampai tahu ia, sang ibu dan bayi yang ada di dalam kandungnya itu menjadi target pembunuhan. Akan tetapi, hal itu tidak akan pernah terjadi mengingat rencananya yang sebentar lagi akan selesai. Akhirnya, setelah terdiam sejenak, Aditama mengusap layar ponsel dan segera menempelkannya di