Farida berjalan ke dapur menghampiri wadah beras yang terlihat transparan. Hatinya merasa kacau saat menakar beras yang hanya tinggal setengah gelas.
Sayur dan lauk-pauk sudah habis sejak kemarin bahkan piring-piring kotor pun sudah menumpuk karena sabun pencuci piringnya sudah habis.
"Ya Allah sudah habis lagi berasnya, padahal baru dikasih sama ibu dua hari yang lalu."
Farida mencoba memutar otaknya untuk memanfaatkan beras yang hanya tinggal setengah gelas untuk bisa mereka makan pagi itu.
"Farida, mana kopi ku!" Teriak Adam, suaminya yang sudah duduk di teras sembari memberi makan burung kesayangannya.
Farida datang menghampiri Adam, tidak tangan kosong, Farida menunjukkan beras yang hanya tinggal setengah gelas di tangannya.
"Mas, lihat ini." Farida menyodorkan tangannya memperlihatkan beras di gelas yang terlihat tak penuh.
"Kita sudah nggak punya beras, Mas. Beras yang dikasih ibu kemarin sudah habis. Kamu kapan mau cari kerjaan."
Sebenarnya Farida sudah cukup sabar selama ini melihat suaminya pengangguran dan tidak berpenghasilan. Dia hanya mengandalkan kedua orang tuanya yang terlihat sedikit mapan hidupnya.
"Iya nanti," jawab Adam santai. Ia masih saja sibuk memberi makan burungnya dan membersihkan kandangnya.
"Nanti kapan, Mas. Kamu selalu saja bilang nanti tapi nggak pernah kamu lakukan. Kita kan nggak mungkin selalu minta beras dan uang sama ibu," kata Farida.
Adam yang mendengar perkataan Farida merasa kesal dan juga tak terima. Menurutnya dirinya sudah sangat berusaha mencari pekerjaan dengan bertanya pada teman-teman dekatnya.
Ia bangkit dan membanting wadah pakan burung ke atas meja yang ada di dekat mereka. Seketika pakan burung yang tadinya ada di dalam wadah pun berserakan.
"Kamu itu maunya apa sih, hah! Sebagai istri, kamu itu cuma bisa nuntut aku setiap hari. Kamu kan tahu aku sudah berusaha cari kerja. Kamu nggak buta, kan? Kamu lihat kan kalo aku udah usaha."
Wajah Adam memerah. Nada suaranya naik setengah oktaf memancing perhatian para tetangga yang sedang beraktivitas di depan rumah.
Ada yang sedang menyapu halaman dan ada juga yang sedang menjemur pakaian. Semuanya langsung memusatkan pandangan pada Farida dan juga Adam.
"Mas, bisa nggak sih kalo kamu jangan teriak-teriak gitu ngomongnya. Malu mas diliat tetangga," kata Farida berbisik.
"Kenapa malu? Bukannya memang itu kenyataannya. Kamu itu jadi istri setiap hari cuma bisa nuntut aku terus."
Farida hanya bisa menghela napas panjang. Ini bukan pertama kalinya ia bertengkar dengan suaminya karena masalah yang sama.
Sudah menjadi kebiasaan Adam selalu marah saat dirinya membahas tentang pekerjaan padahal yang Farida inginkan adalah Adam yang mencari pekerjaan bukannya hanya duduk di rumah dan sekedar bertanya pada teman-temannya.
"Mas, aku nggak pernah nuntut apa-apa dari kamu. Aku cuma pengen kamu cari kerja keluar mas, jangan hanya di dalam rumah dan mengandalkan teman-teman mu yang memberi pekerjaan."
"Oh apa ini sekarang? Apa kamu sekarang sudah berani menyuruh-nyuruh aku, hah! Apa kamu lupa kalo aku nggak kerja pun kita masih bisa makan kok. Keluargaku menanggung semua kebutuhan kita jadi kamu tenang saja."
"Bukan begitu, Mas. Aku cuma nggak mau aja kalo kita harus selalu bergantung pada orang tua. Kita kan sudah menikah jadi sudah seharusnya kita hidup mandiri," ujar Farida. Namun, lagi-lagi perkataan Farida tidak diterima dengan baik oleh Adam.
"Eh ada apa ini? Kok kamu marah-marahin anak saya," kata Nadia yang langsung ikut nimbrung pembicaraan mereka.
"Ibu," sapa Farida mengulurkan tangan untuk bersalaman pada ibu mertuanya yang datang ke rumah.
Namun, tangan Farida ditepis oleh Nadia dengan begitu kasar. "Ngga usah salam-salaman segala. Kamu ngapain marahin anak saya, hah!" Bentak Nadia yang langsung menghakimi Farida.
"A-aku nggak memarahi Mas Adam, Bu. Aku cuma ...."
"Halah sudahlah tidak usah beralasan lagi. Jelas-jelas aku melihatnya sendiri tadi kamu marah-marah sama anak saya." Mata Nadia melotot pada Farida, sementara Farida hanya bisa menunduk mengalah pada mertuanya.
"Aku nggak ngerti sama Farida, Bu. Dia selalu saja marah dan membahas aku yang nggak kerja padahal aku kan juga udah usaha," ucap Adam mengadu.
"Tuh, kamu dengar kan, Farida. Adam itu udah usaha kok jadi nggak perlu kamu marah-marah sama dia. Lagipula Adam nggak kerja juga ibu masih bisa biayain kalian kan. Harusnya kamu yang ngaca dan malu. Kamu itu cuma jadi beban aja buat Adam," kata Nadia.
"Beban? Maksud ibu apa?" tanya Farida.
"Ya beban. Kamu cuma minta dikasih makan dan diberi uang aja tiap bulan. Kalo kamu mau uang, ya kerja! Jangan cuma minta-minta sama suami aja."
Bagaikan disambar petir di pagi yang cerah. Farida tak menyangka jika ibu mertuanya akan berkata sekasar itu padanya.
Entah bagaimana bisa dia mengatakan bahwa dirinya hanya seorang beban padahal dirinya adalah seorang istri yang memang wajib untuk dinafkahi oleh suaminya.
Seketika gelas berisikan beras yang ia pegang seolah akan terlepas dari tangannya. Seluruh syarafnya seakan melemas mendapat kalimat tamparan seperti itu dari ibu mertuanya.
"Itu apa yang kamu pegang? Apa beras kalian sudah habis lagi?" tanya Nadia melirik ke arah tangan Farida yang tengah memegang gelas.
Farida hanya menunduk saat dengan kasar Nadia merebut gelas itu dari tangannya. Farida tahu jika para tetangganya pasti sangat heran dengan pertengkaran yang kerap terjadi di keluarganya."Sudah habis lagi? Bukannya baru kemarin lusa ibu kasih berasnya. Kamu boros sekali sih," umpat Nadia. Wajahnya merengut penuh kebencian pada Farida.Nadia masuk ke dalam rumah dan melihat rumah yang berantakan. Kebetulan Farida belum sempat melipat baju yang menumpuk dan belum sempat dilipat karena Tasya yang sejak kemarin rewel sehingga Farida belum sempat membereskannya.Mata Nadia memicing ke arah dapur dan melihat cucian piring yang menumpuk dan belum juga dicuci oleh Farida karena tidak ada sabun pencuci piring.Sementara Farida dan Adam yang ikut berjalan di belakang Nadia tentu tahu apa yang Nadia rasakan sekarang meski hanya menebak dalam hati."Ya Allah, ibu pasti akan marah lagi padaku," batin Farida."Ini apa-apaan, Farida? Kamu tuh kerjanya ngapain sih di rumah kok bisa rumah berantakan
"Tapi aku sudah berusaha menjadi ibu rumah tangga yang baik, Bu," kata Farida."Menjadi ibu rumah tangga yang baik? Baik apanya." Nadia menarik ujung bibirnya dengan begitu sengit."Ibu rumah tangga yang baik itu nggak pernah ngerepotin," lanjut Nadia."Maksud ibu apa? Aku ini istrinya Mas Adam, Bu. Aku hanya meminta hak ku saja sebagai istri tidak lebih." Farida menyelesaikan nada suaranya yang bergetar."Sudahlah nggak usah drama pake nangis segala," Adam terlihat tak peduli dengan perasaan Farida yang sudah hancur, sehancur-hancurnya.Nadia menggeleng melihat Farida yang menunduk menahan air matanya agar tak sampai jatuh. Sepertinya ada rasa heran yang teramat sangat di dalam hati Nadia pada Farida yang tidak bisa dia ucapkan secara langsung."Farida, harusnya kamu itu mikir. Adam nggak kerja tapi aku masih bisa menghidupi kamu dan juga anakmu tapi coba kamu lihat dirimu sendiri. Apa kamu bisa nggak merepotkan suamimu terus. Kamu itu masih punya orang tua, mbok minta sama dia. Jang
"Kamu sudah datang rupanya."Suara Nadia membuat Farida sangat terkejut hingga menarik kuat tangannya dari genggaman bapak mertuanya.Saat itu juga bapak mertua Farida membiarkan tangan Farida lolos begitu saja karena tak mau membuat Nadia curiga."Alhamdulillah ya Allah. Engkau masih melindungi ku," batin Farida bersyukur. Ia mengusap pelan tangannya yang bekas digenggam kuat oleh bapak mertuanya. Ia tak tahu apa yang akan terjadi padanya jika Nadia tak datang saat itu.Mungkin saja bapak mertuanya belum melepaskan genggaman tangannya dan bisa saja bapak mertuanya malah bertindak tak baik padanya lebih jauh karena bapak mertuanya yang memang sangat genit padanya."Ini beras dan juga lauk-pauknya." Nadia mengulurkan dua bungkusan plastik hitam.Wajah Nadia terlihat sangat ketus dan tak ada senyum dari bibirnya. Nada suaranya pun terdengar sedikit keras dan tak ramah di telinga.Farida mencoba menerima bungkusan itu dari tangan Nadia. Hatinya sangat teriris mendapat perlakuan yang tak
Hati Farida sangat teriris melihat butiran kristal dari orang yang sangat disayanginya, jatuh begitu deras sampai membuatnya sesenggukan. Bahu kurus orang tuanya berguncang hebat menahan isak tangis yang semakin terdengar menggebu. "Sudah, ibu jangan menangis lagi, ya." Farida melepaskan pelukannya. Sebelah tangannya mencoba mengusap air mata ibunya yang sudah jatuh bergelimang membasahi pipinya. Farida menggiring ibunya agar duduk di bawah pohon mangga. Di sebuah kursi yang ada di sana, Farida mencoba menenangkan ibunya. Setelah terlihat agak tenang. Farida mencoba memberikan solusi pada ibunya yang tengah kebingungan itu. "Ibu nggak usah sedih lagi, ya, Bu. Ini Farida ada beras tadi dikasih sama ibu Nadia. Kita bisa bagi dua beras ini," kata Farida. "Jangan, Nak. Itu kan beras dari ibu mertuamu, jangan diberikan pada ibu. Nanti kalau dia dan suamimu tahu bagaimana." Nani menolak bantuan dari Farida. Farida terdiam sejenak. Ia tahu apa yang dilakukannya itu tidak benar. Walau
Kedua mata Farida membulat dengan sempurna. Tangannya yang tengah memindahkan lauk-pauk pun segera berhenti.Matanya tertuju pada layar ponsel Adam yang ditunjukkan pada dirinya. Nominal yang mertuanya kirim tidak pernah sedikit, namun bukan itu yang Farida inginkan.Farida menghela napasnya dalam-dalam. "Ibu kirim uang lagi, Mas?" tanya Farida sembari melangkahkan kakinya menghampiri Adam yang tengah berbaring di sofa dengan kaki diangkat ke sandaran sofa."Iya dong," jawab Adam dengan santainya.Dengan wajah semringah, Adam menatap kembali ponselnya dan memainkannya kembali. Ia paling suka menonton channel YouTube tentang burung dan ia pun kembali memutarnya untuk yang kesekian kalinya."Mas, kenapa sih, kamu nggak cari kerja aja. Kenapa harus selalu mengandalkan uang dari ibu. Aku ngga enak, Mas," ucap Farida."Loh kenapa nggak enak. Apa urusanmu? Itu ibuku dan dia memberikan uang ini kan untukku jadi apa masalahnya." Adam tak terima, tapi matanya masih fokus pada layar ponselnya.
Hardi semakin berani dengan menggerakkan telapak tangannya dan menyentuh wajah Farida lalu mengusapnya dengan lembut.Tak tinggal diam. Farida pun menampar keras pipi bapak mertuanya.Plak!Suara tamparan itu terdengar cukup keras hingga membuat Hardi tidak bergeming untuk sesaat."Beraninya kamu menamparku," ucap Hardi kesal. Tangannya mencengkram kuat pundak Farida."Akh sakit, pak," pekik Farida sembari meringis menahan rasa sakit."Itu akibatnya kalau kamu berani melawanku," ucap Hardi sembari melotot.Tubuh kurus Farida pun di dorong dengan cukup kuat membentur tembok. Hardi pun mencoba melakukan hal tak senonoh pada Farida.Tangannya dengan cepat membuka kancing bajunya hingga tiga buah dan memperlihatkan dadanya yang berbulu."Pak, bapak mau apa? Tolong hentikan, Pak. Istighfar, Pak, aku ini menantu mu," ucap Farida semakin ketakutan. Matanya mulai mencari benda-benda di sekitarnya yang mungkin bisa menyelamatkannya saat itu."Kamu itu menggoda sekali," ucap Hardi yang kemudian
"Apa benar apa yang bapak katakan, Farida!" Adam menatap Farida yang ada di sebelahnya dengan tatapan yang penuh dengan amarah."Nggak, Mas. Aku nggak bohong! Tadi bapak datang ke sini lalu berusaha melecehkan aku setelah tahu kamu nggak ada," jelas Farida yang masih merasa sangat ketakutan."Jangan percaya istri kamu itu, Dam. Dia itu pembohong dn juga licik. Jelas-jelas dia yang melecehkan bapak sampai seperti ini. Bapak ke sini mau cari kamu untuk mengajakmu memancing tapi dia malah melecehkan bapak seperti tadi karena kamu lagi nggak ada dan kamu tahu apa yang dia katakan ...."Hardi menghentikan kalimatnya membuat Adam dan Farida semakin penasaran. Farida tak tahu apa lagi yang akan bapak mertuanya katakan pada suaminya dengan memutar balikkan fakta."Apa yang dia bilang?" tanya Adam penasaran."Dia bilang dia bosan dan benci hidup denganmu karena kamu tidak bisa menafkahi lahir batin. Karena itulah dia mau melecehkan bapak." Dengan santai Hardi menjelaskan kebohongan itu pada Ad
Lelah rasanya hati Farida menghadapi semua ujian yang menimpanya selama ini. Dadanya bahkan terasa sangat sesak meski hanya untuk bernapas.Farida menghempaskan cengkraman tangan Adam dan ia pun berlari menuju kamarnya. Di sanalah tempat yang menjadi saksi bisu selama ini dimana Farida selalu menumpahkan semua tangisnya."Dasar nggak berguna. Bisa-bisanya dia malah marah padaku," ucap Adam geram. Ia pun lalu pergi meninggalkan Farida yang kini telah masuk ke dalam kamar dan meninggalkannya. Di sana Farida hanya bisa duduk di pinggiran ranjang melampiaskan semua kemarahannya yang hanya bisa ia tahan."Ya Allah, aku udah nggak kuat lagi hidup seperti ini," ucap Farida pelan." Tangannya meremas ujung sprei yang tak berdosa.Bayang-bayang tangan bapak mertuanya yang menggerayangi tubuhnya tadi masih terus bermain di kepalanya."Aaaaaaaaaaa!"Farida berteriak meluapkan emosi dan kemarahannya. Namun, tak ada yang mendengarnya karena Adam pun bahkan telah pergi meninggalkannya.Air mata Far
Dua bulan kemudian.Sudah 2 bulan semenjak kepergian Farida, keadaan Tasya semakin memburuk. Tubuhnya semakin kurus dan pucat bahkan Tasya sering kesulitan untuk menekan makanan membuatnya semakin tamoak kurus."Ma, bagaimana ini. Keadaan Tasya semakin memburuk. Kita harus bagaimana sekarang?" tanya Adam yang saat itu tengah duduk di samping Nadia."Sudahlah, Dam! Kamu jangan bikin Mama jadi tambah bingung. Sekarang kita udah nggak punya apa-apa lagi.!perkebunan juga udah kita jual dan rumah juga sudah digadai. Semua habis untuk biaya pengobatan Tasya yang sampai sekarang nggak sembuh-sembuh juga. Kita udah nggak punya apa-apa, Dam," ucap Nadia."Berikan saja Tasya pada Farida, biar dia yang mengurusnya," ucap Nadia ketus."Tapi kan kita nggak tahu keberadaan Farida sekarang, Ma.""Kamu benar, juga. Pokoknya kamu harus cari saja dia sampai ketemu dan berikan Tasya padanya. Biar dia yang gantian mengurus Tasya," ucap Nadia yang wajahnya tampak sangat kusut.Setelah obrolan keduanya, Na
Sudah dia hati Farida dan Feri mencari Tasya dan Adam namun mereka masih belum menemukannya."Mas, bagaimana ini? Besok aku sudah harus berangkat tapi sampai sekarang kita masih belum menemukan Tasya. Aku takut benar-benar tidak bisa bertemu dengan Tasya sebelum aku berangkat," ucap Farida sembari terisak.Sementara langkah kaki keduanya masih terus menyusuri jalanan yang tampak lengang karena mendung."Apa kamu benar-benar harus pergi, Farida? Kamu bisa tetap tinggal di sini kalau kamu mau," ucap Feri."Tapi aku ingin mengambil Tasya dari mas Adam suatu saat, Mas. Aku yakin jika aku sudah punya banyak uang dan bisa menghidupi Tasya, pasti mas Adam tidak punya alasan lagi untuk menahan Tasya dariku.""Kamu kan punya aku, Farida. Aku bisa menghidupi kamu dan juga Tasya saat kita sudah menikah nanti.""Tidak, Mas. Aku tidak ingin merepotkan kamu. Kamu adalah orang baru yang tidak seharusnya merasakan semua itu. Aku yakin bisa membuktikan pada semua orang bahwa aku bisa menghidupi Tasya
Tok... Tok... Tok.Suara gedoran pintu yang cukup keras dari arah luar membuat Nadia yang sudah tidur harus tebangun.Dengan sedikit malas Nadia berjalan keluar dari kamar dan menghampiri pintu."Siapa sih malam-malam begini bertamu. Nggak punya sopan santun banget," umpat Nadia sembari berjalan menghampiri pintu.Saat pintu dibuka, Nadia langsung membulatkan kedua matanya melihat anak dan cucunya yang ternyata pulang tengah malam."Loh Dam, kamu kok malam-malam begini ke sini?" tanya Nadia sembari melirik ke arah Tasya yang digendong oleh Adam sementara kedua tangannya menjunjung taa besar.Seketika perasaan Nadia pun mulai tak enak dan menerka-nerka penyebab kedatangan Adam yang tiba-tiba.Nadia pun mempersilahkan Adam masuk. Setelah menidurkan Tasya di kamarnya, Adam kembali keluar menhampiri Nadia yang tengah duduk di sofa ruang tamu sembari meminum air putih yang ia pegang di tangan kanannya."Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu kembali ke rumah ini?" tanya Nadia tanpa basa-
Tiba-tiba saja Gladis bersimpuh di kaki Adam membuatnya semakin bingung."Maafkan aku, Mas. Aku minta maaf," ucap Gladis sembari menangis sesenggukan.Adam yang merasa belum puas dengan jawaban dari Gladis, segera meminta penjelasan yang lebih akurat."Hentikan nak Adam! Tespek itu memang milik Gladis," ucap Erna. Akhirnya Erna memberanikan diri angkat bicara mewakili Gladis yang saat itu hanya bisa menangis sesenggukan."Itu memang milik Gladis dan saat ini dia sedang hamil," ucap Erna lagi sembari melangkah kakinya menghampiri Gladis dan membangunkannya.Adam mengernyitkan keningnya tak mengerti. "Apa! H-hamil? Bagaimana bisa Gladis hamil sementara aku sendiri belum menyentuhnya," ucap Adam masih tak mengerti. Namun, dalam hatinya mulai berpikir yang tidak baik mengenai Gladis dan keluarganya.Hendaryo pun akhirnya menjelaskan semuanya pada Adam selagi Erna membawa Gladis kembali ke sisi mereka dan menenangkannya."Apa! Jadi kalian sudah menipu ku!" Adam tampak sangat marah setelah m
Setelah makan malam, Adam dan Gladis masuk ke dalam kamar dan duduk di pinggiran ranjang. Adam tampak ragu-ragu untuk mulai membahas apa yang dikatakan Nadia tadi di telpon."Emmm Gladis, Mas mau bicara sesuatu, " ucap Adam ragu-ragu.Gladis menatap ke arah Adam. "Ada apa, Mas? Mas mau bicara apa? Apa Ada sesuatu?" tanya Gladis.Adam terdiam sejenak memikirkan tentang apa yang akan ia katakan pada Gladis saat itu. Ia menimbang-nimbang dalam hatinya."Mas mau bicara apa? Bicara saja, tidak apa-apa kok," ucap Gladis meyakinkan.Adam yang tersadar mendengar kata-kata Gladis, langsung menoleh ke arahnya."Emmm b-begini, Gladis. Sebenarnya aku ingin menanyakan tentang dana yang akan keluarga kamu berikan untuk membantu perkebunan ku yang sedang memburuk," ucap Adam sedikit terbata.Gladis mengernyitkan keningnya mendengar apa yang dikatakan Adam saat itu."Mas, kamu ini bagaimana, sih. Sekarang kan Tasya sedang sakit tapi kok kamu memikirkan perkebunan! Seharusnya kamu memikirkan kesembuha
Hari-hari terus berlalu. Gladis dengan setia menemani Adam menjaga Tasya yang sakitnya semakin parah.Tasya membutuhkan pendonor namun masih belum mereka dapatkan sehingga sakitnya Tasya semakin parah.Gladis dan Adam bahkan belum melakukan malam pertama karena sibuk mengurus Tasya yang kondisinya terus memburuk.Dengan penuh kasih sayang, Gladis menyeka tubuh Tasya dengan air hangat yang ia siapkan sendiri."Terima kasih ya, Gladis. Aku benar-benar tidak menyangka kamu akan sesayang ini sama Tasya," ucap Adam mengusap lembut pundak Gladis lalu mengecupnya sekilas.Gladis pun menghentikan tangannya yang tengah menyapu tubuh Tasya. Ia menoleh ke arah Adam yang berdiri di sampingnya."Iya, Mas, sama-sama. Aku senang bisa melakukan ini semua," jawab Gladis lembut."Maaf ya karena sampai saat ini aku masih belum melakukan kewajiban ku sebagai seorang suami.""Nggak apa-apa, Mas. Aku mengerti kondisi kamu sekarang. Ya sudah katanya kamu mau pergi ke apotek untuk memberi obat. Lebih baik ka
Dengan perasaan sedih yang bercampur aduk dengan kebencian pada orang-orang yang telah memisahkannya dengan putri semata wayangnya.Langkah kaki Farida sedikit terhuyung. Matanya yang sembab dan berkaca-kaca membuat pandangannya tanoak sedikit buyar. Ia bahkan harus berhenti sejenak di depan teras rumah sebelum akhirnya ia masuk ke dalam rumah."Farida, kamu kenapa kok lemes gitu?" tanya Ratna yang saat itu baru kembali pulang ke rumah dan langsung melihat Farida yang tampak lemas tak berdaya.Sebelah tangan Farida memegang dinding untuk mempertahankan keseimbangan tubuhnya."B-bu ...." Belum selesai Farida menyelesaikan kalimatnya, air matanya telah lebih dulu jatuh. Ratna pun sontak langsung memeluk erat tubuhnya."Ada apa Farida? Apa yang telah terjadi sampai-sampai kamu seperti ini?" tanya Ratna dengan suara yang mulai parau."Tasya, Bu. Dia dibawa pergi entah kemana oleh mantan suamiku," ucap Farida dengan terbata."A-apa! Tasya dibawa pergi." Ratna ikut syok mendengar apa yang d
"Alhamdulilah ya, Mas. Akhirnya ibu sudah boleh pulang hari ini," ucap Farida menoleh ke arah Feri yang masih berjalan bersamanya."Iya, Farida," jawab Feri sembari tersenyum.Keduanya pun lalu masuk ke dalam sebuah ruangan. Dari kejauhan Adam masih mengamati keduanya."Oh ternyata mereka tidak ke ruangan Tasya. Tapi itu ruangan siapa, ya. Siapa yang sakit," ucap Adam lirih pada dirinya sendiri."Ah sudahlah, ngapain juga aku mikirin siapa yang ada di ruangan itu. Lebih baik sekarang aku fokus pada kesembuhan Tasya saja," ucap Adam lagi. Ia pun lalu pergi meninggalkan tempatnya dan kembali ke ruangan Tasya.***Pagi harinya Farida sudah bangun dan sudah menyiapkan sarapan di atas meja.Feri yang baru saja keluar dari dalam kamarnya, langsung menghampiri Farida."Farida, kamu nggak perlu masak begini. Kamu kan pasti capek dari kemarin ngurusin ibu sampai kurang tidur," ucap Feri."Oh nggak, kok, Mas. Alhamdulilah keadaan ibu sudah lebih baik jadi aku bisa meninggalkan ibu untuk melakuk
"Sah."Kalimat dari penghulu yang menikahkan Adam dan Gladis saat itu dapat didengar oleh semua saksi dan tamu undangan yang ada di dalam ruangan tempat akad Adam dan Gladis dilaksanakan."Sah," jawab para saksi dan para tamu yang hadir hampir bersamaan.Setelah seminggu berkenalan dengan Gladis, akhirnya Adam sudah sah menikahinya."Alhamdulillah," ucap Adam sembari mengusap kedua telapak tangannya ke wajahnya.Sama dengan apa yang Adam lakukan, Gladis pun melakukan hal yang sama. Tak lama Gladis menoleh ke arah Adam sembari tersenyum dan ia mengalami tangan Adam yang kini telah berstatus sebagai suaminya.Semua orang pun menyalami Adam dan Gladis untuk memberinya selamat. Tak terkecuali Nadia dan kedua orang tua Gladis yang ikut menyalami keduanya.Hari itu adalah hari yang paling membahagiakan untuk Adam dan juga Gladis karena keduanya telah sah menjadi suami istri.Sampai sore hari akhirnya acara pernikahan Adam dan Gladis telah selesai dan para tamu pun telah pulang."Dam, Gladis