Farida berjalan ke dapur menghampiri wadah beras yang terlihat transparan. Hatinya merasa kacau saat menakar beras yang hanya tinggal setengah gelas.Sayur dan lauk-pauk sudah habis sejak kemarin bahkan piring-piring kotor pun sudah menumpuk karena sabun pencuci piringnya sudah habis."Ya Allah sudah habis lagi berasnya, padahal baru dikasih sama ibu dua hari yang lalu."Farida mencoba memutar otaknya untuk memanfaatkan beras yang hanya tinggal setengah gelas untuk bisa mereka makan pagi itu."Farida, mana kopi ku!" Teriak Adam, suaminya yang sudah duduk di teras sembari memberi makan burung kesayangannya.Farida datang menghampiri Adam, tidak tangan kosong, Farida menunjukkan beras yang hanya tinggal setengah gelas di tangannya."Mas, lihat ini." Farida menyodorkan tangannya memperlihatkan beras di gelas yang terlihat tak penuh."Kita sudah nggak punya beras, Mas. Beras yang dikasih ibu kemarin sudah habis. Kamu kapan mau cari kerjaan."Sebenarnya Farida sudah cukup sabar selama ini
Farida hanya menunduk saat dengan kasar Nadia merebut gelas itu dari tangannya. Farida tahu jika para tetangganya pasti sangat heran dengan pertengkaran yang kerap terjadi di keluarganya."Sudah habis lagi? Bukannya baru kemarin lusa ibu kasih berasnya. Kamu boros sekali sih," umpat Nadia. Wajahnya merengut penuh kebencian pada Farida.Nadia masuk ke dalam rumah dan melihat rumah yang berantakan. Kebetulan Farida belum sempat melipat baju yang menumpuk dan belum sempat dilipat karena Tasya yang sejak kemarin rewel sehingga Farida belum sempat membereskannya.Mata Nadia memicing ke arah dapur dan melihat cucian piring yang menumpuk dan belum juga dicuci oleh Farida karena tidak ada sabun pencuci piring.Sementara Farida dan Adam yang ikut berjalan di belakang Nadia tentu tahu apa yang Nadia rasakan sekarang meski hanya menebak dalam hati."Ya Allah, ibu pasti akan marah lagi padaku," batin Farida."Ini apa-apaan, Farida? Kamu tuh kerjanya ngapain sih di rumah kok bisa rumah berantakan
"Tapi aku sudah berusaha menjadi ibu rumah tangga yang baik, Bu," kata Farida."Menjadi ibu rumah tangga yang baik? Baik apanya." Nadia menarik ujung bibirnya dengan begitu sengit."Ibu rumah tangga yang baik itu nggak pernah ngerepotin," lanjut Nadia."Maksud ibu apa? Aku ini istrinya Mas Adam, Bu. Aku hanya meminta hak ku saja sebagai istri tidak lebih." Farida menyelesaikan nada suaranya yang bergetar."Sudahlah nggak usah drama pake nangis segala," Adam terlihat tak peduli dengan perasaan Farida yang sudah hancur, sehancur-hancurnya.Nadia menggeleng melihat Farida yang menunduk menahan air matanya agar tak sampai jatuh. Sepertinya ada rasa heran yang teramat sangat di dalam hati Nadia pada Farida yang tidak bisa dia ucapkan secara langsung."Farida, harusnya kamu itu mikir. Adam nggak kerja tapi aku masih bisa menghidupi kamu dan juga anakmu tapi coba kamu lihat dirimu sendiri. Apa kamu bisa nggak merepotkan suamimu terus. Kamu itu masih punya orang tua, mbok minta sama dia. Jang
"Kamu sudah datang rupanya."Suara Nadia membuat Farida sangat terkejut hingga menarik kuat tangannya dari genggaman bapak mertuanya.Saat itu juga bapak mertua Farida membiarkan tangan Farida lolos begitu saja karena tak mau membuat Nadia curiga."Alhamdulillah ya Allah. Engkau masih melindungi ku," batin Farida bersyukur. Ia mengusap pelan tangannya yang bekas digenggam kuat oleh bapak mertuanya. Ia tak tahu apa yang akan terjadi padanya jika Nadia tak datang saat itu.Mungkin saja bapak mertuanya belum melepaskan genggaman tangannya dan bisa saja bapak mertuanya malah bertindak tak baik padanya lebih jauh karena bapak mertuanya yang memang sangat genit padanya."Ini beras dan juga lauk-pauknya." Nadia mengulurkan dua bungkusan plastik hitam.Wajah Nadia terlihat sangat ketus dan tak ada senyum dari bibirnya. Nada suaranya pun terdengar sedikit keras dan tak ramah di telinga.Farida mencoba menerima bungkusan itu dari tangan Nadia. Hatinya sangat teriris mendapat perlakuan yang tak
Hati Farida sangat teriris melihat butiran kristal dari orang yang sangat disayanginya, jatuh begitu deras sampai membuatnya sesenggukan. Bahu kurus orang tuanya berguncang hebat menahan isak tangis yang semakin terdengar menggebu. "Sudah, ibu jangan menangis lagi, ya." Farida melepaskan pelukannya. Sebelah tangannya mencoba mengusap air mata ibunya yang sudah jatuh bergelimang membasahi pipinya. Farida menggiring ibunya agar duduk di bawah pohon mangga. Di sebuah kursi yang ada di sana, Farida mencoba menenangkan ibunya. Setelah terlihat agak tenang. Farida mencoba memberikan solusi pada ibunya yang tengah kebingungan itu. "Ibu nggak usah sedih lagi, ya, Bu. Ini Farida ada beras tadi dikasih sama ibu Nadia. Kita bisa bagi dua beras ini," kata Farida. "Jangan, Nak. Itu kan beras dari ibu mertuamu, jangan diberikan pada ibu. Nanti kalau dia dan suamimu tahu bagaimana." Nani menolak bantuan dari Farida. Farida terdiam sejenak. Ia tahu apa yang dilakukannya itu tidak benar. Walau
Kedua mata Farida membulat dengan sempurna. Tangannya yang tengah memindahkan lauk-pauk pun segera berhenti.Matanya tertuju pada layar ponsel Adam yang ditunjukkan pada dirinya. Nominal yang mertuanya kirim tidak pernah sedikit, namun bukan itu yang Farida inginkan.Farida menghela napasnya dalam-dalam. "Ibu kirim uang lagi, Mas?" tanya Farida sembari melangkahkan kakinya menghampiri Adam yang tengah berbaring di sofa dengan kaki diangkat ke sandaran sofa."Iya dong," jawab Adam dengan santainya.Dengan wajah semringah, Adam menatap kembali ponselnya dan memainkannya kembali. Ia paling suka menonton channel YouTube tentang burung dan ia pun kembali memutarnya untuk yang kesekian kalinya."Mas, kenapa sih, kamu nggak cari kerja aja. Kenapa harus selalu mengandalkan uang dari ibu. Aku ngga enak, Mas," ucap Farida."Loh kenapa nggak enak. Apa urusanmu? Itu ibuku dan dia memberikan uang ini kan untukku jadi apa masalahnya." Adam tak terima, tapi matanya masih fokus pada layar ponselnya.
Hardi semakin berani dengan menggerakkan telapak tangannya dan menyentuh wajah Farida lalu mengusapnya dengan lembut.Tak tinggal diam. Farida pun menampar keras pipi bapak mertuanya.Plak!Suara tamparan itu terdengar cukup keras hingga membuat Hardi tidak bergeming untuk sesaat."Beraninya kamu menamparku," ucap Hardi kesal. Tangannya mencengkram kuat pundak Farida."Akh sakit, pak," pekik Farida sembari meringis menahan rasa sakit."Itu akibatnya kalau kamu berani melawanku," ucap Hardi sembari melotot.Tubuh kurus Farida pun di dorong dengan cukup kuat membentur tembok. Hardi pun mencoba melakukan hal tak senonoh pada Farida.Tangannya dengan cepat membuka kancing bajunya hingga tiga buah dan memperlihatkan dadanya yang berbulu."Pak, bapak mau apa? Tolong hentikan, Pak. Istighfar, Pak, aku ini menantu mu," ucap Farida semakin ketakutan. Matanya mulai mencari benda-benda di sekitarnya yang mungkin bisa menyelamatkannya saat itu."Kamu itu menggoda sekali," ucap Hardi yang kemudian
"Apa benar apa yang bapak katakan, Farida!" Adam menatap Farida yang ada di sebelahnya dengan tatapan yang penuh dengan amarah."Nggak, Mas. Aku nggak bohong! Tadi bapak datang ke sini lalu berusaha melecehkan aku setelah tahu kamu nggak ada," jelas Farida yang masih merasa sangat ketakutan."Jangan percaya istri kamu itu, Dam. Dia itu pembohong dn juga licik. Jelas-jelas dia yang melecehkan bapak sampai seperti ini. Bapak ke sini mau cari kamu untuk mengajakmu memancing tapi dia malah melecehkan bapak seperti tadi karena kamu lagi nggak ada dan kamu tahu apa yang dia katakan ...."Hardi menghentikan kalimatnya membuat Adam dan Farida semakin penasaran. Farida tak tahu apa lagi yang akan bapak mertuanya katakan pada suaminya dengan memutar balikkan fakta."Apa yang dia bilang?" tanya Adam penasaran."Dia bilang dia bosan dan benci hidup denganmu karena kamu tidak bisa menafkahi lahir batin. Karena itulah dia mau melecehkan bapak." Dengan santai Hardi menjelaskan kebohongan itu pada Ad