Hati Farida sangat teriris melihat butiran kristal dari orang yang sangat disayanginya, jatuh begitu deras sampai membuatnya sesenggukan.
Bahu kurus orang tuanya berguncang hebat menahan isak tangis yang semakin terdengar menggebu."Sudah, ibu jangan menangis lagi, ya." Farida melepaskan pelukannya.Sebelah tangannya mencoba mengusap air mata ibunya yang sudah jatuh bergelimang membasahi pipinya.Farida menggiring ibunya agar duduk di bawah pohon mangga. Di sebuah kursi yang ada di sana, Farida mencoba menenangkan ibunya.Setelah terlihat agak tenang. Farida mencoba memberikan solusi pada ibunya yang tengah kebingungan itu."Ibu nggak usah sedih lagi, ya, Bu. Ini Farida ada beras tadi dikasih sama ibu Nadia. Kita bisa bagi dua beras ini," kata Farida."Jangan, Nak. Itu kan beras dari ibu mertuamu, jangan diberikan pada ibu. Nanti kalau dia dan suamimu tahu bagaimana." Nani menolak bantuan dari Farida.Farida terdiam sejenak. Ia tahu apa yang dilakukannya itu tidak benar. Walau bagaimanapun seharusnya dia meminta izin terlebih dahulu pada suaminya sebelum memberikan beras yang diberi mertuanya itu pada ibu kandungnya."Bagaimana ini, ya Allah. Aku tahu ini salah, tapi aku tidak tega membiarkan orang tuaku kelaparan," batin Farida.Tangannya mengerat memegang bungkusan plastik yang dia pangku. Sementara Nani, mengejutkannya dengan menggenggam tangan Farida yang tengah meremas plastik hitam di pangkuannya."Sudah, kamu ngga perlu khawatir. Ibu tidak apa-apa kok. Itu berada dari mertuamu, bawa saja pulang. Lagipula itu kan pasti dia berikan untu anaknya, cucunya dan juga kamu," ucap Nani mencoba memberi pengertian."Andai saja ibu tahu. Ibu Nadia bahkan tidak mengizinkan aku memakan apa yang dia berikan ini," batin Farida ingin sekali menjawab.Namun, Farida tahu. Tidak mungkin baginya memberitahu ibunya tentang bagaimana keadaan keluarganya dan apa yang selalu dirasakannya selama 5 tahun pernikahannya dengan Adam."Ngga apa-apa, Bu. Berasnya kita bagi dua saja ya, Bu. Aku di rumah masih ada beras kok jadi ini bisa kita bagi dua," ucap Farida.Akhirnya Farida mengambil keputusan untuk tetap membagi dua beras yang mertuanya beri. Ia tidak tega jika harus melihat orang tuanya kelaparan."Tapi, Farida ....""Ngga apa-apa, Bu. Kita bagi dua saja, ya." Tangan Farida langsung bergerak untuk membagi dua beras yang diberikan Nadia padanya.Farida hanya berharap Nadia tidak tahu apa yang dilakukannya. Farida tahu jika Nadia sampai mengetahui beras itu ia bagi dengan ibunya, pasti Nadia akan sangat marah.Adam mungkin masih bisa mengerti, tapi tidak dengan Nadia. Farida berharap agar Nadia tak mengetahui perbuatannya kali itu agar Nadia tidak mengumpat orang tuanya."Ini untuk ibu." Farida yang sudah selesai membagi beras itu pun langsung memberikan pada Ratna.Nani tampak ragu-ragu untuk menerima beras di dalam plastik hitam itu."Udah, Bu. Ngga apa-apa. Ibu pegang ini, ya dan nanti langsung dimasak terus ibu makan," ucap Farida sambil tersenyum.Dibalik senyum itu ada air mata yang ditahannya sekuat tenaga agar tak jatuh dan ada luka dibalik senyum yang tampak sangat manis itu."Tapi, Farida. Ibu ngga enak kalo harus menerima beras ini." Nani terlihat bimbang. Ia pun sempat akan mengembalikan beras di dalam plastik itu pada Farida lagi, tapi Farida menolak."Udah, Bu. Ngga perlu ngerasa ngga enak. Ibu bawa saja, ya," kata Farida kembali mendorong plastik itu pada Nani."Kalau mertuamu tahu, bagaimana?" tanya Ratna dengan wajah takut. "Ibu ngga mau dia memarahi kamu dan memaki ibu lagi," lanjutnya."Tenang saja, Bu. Ini kan ibu Nadia ngga lihat jadi ibu ngga perlu khawatir. Ngga akan ada yang marah, kok." Farida menenangkan ibunya."Ya sudah kalau begitu, ini berasnya ibu tambahi, ya. Biar kamu yang 3 kilo dan ibu yang 2 kilo." Nani memindahkan beras yang ada di kantong plastiknya ke dalam kantong plastik Farida."Tapi, Bu ....""Sudahlah. Ibu mau terima beras ini, tapi 2 kilo saja. Sisanya biar buat keluargamu. Lagipula kalian kan lebih banyak orang sementara ibu hanya sendiri," sela Bu Nani.Setelah memberikan beras pada ibunya, Farida pun berpamitan untuk kembali melanjutkan perjalanannya pulang.Untungnya jarak rumahnya saat itu tidak terlalu jauh sehingga tak lama, Farida sudah sampai di rumah.Sesampainya di rumah, Farida melihat Adam yang tengah terbaring di sofa sembari menonton video di HP-nya. Wajahnya tampak begitu semringah sampai terdengar suara tawa sesekali.Farida yang baru sampai di rumah pun menyaksikan Adam yang tengah bersantai seolah tanpa beban."Assalamualaikum, mas," ucap Farida."Waalaikumsalam," jawab Adam singkat lalu kembali fokus pada ponselnya."Mas, kamu yakin nggak mau cari kerja?" tanya Farida pada Adam sembari mengeluarkan lauk-pauk dari dalam plastik yang dia bawa tadi."Buat apa kerja. Nih transferan dari ibu sudah masuk." Adam menunjukan layar ponselnya pada Farida."Apa, Mas! Ibu kirim uang lagi buat kamu?" Farida terkejut.Kedua mata Farida membulat dengan sempurna. Tangannya yang tengah memindahkan lauk-pauk pun segera berhenti.Matanya tertuju pada layar ponsel Adam yang ditunjukkan pada dirinya. Nominal yang mertuanya kirim tidak pernah sedikit, namun bukan itu yang Farida inginkan.Farida menghela napasnya dalam-dalam. "Ibu kirim uang lagi, Mas?" tanya Farida sembari melangkahkan kakinya menghampiri Adam yang tengah berbaring di sofa dengan kaki diangkat ke sandaran sofa."Iya dong," jawab Adam dengan santainya.Dengan wajah semringah, Adam menatap kembali ponselnya dan memainkannya kembali. Ia paling suka menonton channel YouTube tentang burung dan ia pun kembali memutarnya untuk yang kesekian kalinya."Mas, kenapa sih, kamu nggak cari kerja aja. Kenapa harus selalu mengandalkan uang dari ibu. Aku ngga enak, Mas," ucap Farida."Loh kenapa nggak enak. Apa urusanmu? Itu ibuku dan dia memberikan uang ini kan untukku jadi apa masalahnya." Adam tak terima, tapi matanya masih fokus pada layar ponselnya.
Hardi semakin berani dengan menggerakkan telapak tangannya dan menyentuh wajah Farida lalu mengusapnya dengan lembut.Tak tinggal diam. Farida pun menampar keras pipi bapak mertuanya.Plak!Suara tamparan itu terdengar cukup keras hingga membuat Hardi tidak bergeming untuk sesaat."Beraninya kamu menamparku," ucap Hardi kesal. Tangannya mencengkram kuat pundak Farida."Akh sakit, pak," pekik Farida sembari meringis menahan rasa sakit."Itu akibatnya kalau kamu berani melawanku," ucap Hardi sembari melotot.Tubuh kurus Farida pun di dorong dengan cukup kuat membentur tembok. Hardi pun mencoba melakukan hal tak senonoh pada Farida.Tangannya dengan cepat membuka kancing bajunya hingga tiga buah dan memperlihatkan dadanya yang berbulu."Pak, bapak mau apa? Tolong hentikan, Pak. Istighfar, Pak, aku ini menantu mu," ucap Farida semakin ketakutan. Matanya mulai mencari benda-benda di sekitarnya yang mungkin bisa menyelamatkannya saat itu."Kamu itu menggoda sekali," ucap Hardi yang kemudian
"Apa benar apa yang bapak katakan, Farida!" Adam menatap Farida yang ada di sebelahnya dengan tatapan yang penuh dengan amarah."Nggak, Mas. Aku nggak bohong! Tadi bapak datang ke sini lalu berusaha melecehkan aku setelah tahu kamu nggak ada," jelas Farida yang masih merasa sangat ketakutan."Jangan percaya istri kamu itu, Dam. Dia itu pembohong dn juga licik. Jelas-jelas dia yang melecehkan bapak sampai seperti ini. Bapak ke sini mau cari kamu untuk mengajakmu memancing tapi dia malah melecehkan bapak seperti tadi karena kamu lagi nggak ada dan kamu tahu apa yang dia katakan ...."Hardi menghentikan kalimatnya membuat Adam dan Farida semakin penasaran. Farida tak tahu apa lagi yang akan bapak mertuanya katakan pada suaminya dengan memutar balikkan fakta."Apa yang dia bilang?" tanya Adam penasaran."Dia bilang dia bosan dan benci hidup denganmu karena kamu tidak bisa menafkahi lahir batin. Karena itulah dia mau melecehkan bapak." Dengan santai Hardi menjelaskan kebohongan itu pada Ad
Lelah rasanya hati Farida menghadapi semua ujian yang menimpanya selama ini. Dadanya bahkan terasa sangat sesak meski hanya untuk bernapas.Farida menghempaskan cengkraman tangan Adam dan ia pun berlari menuju kamarnya. Di sanalah tempat yang menjadi saksi bisu selama ini dimana Farida selalu menumpahkan semua tangisnya."Dasar nggak berguna. Bisa-bisanya dia malah marah padaku," ucap Adam geram. Ia pun lalu pergi meninggalkan Farida yang kini telah masuk ke dalam kamar dan meninggalkannya. Di sana Farida hanya bisa duduk di pinggiran ranjang melampiaskan semua kemarahannya yang hanya bisa ia tahan."Ya Allah, aku udah nggak kuat lagi hidup seperti ini," ucap Farida pelan." Tangannya meremas ujung sprei yang tak berdosa.Bayang-bayang tangan bapak mertuanya yang menggerayangi tubuhnya tadi masih terus bermain di kepalanya."Aaaaaaaaaaa!"Farida berteriak meluapkan emosi dan kemarahannya. Namun, tak ada yang mendengarnya karena Adam pun bahkan telah pergi meninggalkannya.Air mata Far
Adam terus melangkahkan kakinya menuju ke rumah orang tuanya. Sesampainya di sana Adam langsung masuk ke rumah tanpa rasa canggung."Loh, Dam, kamu tumben ke sini nggak bilang sama ibu. Ada apa, Dam? Apa yang yang ibu transfer buat kamu masih kurang?" tanya Nadia menyambut kedatangan Adam.Saat itu Nadia sedang duduk di sofa sembari membaca majalah fashion kesukaannya."Bapak kemana, Bu?" tanya Adam dengan nada suara datar. Namun, deru napasnya terdengar sedikit berat."Bentar, ini ada apa kok kamu tiba-tiba nyariin bapak kamu. Bukannya tadi kalian sudah bertemu, ya?" tanya Nadia penasaran."Bapak dimana, Bu? Jawab saja pertanyaan ku," pinta Adam.Gejolak hatinya merasa ingin marah tapi sayang kepercayaannya jatuh pada ayahnya sehingga Adam tak sanggup untuk marah apalagi membenci ayahnya dan memilih untuk membelanya."Bapak ada kok, Dam. Bapak belum lama pulang. Sebentar ya ibu panggil dulu."Nadia langsung berjalan masuk ke dalam kamar untuk memanggil Hardi yang tengah berada di dal
Semua pakaian yang ada di dalam lemarinya kini sudah berpindah ke dalam sebuah tas lusuh berwarna pink. Farida hanya bisa menatap tas usang itu dengan mata berkaca-kaca.Seandainya saja suami yang aku cintai bisa menjadi sandaran hatiku setiap aku merasakan kesepian, gundah gulana, bahkan kesedihan atas setiap ujian yang menampar hatiku berkali-kali, mungkin aku akan bisa tetap bertahan meskipun aku tak pernah dinafkahi dengan cukup seperti istri lainnya. Tapi sayangnya, angan-angan ku terlalu tinggi untuk bisa merasakan itu semua dari suamiku, karena sebuah kepercayaan saja tidak bisa dia berikan pada istri yang selalu berbakti. Farida hanya bisa menitikkan air matanya menumpahkan keluh kesah yang tidak bisa dia lampiaskan."Tasya, sudah siap, Sayang?" tanya Farida yang saat itu hanya berdiri di sampingnya."Tapi sepertinya di luar akan hujan, Bu. Apa kita tidak bisa pergi besok saja," ucap Tasya yang masih polos.Mendengar ucapan dari Tasya membuat mata Farida yang berkaca-kaca kini
Farida duduk berhadapan dengan Nani di sebuah kursi kayu. Bajunya masih basah karena belum diganti dan hanya ditutupi dengan selembar handuk yang warnanya sudah sedikit pudar."Apa! Jadi kamu hampir dilecehkan oleh bapak mertua kamu tapi suami kamu tidak percaya!" Nani begitu sangat syok mendengar cerita dari putri semata wayangnya.Selama ini ia mengira, cacian dan hinaan dari ibu mertuanya sudah cukup menyiksa batin Farida, tapi kenyataannya salah, kehidupan Farida justru lebih menyedihkan daripada yang ia kira."Aku juga nggak tau kenapa mas Adam nggak percaya padaku, Bu. Padahal aku sudah menceritakan semuanya pada dia dan aku tidak mengada-ada." Dengan tersedu-sedu dan suara serak, Farida mencoba melanjutkan ceritanya."Ya sudah kalau begitu, kamu di sini saja sama ibu, Nak. Tinggalkan saja suamimu yang sudah dzolim padamu itu. Ibu tidak rela jika kamu disakiti dan didzolimi seperti ini oleh suami dan kedua orang tuanya."Mendengar perkataan dari ibunya justru membuat Farida sema
Adam melangkahkan kakinya meniti jalanan yang sedikit becek dan licin karena hujan yang mengguyur begitu deras.Sementara hari yang sudah petang membuatnya harus lebih berhati-hati dalam memilih target pijakan kakinya."Masa iya aku harus sampai bercerai dengan Farida," batin Adam yang masih terbayang-bayang dengan perkataan dari Nadia yang begitu membekas di ingatannya.Krukk ... Krukkk. Tiba-tiba perut Adam berbunyi cukup keras. Tangannya spontan mengusap perutnya yang terasa perih."Akh, aku lapar," ucapnya lirih. Ponsel di tangannya pun digenggam lebih erat.Adam kemudian lebih bergegas melangkahkan kakinya. Perutnya yang sudah terasa perih membuat naluri alaminya untuk segera sampai ke rumah.Biasanya saat ia mendatangi rumah kedua orang tuanya, Adam selalu memakan makanan di sana sampai kenyang tapi untuk kali ini berbeda. Adam melupakan hal itu dan membiarkan perutnya tetap kosong.Akhirnya Adam sampai di pelataran rumahnya. Matanya menyipit dalam menatap rumahnya yang tampak