Kakek Hermanto dan Stephanie bersimpuh di kaki Aditama dengan gerakan patah-patah. "Tu ... tuan muda Aditama ... " ucap Kakek Hermanto dengan bibir dan suara bergetar. Mendadak, tenggorokanya terasa kering. Bahkan, untuk menelan ludah pun serasa susah sekali. Seorang pria yang dulu dicap sebagai menantu dan suami tidak berguna, sampah, parasit dan segala julukan jelek lainya tersemat pada dirinya. Juga selalu direndahkan, dihina dan dicaci maki. Akan tetapi, ternyata dia adalah pewaris kerajaan bisnis salah satu keluarga konglomerat di negara ini? Lelucon macam apa ini? Hal tersebut sungguh sulit dicerna dan dipercaya. Tak disangka-sangka pula.Melihat sang kakek dan ibu bersikap demikian, Aditama berujar. "Bangun lah, Kek ... Ma ... " Aditama menatap keduanya secara bergantian. Namun Kakek Hermanto menggeleng cepat diikuti Stephanie. "Ti ... tidak, Tuan Muda." Balas Kakek Hermanto dengan suara serak dan parau. "Panggil aku dengan panggilan nama saja, Kek, Ma. Seperti b
Setelah selesai membaca dan memeriksa laporan keuangan dan dokumen lainya yang diberikan Vania, ditambah mendengar penjelasan dari Vania dan Aditama mengenai kejanggalan pada laporan keuangan tersebut, tiba-tiba muka Kakek Hermanto menjadi merah padam. Ada amarah yang terpancar jelas dari balik sorot matanya. "Bastian ... apa yang telah kau lakukan?!" Kakek Hermanto berseru dengan emosi menggebu, membuat yang lainya terlonjak kaget dan seketika agak panik. Bahkan, karena saking marahnya, urat-urat di pelipis dan leher, menyembul keluar ke permukaan kulit. Aditama dan Vania menemukan kejanggalan dan keanehan lain yang membawa keduanya berkesimpulan bahwa sang Paman juga melakukan cara lain untuk menggelapkan dana perusahaan. Keduanya menemukan beberapa dokumen pendukung palsu supaya dana perusahaan bisa dicairkan. Menemukan dokumen pendukung palsu, Vania pun langsung mengingat-ngingat kembali mengenai kegiatan, agenda dan proyek perusahaan belakangan ini ... yang sepertinya
Tiba di rumah Hermanto, Bastian, Susan dan Mario melangkah ke dalam dengan penuh percaya diri. Melihat Aditama dan Vania duduk di sofa bersama Kakek Hermanto dan Stephanie, membuat ketiganya tersenyum kecut. Tidak menyapa. Apalagi berbasa-basi. Begitu pun sebaliknya, Aditama dan Vania juga sama malasnya. Apalagi setelah mengetahui kebusukan sang Paman, jangan tanya lagi. Bastian hanya menatap ke arah Aditama dan Vania sekilas sebelum kemudian bergegas menghampiri sang Ayah dan menjatuhkan diri di sampingnya. Sedangkan Susan dan Mario duduk di sofa yang kosong. Bastian memperbaiki posisi duduk lebih dulu, menatap sang Ayah dengan lekat. "Bagaimana, Yah? Apakah Ayah sudah menginterogasi mereka berdua? Mereka berdua jujur kepada Ayah, 'kan?" Bastian langsung mencecar sang Ayah dengan pertanyaan. Suaranya lirih, karena tak mau Aditama dan Vania mengetahui niatnya yang sedang mengorek informasi tentang Aditama dan keluarganya. Akan tetapi, Kakek Hermanto tidak langsu
Karena sudah tidak bisa mengelak lagi, bukti berupa dokumen-dokumen itu sudah cukup kuat untuk memojokan dirinya, Bastian pun mengaku pada akhirnya jika ia telah menggelapkan dana perusahaan kepada sang Ayah. Mendengar pengakuan Bastian, membuat semua orang terkejut bukan main. Aditama dan Vania tidak terlalu karena sudah menduga hal itu. Stephanie tidak menyangka dan menjadi sangat kecewa dengan Kakak iparnya tersebut. Kakek Hermanto menjadi kian marah. Emosinya seketika membuncah. Sudah tak terkontrol lagi. Alhasil, segala ucapan marah bernada tinggi, caci maki, serta sumpah serapah langsung keluar dari mulut pria tua itu yang ditunjukan kepada Bastian. Sementara itu, justru yang paling terkejut adalah Susan dan Mario karena keduanya benar-benar tidak menyangka. Selama ini, bagi keduanya, Bastian adalah sosok kepala keluarga yang sempurna—yang tidak akan mungkin jika sampai melakukan tindakan seperti itu. Pun merasa marah dan kecewa di waktu bersamaan. Mendapati sang Ayah m
Di saat ini, Susan berujar. "Pa ... Papa menggunakan uang perusahaan untuk membeli tanah, rumah, mobil dan barang-barang mewah lainya ... tapi ... kenapa aku tidak tahu? Kenapa Papa tidak pernah bercerita?" wajah Susan mengernyit. Tampak kebingungan. "Iya, Pa. Kenapa Papa tidak pernah memberitahu hal itu kepada kami. Lalu, di mana tanah, rumah dan mobilnya?" sambung Mario sama bingungnya. Mendengar hal itu, mata Bastian melebar! Langsung ketangkap basah tak bisa menyembunyikan keterkejutanya. Namun ia buru-buru menguasai diri, berusaha bersikap senormal mungkin. Ia tidak mungkin berterus terang kepada istri dan anaknya jika semua yang ia beli menggunakan uang perusahaan itu diberikan untuk wanita selingkuhanya. Seketika Bastian memutar otak, mencari alasan untuk menjelaskanya kepada istri dan anaknya. Mereka tidak boleh tahu jika ia mempunyai selingkuhan. Bisa mati ia di tangan mereka! Sementara Kakek Hermanto menautkan alis, beralih menatap Susan dan Mario. Ucapan ke
Jelas Bastian tidak mau mengaku jika semua yang dibeli dengan menggunakan uang perusahaan sepenuhnya ia berikan kepada wanita selingkuhanya. Itu sama saja dengan ia cari mati. Kini ia masih percaya diri dan yakin jika perselingkuhananya tidak akan terbongkar. Namun tidak menutup kemungkinan jika hal itu akan terjadi mengingat kebusukanya menggelapkan dana perusahaan yang berhubungan dengan perselingkuhanya telah terbongkar. Ditambah, Haryadi juga memegang rahasia terbesarnya, hanya tinggal menunggu waktu saja Haryadi akan membongkarnya jika ia membuatnya marah. Kala memikirkan keadaan dirinya yang malah kian memburuk, terpojok, ia pun rasanya ingin mengamuk saja. Akan tetapi, ia merasa seseorang yang bisa membongkar perselingkuhanya dengan cepat adalah Haryadi. Maka dari itu, ia tidak boleh gagal menjalankan tugas darinya. Tugas mencari tahu identitas Aditama yang sebenarnya. Juga tentang keluarganya. Ini lah saatnya yang tepat. Ia sudah tak mempunyai banyak waktu lagi. Akhi
"Edward anjing!!!" teriak Mario tak sadar dengan pandangan masih tertuju pada layar ponsel. Wajahnya merah padam. Giginya bergemeretak. Mendengar hal itu, semua orang kompak menoleh ke arah Mario. Edward? Mereka pun menjadi penasaran. "Ada apa, Mar?!" tanya sang ibu sambil memutar tubuh menghadap anak laki-lakinya. "Kau berurusan dengan Edward, Mar?" sambung Kakek Hermanto, hendak memastikan diikuti tatapan penasaran Stephanie dan Vania. Sedangkan Aditama bersikap biasa saja karena dia sudah tahu apa yang terjadi dengan Mario dan Edward. Menyadari jika ia baru saja keceplosan, Mario mendongak dan gelagapan seketika. "In ... ini Edward ... ya aku sedang ada masalah denganya ... urusan bisnis, Ma, Kek." Karena tak mau semua orang mengintrogasinya, ia beranjak berdiri seraya berkata. "Aku mau keluar sebentar untuk membicarakan masalah ini," Tanpa menunggu balasan dari yang lainya, Mario segera membawa langkahnya keluar rumah. Melihat sang Ayah yang tampak sedang masuk ke
Kini mobil Aditama tampak tengah dikepung oleh banyak orang. "Turun!" titah salah satu dari mereka dengan galak seraya mengetuk pintu kaca mobil milik Aditama. "Siapa mereka, Tam?" ucap Vania dengan suara dan bibir bergetar selagi mengedar pandangan ke sekeliling—kentara jelas cemas. "Orang suruhan, Pak Haryadi dan Edward, Van." Jawab Aditama santai dengan pandangan lurus ke depan, sesekali menatap ke arah istrinya. Meskipun demikian, pria tampan itu tetap tenang. Tak gentar. Juga tidak ada gurat ketakutan sedikit pun yang menghiasi wajahnya. Kemudian, ia menatap sang istri lagi. "Biar aku yang turun menghadapi mereka, kamu tunggu di sini saja." Pinta Aditama yang dijawab anggukan kepala oleh Vania. "Kamu hati-hati ya, Tam." ujar Vania. Aditama balas mengangguk. "Pasti." Usai mengatakan hal itu, Aditama turun dari mobil—yang langsung disambut tatapan garang dari orang-orang itu. Aditama lalu menatap orang-orang itu satu persatu dengan saksama. "Mau apa kalian