Farida hanya menunduk saat dengan kasar Nadia merebut gelas itu dari tangannya. Farida tahu jika para tetangganya pasti sangat heran dengan pertengkaran yang kerap terjadi di keluarganya.
"Sudah habis lagi? Bukannya baru kemarin lusa ibu kasih berasnya. Kamu boros sekali sih," umpat Nadia. Wajahnya merengut penuh kebencian pada Farida.
Nadia masuk ke dalam rumah dan melihat rumah yang berantakan. Kebetulan Farida belum sempat melipat baju yang menumpuk dan belum sempat dilipat karena Tasya yang sejak kemarin rewel sehingga Farida belum sempat membereskannya.
Mata Nadia memicing ke arah dapur dan melihat cucian piring yang menumpuk dan belum juga dicuci oleh Farida karena tidak ada sabun pencuci piring.
Sementara Farida dan Adam yang ikut berjalan di belakang Nadia tentu tahu apa yang Nadia rasakan sekarang meski hanya menebak dalam hati.
"Ya Allah, ibu pasti akan marah lagi padaku," batin Farida.
"Ini apa-apaan, Farida? Kamu tuh kerjanya ngapain sih di rumah kok bisa rumah berantakan nggak keurus gini," celetuk Nadia.
Keningnya mengernyit mengamati setiap deretan piring-piring dan panci-panci yang kotor. Belum lagi gelas-gelas yang berjejer dalam keadaan kotor.
"Itu a-anu, Bu."
"Anu apa!" Bentak Nadia yang tiba-tiba menoleh ke arah Farida.
Wajahnya memerah dan matanya melotot, sepertinya Nadia sudah benar-benar sangat marah pada Farida.
"Aku belum sempat mencuci piring, Bu, karena tidak ada sabun pencuci piring," kata Farida.
"Ya kamu kan bisa hutang ke warung dulu. Jangan jadikan hal itu sebagai alasan! Kamu itu perempuan. Perempuan itu harus bisa berinisiatif mengurus rumah tangga," ucap Nadia lagi.
"Ibu tidak tahu saja kalau aku sudah tidak bisa berhutang lagi di warung karena hutang yang kemarin pun belum dibayar," Farida membatin.
Namun, kalimat itu tak sampai diucapkan dengan mulutnya. Farida tahu apapun yang ia katakan pasti akan tetap salah.
"Terus kenapa itu baju-baju nggak kamu lipat? Itu kan nggak perlu pakai sabun. Kamu mau alasan apa lagi? Emang dasar kamunya aja yang males," kata Nadia semakin tak bisa mengontrol kalimatnya.
"Ya gitu lah Bu. Dia kalo di rumah ya emang semaunya gitu." Adam ikut memojokkan.
"Bukan gitu, Mas. Kamu kan tahu sendiri kalau kemarin itu Tasya sakit dan dia rewel jadi aku nggak bisa beres-beres rumah." Farida mencoba membela dirinya yang selalu saja dituduh tidak benar.
"Bu, aku mau jajan," ucap Tasya yang tiba-tiba datang dan menarik ujung baju lengan Farida.
"Emmm iya-iya." Farida menenangkan Tasya yang sudah merengek.
Farida pun menuntun Tasya agar mengikutinya. Mereka berjalan tak jauh dari Nadia dan juga Adam sementara Farida yang baru meninggalkan mereka bisa mendengar jelas, kalimat keji yang Nadia katakan pada Adam.
"Kamu kok mau sih, Dam nikah sama perempuan kayak Farida. Bisanya cuma ngerepotin aja," ucap Nadia yang tak disambut dengan kalimat apapun oleh Adam.
Kalimat yang Farida dengar itu membuatnya terenyuh dan ingin menangis, tapi ia mencoba menahannya sekuat tenaga.
Rupanya isi dompetnya kosong. Tak ada selembar uang pun di dalam dompetnya.
"Ya Allah, bagaimana ini. Aku nggak punya uang sama sekali," batin Farida semakin nelangsa.
"Bu, mana uangnya," tanya Tasya lagi.
"Emmm Tasya, sekarang ibu belum punya uang. Tasya jajannya besok ya kalo ibu udah punya uang," ucap Farida.
Saat mengucapkan kalimat itu pun Farida merasakan sesak pada dadanya. Ia merasa sedih saat tak dapat memenuhi keinginan putri semata wayangnya.
Tiba-tiba saja Tasya menangis kelojotan di lantai. Tasya merengek meminta uang untuk jajan. Sementara Farida yang hanya memegang dompet kosong tak bisa berbuat apa-apa.
Dirinya sudah tak bisa berhutang lagi ke warung. Mana mungkin dirinya bisa memenuhi keinginan putrinya saat itu.
"Ada apa ini kok Tasya nangis kayak gini?" tanya Nadia menghampiri Tasya yang sudah menangis tak karuan karena meminta jajan.
Adam mencoba menenangkan, tapi Tasya tetap tak mau diam.
"Apa uang 2 ribu saja kamu nggak punya sampai anakmu menangis seperti ini." Nadia terlihat mengernyitkan keningnya.
Farida tak menjawab. Ia hanya bisa menenangkan Tasya yang tetap tak mau diam. Tak lama Nadia mengeluarkan uang dari dalam tas jinjingnya.
Nadia mengeluarkan selembar uang 5 ribu dan ia berikan pada Tasya hingga membuatnya diam.
"Ini uang untuk Tasya, sekarang Tasya jangan nangis lagi, ya. Tasya bisa beli jajan sekarang," kata Nadia lagi.
"Makasih Oma," kata Tasya dengan sesenggukan. Tak lama anak kecil itu pun pergi berlari menuju ke warung.
"Kamu ini ibu macam apa sih, Farida. Memberi anak uang jajan saja kamu tidak bisa," umpat Nadia.
"Itu karena mas Adam tidak bekerja, Bu jadi aku tidak diberi uang untuk jajan Tasya."
"Jangan bawa-bawa Adam." Nadia tak terima.
"Adam sudah membangun rumah ini untuk kamu tinggali, tapi coba lihat dirimu sendiri. Apa yang kamu bawa untuk membangun rumah tangga ini." Nadia mengungkit.
"Tapi aku sudah berusaha menjadi ibu rumah tangga yang baik, Bu," kata Farida."Menjadi ibu rumah tangga yang baik? Baik apanya." Nadia menarik ujung bibirnya dengan begitu sengit."Ibu rumah tangga yang baik itu nggak pernah ngerepotin," lanjut Nadia."Maksud ibu apa? Aku ini istrinya Mas Adam, Bu. Aku hanya meminta hak ku saja sebagai istri tidak lebih." Farida menyelesaikan nada suaranya yang bergetar."Sudahlah nggak usah drama pake nangis segala," Adam terlihat tak peduli dengan perasaan Farida yang sudah hancur, sehancur-hancurnya.Nadia menggeleng melihat Farida yang menunduk menahan air matanya agar tak sampai jatuh. Sepertinya ada rasa heran yang teramat sangat di dalam hati Nadia pada Farida yang tidak bisa dia ucapkan secara langsung."Farida, harusnya kamu itu mikir. Adam nggak kerja tapi aku masih bisa menghidupi kamu dan juga anakmu tapi coba kamu lihat dirimu sendiri. Apa kamu bisa nggak merepotkan suamimu terus. Kamu itu masih punya orang tua, mbok minta sama dia. Jang
"Kamu sudah datang rupanya."Suara Nadia membuat Farida sangat terkejut hingga menarik kuat tangannya dari genggaman bapak mertuanya.Saat itu juga bapak mertua Farida membiarkan tangan Farida lolos begitu saja karena tak mau membuat Nadia curiga."Alhamdulillah ya Allah. Engkau masih melindungi ku," batin Farida bersyukur. Ia mengusap pelan tangannya yang bekas digenggam kuat oleh bapak mertuanya. Ia tak tahu apa yang akan terjadi padanya jika Nadia tak datang saat itu.Mungkin saja bapak mertuanya belum melepaskan genggaman tangannya dan bisa saja bapak mertuanya malah bertindak tak baik padanya lebih jauh karena bapak mertuanya yang memang sangat genit padanya."Ini beras dan juga lauk-pauknya." Nadia mengulurkan dua bungkusan plastik hitam.Wajah Nadia terlihat sangat ketus dan tak ada senyum dari bibirnya. Nada suaranya pun terdengar sedikit keras dan tak ramah di telinga.Farida mencoba menerima bungkusan itu dari tangan Nadia. Hatinya sangat teriris mendapat perlakuan yang tak
Hati Farida sangat teriris melihat butiran kristal dari orang yang sangat disayanginya, jatuh begitu deras sampai membuatnya sesenggukan. Bahu kurus orang tuanya berguncang hebat menahan isak tangis yang semakin terdengar menggebu. "Sudah, ibu jangan menangis lagi, ya." Farida melepaskan pelukannya. Sebelah tangannya mencoba mengusap air mata ibunya yang sudah jatuh bergelimang membasahi pipinya. Farida menggiring ibunya agar duduk di bawah pohon mangga. Di sebuah kursi yang ada di sana, Farida mencoba menenangkan ibunya. Setelah terlihat agak tenang. Farida mencoba memberikan solusi pada ibunya yang tengah kebingungan itu. "Ibu nggak usah sedih lagi, ya, Bu. Ini Farida ada beras tadi dikasih sama ibu Nadia. Kita bisa bagi dua beras ini," kata Farida. "Jangan, Nak. Itu kan beras dari ibu mertuamu, jangan diberikan pada ibu. Nanti kalau dia dan suamimu tahu bagaimana." Nani menolak bantuan dari Farida. Farida terdiam sejenak. Ia tahu apa yang dilakukannya itu tidak benar. Walau
Kedua mata Farida membulat dengan sempurna. Tangannya yang tengah memindahkan lauk-pauk pun segera berhenti.Matanya tertuju pada layar ponsel Adam yang ditunjukkan pada dirinya. Nominal yang mertuanya kirim tidak pernah sedikit, namun bukan itu yang Farida inginkan.Farida menghela napasnya dalam-dalam. "Ibu kirim uang lagi, Mas?" tanya Farida sembari melangkahkan kakinya menghampiri Adam yang tengah berbaring di sofa dengan kaki diangkat ke sandaran sofa."Iya dong," jawab Adam dengan santainya.Dengan wajah semringah, Adam menatap kembali ponselnya dan memainkannya kembali. Ia paling suka menonton channel YouTube tentang burung dan ia pun kembali memutarnya untuk yang kesekian kalinya."Mas, kenapa sih, kamu nggak cari kerja aja. Kenapa harus selalu mengandalkan uang dari ibu. Aku ngga enak, Mas," ucap Farida."Loh kenapa nggak enak. Apa urusanmu? Itu ibuku dan dia memberikan uang ini kan untukku jadi apa masalahnya." Adam tak terima, tapi matanya masih fokus pada layar ponselnya.
Hardi semakin berani dengan menggerakkan telapak tangannya dan menyentuh wajah Farida lalu mengusapnya dengan lembut.Tak tinggal diam. Farida pun menampar keras pipi bapak mertuanya.Plak!Suara tamparan itu terdengar cukup keras hingga membuat Hardi tidak bergeming untuk sesaat."Beraninya kamu menamparku," ucap Hardi kesal. Tangannya mencengkram kuat pundak Farida."Akh sakit, pak," pekik Farida sembari meringis menahan rasa sakit."Itu akibatnya kalau kamu berani melawanku," ucap Hardi sembari melotot.Tubuh kurus Farida pun di dorong dengan cukup kuat membentur tembok. Hardi pun mencoba melakukan hal tak senonoh pada Farida.Tangannya dengan cepat membuka kancing bajunya hingga tiga buah dan memperlihatkan dadanya yang berbulu."Pak, bapak mau apa? Tolong hentikan, Pak. Istighfar, Pak, aku ini menantu mu," ucap Farida semakin ketakutan. Matanya mulai mencari benda-benda di sekitarnya yang mungkin bisa menyelamatkannya saat itu."Kamu itu menggoda sekali," ucap Hardi yang kemudian
"Apa benar apa yang bapak katakan, Farida!" Adam menatap Farida yang ada di sebelahnya dengan tatapan yang penuh dengan amarah."Nggak, Mas. Aku nggak bohong! Tadi bapak datang ke sini lalu berusaha melecehkan aku setelah tahu kamu nggak ada," jelas Farida yang masih merasa sangat ketakutan."Jangan percaya istri kamu itu, Dam. Dia itu pembohong dn juga licik. Jelas-jelas dia yang melecehkan bapak sampai seperti ini. Bapak ke sini mau cari kamu untuk mengajakmu memancing tapi dia malah melecehkan bapak seperti tadi karena kamu lagi nggak ada dan kamu tahu apa yang dia katakan ...."Hardi menghentikan kalimatnya membuat Adam dan Farida semakin penasaran. Farida tak tahu apa lagi yang akan bapak mertuanya katakan pada suaminya dengan memutar balikkan fakta."Apa yang dia bilang?" tanya Adam penasaran."Dia bilang dia bosan dan benci hidup denganmu karena kamu tidak bisa menafkahi lahir batin. Karena itulah dia mau melecehkan bapak." Dengan santai Hardi menjelaskan kebohongan itu pada Ad
Lelah rasanya hati Farida menghadapi semua ujian yang menimpanya selama ini. Dadanya bahkan terasa sangat sesak meski hanya untuk bernapas.Farida menghempaskan cengkraman tangan Adam dan ia pun berlari menuju kamarnya. Di sanalah tempat yang menjadi saksi bisu selama ini dimana Farida selalu menumpahkan semua tangisnya."Dasar nggak berguna. Bisa-bisanya dia malah marah padaku," ucap Adam geram. Ia pun lalu pergi meninggalkan Farida yang kini telah masuk ke dalam kamar dan meninggalkannya. Di sana Farida hanya bisa duduk di pinggiran ranjang melampiaskan semua kemarahannya yang hanya bisa ia tahan."Ya Allah, aku udah nggak kuat lagi hidup seperti ini," ucap Farida pelan." Tangannya meremas ujung sprei yang tak berdosa.Bayang-bayang tangan bapak mertuanya yang menggerayangi tubuhnya tadi masih terus bermain di kepalanya."Aaaaaaaaaaa!"Farida berteriak meluapkan emosi dan kemarahannya. Namun, tak ada yang mendengarnya karena Adam pun bahkan telah pergi meninggalkannya.Air mata Far
Adam terus melangkahkan kakinya menuju ke rumah orang tuanya. Sesampainya di sana Adam langsung masuk ke rumah tanpa rasa canggung."Loh, Dam, kamu tumben ke sini nggak bilang sama ibu. Ada apa, Dam? Apa yang yang ibu transfer buat kamu masih kurang?" tanya Nadia menyambut kedatangan Adam.Saat itu Nadia sedang duduk di sofa sembari membaca majalah fashion kesukaannya."Bapak kemana, Bu?" tanya Adam dengan nada suara datar. Namun, deru napasnya terdengar sedikit berat."Bentar, ini ada apa kok kamu tiba-tiba nyariin bapak kamu. Bukannya tadi kalian sudah bertemu, ya?" tanya Nadia penasaran."Bapak dimana, Bu? Jawab saja pertanyaan ku," pinta Adam.Gejolak hatinya merasa ingin marah tapi sayang kepercayaannya jatuh pada ayahnya sehingga Adam tak sanggup untuk marah apalagi membenci ayahnya dan memilih untuk membelanya."Bapak ada kok, Dam. Bapak belum lama pulang. Sebentar ya ibu panggil dulu."Nadia langsung berjalan masuk ke dalam kamar untuk memanggil Hardi yang tengah berada di dal