Farida duduk berhadapan dengan Nani di sebuah kursi kayu. Bajunya masih basah karena belum diganti dan hanya ditutupi dengan selembar handuk yang warnanya sudah sedikit pudar."Apa! Jadi kamu hampir dilecehkan oleh bapak mertua kamu tapi suami kamu tidak percaya!" Nani begitu sangat syok mendengar cerita dari putri semata wayangnya.Selama ini ia mengira, cacian dan hinaan dari ibu mertuanya sudah cukup menyiksa batin Farida, tapi kenyataannya salah, kehidupan Farida justru lebih menyedihkan daripada yang ia kira."Aku juga nggak tau kenapa mas Adam nggak percaya padaku, Bu. Padahal aku sudah menceritakan semuanya pada dia dan aku tidak mengada-ada." Dengan tersedu-sedu dan suara serak, Farida mencoba melanjutkan ceritanya."Ya sudah kalau begitu, kamu di sini saja sama ibu, Nak. Tinggalkan saja suamimu yang sudah dzolim padamu itu. Ibu tidak rela jika kamu disakiti dan didzolimi seperti ini oleh suami dan kedua orang tuanya."Mendengar perkataan dari ibunya justru membuat Farida sema
Adam melangkahkan kakinya meniti jalanan yang sedikit becek dan licin karena hujan yang mengguyur begitu deras.Sementara hari yang sudah petang membuatnya harus lebih berhati-hati dalam memilih target pijakan kakinya."Masa iya aku harus sampai bercerai dengan Farida," batin Adam yang masih terbayang-bayang dengan perkataan dari Nadia yang begitu membekas di ingatannya.Krukk ... Krukkk. Tiba-tiba perut Adam berbunyi cukup keras. Tangannya spontan mengusap perutnya yang terasa perih."Akh, aku lapar," ucapnya lirih. Ponsel di tangannya pun digenggam lebih erat.Adam kemudian lebih bergegas melangkahkan kakinya. Perutnya yang sudah terasa perih membuat naluri alaminya untuk segera sampai ke rumah.Biasanya saat ia mendatangi rumah kedua orang tuanya, Adam selalu memakan makanan di sana sampai kenyang tapi untuk kali ini berbeda. Adam melupakan hal itu dan membiarkan perutnya tetap kosong.Akhirnya Adam sampai di pelataran rumahnya. Matanya menyipit dalam menatap rumahnya yang tampak
Adam yang masih lunglai di atas lantai kini mulai menyeka air matanya yang sudah menerjang pertahanan kelakianya."Apa jangan-jangan Farida ada di rumah ibu, Ya," ucap Adam seketika semringah seperti menemukan jalan keluar dari masalahnya."Iya benar! Farida pasti ada di sana. Selama ini dia kan nggak pernah pergi jauh dan dia juga nggak punya kenalan juga, jadi nggak mungkin dia pergi selain ke rumah ibu."Dengan cepat Adam bangkit dari posisinya. Ia melupakan perutnya yang terasa perih dan sedari tadi berbunyi berteriak minta diisi.Adam keluar lagi dari rumahnya yang begitu sederhana. Tanpa menutup pintu, Adam meninggalkan rumah dan langsung menuju ke rumah ibu mertuanya yaitu Nani.Tak lama kini Adam sudah berada di depan rumah Nani yang terlihat sangat berbeda jauh dari rumah ibunya. Rumah Nani terlihat sangat reyot, dengan setengah dinding rumahnya yang masih memakai anyaman bambu yang warnanya sudah sedikit usang dan berlubang di beberapa titik.Jika lampu sedang menyala mungki
Adam duduk tertunduk di depan ibu mertuanya yang masih menatapnya dalam. Sementara Farida ikut juga duduk di sebelah Adam berdampingan dengannya."Nak Adam, apa kamu ingat janji yang kamu ucapkan di depan mendiang almarhum bapak Farida. Kamu sudah berjanji untuk membahagiakan dia lahir dan batin sampai pada akhirnya kamu mengucapkan ijab kabul di depan semua orang. Apa kamu masih ingat itu semua?" tanya Nani yang suaranya masih terbilang tenang."Iya, Bu. Aku masih ingat," jawab Adam pelan."Lalu kenapa kamu memperlakukan Farida seperti ini sekarang? Kenapa kamu mendzoliminya? Apa kamu tahu bagaimana perasaan ku, ibu kandung yang sudah melahirkannya."Mendengar kalimat Nani, membuat Farida tak kuasa menahan air matanya, begitu juga dengan Adam."Nak Adam, aku menyayangimu seperti anakku sendiri dan aku menyerahkan anakku padamu dengan ikhlas. Aku senang sampai aku menangis semalaman saat kau datang ke rumahku malam itu dan meyakinkan ku bahwa kau menerima Farida dan juga aku sebagai o
Hampir tengah malam akhirnya Farida memutuskan untuk pulang kembali ke rumahnya bersama dengan Adam.Tak lupa ia membangunkan Tasya yang sudah tidur nyenyak meski hanya di kasur tipis yang warnanya pun sudah kusam."Bu, aku minta maaf sekali, ya, karena sudah merepotkan ibu. Tidak seharusnya aku datang ke sini menangis-nangis jika pada akhirnya aku juga kembali pada mas Adam." Farida hanya bisa menunduk malu di hadapan Nani.Dengan lembut, Nani mengusap kepala Farida. Suaranya lirih terdengar di telinga Farida yang terbungkus dengan hijab segitiga berwarna cream."Tidak perlu bicara seperti itu, Nak. Kamu memang seharusnya ke sini kalau kamu sedang tidak baik-baik saja karena kamu masih punya ibu. Jangan kamu pendam semua masalahmu sendirian. Ibu juga ikut senang jika pada akhirnya kamu kembali lagi bersama dengan suamimu, aku cuma berharap bahwa kejadian seperti ini tidak terjadi lagi dan Adam benar-benar berubah."Sementara keduanya bercakap-cakap, Adam yang menggendong Tasya di pu
Farida memungut beberapa helai baju yang berserakan karena ulah Adam. Handuk basah bekasnya pun tak digantung dan hanya tergeletak di atas ranjang."Ya ampun kamu ini, Mas. Kebiasaan sekali menaruh handuk di sini," ucap Farida menggerutu melihat baju-baju kotor yang bertebaran.Beberapa kali Farida menoleh ke arah pintu dan Adam masih belum juga pulang sementara jam sudah menunjukkan pukul 11 siang.***"Gimana dengan ucapan ibu kamu kemarin, Dam? Apa kamu akan benar-benar menceritakan istrimu itu?" tanya Hardi menoleh ke arah Adam yang tengah duduk di sampingnya sembari memegang gagang pancing.Ya, mereka berdua tengah berada di tempat pemancingan. Sejak pagi-pagi sekali keduanya sudah janjian untuk pergi memancing dan Adam benar-benar datang untuk memancing bersama dengan ayahnya.Adam masih diam tak menjawab pertanyaan dari Hardi. Matanya menatap gelembung-gelembung kecil yang muncul dari kedalaman kolam."Kenapa kok malah diem, Dam? Kamu nggak mau cerai sama istri kamu itu, ya?" t
Di rumah Hardi ...Berbeda dengan Adam, Hardi justru terlihat sangat kesal karena Adam lebih memilih istrinya dan tidak begitu mempercayainya."Akh sial! Bisa-bisanya si Adam lebih percaya sama wanita itu," ucap Hardi kesal sembari melemparkan gagang pancing di pojokan belakang rumahnya.Diam-diam dari kejauhan Nadia yang baru pulang melihat perkebunan justru memusatkan perhatiannya pada Hardi yang tengah berada di belakang rumah.Perlahan Nadia mendekati Hardi yang masih membelakanginya dan tak tahu kehadiran dirinya."Kamu kenapa, Mas? Kok kayak kesel gitu?" tanya Nadia.Hardi yang terkejut dengan kedatangan Nadia yang tiba-tiba pun langsung menoleh. Hardi menelan salivanya dengan sedikit memaksa."K-kamu udah pulang, Sayang," ucap Hardi gugup."Iya, aku barusan aja pulang terus nggak sengaja aku denger sesuatu dari arah sini dan ternyata itu adalah kamu." Nadia menyipitkan kedua matanya menatap dalam-dalam wajah Hardi."Kamu kayaknya lagi kesel, ya? Ada apa?" tanya Nadia lagi."Hmm
Keesokan paginya, pukul 06:20.Adam menatap Farida yang tengah menyiapkan sarapan dari kejauhan tanpa sepengetahuan Farida."Gara-gara belain si Farida, aku jadi kehilangan jatah uang bulanan dari ibu," batin Adam kesal.Ia masih menatap Farida tapi kali ini tatapan itu berubah menjadi kosong saat Adam telah tenggelam dalam lamunannya."Eh Mas, kamu udah siap, toh. Ayo sini kita sarapan dulu," ucap Farida mengagetkan Adam."Oh emmm I-iya," jawab Adam yang tersadar dari lamunannya."Wah ayam goreng." Tasya bersorak kegirangan saat melihat tiga potong ayam goreng ada di atas meja makan.Bagaimana tidak girang, mereka jarang sekali masak ayam. Farida memang jarang membeli ayam demi menghemat uang yang diberikan oleh Nadia pada Adam."Hah ayam?" Adam yang tak percaya pun langsung melihat ke atas meja."Wah iya, asyik kita sarapan pakai ayam goreng," ucap Adam yang juga ikut kegirangan seperti Tasya. Sementara itu Farida jadi ikut tersenyum bahagia melihat senyuman di wajah suaminya."Semo